Kamis, 10 November 2011

CERPEN SUARA MERDEKA



Ne Me Quitte Pas
Oleh
Satria Anggaprana










DI stasiun itu dia menunggu keretamu—yang tak kunjung tiba—bersama orang tua yang menunggu anak pulang atau mungkin menunggu waktu mereka pulang karena tidak juga datang atau memang tidak akan pernah datang. Beberapa orang memang pergi dan kembali, tetapi banyak yang pergi untuk benar-benar pergi. Apakah berguna menunggui mereka yang benar-benar pergi?

Dia duduk diam di peron, memandang rel yang kosong. Apa benar kau akan pulang? Dengan kereta? Bukan dengan bus, kapal laut, atau pesawat? Oh ya aku ingat tak ada bandara di kota kita. Dia diam sepanjang tahun ini. Dia sudah menjadi debu peron, menjadi ludah, sisa makanan yang jatuh dan terinjak, bungkus permen, lantai peron. Mengapa dia tak pernah mau bercerita kepadaku tentang kamu? Tentang orang yang pergi mencari mutiara air hujan ke negeri yang tak pernah hujan. Tentang kalian yang terus menggali dengan jari-jari tanah yang kering penuh retakan.

Tentang negeri yang hanya pernah kudengar dari lagu. Lagu orang yang tak pernah mau ditinggalkan. Lalu kenapa kemudian kalian malah saling meninggalkan? Mencari mutiara hujan, mencari cara untuk mencintai kekasihnya, mencari cara untuk mati yang sepi. Bukankah kalian takut kesepian? Lalu kenapa dia masih menunggumu? Kenapa dia tidak pergi saja, meninggalkan kamu yang sudah jelas-jelas meninggalkan dia. Apakah karena kalian saling mencinta? Kalau begitu kenapa dia biarkan dirimu pergi bersama orang banyak bertahun-tahun yang lalu dari stasiun ini?

Aku tak pernah bisa mengerti pikiran dia. Dia menunggui kereta yang tak pernah datang dari negeri tanpa hujan. Kenapa tak dia kejar saja dirimu dengan kereta pagi? Stasiun ini hanya memberangkatkan kereta. Sekarang tak ada kereta yang datang. Tak ada yang mau kembali sebelum mendapatkan mutiara hujan untuk melengkapi perhiasan kekasihnya. Melengkapi kekasihnya.

Kereta pagi segera dilansir, orang-orang berdesakan, kereta menuju negeri tanpa hujan tak pernah kosong. Tak ada keluarga yang mengantar, tak ada lambaian sapu tangan di udara, tidak ada hiruk-pikuk, hanya sepi dan diam. Kepergian mereka hanya menyisakan orang yang menunggu. Menunggu sesuatu yang tak pernah ada. Dan aku hanya memandangi mereka dari balik kaca. Beberapa bulan lagi tugasku di stasiun ini akan berakhir. Dan mereka yang menunggu termasuk dirinya sebentar lagi akan terlupakan, akan hilang. Bukankah kau pernah berkata kepadaku,“Kita harus melupakan, semuanya bisa dilupakan.” [1]

Aku tak ingin lupa. Sesuatu yang terlupa kemudian mencoba mengingatnya, bukankah sama saja dengan kehilangan? Semuanya bisa dilupakan katamu, semuanya bisa kehilangan pikirku. Tapi aku tak ingin kehilangan.

Apa kau ingat? Kalau kau sudah melupakannya biarkan aku saja yang mengingat dan memutar kembali di kepalaku. Pada pagi itu jauh sebelum kamu mengenalnya, sebelum lagu itu berputar dan berulang di otak semua orang. Sebelum kita semua, atau kalian semua dirundung wabah kesenduan, wabah yang rasanya begitu manis didengar namun pahit untuk dicecap.

Kamu mengajakku menghabiskan sore dengan beberapa cangkir latte dan sepiring cake keju. Saat itu masih ada kereta yang datang kembali ke stasiun kita dengan keriuhan keluarga, karena mereka yang pergi masih ingin kembali. Di sela jam istirahatku, kita duduk berdua di sebuah kafe di seberang stasiun. Kau duduk di sofa seberangku namun tidak pernah memandangku. Yang kau lihat hanya orang di balik kaca. Tidak bisakah kau memperhatikan orang semeja denganmu ini saja? Apakah karena aku kurang terlihat manis? Apakah karena aku terasa pahit luar dan dalam? Apakah karena aku tidak mau merasa sendu seperti mereka yang berkeliaran di luar sana, mencari bekas kekasih di setiap angin yang lewat?

Aku memandangi wajahmu yang bulat. Aku merasa kita secara fisik sangatlah serupa. Apakah mungkin kita ini anak kembar? Lelucon murahan kelas opera sabun itu cukup sering muncul di pikiranku. Kau masih saja diam. Memang benar aku tidak dapat menciptakan kata-kata yang menarik perhatianmu, tapi apakah kemiripan ini tak membuatmu tertarik untuk sekedar menyinggahkan bingkai kacamatamu itu ke arah wajahku? Aku menyedot habis gelas ketiga latte, mencoba membuat suara srok-srok yang menyebalkan, tapi kau tetap diam, kaca yang lumpuh itu tetap memegangi wajahmu. Kau tahu? Kau terus diam. Bukankah kita sering melihat gunung mati yang kita kira sudah terlalu renta, meletus? Kalau begitu mengapa kau terus diam? Dan bukankah kita tahu setelah itu sang gunung menyelimuti kota-kota dengan api dan abu, lalu menumbuhkan gandum di sana sini? Bukankah akan ada perayaan saat panen tiba? Mengapa kau terus diam? Mengapa tidak kau ajak aku mengobrol walau dengan bingkai kacamatamu saja, dan dengannya aku akan menarik tanganmu ke bar di tengah kota. Aku akan mentraktir seluruh pengunjung dengan bir dan minuman terbaik. Aku akan memberikan perayaan, tapi kenapa kau memilih kaca itu: kesenduan yang bisu di baliknya. Tidakkah kau merasa muak? Aku sudah muak. Dengan latte-latte ini, dengan cake keju, dengan kaca, denganmu.

Jam istirahatku habis. Aku meninggalkanmu duduk di kafe itu, sendirian. Aku sudah membayarkan semua latte dan cake itu untukmu. Jadi nikmatilah sisa yang ada di gelasmu itu bersama kaca dan kebisuan. Aku tidak kuat. Aku merasa lebih tenang berada di balik loket. Menatap wajah kosong di balik kaca, menyorongkan karcis tanpa memberikan senyum, karena wajah mereka memang tidak mengharapkannya.
Sesuatu yang tipis memenuhi ruangan kerjaku, tipis dan cukup hangat, seperti selimut di kamar kita dulu. Apakah ini yang kau rasakan ketika melihat kaca dengan orang sendu di baliknya? Aku merasa ketenangan menyelimutiku, duniaku menjadi hanya sebatas kaca dan orang sendu yang bisu. Apakah itu juga yang kau rasakan, bersama kaca?

“Ini akan menjadi hari terbaikmu,” bisikku, kepada mereka yang menunggu, kepada dia. Walau kaca ini membuatku bisu di telinga mereka. Tapi memang ini akan menjadi hari terbaik mereka. Mutiara air hujan sudah ditemukan, dan tangan yang mengais tanah kering akan berhenti untuk kembali ke kota ini. Bukankah itu yang kalian tunggu selama ini?

Satu stasiun lagi dan kereta yang kalian tunggu akan segera tiba. Pengeras suara sudah memberitakan, membuat kalian berdiri dari lantai peron. Membuat kalian berdesakan, setelah lama sekali aku tidak melihat yang seperti itu di kota ini. Satu stasiun lagi dan penantian kalian akan berakhir. Aku berharap lagu yang kalian sanjung itu tidak lagi kalian ingat.

Mungkin kau sudah tidak mengingatnya, sepulang kerja, setelah menemuimu di kafe, aku menulis sebuah puisi. Mengirimkannya pada seorang teman, dari percakapan kita sebelumnya. Percakapan? Itu lebih seperti monologku bukan dialog kita.

Setelah kita berpisah, setelah aku membuang selimut tipis kita, kamu bertemu dengan dia. Kamu melihat dia dari balik kaca. Wajahnya kosong, mencari sesuatu di udara. Kamu menangkap pencariannya. Kamu terperangkap dengan dia.

Kemudian tanpa persetujuanku, puisiku telah mendapatkan nada, ia telah mendapatkan jiwanya. Dan temanku itu membuatnya berputar di radio, di televisi, di pikiran kita. Puisiku itu mencair masuk ke dalam mimpi kalian, mencair menjadi lelehan permen di telinga kalian. Dasar buruk rupa bodoh temanku itu! Dan aku melihat akibat buruknya hingga hari ini.

Kereta yang dia tunggu sudah berangkat. Aku memandang kosong pada kereta yang baru dilansir dari stasiun ini. Kalian berdesakan. Apakah akan seperti ini hari pengadilan nanti? Aku tidak terharu, atau merasa sedih, aku hanya ingin kembali melihatmu berjalan bersama dia dalam diam. Aku ingin melihat jalur yang mati di stasiun ini hidup kembali, jalur untuk pulang. Sungguh memuakkan melihat stasiun yang hanya memiliki satu jalur rel.

Karena lama tidak ada kereta yang datang, hanya ada satu jalur rel dari kota kita ke stasiun terdekat yang berfungsi. Aku mendengar lagu temanku berputar di pengeras suara. Bisakah dua kereta yang berlawanan berada dalam satu jalur yang sama? Aku diam di balik kaca loket, memandangi dia yang memandang jauh ke rel yang menjauh.

Selimut tipis kita tidak kurasakan lagi di dalam sini. Apakah barusan kau datang dan mengambilnya dariku? Dan akhirnya lagu itu berhenti, terpotong oleh sebuah pengumuman tanpa bel. (*)
.

Jakarta, Maret 2011


Catatan:
[1] Satu kalimat dari lagu berjudul “Ne Me Quitte Pas” yang dinyanyikan oleh Jacques Brel. Beberapa narasi di cerpen ini juga terpinspirasi dan menukil dari lirik lagu tersebut.











K I N O L I
Oleh
Yetti A. Ka




MINGGU, jam empat sore, dua perempuan akan bertamu ke rumahku. Salah satu dari mereka bernama Kinoli, teman baikku, sudah bertunangan lima bulan lalu. Harapan yang paling sering kudengar darinya adalah keinginannya memiliki dua anak perempuan. Persis seperti yang dimiliki ibunya. Anak perempuan bisa menjadi teman di berbagai suasana, anak lelaki kadang memiliki selera yang jauh berbeda, begitu Kinoli beralasan.

Sebelum Kinoli bertunangan aku pernah menyatakan rasa suka padanya, dan ia menolakku, “Kau tampan, juga baik hati. Sayang sekali kau bukan tipe lelaki yang kuinginkan untuk sebuah pernikahan.” Kinoli menggenggam tanganku, “Paling tidak kita tetap berteman,” ujarnya kemudian.

Pertemanan tentu tidak memerlukan jawaban seperti ketika seseorang menyatakan cinta, maka aku tidak mengangguk atau menggeleng. Aku hanya merasa bahwa kami memang hanya akan berteman sampai kapan pun.

***

SEMINGGU sebelum pertunangan Kinoli, aku datang membawa sekantong bola-bola cokleat. Bibir merah mudanya amat merekah atas kejutan itu.

“Jangan begini,” bisiknya berusaha kuat menahan suara.

“Apa yang salah,” aku menatapnya.

“Ini menjadi berbeda jika diberikan pada perempuan yang akan menikah dengan lelaki tidak romantis yang bahkan tidak terbiasa memberi kejutan pada hari spesial. Ini bisa mengganggu perasaanku selama berpuluh-puluh tahun.”

“Tidakkah ini sesuatu yang pantas,” ujarku.

Ia menggelengkan kepala, “Ayolah, aku tetap merasa ini berlebihan.”

Aku tertawa. “Untuk terakhir kali,” kataku meyakinkan.

Ia terharu. Bibirnya sedikit gemetar. Ia pun bergerak mundur membawa sekantong bola-bola cokelat yang terus ia tempel di dadanya. Wajahnya tidak tersenyum, namun tidak juga cemberut. Ia hanya mencoba menenangkan diri.

Setelah Kinoli bertunangan, kami tidak pernah lagi bertemu. Paling tidak kami tetap berkirim email. Kadang aku menelepon sekali-sekali. Atau sebulan lalu ia kirim pesan pendek saat aku ulang tahun, dan aku membalas dengan menelepon pukul dua belas malam. Ia bertanya mengenai hadiah ulang tahun apa yang paling kuinginkan, aku bilang: kamu dan senyummu yang manis pada saat hujan. Cukup itu saja. Tawa Kinoli berderai-derai. Ia mengaku sudah agak lama tidak tertawa.

Aku bertanya, apa lelaki itu tidak marah bila ia tahu aku menelepon tengah malam.

Ia berkata, tunanganku sedang dinas keluar kota, dan ia tidak akan tahu apa-apa jika aku tidak memberitahu.
Aku bertanya lagi, apa aku boleh meneleponmu pukul dua belas malam jika nanti kau sudah menikah.

Ia meminta, jangan.

Kenapa, tanyaku.

Pokoknya jangan.

Aku berujar, baiklah kalau aku tidak boleh meneleponmu pukul dua belas malam saat kau menikah nanti maka aku tidak akan juga meneleponmu lagi pada waktu yang sama setelah malam ini.

Kami sama-sama diam. Bahkan aku tidak ingat siapa persisnya di antara kami yang berinisiatif mematikan telepon malam itu saat titik hujan menyerbu atap rumahku. Aku sempat mendengar Kinoli bertanya pelan: di sana hujan?

Kemudian hening sangat panjang.

Beberapa minggu kami tidak saling menyapa, baik lewat email, telepon, atau pesan pendek sampai akhirnya aku memecah kebekuan itu. Aku mulai berkirim email lagi. Aku bercerita mengenai beberapa macam tanaman hias yang baru saja kukembangkan bersama teman-teman. Ia menanggapi dengan antusias. Surat balasannya sangat panjang. Semuanya berisi tentang pertanyaan seputar tanaman itu. Aku kira ia agak memaksakan diri. Semua orang-orang dekatnya tahu ia malas sekali mengurus halaman rumah, apalagi berkebun. Aku menikmati kebohongannya.

Kemudian seminggu lalu ia mengirim pesan pendek: Boleh aku ke rumahmu minggu depan, sore hari. Aku balas: Kau tahu sekarang musim hujan, terutama sore. (padahal sebenarnya aku mau bilang: apa tunanganmu tidak marah).

Ia kirim pesan pendek lagi: apa kau akan sibuk sekali pada musim hujan hingga tidak mau bertemu denganku.
Aku tulis: Jangan salah sangka. Kutunggu, kamu dan hujan.

Ia tidak membalas lagi. Aku tidak tahu apa ia benar-benar berani datang bersama turunnya hujan. Semoga saat itu terjadi hujan turun tidak terlalu deras. Aku tidak ingin melihat make up-nya rusak atau rambutnya sedikit berantakan. Rambut itu, masihkah tetap sebahu?

***

KINOLI dan temannya sudah berdiri di teras saat aku muncul dari samping rumah dengan tubuh lumayan kotor. Hal pertama yang kuperhatikan dari Kinoli bahwa ia tidak berdandan. Dan ia terlihat lebih cantik dari saat terakhir kami bertemu, kurang lebih lima bulan lalu. Ia tetap kurus. Rambutnya masih sebahu. Pakai poni sedikit tebal. Satu tangannya memegang payung. Di belakangnya titik hujan menyempurnakan imajinasiku mengenai perempuan dan hujan.

“Apa aku tampak kacau?” Kinoli menggoyangkan rambutnya.

“Kau tampak cantik,” kataku.

Kinoli memandangku, sedikit memelas. “Ini temanku,” ia berujar.

Aku melambai pada teman Kinoli.

“Mau kubuatkan teh panas?” tanyaku.

“Sedikit gula,” ujar Kinoli.

Sementara teman Kinoli memberi kesan: Apa saja boleh.

***

AKU membawa tiga cangkir teh panas. “Apa sebaiknya kita duduk di dalam,” aku menawarkan.

“Tidak. Di sini saja,” timpal Kinoli.

“Sempurna,” ujarku.

“Apa?”

“Sore ini.”

Aku meletakkan tiga cangkir teh di atas meja bambu. Kinoli dan temannya tengah menatap hujan.

“Temanku, Hening, juga suka hujan.”

Aku sedikit bisa menebak tujuan Kinoli membawa teman bernama Hening itu, yang ternyata suka hujan. 

Tampaknya Kinoli berusaha keras mempertemukan aku dengan seseorang, dan lalu menjadikan hujan sebagai alasan kenapa kami cocok menjadi pasangan.

Hening agak risih. Ia mengambil secangkir teh dan meminumnya satu tegukan. “Oh ya, Hening juga ingin sekali melihat koleksi tanamanmu,” Kinoli belum berhenti. Aku dan Hening bertatapan.

“Aku keluar dulu,” Kinoli mendadak berdiri.

“Ada apa?” aku bertanya heran, “Kau belum minum teh-mu dan kita belum melihat tanaman yang kuceritakan.”

“Aku akan kembali. Kutitip temanku sebentar ya.”

Kinoli mengambil payung dan memandang ke arah Hening, seakan mereka tengah merencanakan sesuatu. Kemudian Kinoli telah bergerak dalam hujan. Tubuhnya menyerupai bayang-bayang dalam guyuran hujan itu. 

Kalau tidak ada Hening yang tertinggal di teras rumah, aku pasti mengejar Kinoli. Pasti.

Selama satu jam Kinoli belum kembali. Selama itu pula aku dan Hening berbincang mengenai hujan, tanaman, film, musik. Perlahan aku menyadari Kinoli sengaja membiarkan kami berdua saja. Aku mau tertawa. Aku bisa saja menghubungi HP Kinoli, tapi itu pasti tampak kanak-kanak di hadapan Hening.

Aku mengajak Hening ke kebun di samping rumah saat langit menyisakan gerimis. Wajahnya terlihat senang saat aku menunjukkan adenium, aglaonema, anthurium, euphorbia, dan begonia. Ia juga tidak henti tersenyum saat aku memperlihatkan jenis-jenis bunga potong yang kebetulan sedang kembang, seperti krisan dan aster.

“Waktu kecil aku ingin sekali menjadi penjual bunga potong.” Wajah Hening berseri.

“Kemudian kau membuang impian itu?”

“Ia pergi sendiri dariku perlahan-lahan.”

Aku dan Hening tertawa.

“Apa ini bisnis?” tanya Hening.

“Tidak,” kataku.

“Oh, cuma hobi,” Hening menyimpulkan.

“Kurang lebih.”

Hening bercerita kalau ia seorang guru TK.

Tentunya ia menyukai anak-anak. Bisa terbaca dari bahasa tubuhnya yang keibuan. Dan aku telah berjanji pada Hening untuk belajar bersama anak-anak tentang tanaman di kebunku minggu depan.

Aku mengantar Hening sampai ke ujung gang. Ia memutuskan pulang tanpa menunggu kepastian dari Kinoli. 

Sesungguhnya aku curiga Hening tahu betul kalau Kinoli tidak akan kembali sore itu.

Setelah mengantar Hening, aku menuju rumah yang terasa lebih kosong dari jam-jam sebelumnya. Hening, ia perempuan cukup manis kalau saja mau mengubah potongan rambut sepinggang itu. Aku suka perempuan rambut sebahu. Itu tidak adil, hatiku berkata. Mana bisa Hening menjadi seorang Kinoli.

***

SEKARANG aku masih saja mengingat sore hujan itu. Kinoli memang tidak pernah kembali ke teras rumahku—bahkan ia juga mengganti nomor HP dan tidak membalas emailku.

Hening datang lagi bersama anak-anak. Hanya sekali saja. Kami tidak terlalu berminat membuat pertemuan berikutnya. Hening memang sempurna, tapi ternyata aku tidak tertarik perempuan yang demikian. Hening teramat hati-hati dalam banyak hal, dan itu sedikit menakutkan bagiku.

Aku justru menyukai perempuan (tentunya karena perempuan itu Kinoli) yang pemalas dalam hal berkebun dan berantakan. Atau perempuan yang bisa mengeluarkan apa pun yang ia rasakan secara lepas dan spontan.

Dan sore terakhir datang ke rumahku, ia benar-benar memperlihatkan kecantikan alaminya. Rambutnya yang selalu sebahu seakan sengaja ingin menggodaku. Atau poni lucu yang baru pertama kulihat. Ia lebih sederhana dari Kinoli yang kukenal dulu. Aku sering merasa Kinoli sengaja menciptakan kesan yang bisa membuatku terus mengingatnya dalam berbagai pecahan warna.

***

LALU tibalah hari itu. Aku mendapat undangan pernikahan. Tentunya dari Kinoli. Aku tidak tahu siapa yang mengantar. Kebetulan aku tidak di rumah. Bisa jadi Kinoli sendiri yang datang. Undangan itu ditinggalkan di bawah pintu. Aku tidak membuka undangan itu, sebab aku sudah memutuskan tidak akan datang dari jauh-jauh hari. Aku tak bisa melihat Kinoli memakai gaun pengantin.

Ah, kau pasti terlihat manis, Kinoli. Terutama jika kau membiarkan ponimu lepas di keningmu saat kau berjalan menuju altar, menjalani pemberkatan di gereja.

***

SATU tahun setelah menikah, Kinoli memberiku kejutan dengan mengirim email: Dalam kehidupan setiap lelaki hanya ada satu perempuan, dan bersama perempuan itu ia menjadi sempurna. Dalam kehidupan setiap perempuan hanya ada satu laki-laki dan bersama lelaki itu ia menjadi lengkap. Tapi pasangan yang demikian hanya ada satu dalam sepuluh juta. Sisanya hanya pasangan-pasangan hasil dari kompromi, ketertarikan dangkal, daya tarik fisik, atau sekadar kebiasaan.*

Aku balas email-nya: Va’ Dove Ti Porta Il Cuore Susanna Tamaro? Dan kau termasuk yang mana?
Kinoli tidak pernah membalas email-ku. Tidak pernah. Namun aku bisa merasakan kalau ia sering menikmati hujan dari kamar sambil membaca berulang-ulang Va’ Dove Ti Porta Il Cuore yang kukirim pada hari pernikahannya. Sesekali bisa jadi Kinoli menangis, seperti sore ini aku memandang hujan dengan kesedihan yang sama.

Kemudian seseorang berkata di belakangku, “Hujan begini membuatku ingat Kinoli. Dialah yang mempertemukan kita sore itu.”

Aku bergumam pelan, hmmm. (*)


Bengkulu-Batusangkar, 2010-2011

*) dikutip secara bebas dari novel Va’ Dove Ti Porta Il Cuore (terjemahan) karya Susanna Tamaro, GPU, 2004.









Sepasang Mata Anjing Biru
Oleh
Gabriel Garcia Marques







DAN dia menatapku. Kukira dialah yang kali pertama menatapku, tapi kemudian ketika dia berbalik di belakang lampu masih kurasakan wajahnya yang licin dan berminyak di belakangku, di dekat bahuku. Lalu aku mengerti akulah yang pertama menatapnya. Kunyalakan rokok. Kuisap dalam-dalam sebelum aku berputar di kursi yang bertumpu hanya di satu kaki. Setelah itu aku melihatnya di sana, seolah dia berdiri di samping lampu, menatapku setiap malam. Kami saling menatap dalam menit-menit yang singkat. Aku melihatnya dari tempat duduk, dengan kaki belakangnya dia berdiri, tangannya yang panjang dan tenang di lampu, dia menatapku. Kulihat matanya yang menyala seperti biasannya. Itulah ketika kuingat hal yang biasa, ketika kukatakan padanya, “Sepasang mata anjing biru.” Tanpa melepaskan tangannya dari lampu dia berkata, “Itulah yang tak akan pernah kita lupakan.” Kemudian ia pergi. Sepasang mata anjing biru. Itulah yang kutuliskan di mana-mana.

Aku melihat dia berjalan menuju meja rias. Kulihat dia muncul di cermin dan menatapku, dia menatapku dengan matanya yang hitam batubara, menatapku sambil membuka kotak kecil yang diselimuti mutiara merah jambu. Kulihat dia membedaki hidungnya. Begitu selesai, dia menutup kotak itu dan berdiri, berjalan melewati lampu sambil berkata, “Aku takut seseorang bermimpi tentang ruangan ini dan mengetahui rahasiaku.”

Dan dia kembali menghangatkan tangannya yang panjang dan gemetaran yang tadi telah dihangatkannya sebelum duduk di depan cermin. Dan dia berkata, “Apa kau tidak merasa kedinginan.” Kujawab, “Kadang-kadang.” Lalu dia berkata, “Sekarang kau pasti merasakannya.” Dan aku mengerti mengapa aku tidak bisa sendirian di tempat ini. Dinginlah yang memastikan kesunyianku. “Sekarang aku merasakannya,” kataku. “Dan ini aneh karena malam begitu tenang. Mungkin alas tempat duduknya jatuh.” Dia tidak menjawab. Lagi-lagi dia berjalan menuju cermin dan aku kembali ke kursi, membelakanginya. Tanpa melihatnya, aku bisa tahu apa yang dia lakukan. Aku tahu dia kembali duduk di depan cermin, menatap punggungku, ada waktu untuk sampai ke kedalaman cermin itu dan tertangkap pandangannya, seolah ada waktu yang cukup untuk mencapai kedalaman itu dan kembali lagi, sebelum ada waktu untuk memulai yang kali kedua—sampai bibirnya dibaluti warna merah tua, ketika tangannya mulai beraksi di depan cermin.

Kulihat, berhadapan denganku, dinding lembut yang serupa cermin buta ketika aku tak bisa melihatnya duduk di belakangku, tapi aku bisa bayangkan di mana dia berada seolah-olah sebuah cermin tergantung di dinding itu.

“Aku melihatmu,” kukatakan padanya.

Dan melalui dinding itu kulihat dia memandangku ketika aku berbalik ke arahnya dari tempat duduk, di kedalaman cermin itu wajahku mendekati dinding. Lalu lagi-lagi kutatap matanya dan dia tertunduk, tidak berkata apa-apa. Dan kukatakan lagi padanya, “Aku melihatmu.” Dan dia menegakkan wajahnya. “Itu tidak mungkin,” katanya. Kutanyakan kenapa. Dan dia, dengan matanya yang tenang tertunduk kembali. “Karena wajahmu menghadap ke dinding.” Lalu kubalikkan kursi itu. Asap rokok mengepul dari mulutku. Saat aku masih menghadap ke cermin, dia sudah berada di belakang lampu.

Sekarang dia mengembangkan tangannya dekat unggun, seperti dua kepak sayap ayam betina, menghangatkan dirinya, dan bayangan jari-jari menutupi wajahnya sendiri.

“Rasanya aku ingin menangkap rasa dingin ini,” katanya, “Ini pastilah kota es.” Dia memalingkan wajah, memperlihatkan kulitnya yang berubah merah padam, seketika dia bersedih.

“Lakukanlah sesuatu,” katanya.

Dan dia mulai melepas pakaiannya. Satu demi satu, mulai dari bagian paling atas, aku berkata, “Aku akan menghadap dinding ini lagi.”

Dia menjawab, “Jangan, kau akan melihatku ketika kau membalikkan punggungmu.”

Setelah berkata begitu, lidah-lidah api menerangi kulitnya yang merah tembaga. “Aku selalu ingin melihatmu seperti itu, dengan kulitmu yang penuh pertarungan seolah kaulah yang dikalahkan.” Dan sebelum aku menyadari betapa konyol kata-kataku itu, dia mematung, menghangatkan tubuhnya di dekat lampu dan berkata, “Terkadang aku berpikir aku terbuat dari logam.” Lalu dia diam seketika. Tangannya bergerak-gerak di atas api. Kukatakan padanya, “Terkadang di mimpi yang lain aku mengira kau mengira kau adalah patung perunggu kecil di sudut sebuah museum. Mungkin karena itu kau kedinginan.” Dan dia berkata, “Kadang, jika aku tidur dalam hatiku, bisa kurasakan tubuhku memiliki rongga dan kulitku terasa datar. Lalu, ketika darah terpompa dalam tubuhku, seolah seseorang sedang memanggil, mengetuk-ngetuk perutku dan aku bisa rasakan suara logam itu di tempat tidurku, kau menyebutnya seperti dilapisi logam. Dia mendekati lampu.

“Aku ingin mendengarkanmu,” kataku. Dan dia menjawab, “Dan jika kita saling menemukan nanti, saat aku tertidur, dekatkan telingamu di rusuk kiriku, maka kau akan mendengar aku bergema. Aku selalu ingin kau melakukan itu.” Kudengar napasnya yang berat saat dia bicara. Dan berkata, selama bertahun-tahun dia selalu melakukan hal yang sama. Dia telah memutuskan jalan hidupnya untuk mencariku dalam kenyataan, mengucapkan kalimat yang jelas itu, “Sepasang mata anjing biru.” Dan di jalanan dia akan meneriakkannya dengan lantang, memberi tahu seseorang yang paling mengerti dirinya.

Akulah yang datang dalam mimpimu setiap malam dan memberi tahumu tentang “sepasang mata anjing biru”. Dan dia berkata kalau dia pergi ke sebuah restoran. Sebelum memesan dia berkata pada pelayan “sepasang mata anjing biru”. Tetapi pelayan itu hanya memberi hormat tanpa mengingat apakah kata-kata itu pernah ada dalam mimpi mereka. Dan dia akan menuliskannya di serbet dan menorehkannya di meja dengan pisau. Dan dia akan menuliskan dengan telunjuknya di mesin pembersih jendela hotel-hotel, di stasiun-stasiun, di gedung-gedung “sepasang mata anjing biru”.

Pernah di sebuah apotek dia mengenali aroma yang sama dengan aroma kamarnya pada malam setelah memimpi tentangku. “Dia pasti sudah dekat,” pikirnya, sambil melihat ubin yang bersih dan baru di apotek itu. Dia mendekati seorang pegawai dan berkata, “Aku selalu bermimpi tentang seorang lelaki yang berkata padaku tentang sepasang mata anjing biru.” Dia meminta pegawai itu melihat matanya dan pegawai itu berkata, “Sesungguhnya Nona, kau memiliki mata seperti itu.” Lalu dia berkata, “Aku harus menemukan lelaki dalam mimpiku itu.” Dan pegawai itu terkekeh dan menjauhinya. Dia tetap menatap ubin bersih yang juga wangi itu. Lalu dia membuka tasnya, di ubin itu dia tulis “sepasang mata anjing biru” dengan lipstiknya yang merah tua. Pegawai itu datang kembali dan menegurnya, “Nona, kau mengotori ubinnya.” Pegawai itu memberinya pakaian basah dan berkata, “Bersihkan.” Dia menjawab, sepanjang sore dia telah membersihkan ubin-ubin itu sambil berkata “sepasang mata anjing biru.” Hingga orang-orang berkerumun di pintu dan mengira dia gila.

Kini, di samping lampu, dia sedang menatapku. Aku ingat dia juga memandangku seperti itu pada masa lalu. Dari mimpi yang jauh ketika aku berputar di atas kursi dan menatap perempuan asing yang bermata abu-abu. Di mimpi itulah aku bertanya untuk kali pertama, “Siapakah kau?” Dan dia menjawab, “Aku tidak ingat.” Kukatakan padanya, “Tapi, kukira kita pernah bertemu sebelumnya.” Dengan acuk tak acuh dia berkata, “Kurasa aku pernah memimpikanmu, juga ruangan ini.” Kujawab, “Nah itu dia, aku mulai ingat sekarang.” Dan dia berkata, “Sungguh aneh, jelas kalau kita pernah bertemu di mimpi yang lain.”

Dia mengisap rokoknya dua kali. Aku masih berdiri, menghadap lampu, ketika tiba-tiba aku menatapnya. Kuamati dari atas sampai ke bawah dan dia masih saja kulihat seperti logam, tapi tidak lagi keras dan dingin, dia berwarna kuning, lembut, logam yang bisa dibentuk. “Aku ingin menyentuhmu,” kataku. Dan dia menjawab, “Kau akan menghancurkan semuanya.” Kujawab, “Itu bukan masalah lagi sekarang, yang harus kita lakukan adalah mengambil bantal dan bertemu kembali.” Belum sempat aku menyentuhnya, dia berkata,

“Mungkin jika kau ke sini, di belakang lampu ini, kita akan bangun ketakutan, siapa yang tahu ini bagian dunia yang mana.” Tapi aku memaksa, “Itu bukan masalah.” Dan dia menjawab, “Jika kita mengambil bantal, kita akan bertemu lagi. Tapi begitu bangun kau akan lupa.” Aku berjalan melewati sudut ruangan. Dia tetap di belakang, menghangatkan tangannya. Dan aku sudah tidak lagi di samping kursi ketika kudengar dia berkata di belakangku, “Ketika aku bangun tengah malam, aku tetap di tempat tidur, dan pinggiran bantal itu membakar lututku hingga subuh “sepasang mata anjing biru”.

Aku masih saja menghadap dinding. “Sudah subuh,” kataku tanpa melihat padanya. “Hal ini mengejutkanku, aku terbangun dan itu adalah waktu yang lama.” Aku berjalan menuju pintu. Ketika pegangan pintu sudah di tanganku, lagi-lagi aku mendengar suaranya, suara yang sama. “Jangan buka pintu itu,” katanya, “Jalanan itu dipenuhi mimpi-mimpi yang sulit.” “Bagaimana kau bisa tahu?” tanyaku. “Karena aku di sana beberapa saat yang lalu dan aku harus kembali ketika aku sadar kalau aku sedang tidur dalam hatiku.” Kubiarkan pintu itu setengah terbuka. Aku membukanya perlahan, angin dingin yang tipis membawa aroma tumbuhan dan ladang basah. Dia kembali bicara, kudengarkan saja sambil terus membuka pintu, melangkah diam-diam dan berkata padanya, “Kurasa tidak ada jalanan di luar sana.” Aku mencium aroma sebuah negeri. Dan dia pada jarak yang dekat berkata, “Aku mengetahuinya melebihi kau. Yang ada di luar sana adalah seorang perempuan yang bermimpi tentang sebuah negeri.” Dia mendekatkan bahunya di unggun dan kembali berkata, “Dia adalah seorang perempuan yang selalu memimpikan sebuah rumah di sebuah negeri dan dia tetap tidak bisa meninggalkan kota itu.” Aku ingat pernah melihat seorang perempuan di mimpi-mimpi yang lalu, tapi aku tahu, dengan pintu yang sedikit terbuka dan dalam waktu satu setengah jam aku harus ke bawah untuk sarapan dan berkata, “Aku harus meninggalkan tempat ini yang artinya aku harus bangun.”

Di luar angin menggelepar seketika lalu kembali tenang dan napas orang yang berkeluh kesah dalam tidurnya terdengar begitu jelas. Angin yang berembus dari ladang sudah tidak ada lagi. Tidak ada lagi aroma tumbuhan.
“Besok aku akan menemukanmu,” kataku. Aku akan mengenalimu di jalanan ketika kulihat perempuan menuliskan “sepasang mata anjing biru” di dinding-dinding. Dan dia, dengan senyum pahitnya, senyum yang menyerah pada kemungkinan, yang tak bisa diraih, berkata, “Nanti kau tidak akan mengingat apa pun di siang hari.” Dan dia meletakkan tangannya di lampu, kehadirannya ditutupi awan kesedihan. “Kau adalah lelaki lupa pada mimpi-mimpi setelah bangun dari tidurmu.” (*)




Gabriel Jose Garcia Marquez, lahir 6 Maret 1928 di kota Aracataca. Ia adalah seorang novelis, jurnalis, penerbit, dan aktivis politik Kolombia. Ia dianugerahi Penghargaan Nobel Sastra untuk bukunya Seratus Tahun Kesunyian pada 1982. Judul asli cerita ini adalah “Eyes of Blue Dog”. Cerpen ini diterjemahkan oleh Ramadhani.










Hikayat Demang Tuuk
Oleh 
Arman AZ







DIA datang menunggang ombak dari Batavia, tiga purnama menetap di Telukbetung, lalu ratusan kilometer menuju Lehan [1] dilahap dengan jalan kaki sendirian. Bukan hendak mengangkangi perniagaan lada hitam, kopi, atau damar; tapi merangkum segala hal yang berkaitan dengan bahasa kami.

Orang Belanda yang aneh. Beda fisik yang menujah mata membuatnya lekas dicireni warga Lehan. Badan gagah menjulang, pandangan sipit tajam serupa elang, dan rambut selalu disisir rapi. Dia mengubah sosok orang Belanda yang selama ini lekat menempel dalam benakku; bertopi putih bulat berujung runcing, baju mewah, jika berjalan dagu sedikit terangkat, mendongak congkak.

Dia menyewa rumah dekat Way Seputih [2]. Entah apa dalihnya memilih tinggal di Lehan. Barangkali tersebab pusat pemerintahan Hindia-Belanda pernah ada di sini sebelum pindah ke Telukbetung. Bersama seorang tetangga, aku jadi pembantunya. Tugasku menjaga rumah, menyalakan lampu di ujung petang, menebas semak agar rumah tak berpagar belukar, dan harus siap jika disuruh apa saja. Bukan tanpa menanggung risiko. Hari-hari pertama bekerja, sulit aku mendinginkan telinga yang panas diolok orang kampung.

Saya punya badan mestinya tak di sini, katanya dengan nada datar, saat kami bercakap kali pertama. Dia menceritakan sesuatu yang tak kumengerti tentang pemberontakan di Buleleng. Lantas, seorang kolega di Batavia mendukungnya agar menerima tugas di Lampung atas biaya pemerintah. Dia bekerja untuk—susah lidahku mengucap—Nederlandsch Bijbelgenootschap sebagai utusan bahasa. Utusan bahasa? Apa pula itu? Kaget aku mendengar kerjanya menerjemahkan dan mengurus penyebaran alkitab di semua koloni Belanda.

Barangkali melihatku salah tingkah dan pasang sikap curiga, buru-buru dia jelaskan bahwa dia lebih tertarik mempelajari bahasa ketimbang agama.

Meski dia tak bawa bedil, aku harus hati-hati. Banyak manusia serupa musang berbulu domba. Jangan sampai terjebak dalam perangkap. Jika teringat cerita-cerita yang pernah kudengar tentang kelicikan Belanda, aku siap menujah tubuhnya dengan badik yang selalu terselip di balik pinggang. Namun hasrat itu kalah dengan rasa penasaran terhadap sosoknya.

***

KAMI menyebutnya Demang Tuuk. Julukan “Demang” itu lebih sebagai gurau (campur ledekan) untuknya. Usianya sekitar empat puluhan. Dia suka jalan kaki ke mana-mana. Tak canggung membaur dengan orang pribumi. Pun tak ciut hati jika ada yang menatap sarat benci atau mengolok dari belakang punggung.

Usai mandi sore, biasanya Demang Tuuk menyusuri jalan setapak sepanjang Lehan. Bila ada yang menggoda perhatian, dia akan berhenti dan mencari tahu. Misalnya, bentuk rumah di kampung kami yang nyaris mirip. Kepalanya manggut-manggut mendengar penjelasan orang-orang perihal kenapa tempat tinggal kami berbentuk rumah panggung. Penuh rasa ingin tahu, dia juga bertanya tentang adat kami, legenda yang kami ingat, sikap kami terhadap suku-suku pendatang, pandangan kami terhadap agama, dan sebagainya.
Ini yang paling unik dari Demang Tuuk: dia doyan mengumpulkan kata-kata. Seperti gajah kehausan, dia habiskan waktunya untuk mempelajari bahasa dan dialek kami. Serupa pemetik lada dan kopi, tekun dia kumpulkan kata-kata, kemudian dicatat dan diterjemahkan. Di sini tidak ada kesusasteraan, keluhnya suatu ketika. Jadi dia mencari langsung dari mulut penduduk. Aku dan Bapak bergantian mengantar ke tempat tetua-tetua yang menyimpan tulisan yang terpahat di ruas-ruas bambu, kulit kerbau, atau kambing. Semangat sekali dia mengamati. Sebagian disalin ke dalam kertas yang selalu dibawa kemana dia pergi. Sebagai imbalan mengantar ke sana kemari, aku diajari menulis. Dia bilang, pena dan kertas bisa jadi senjata. Aku tak paham maksudnya. Sebentar saja aku belajar menulis. Bukan tersinggung karena caraku menggenggam pena membuatnya tertawa, tapi aku memang tak tertarik mempelajarinya.

Perlahan Demang Tuuk mendapat tempat di hati warga Lehan. Rumahnya terbuka untuk siapa saja. Banyak yang kaget, tak menyangka dia ulung bicara dalam bahasa Jawa, Batak, dan Melayu. Bila sedang riang hati, dia ajak tetangga bercakap-cakap. Sepotong demi sepotong kami ketahui kehidupan pribadi dan pekerjaannya. Dia lebih suka hidup sendirian di tempat baru. Di tempatnya makan gaji, dia seperti orang asing. Banyak kolega di Batavia dan Belanda tidak suka cara kerjanya. Mereka mencapnya kasar, tukang protes, tidak taat pada agama, dan tidak bermoral. Lucu juga mendengar gerutuan orang yang benci dengan negaranya sendiri. Kadang kami terkekeh mendengar cemoohnya terhadap kelakuan para pejabat dan kaum borjuis Belanda yang kerap buang waktu dengan main kartu atau cari hiburan lewat gadis-gadis pribumi.

Lain waktu, Demang Tuuk mengipas kebencian kami terhadap Belanda. Dia dedah penindasan Belanda yang berkongsi dengan pedagang-pedagang serakah. Hasil bumi kami laris manis di luar negeri. Lada hitam, kopi, damar, gambir, pinang, diborong dengan harga murah, lalu mereka jual dengan keuntungan berlipat-lipat di pasar dunia. Kalian orang pribumi sudah lama jadi kuli, jadi budak di kampung sendiri, atau pongah bila jadi amtenar, sindirnya. Sebagian kami yang mendengar sempat tersinggung. Namun setelah kupikir-pikir, benar juga apa yang diucapkan.

***

RUANG kerja Demang Tuuk di bagian tengah rumah. Hampir tiap malam dia menulis di bawah siraman cahaya lampu minyak tanah. Entah apa yang ditulis. Entah pula akan dialamatkan ke mana. Kalau sedang menulis, pantatnya berjam-jam menempel di kursi. Kadang hingga dini hari terlewati. Aku tak berani mengusik. Cukuplah tugasku menyalakan lampu minyak tanah di atas meja kerja. Jika dia minta diambilkan air minum, barulah kusahuti panggilannya.

Sesekali aku mengintipnya dari bilik kamar. Di sudut yang remang, ditemani lantun gerimis di luar rumah, bayangan tubuhnya menari-nari di lantai. Tangannya pulang-balik mencelupkan pena ke dalam botol tinta. Asap rokok mengepul-ngepul diembuskan ke sekeliling; menepis dingin selepas hujan atau mengusir nyamuk hutan yang merubung. Sesekali terdengar tepukan tangannya di kaki, lengan, dan leher; membunuh nyamuk yang kepingin mencicip darah Belanda.

Pernah aku berniat melihat catatan-catatan yang disimpan dalam laci dan koper, tapi kubuang jauh kehendak itu. Ingatannya lancip. Dia tahu posisi barang-barang miliknya ketika ditinggalkan terakhir kali.

***

AWAL Desember yang basah dan dingin. Untuk kali pertama aku melihat lelaki Belanda menangis. Sepanjang hari Demang Tuuk duduk termangu di depan rumah. Murung di wajahnya menandingi langit yang melulu mendung. Bagai hilang semangatnya untuk melakukan apa pun. Kertas-kertas berserak terlantar di meja. Kopi dan makanan disentuh. Telah kupahami tabiatnya. Bila dia berjalan mondar-mandir dengan kedua lengan terlipat di depan dada atau menjelma jadi patung, berarti ada hal penting tengah menggasing dalam pikirannya. Daripada mengumpan sepatah kata, lebih baik menyingkir. Jangan sampai dipergoki batang hidungku, apalagi sampai memantik amarahnya. Aku hanya bisa menerka-nerka, barangkali dia sedang disengat kesepian karena sudah terlalu lama jauh dari rumah.

Beberapa hari kemudian dia cerita. Ternyata sahabat karibnya, Engelmann, meninggal. Yang membuatnya lebih terpukul, kabar duka itu telat diterimanya. Usianya lebih mudah selusin tahun dari Demang Tuuk. Beberapa jam setelah bercerita, kupergoki dia berdiri mematung di tepi Way Seputih, memegang tongkat dari patahan dahan, menatap air sungai yang mengalir deras. Aku sempat cemas dia diseret buaya jadi-jadian penguasa sungai. Untunglah dia selamat, pulang ke rumah di ambang petang.

Sebagai orang yang belum pernah menyeberangi Andalas, terkurung dalam tempurung kampung, aku terpukau membayangkan tempat-tempat asing yang diceritakan Demang Tuuk. Mataku nanap mulutku nganga, membayangkan Surabaya, Padang, Batak, Belanda, Paris, atau London. Duduk di lantai rumah, tengadah mendengar kisah-kisahnya, seperti mendengar dongeng negeri-negeri antah berantah.

Demang Tuuk bilang cuma sedikit suku di Hindia Belanda yang punya aksara sendiri. Dia pernah bertugas di Batak dan menurutnya aksara kami mirip. Di sana, dia dipanggil Pan Dor Toek atau Raja Tuuk. Sambil mengaku sebagai orang Eropa pertama yang melihat Danau Toba, disodorkannya dua kitab tebal kepadaku. Dia bilang kitab itu adalah kamus bahasa Batak buatannya. Yang paling atas, Over Schrift en Uitspraak der Tobasche Taa [3], dicetak tiga belas tahun lalu di Amsterdam. Kabarnya kitab itu mendapat pujian dari lembaga dan kolega. Kitab di bawahnya, Tobasche Spraakkunst, eerste stuk [4], cetak ulang kitab pertama yang isinya telah diperbaiki dan lebih lengkap. Meneliti bahasa-bahasa asing dengan gaji minim adalah pekerjaan gila, celetuknya meletakkan kembali kedua kitab itu ke atas meja.

Menjelang akhir tahun, Demang Tuuk dapat warta gembira. Keinginannya tinggal lebih lama di Lampung direstui lembaganya. Dia belum bisa kembali ke Bali. Wabah kolera masih merebak di sana dan pemberontakan belum sepenuhnya reda. Saya punya waktu lebih banyak untuk belajar bahasa Lampung, katanya. Kalau tulisannya telah rampung, dia berniat membuat Kamus Bahasa Lampung. Dia memang sedang mengumpulkan dan membandingkan dialek Abung, Peminggir, Bumi Agung, dan Pubian, juga mencicil menerjemahkan ke dalam bahasa Belanda dan Melayu. Yang membuatnya risau, di Batavia dan Belanda tak ada mesin cetak untuk aksara kami. Aku cuma menghela napas. Dia jauh lebih pintar dan lebih maju. Wajar bisa melanglang dunia. Sementara aku warga kampung, hari-harinya habis di kebun dan sungai, hanya melongo sampai terkantuk-kantuk menyimak ceritanya.

***

PADA 1869 belum sampai enam purnama Demang Tuuk memutuskan melanjutkan perjalanan ke barat. Dia nampak kesulitan membawa koper dan tas kulit yang disampirkan di bahu kanan. Koper berat itu berisi buku, tumpukan kertas, alat tulis, dan beberapa potong pakaian. Layaknya tamu, dia pamit ketika hendak pergi. Usai sudah kerjaku. Tak ada lagi upah harian yang kuterima darinya. Bapakku memberinya sebilah badik. Bukan sebagai kenang-kenangan atau tanda terima kasih karena Demang Tuuk telah berbaik hati mempekerjakanku sebagai pembantunya, tapi untuk jaga diri di perjalanan.

Lewat percakapan dengan beberapa tetua kampung, beberapa hari menjelang pergi, dia bertanya tentang Krui, Muara Dua, Bengkulu, Rejang, dan kampung lain. Juga bertanya arah menuju Petrus Albertus dan Valkenoog, benteng Belanda pertama di Lampung yang dibangun lebih seabad silam untuk mengatur perdagangan hasil bumi. Barangkali dia hendak menyambangi tempat-tempat itu.

Orang yang nampak membenci kehidupan namun sesungguhnya baik hati itu telah pergi. Barangkali, seumur hidup, satu-satunya orang Belanda yang kukenal dekat hanyalah Demang Tuuk. Dia sanggup memilih hidup di Lehan; di tengah hutan yang sesekali terdengar aum harimau, di tepi sungai yang dihuni buaya, hanya untuk mendulang bahasa kami. Dia juga membuatku mengerti, tak semua orang Belanda datang untuk menanam benih benci dan dengki. Di balik tabiatnya yang kadang kasar penuh dendam, tersembunyi sikap yang tegas dan jujur. Harus kuakui juga nyalinya. Membayangkan dia jalan kaki sendirian; menyusur hutan, ladang, dan semak belukar, kuharap dia tak apes berpapasan dengan harimau.

Jauh hari setelah dia pergi, lewat sekelompok peniaga dari Muara Dua, aku mendapat warta tentang sosok seorang pria yang kuyakini dalam hati sebagai Demang Tuuk. Dalam perjalanan, mereka berpapasan dengan orang Belanda yang aneh (sebagian menyebutnya gila) dan banyak tanya. Karena sejak lama telanjur mencap Belanda sebagai penjajah licik, mereka mengelak, enggan meladeninya.

Demang Tuuk mungkin telah berjalan kaki kembali ke Telukbetung, menunggang ombak pulang ke Batavia, lalu melunasi niatnya ke Bali. Sebagai tuan rumah (juga pembantu), aku akan mengingatnya sebagai tamu sekaligus majikan yang baik. Meski sebentar saja menetap di Lehan, dalam tubuhnya telah mengeram sejarah tanah ini. Dia telah mencecap pedas lada, menyeruput kental kopi, melahap gurih ikan sungai, dan menghirup harum damar. Namun, entah bagaimana nasib tumpukan kertas berisi bahasa kami yang telah telaten dikumpulkannya. Semogalah keturunan-keturunanku kelak, bila tak jadi budak di kampung sendiri atau pongah sebagai amtenar, bernasib mujur bisa membaca kitab itu. (*)



Bandarlampung, Februari 2011



Catatan:
[1] Lehan kini dikenal dengan daerah Terbanggi, Kabupaten Lampung Tengah.
[2] Way Seputih, sungai besar di daerah Terbanggi.
[3] Over Schrift en Uitspraak der Tobasche Taal (Perihal Penulisan dan Pengucapan Bahasa Toba)
[4] Tobasche Spraakkunst, eerste stuk (Tata Bahasa Toba, Bagian Pertama)
[5] Sebagian cerita ini merujuk korespondensi Herman Neubronner van der Tuuk kepada NBG (Nederlandsch Bijbelgenootschap, Persekutuan Alkitab Belanda), buku Warisan Leluhur: Sastra Lama dan Aksara Batak, Uli Kozok, KPG 1999, esai Uli Kozok di Journal of Southeast Asian Studies, Vol 34 no. 2, Juni 2003
[6] 600 halaman kamus dan tata bahasa Lampung yang dikerjakan Van der Tuuk hingga kini tak pernah terlacak keberadaannya. Konon ada di Belanda.

 

 
  

 

Tidak ada komentar: