Cirakalasupta
Oleh
Nur Hadi
SEBENARNYA sudah sejak dari pertapaan Goharna aku melihat kejanggalan itu. Tentang siapa sebenarnya yang dianugerahi cirakalasupta oleh Sang Brahma. Meski awal mulanya aku sangat tidak menduganya karena lelaki itulah orang yang pertama kali mentertawakan permintaanku yang tak kusengaja.
“Kamu ini memang adikku yang paling lugu, Kumbakarna. Kenapa kau minta anugerah kesaktian untuk tidur? Cobalah pikir, apa faedahnya untukmu? Kalau hanya untuk tidur, siapa pun bisa melakukannya. Dan kalau pun kau menginginkan untuk tidur seribu tahun, aku bisa menjamin bahwa siapa pun takkan berani mengganggu tidurmu.”
Aku memang termangu-mangu saat menyadari ketololanku itu. Bagaimana aku bisa mengucap cirakalasupta untuk susah payahku selama sepuluh ribu tahun? Padahal sebelumnya aku sudah merencanakan permintaan seruntut mungkin.
Ketika aku menoleh ke Wibisana, adikku itu berkata dengan lembut seolah tahu dan ingin menenteramkan kegalauanku, “Kanda tak usah berpikir yang macam-macam atas apa yang sudah terjadi. Dewata tahu apa yang terbaik buat kita.”
Itulah adik bungsuku itu. Padahal aku ingin bercerita bahwa cirakalasupta benar-benar sebuah kecelakaan lidah. Seperti ada yang mengendalikan lidahku saat Sang Brahma menawarkan kemurahan untukku. Seperti ada yang tidak rela jika sesuatu yang telah kutanam dalam hati ingin kunyatakan. Tapi entahlah, mungkin Wibisana benar. Dewata tahu apa yang terbaik untukku.
***
HARI berjalan bulan, bulan berjalan tahun, aku masih bertanya-tanya tentang cirakalasupta. Jika aku sudah berpolah sepuluh hari, pasti aku akan tertidur minimal sepuluh hari. Jika aku bertahan membuka mata selama seratus hari, maka pasti cirakalasupta akan menebusnya minimal seratus hari pula. Apa yang dikehendaki Dewata sebenarnya? Apa salah kalau aku marah karena merasa telah dipermainkan?
“Kanda jangan berburuk sangka. Buruk sangka adalah awal segala keburukan,” nasihat Wibisana lagi ketika mendengar keluhku.
“Aku tidak berburuk sangka. Aku melihat berdasar kenyataan. Bukankah kau sudah melihatnya sendiri? Jadi apa aku sekarang ini?!”
“Kanda hanya belum bisa melihat sisi baiknya. Setiap keburukan pun selalu ada sisi baiknya.”
Baiklah, akan aku ceritakan peristiwa-peristiwa lain yang semakin menguatkan prasangkaku bahwa sebenarnya ada yang aneh dengan cirakalasupta itu….
Kakak sulungku, Dasamuka, adalah seorang raja pilih tanding yang memimpin Alengka. Negeri indah dan makmur, tapi selalu menjadi bahan pertikaian sesama keturunan Malyawan, Mali, dan Sumali (pendiri Alengka). Kakakku sendiri mendapatkannya setelah menggugat pergi Danaraja (saudara kami lain ibu). Namun rupanya Danaraja tidak ingin benar-benar pergi dari Alengka. Meski kemudian ia mendirikan kerajaan Lokapala di dermaga Mandakini dekat Gunung Kelasa, ia masih saja mengawasi Alengka.
Suatu ketika kakakku tak kuasa lagi menahan kejengkelannya terhadap Danaraja yang sering melontarkan kritikan. Oleh kakakku, surat terakhir yang dihaturkan Gohmuka dianggap sebagai tantangan perang. Tak puas meski telah membunuh Gohmuka, kakakku bahkan menyiapkan beribu-ribu pasukan untuk menggencet Lokapala agar Danaraja diam selama-lamanya.
Yang mula mencegah kakakku adalah Wibisana. Adikku bilang, itu bukanlah perang suci melainkan perang angkara. Adikku bahkan mengempesi semangat para prajurit bahwa jika sampai mereka gugur dalam peperangan ini, maka mereka mati sia-sia.
“Apa kau akan terus saja diam saat negerimu dihina orang lain? Kau selama ini hidup di mana?! Siapa yang selama ini menghidupimu?! Apa kau akan diam saja saat saudaramu dihina orang?!”
Kakakku seperti mengarahkan ribuan panah ke arahku. Ke kanan ke kiri salah, ke belakang salah, bahkan diam pun salah. Hanya ada jalan untuk maju. Maka dengan setengah hati aku ikut mengobrak-abrik Lokapala. Hanya dalam hitungan hari negeri kecil itu pun poranda.
Dan, semua musibah itu berlanjut kemudian. Sepulang dari perang, tiba-tiba saja dia sering bercerita tentang gadis cantik jelita titisan Dewi Sri, yang dia lihat tak sengaja saat menghancurkan Lokapala. Namanya Widawati, anak Begawan Wrehaspati. Sarpakenaka mengumpat-umpat saat kakakku cerita bahwa gadis itu telah menolak lamarannya. Dan yang semakin membuat kami termangu adalah putri cantik itu sampai meleburkan diri ke dalam api demi menolak keinginan kakak kami!
***
SETIAP kali kakakku bercerita tentang Widawati, saat itu juga kami merasa bahwa dia sedang tertidur dan mengigau. Ia tak pernah henti memikirkan gadis itu. Paman Prahasta yang prihatin dengan semua itu lantas berinisiatif mengajak kakakku menemui Begawan Maruta yang tersohor kewaskitaannya.
Oleh Begawan Maruta, mereka diberitahu bahwa Dewi Widawati akan dilahirkan kembali dalam tubuh empat putri jelita yaitu; Dewi Citrawati putri Prabu Citradarma raja Magada, Dewi Ragu putri Prabu Banatmaja raja Ayodya, Dewi Sinta putri Prabu Janaka raja Mantili, dan Dewi Sumbadra putri Prabu Basudewa raja Mandura. Namun keempat putri itu belum diketahui keberadaannya.
Berbilang tahun kemudian pencarian itu akhirnya menemukan muara. Terdengar kabar bahwa di Negeri Ayodya ada seorang putri jelita bernama Dewi Ragu. Kakakku yang kesepuluh kepalanya hanya berisi Dewi Widawati, segera terbangun dan menyiapkan ribuan bala tentaranya. Ternyata Dewi Ragu telah menjadi tunangan Begawan Rawatmaja. O, pantaslah kakakku mempersiapkan taringnya.
Kakakku akhirnya berhasil memboyong Dewi Ragu dengan cara paksa. Yah, Dewi Ragu berhasil diboyong setelah kakakku melangkahi mayat Prabu Banatmaja dan Begawan Rawatmaja. Ayodya poranda dalam sekejap mata.
Aku merasa, yang dirasa kakakku sebenarnya bukanlah cinta. Dan seperti yang sering diucapkan Wibisana, kurasa Kanda Rahwana memang sedang terbelit nafsu. Karena, beginilah yang terjadi selanjutnya. Dewi Ragu hanya berumur sehari di istana. Putri rupawan itu meninggal oleh suatu penyakit aneh yang bahkan tak tertangani para tabib istana. Ia marah besar atas semua kemalangan itu dan menimpakan semua kesalahan kepada para dewa. Sungguh tak kami sangka bahwa akhirnya kakakku segera menyiapkan beribu pasukan untuk membuat perhitungan ke Indraloka.
“Lelaki itu sedang tertidur,” ucap Wibisana.
“Tidur?” kening Paman Prahasta berkerut, bergantian menatap kami berdua. Mungkin dia teringat cirakalasupta yang menyungkupiku.
“Dan sekarang ia sedang bermimpi,” lanjut Wibisana. “Bayangkanlah jika raja kita sedang tertidur dan bermimpi di atas singgasananya. Negara kita jelas akan menemui kehancuran. Tugas kita adalah membangunkannya, Paman.”
“Cirakalasupta,” desis Paman Prahasta.
“Maksud Paman?”
“Tubuh cirakalasupta berada pada Kumbakarna, sedang ruhnya bersemayam pada kanda kalian,” lelaki sepuh itu menjelaskan. Aku masih tak mengerti. Kutatap Wibisana berharap ia mau berbaik hati menjelaskan.
“Aku masih belum mengerti, Paman?” ternyata Wibisana pun kesulitan menjangkau.
Terdengar helaan nafas Paman Prahasta, “Jika tubuh yang tertidur kita masih bisa membangunkannya. Tapi jika ruh,” kalimat itu seolah sengaja digantung.
“Apakah ini berarti akan ada musibah besar yang menimpa negeri kita, Paman? Akan ada guncangan hebat untuk membangunkan jiwa raja kita, Paman?”
Paman Prahasta ter diam.
“Tak adakah cara lain untuk membangunkan Kanda Rahwana, Paman?” Sepertinya Paman Prahasta mulai kehilang an selera meneruskan percakapan.
***
SEBENARNYA sudah sejak dari Pertapaan Goharna aku melihat kejanggalan itu. Kenapa aku bisa sampai mengucap cirakalasupta untuk imbalan tapa brataku. Sang Brahma seperti telah merencanakan sesuatu. Dan hari demi hari aku benar-benar terus berpikir tentang rahasia apa di balik semua ini?
Sampai masa kemudian datanglah Sang Avatara Wisnu-Rama Wijaya, satria dari Ayodya, yang menuntut pengembalian istrinya dari tangan kotor kakakku yang telah menculiknya. Yang mengejutkanku, ternyata satria muda ini adalah keturunan Dewi Ragu yang masih hidup dan telah dipersunting oleh Prabu Dasarata! Dewi Ragu yang dulu sempat diboyong oleh Kanda Rahwana ternyata adalah tipu muslihat Begawan Rawatmaja yang tak rela jika kekasih jiwanya direbut paksa.
“Kenapa para dewa tega membuat putaran nasib seperti ini?” tanyaku kepada satria muda itu, ketika kami bertemu tanding dalam laga yang tak terelakkan.
“Para dewa menginginkan ketentraman kahyangan,” wajahnya terlihat tenang. “Jika Sang Brahma tidak membantu mengalihkan mimpi kakakmu ke perempuan, maka singgasana kahyangan akan selalu guncang olehnya. Sejak kakakmu ingin meminta tak bisa mati oleh dewa, Brahma telah tahu bahwa ia telah dikuasai iblis.”
Aku tercenung memikirkan ucapan itu.
“Bagaimana? Apa kau masih ingin membela orang yang telah dikendalikan nafsu?”
“Aku berdiri di tempatku sekarang bukanlah tersebab membela kakakku. Aku berdiri di sini karena aku membentengi tanah kelahiranku yang hendak kalian kotori dengan darah peperangan.”
Satria muda itu tersenyum, “Kau seorang yang lurus. Niatmu benar, tapi niatku juga benar. Takdirlah yang telah mempertemukan agar kita melaksanakan peran masing-masing,” ia mulai kembali ke keadaan siaga.
Aku menatapnya tajam. Mungkin memang dialah yang diutus untuk membangunkan kakakku, sehingga Wibisana lebih memilih menyeberang kepadanya.
Tiba-tiba aku mendapatkan sebuah ilham, tentang cirakalasupta. Sepertinya itu adalah cara Brahma mengajariku sesuatu. Tapi masih ada satu hal yang hingga kini masih belum kumengerti, bagaimana cirakalasupta bisa terpecah pada kami berdua? Ataukah jangan-jangan cirakalasupta itu sebenarnya…. Mungkinkah Kanda Rahwana yang sebenarnya meminta cirakalasupta itu tanpa ia sadari sebelumnya? (*)
.
.
Kalinyamatan-Jepara, 2011
Nur Hadi lahir di Jepara, 1 Januari 1982. Karya-karyanya dimuat di beberapa media massa. Bukunya Sebuah Kata Rahasia, kumpulan cerpen pilihan Annida online diterbitkan SMG Publishing, 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar