S U M
Oleh
GM Sudarta
POHON kihujan itu masih kokoh tegak di sudut taman. Batangnya hampir dua pelukan orang dewasa. Daunnya masih rimbun meskipun beberapa dahan sudah rapuh. Di bawah pohon itulah sepuluh tahun lalu terdapat sebuah warung kopi, yang kini hanya tinggal bekas kulit batang bekas terbakar yang dulu mungkin tempat kompor minyak penjerang air. Masih terbayang jelas ingatanku akan pemilik warung yang berwajah bulat telur dan lesung pipitnya.
***
AKU mengenal dia di sebuah warung kopi kumuh itu, pada waktu masa muda. Setiap pulang kerja, aku kerap singgah di warung yang terletak di pinggir sudut taman di kawasan selatan Ibu Kota ini. Sebetulnya tidak lagi disebut taman sebagaimana taman yang ada di Jakarta ini. Lebih tepat disebut sebagai lahan pasar loak barang bekas apa saja, dari pakaian, radio, onderdil motor hingga barang pecah belah. Beberapa pohon angsana masih bisa untuk berteduh di sana-sini.
Adapun warung kopi itu pun tak juga bisa disebut warung melainkan bedeng dari beberapa lembar dinding bambu dipasang seadanya, ditopang kayu bangunan bekas dengan atap sisa-sisa seng gelombang, di bawah keteduhan pohon kihujan yang rindang.
Perlengkapan warung hanya sebuah cerek kaleng lumayan besar, wajan penggorengan, kompor minyak tanah yang sudah menghitam, rak kayu dengan gelas berjejer, dan bebarapa kaleng berisi susu, bubuk kopi dan teh, serta setumpuk bungkusan mi instant. Di meja selalu tersaji, kaleng kerupuk, pisang goreng, tahu pong, dan yang mambuat saya selalu ketagihan adalah tempe bacemnya.
Pemilik warung itu adalah seorang wanita setengah baya dengan sisa-sisa kecantikan yang masih tampak meskipun dipenuhi garis-garis wajah yang mencerminkan goresan kehidupan yang keras. Hanya sisa lesung pipit yang masih tampak segar, yang tak lepas setiap menyajikan kopi kepada pelanggannya.
Belakangan baru aku tahu namanya tanpa kutanya.
“Mas pasti asalnya sama dengan kota kelahiran saya, ya?” tanyanya suatu kali, seraya menyodorkan kopi dan sepiring mi instant rebus. Aku kaget, sampai sedikit tercekik mi rebus.
“Kok tahu?” tanyaku kembali tak acuh.
Kemudian dia duduk di sampingku.
“Sum tahu dari orang-orang pedagang barang bekas itu lho…,” ujarnya dengan menyebutkan namanya sendiri.
Kemudian setengah berbisik, “Mereka pernah melihat Mas di sana. Bahkan ada yang tahu mas lahir di sana.”
“Mas harus hati-hati,” tambahnya dengan mendekatkan wajah, “mereka curiga Mas adalah mata-mata pemerintah.”
Aku terhenyak, sampai tersedak, air kopi nyangkut di tenggorokan.
Memang aku sering merasa ada tatapan aneh mereka kepadaku, meskipun aku mencoba menegur sapa dengan tulus kepada mereka. Sementara ini aku mengira mereka adalah para tunawisma dan pemulung yang banyak bermukim di bantaran sungai atau rel kereta.
Dan aku menyenangi tempat ini untuk ngopi dan sekadar istirahat sebelum pulang ke pondokan. Karena tempat inilah yang aku rasa paling sesuai dengan tingkat kerjaku yang hanya sebagai pesuruh di sebuah kantor, meskipun aku juga pernah mengenal bangku kuliah selama setahun.
Kadang kala setiap aku berkunjung ke warung ini, dan melewati kios dan jajaran para pedagang, terpercik dalam ingatan masa kecilku ketika bertatapan dengan beberapa orang di antaranya. Adakah mereka ini yang pernah aku kenal atau teman sepermainanku waktu itu? Setelah dua puluh tahun lebih aku meningggalkan kota kelahiran, mungkinkah sudah menghapus ingatanku akan sisa-sisa wajah mereka?
Atau barang kali ada di antara mereka yang pernah tinggal di kampung yang bersebelahan dengan kampung tempat aku tinggal?
Dan wanita itu! Sengaja aku memperhatikan wajahnya dengan seksama. Ada sekilas profil wajahnya dari samping, hidung kecil agak mancung, bibir tipis dan dagunya agak lancip, seperti samar-samar meruak ke dalam ingatanku akan seseorang.
“Mas ingat Mbak Sum?” tanyanya tiba-tiba.
Ya Tuhan, aku terhenyak. Mungkinkah dia itu Mbak Sum, yang dalam ingatan masa remajaku, adalah kembang desa di kampung sebelah. Putri tunggal Pak Wignyo, pemain sandiwara srandul. Abangku yang waktu itu sudah dewasa selalu membicarakannya, sebagai bintang panggung setiap ada pasar malam di kotaku. Panggung terbuka di tengah alun-alun, selalu diadakan pertunjukan tari waktu itu. Dan Mbak Sum tampil sebagai Mbok Tani yang menari gemulai dengan tubuh sintal berkulit kuning langsat, dibungkus kebaya lurik ketat dan kain batik sebatas lutut, lengan kirinya memeluk bakul bambu kecil dan lengan kanannya yang berjari lentik berayun ke kanan kiri seakan sedang mencabuti tanaman genjer di pinggir sawah. Senyumnya yang berlesung pipit tak ketinggalan, selalu disambut meriah oleh para penonton.
Aku terbengong menatapnya lama. Di mata masa remajaku, dia wanita cantik bukan main.
Dia tersenyum, sambil katanya: “Ingat kan? Saya ingat sama Mas kok. Wajah Mas nggak berubah, mungkin waktu itu usia Mas baru tiga belas tahunan, dan saya perhatikan Mas suka tak berkedip menonton tarian saya, he-he….
“Ah, Mas, sebaiknya kita lupakan saja masa itu,” sambungnya dan wajahnya berubah sendu.
“Lalu Bang Ridwan?” tanyaku dengan agak tersipu, teringat suaminya, pemuda seberang, aktivis pergerakan pemuda, yang menikahinya dan membuat abangku patah hati.
Dia diam lama. Tak pelak aku tidak bertanya lagi. Kuhirup kopiku mengisi kebekuan suasana.
“Mas percaya pada nasib? Apa bedanya dari takdir?” tanyanya tiba-tiba.
Aku terkesima tak bisa menjawab.
“Sum ditakdirkan Tuhan jadi anak pemain sandiwara srandul. Masa kecil Sum tak lepas dari panggung sandiwara itu. Dan kemudian jadi penari. Apakah ini nasib?” tanya dia.
Rupanya pertanyaan itu tak memerlukan jawabanku.
“Nasib membawa Sum ketemu Bang Ridwan, sewaktu ada Kongres Pemuda. Sum menari dalam acara pembukaanya. Di belakang panggung Bang Ridwan menemui Sum dengan membawa impian, yang membuat Sum harus menyerah kepada nasib kalau ini dikatakan nasib, mengingat keluarga Sum hidup dalam amat sangat kekurangan…,” ujarnya dengan menunduk untuk menyembunyikan raut sedih.
Terbayang olehku betapa riuh waktu pesta pernikahannya. Bukan dengan pertunjukan tari atau musik gamelan, melainkan dipenuhi para pemuda berseragam hitam dengan syal merah di lehernya. Mereka menyanyikan lagu-lagu perjuangan yang sangat populer pada waktu itu. Di antaranya yang masih kuingat nyanyian “Nasakom Bersatu”.
Sejak itu memang Sum banyak meninggalkan desa bersama rombongan sandiwaranya, mengikuti suaminya ke berbegai kota. Sampai kemudian seluruh negeri terhenyak dengan siaran radio yang memperdengarkan pidato seorang perwira ABRI yang menyatakan kemenangan pergerakan revolusioner. Dan paginya, barisan besar orang muda dan juga yang masih anak-anak merajai jalan raya kota. Semua orang bertopi yang dibikin dari kertas bekas koran partai politik. Poster dan spanduk serta yel-yel kemenangan partai dan organisasi-organisasi pendukungnya diteriakkan dengan suka cita. Sekilas terlihat Sum muda di antara mereka, berjalan di barisan terdepan.
***
SEHABIS acara pernikahan itu, memang aku tak tahu lagi di mana si cantik Sum berada. Dan sekarang aku percaya pada kata dia tentang nasib. Nasib juga membawa aku bertemu dengan seorang wanita yang sejak dulu, sejak masa kecilku dengan mata lelaki kulihat sebagai seorang wanita dengan keindahan badani yang sempurna. Sisa kecantikan wajahnya masih tampak. Kulit kuning langsat, pinggang masih ramping dan dada masih penuh.
Rupanya dia merasakan apa yang aku pikirkan. Sambil membetulkan tali kutang yang tampak menyembul di leher kebaya, dia bertanya, “Mas sudah menikah?”
Aku tergagap dan menggeleng.
Tiba-tiba dia mendekat dan duduk di sampingku.
Napasnya menyentuh tengkukku. Tak bisa kutahan rasa gugupku.
Dia bergeser dan tersenyum, sambil menyodorkan sepiring tempe bacem, “Mas masih lapar? Nanti kubikinkan lag nasi goreng istimewa,” ujarnya.
Tiba-tiba terdengar suara berdehem dengan batuk kecil. Seorang lelaki sudah berumur tapi masih gagah hadir di depan warung.
“Ah, Bapak, kenapa lama nggak nengokin Sum?” sambut Sum tampak mesra, “Ini kenalkan tetanggaku di kampung dulu.”
Ia berkata sambil menunjuk diriku. Aku mengangguk dan tersenyum. Pria gagah itu sedikit mengangguk dengan sedikit senyum dan pandangan curiga. Sementara Sum menyuguhkan segelas kopi kepada tamunya itu, aku memutuskan untuk pamit meninggalkan warung.
***
KEMUDIAN lama juga aku tak berkunjung ke warung kopi Sum. Masih penuh pikiranku dengan tanda tanya siapa lelaki itu. Aku pun heran kenapa ada rasa sedikit cemburu pada diriku. Sampai kemudian saat kontrak kerjaku sudah habis, dan setelah merasa sulit cari kerja di kota besar ini, aku berkeinginan pulang kampung dulu. Suatu malam aku sengaja nengok warung istimewa itu. Seorang lelaki setengah baya menyusul langkahku sebelum mencapai warung Sum yang hanya diterangi lampu teplok.
“Mas, aku tahu siapa Mas. Tetangga Mas waktu mas masih kecil,” ujarnya setengah berbisik, “Hati-hati, Mas, dia seperti kami, para pedagang yang mangkal di sini. Waktu ditangkap diselamatkan oleh seorang aparat dan dia jadi wanita simpanannya.”
Aku terhenyak sebentar.
“Disembunyikan di sini,” sambungnya sambil berlalu.
Di depan Sum setelah kuutarakan niatku akan pulang kampung, dia terdiam sambil menatap lama. Ada sesuatu yang seperti kabut di matanya. Aku juga. Kami banyak diam. Kenikmatan tempe bacem sambil menghirup kopi terasa hambar.
“Sum tahu, Mas sudah dengar tentang Sum. Itulah nasib dan takdir Sum sebagai penari. Hidup dari menari!
Takdir mempertemukan Sum dengan seorang lelaki yang kemudian jadi suami, tanpa Sum tahu apa itu politik.
Tanpa Sum mengerti kenapa terjadi petaka seperti itu. Padahal Sum hanya menari dalam banyak acara yang diselenggarakan oleh Bang Ridwan. Sungguh, Mas, Sum tidak mengerti, kenapa setiap ada acara pertemuan dengan massa, aku sedikit cemas. Pasti Bang Ridwan berpidato berapi-api untuk minta buruh tani dipersenjatai. Sungguh, Mas, itu tidak masuk nalarku,” ujarnya memecah kebekuan.
Tanpa henti, meskipun terlihat air bening mengembang di matanya.
“Suatu malam Bang Ridwan menyuruh Sum lari dari rumah. ‘Untuk cari selamat masing-masing,’ katanya.
Sementara Sum bingung, Bang Ridwan sudah lari pada malam yang gelap. Tak lama kemudian serombongan orang berlari-lari dan berteriak teriak, ‘Kejar, kejar!’ sambil mengumandangkan kebesaran Tuhan. Dari clurit dan pedang yang mereka bawa, tak bisa berpikir panjang lagi, Sum harus melarikan diri.”
Wanita itu diam sejenak sambil menghapus mata. Aku bungkam terkesima.
“Sum lari tanpa henti menembus hutan jati dan kebun tebu. Sum akhirnya terbawa kereta barang, karena malam itu aku sembunyi di dalam gerbong kosong di stasiun. Di dalam gerbong aku terlelap sejenak, meski selalu dihantui mimpi tentang Bang Ridwan yang terpancung lehernya.
“Sampai sekarang Sum tidak tahu nasibnya…. Dan petaka pertama datang di stasiun pemberhentian berikutnya. Dua lelaki ikut menumpang. Mas bisa bayangkan apa yang terjadi kemudian? Dalam malam yang gelap mereka mendekat dengan menyeringai. Kalau Sum kuasa, pasti lebih baik melompat saja dari kereta yang sedang berjalan cepat!”
Sejenak Sum berhenti, menghela napas dalam-dalam.
“Mas bosan dengar kisahku?”
Aku menggeleng.
“Ya begitu mas nasib Sum, dengan menumpang truk akhirnya sampai di Jakarta ini. Dalam kondisi badan dan pakaian tak keruan, seorang tukang ojek sepeda mau mengantar Sum ke tempat tinggal kerabat orang tua Sum di daerah pinggiran Jakarta Utara. Tapi tampaknya mereka keberatan kalau aku tinggal di sana. Takut terlibat, kata mereka.
“Dari merekalah akhirnya Sum tahu apa yang sebenarnya terjadi tentang partai terlarang. Sum mohon bisa menginap semalam saja karena kelelahan. Mereka tidak menjawab. Tidak tahu siapa yang melapor. Pada pagi buta beberapa aparat datang membawa Sum dan kerabat orang tua Sum. Sampai sekarang pun aku tidak tahu kabar mereka.”
Untuk menahan perasaan kasihan di hati, aku menghirup kopi panas dan menyalakan rokok sambil tak lepas memandangnya.
“Sum kira akan dimasukkan ke rumah penjara, melainkan dengan mata tertutup aku diseret, benar-benar diseret ke sebuah rumah besar. Di dalamnya sudah ada beberapa perempuan dan banyak lelaki. Rupanya mereka juga tahanan. Rasanya tak kuasa Sum mengenang saat itu. Kami para perempuan dipaksa lepas pakaian dengan ditendang dan ditampar, kalau menolak. Dengan tanpa pakaian selembar benang pun kami dipaksa menari di depan para lelaki tahanan.”
Sum membungkuk sambil menutup muka dengan kedua telapak tangan.
Ah, hal itu mungkin yang aku dengar dan menjadi berita menghebohkan dengan sebutan Tari Harum Bunga yang disiarkan ke berbagai media pada saat pembantaian para jenderal terjadi di sebuah hutan karet di sebelah selatan Ibu Kota.
“Benar, Mas, ini yang namanya takdir,” Sum melanjutkan tanpa membuka kedua tangan yang basah di wajahnya, “Nasib tidak akan bisa berubah karena keadaan. Sum hanya menyerah kepada nasib, meskipun kadang terbetik niat Sum mau bunuh diri. Karena nasib Sum berlanjut seperti WTS yang harus selalu siap melayani para aparat dengan ancaman senjata. Sampai kemudian ada petugas yang kasihan. Sum dilarikan dengan janji akan menyelamatkan Sum. Semula ditaruh di kompleks pelacuran terkenal yang terletak di pinggir rel kereta. Dan akhirnya di sini. Takdir Sum akhirnya sebagai sekadar gula-gula.”
Sampai menjelang tengah malam, kami hanya berbicara penuh makna lewat pandangan mata saja. Kemudian kami meninggalkan warung setelah mematikan lampu teplok dan menutup pintu. Kami jalan bersama keluar taman, menuju pinggir jalan besar. Meskipun kami harus pulang ke arah yang berlawanan, tapi aku tidak mengerti, kenapa rasanya terlalu berat untuk melangkah pergi. Dari tatapan matanya berkali-kali kepadaku, rupanya Sum juga merasa demikian. Begitu sebuah bajaj menghampiri, seperti digerakkan sebuah kekuatan yang tak kuasa kami tolak, langsung kami duduk bersama di dalamnya. Dalam kendaraan, kami masih saling terdiam menikmati rasa hati masing-masing. Setelah melewati gang-gang sempit di daerah pinggiran Jakarta selatan, kami sampai di pondokannya, sebuah rumah petak di bantaran sungai.
Esoknya, saat menjelang subuh, dengan rasa berat, kaki melangkah menuju terminal bus yang akan membawaku pulang kampung dengan keringat Sum yang terasa masih melekat di bajuku. (*)
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar