Kamis, 17 November 2011

CERPEN SUARA MERDEKA



P a r t i t u r
Oleh
Benny Arnas










AKU tak habis pikir, bagaimana mungkin kalian mengeluarkan penyanyi berbakat itu dari trio! Seolah-seolah dengan membuangku belum cukup untuk memuaskan keserakahan, kalian libas pula murid kesayanganku! Yang membuatku makin sakit hati adalah, seorang banci panggung yang menggantikan posisinya adalah anak orang superberduit! Tunggu! Tunggulah pembalasanku! Aku takkan membiarkan kalian memperlakukanku seolah membuang ampas tebu. Pun aku takkan pernah rela komposisi a capella yang kutulis selama dua tahun itu kalian curi!

***

AWALNYA, kupikir dengan masuknya orang baru itu, musikalitas kalian akan lebih baik, ternyata tidak! Beberapa penampilan yang kutonton diam-diam, justru menunjukkan kalian jalan di tempat. Kalian masih bernyanyi di C Mayor. Untuk nada dasar yang paling jamak dipakai itu pun, kalian harus membidiknya dengan meniup pitchpipe, pembunyi nada dasar, terlebih dahulu! Itu makin menegaskan bahwa kalian masih terlalu amatir dibanding Sang Guru.

Aku pun yakin, kalian tak akan menyadari keberadaanku di antara tamu-tamu yang mengkhidmati penampilan kalian malam nanti. Mungkin, mereka hanya belum terbiasa dengan a capella, hingga takjub; bagaimana mungkin pita suara dapat mengeluarkan bunyi bas yang ritmik, keteraturan yang estetik? Namun, kupikir rencanaku jauh lebih teratur, jauh lebih indah, bila disandingkan dengan dentuman bass yang memang harus kuakui dibunyikan oleh seseorang dengan timbre, warna suara yang lumayan kuat. Lalu, bagaimana bisa kalian mengajak seseorang yang tidak mampu menstabilkan vibra ke dalam trio?! Yang paling mengejutkanku adalah, orang baru itu juga dibenci orang lain! Setidak-tidaknya oleh seseorang yang meneleponku satu minggu yang lalu. Entah bagaimana perseteruan kita terendus, ia memintaku mencelakai orang baru itu pada malam pertunjukan—yang kalian klaim—terakbar minggu depan.

Tunggu dulu! Aku tak picik sebagaimana mereka yang berniat jahat kebanyakan (yang begitu gembira ketika mendapat bantuan dan diberi kemudahan). Ya, walaupun ia terus menghubungiku umpama ornamen cannon, kejar-kejaran antara ornamentasi backing vocal dengan lead vocal dalam sebuah komposisi panjang…, namun aku selalu mengabaikannya seperti berimprovisasi di tengah komposisi klasik yang taat partitur. Hahaha, tentu saja, panggung konser akan diserakkan botol air mineral dan sepatu para penonton….

Bukan! Semua itu kulakukan bukan karena aku masih menyayangi kalian (hueekkkhh!), tapi karena aku tak ingin rencana balas dendamku disusupi kepentingan orang lain. Ya, aku menolak ajakan, atau lebih tepatnya, menolak tawarannya (tawaran dengan sejumlah uang yang menggiurkan). Dan… apabila mereka pikir, penolakan itu berarti mengacuhkan pengkhianatan kalian, ia salah besar!

***

AKU telah mendatangi hall yang tak terlalu luas ini siang tadi, beberapa saat setelah gladi resik untuk penampilan lepas makan malam nanti. Ah, para penjaga hall ini sangat Indonesia, rupanya. Mereka mengerti rupiah sebagaimana dilenakan “Terajana” ketika para calon—yang katanya akan menjadi-wakil rakyat berkoar-koar perihal janji—yang sesiapa pun tahu itu pasti-palsu! Setelah mengatakan bahwa aku adalah teknisi sound system lalu mengeluarkan beberapa lembar seratus ribu dari dompet, mereka mempersilakanku ke belakang panggung. Walaupun, beberapa saat setelah itu, seorang lelaki dengan syal di leher buru-buru menghampiriku. Hampir saja jantungku copot karena merasa rencanaku terendus.

Ia tersenyum. Ah, senyum yang membuatku lega; bahwa ia tak tahu apa-apa tentang yang akan kuperbuat.
Maaf, katanya. Anda pasti mengerti partitur, ‘kan? lanjutnya seraya membuka gulungan kertas di tangan kiri.
Aku mengangguk serta-merta. Bukan, bukan karena ia bertanya kepada orang yang tepat. Tapi karena aku gugup. Jangan-jangan ia tahu kalau akulah yang mengumpulkan kalian bertiga dalam sebuah grup; akulah yang mengenalkan betapa pentingnya pemahaman tentang not balok dalam mengaransmen ulang sebuah karya; akulah yang mengajarkan betapa penting groove, ruh sebuah lagu; akulah yang mengenalkan head-voice sebagai teknik pamungkas untuk memproduksi suara pada nada yang melampaui oktaf normal; akulah yang tak bosan-bosan mewantiwanti agar jangan selalu terpaku pada pembagian suara do-mi-sol dalam bernyanyi bersama; akulah yang paling bawel bila salah satu dari kalian berimprovisasi sebelum refrain pertama dirampungkan, akulah yang kerap protes bila nada miring terlalu banyak digunakan (termasuk di bagian penutup yang kerap menjadi penanda sebuah komposisi berkualifikasi high-end)….

Menurut Anda, apakah ending komposisi ini tidak terlalu biasa? Ia seolah membuyarkan pengembaraan pikiranku. Ia menunjuk sederetan not balok di lembar terakhir partitur.

Aku tersenyum. Aku mengikuti telunjuknya. Mataku bertabrakan dengan angka 1-3-5, do-mi-sol, di akhir komposisi. Bukan, bukan karena aku gembira mendapati selera musik kami yang sama, tapi karena aku langsung terbayang seperti apa seharusnya kutelikung nasib kalian malam ini.
Hmm, maaf, memangnya Anda siapa? Aku balas menatapnya.

Ia seperti terkesiap.

Maksudku, apa kepentingan Anda dengan komposisi ini?

Aku hanya seorang undangan, katanya dengan senyum simpul. Aku seorang dosen musik di sebuah universitas. Ia menyebut nama sebuah kampus seni terkemuka di Ibu Kota, sebelum mengutarakan pendapatnya (ia memang pandai memancingku berpendapat): Menurutku, metronom komposisi ini seharusnya pianissimo, lambat. Bukan pianissisimo, sangat lambat seperti ini….

Tunggu dulu! Kenapa kau bertanya kepadaku? Tiba-tiba aku merasa ada yang aneh. Kenapa, tak bolehkah? Ia mengangkat kedua bahunya. Apa karena kau hanya seorang teknisi sound system, ia kembali terkekeh.
Aku mengangkat alis seraya sedikit menggerakkan kepalaku.

Kadang-kadang, seorang sepertimu ternyata memiliki musikalitas yang tinggi…, nada suaranya sangat pelan, lirih, seolah-olah bibirnya berada dua sentimeter dari daun telingaku.

Bagaimana kau yakin?

Pengalaman, sigap ia menjawab. Aku juga melatih grup vokal di kampus. Aku meminta bantuan seorang teknisi yang selama ini mengurusi sound system di semacam sanggar di kampus itu….

Dan musikalitasnya bagus? Potongku tak sabaran.

Ya. Bahkan ia yang paling mengerti tentang power, desibel, partitur miring…. dibandingkan anak-anak didikku.

O ya? Aku mengernyitkan dahi.

Ia mengangguk cepat.

1-3-5-6,5-2,5, jawabku cepat seolah hendak menguji kepekaan musikalitasnya.

Do-mi-sol-le-re? Ah, dia berhasil membaca accord —paduan minimal tiga nada yang membentuk harmoni. 

Estetik, ‘kan? Kucoba meyakinkannya.

Accord miring yang mengerikan!

Sangat mengerikan, timpalku lirih seraya meninggalkannya ke belakang panggung. Di belakangku, aku yakin, ia bersegera mengambil pulpen dan menambahkan dua not miring di akhir partitur.

***

MALAM merangkak. Sebagaimana komposisi dengan tempo pianissisimo yang akan dibawakan, aku akan mengatur mikrofon kalian dengan echo yang sedikit lebih tebal. Ini akan memberi nuansa klasik yang kelam. Ah, klasik memang berkarib dengan ketukan yang mellow, sebagaimana kenangan memang akrab dengan air mata. Dan malam ini, orang-orang akan menyaksikan bahwa air mata itu bukan hanya menyeruak dari mata para penonton yang menyaksikan pertunjukan a capella…. Air mata itu akan mengalir dari mata-mata kekasih, kakak-adik, dan terutama orangtua kalian! Ah, mereka memang tak tahu apa-apa tentang hukuman buat para pendusta yang mengalunkan lagu cinta!

Makan malam dimulai. Kalian berkerumun di salah satu sudut seolah threesome yang tengah melepas rindu. Sesekali kalian mengangkat gelas bertangkai itu, lalu mendekatkannya satu sama lain hingga menghasilkan suara gelas beradu. Sesekali tawa kalian pecah. Aku tahu, kalian sangat berharap akan ada satu atau dua orang yang menghampiri. Lalu orang itu berseru girang karena bertemu dengan trio yang sudah digadang-gadang akan memainkan lagu sendiri. Taik kucing!

Ternyata laki-laki yang menemuiku sore tadi, ada di antara para tamu. Ia mengambil tempat duduk dekat meja bundar di sebelah kanan panggung. Ah, bagaimana bisa matanya seolah tak membiarkanku bergerak leluasa. O, jangan-jangan, jangan-jangan…. Kualihkan wajah, aku menghadap ke belakang. Keringat dingin mulai tumbuh satu-satu. Aku merasa kemeja yang kukenakan sangat menyiksaku. Aku seolah ikan asin yang dibalut puluhan lapis tisu….

Pembawa acara sudah meminta para hadirin yang masih berada di ruangan standing party agar segera memasuki ruang pertunjukan. Aku memutar kepala, dan… ups! Akhirnya aku bisa bernapas lega. Dosen undangan itu tak ada lagi. Awalnya mataku mencari-carinya di antara kerumunan penonton, tapi tak kutemui …ah, sudahlah!

Kalian naik pentas. Mengambil tiga mikrofon yang kuletakkan di salah satu sisi pentas. Kalian menyapa para hadirin. Kalian mengucapkan salam, lalu berbasa-basi perihal kegembiraan telah dilibatkan dalam perhelatan akbar malam itu. Ya, siapa yang tak bangga menjadi bagian acara syukuran pejabat yang baru saja dilantik menjadi menteri. Konon, selera seninya sangat tinggi. Ia mahir memainkan flute, sitar, saksofon, dan akordion. Namun hal yang paling seru adalah, ia adalah pejabat yang paling banyak dibincangkan saat ini. Ialah yang membuka kasus korupsi menteri yang ia gantikan. Walaupun, dalam beberapa forum, ia menyatakan bahwa itu adalah wewenang presiden, namun tak pelak, ia dianggap sengaja membuka aib orang demi posisi yang kini ia tempati. Ah, itu bukan urusanku. Walaupun dapat saja, rencanaku ini selaras dengan apa yang tengah berkecamuk di benak mantan menteri itu…, tapi aku tak peduli! Rencanaku adalah murni atas dasar dendam yang menyala-nyala!

Seperti yang kuduga, salah satu dari kalian meniup pitchpipe beberapa saat ketika tepuk tangan para tamu mereda. Kalian membawakan komposisiku, lagu yang membawa kalian menjuarai sebuah festival a capella di 
Oslo enam bulan lalu!

Kalian membawakannya dengan penuh penghayatan. Jujur, aku kagum pada accord yang kalian hasilkan. Sangat bulat dan padat.  Hebatnya, kalian menjadikan suara chopstain, semacam suara falseto, sebagai suara satunya. Kalian membuat pecahan suara di bawah nada dasar: Sol dan mi yang diturunkan satu oktaf. Menjura! Kuatur equalizer demi memastikan bahwa harmoni yang kalian produksi benar-benar jernih. Dan… hampir saja aku melupakan rencanaku sebelum seseorang menyentuh pundakku. Aku menoleh. Aku terkesiap. Dosen undangan tadi sudah berdiri di belakangku.

Mikrofon mana yang akan menyentrum anak Pak Menteri? Bisiknya tepat di telinga kiriku.
Aku meneguk liur. Oh… bagaimana bisa? Wajahku memias. Baru saja hendak kupastikan siapa dia sebenarnya, lidahku tiba-tiba kelu ketika menyadari kepala pistol sudah ia tempelkan di pinggangku.

A-apa maksudmu? Anak Pak Menteri? Anak Pak Menteri yang mana? A-a-aku t-t-tak mengerti …. 

Sungguh, aku benar-benar gugup.

Kau gila! Matanya membelalak sempurna. Ia menunjuk pentas. Orang baru itu! Damn! Ternyata, kalian memang licik! Menangguk keuntungan dari seorang anak pejabat demi ambisi pribadi atas nama trio yang kurintis. Dadaku megap-megap!

Kalian baru saja menyelesaikan refrain pertama dengan cannon yang sempurna.

Kutarik napas dalam-dalam. Kulepas dalam satu helaan. Kubalas membelalak. Aku tak peduli! Anak Pak Menteri atau bukan, aku akan mencelakai mereka bertiga! Lagi pula apa urusanmu, Pak Dosen Seni yang Terhormat?! Jantungku berdegup tergesa-gesa. Entah bagaimana aku jadi senekat ini, seolah tak memedulikan pelatuk senjata yang tengah ia todongkan itu, dapat ditarik kapan pun ia mau. Ah, brengsek! Bagaimana aku kecolongan seperti ini! Ternyata tindak-tandukku telah diawasi oleh lelaki sialan ini! Aku yakin dialah yang meneleponku beberapa hari yang lalu. Sial!

Kalian telah sampai verse kedua….

Pentas gaduh! Sebagaimana telah kuatur sebelumnya. Kabel telanjang di ujung mikrofon akan tersambung sendirinya dengan arus equalizer ini, tepat ketika lagu telah memasuki menit kedua lewat dua puluh enam detik, kalian terjerembab dengan mikrofon masih di genggaman. Tubuh kalian kejang-kejang seperti orang ayan. Beberapa panitia mendekat namun tak berani menyentuh. Aku tersenyum dalam hati. Dengan sikap jumawa, aku melangkah mundur seolah tak terjadi apa-apa. Satu, dua, tiga. Kuputar badan ke arah toilet yang berdekatan dengan pintu keluar belakang hall. Selamat tinggal, para pengkhianat!

Dooorrr!!!

Bukan, bukan bunyi tembakan! Aku seolah mendengarkan do-mi-sol-le-re, accord miring yang paling miris, dibunyikan tiba-tiba. Sungguh, paduan yang sempurna! Kelam mencekam! Teriakan di sana-sini. Hall gaduh. Aku sudah bisa membayangkan kepanikan orang-orang di dalam ruangan. Dosen Seni itu pasti berhasil menyarangkan sebutir timah panas ke kepala Pak Menteri….

Dooorrr!!!

Aku makin terbahak-bahak. Entah, di bagian tubuh Pak Menteri mana lagi yang menjadi sasarannya! Benar-benar kematian yang musikal!

O o. O o. Aku terkejut mendapati kerumunan orang itu. Ya, mereka seolah hendak menyerbuku. Keparat! Mereka benar-benar menyerbuku. Bagaimana mereka bisa tahu rencanaku?! O tidak! Bagaimana mereka menjadi sangat bodoh seperti ini. Lihat! Aku tidak memegang pistol! Bukan aku yang menembak Pak Menteri! Bukan aku! Ah, dasar tolol! Lihat, Dosen Seni yang ada di dekat kalianlah yang melakukannya.
Ooo, alih-alih memedulikan teriakanku, mereka malah bernyanyi dalam komposisi yang mengeriapkan bulu kuduk. Mereka terus menuju ke arahku. Mereka menerobos saja Dosen Seni itu seolah tubuhnya tembus pandang. Kini mereka mengerumuniku, mendesakku, seraya tetap bernyanyi di accord do-mi-sol-le-re yang mematikan! Aku menutup kedua telinga! Aku meraung-raung. Tiba-tiba aku merasa kesakitan yang sangat di beberapa bagian tubuh. Aku jatuh, terjerembab. Mereka meraba-raba tubuhku. Meraba kakiku, ah! Meraba perutku, ah! Tangan-tangan mereka berlumuran darah.
Darah luka, sepertinya.

Luka tembakan, lebih tepatnya. (*)
 .
.

Lubuklinggau, 12-15 Juni 2011









Kitab Hikayat Orang-orang yang Berjalan di Atas Air
Oleh
M Harya Ramdhoni









KITAB itu ternyata ada dan bukan isapan jempol belaka. Dan nenek moyangnya tak sepuritan yang ia kira.

“Tak ada ajaran kebatinan yang murni dan suci bersih di dunia kuno. Semua berawal dan berakhir dengan percampuran keyakinan dan gagasan, sinkretisme yang terbuka dan terang-terangan,” hujah Profesor Syukri Mohamad Yeoh empat tahun silam.

Kata-kata pembimbingnya di Program Master Manuskrip Melayu Kuno di Institut Peradaban Melayu, Universitas Kebangsaan Malaysia itu seolah mengejeknya.

Empat tahun lalu Dr. Erik Liber Sonata menolak tawaran lelaki keturunan China itu untuk meneruskan Ph.D Kajian Manuskrip Melayu Kuno di University of London. Kitab langka bernama Hikayat Orang-orang yang Berjalan di Atas Air bakal menjadi kajian disertasinya. Sebuah bea siswa menggiurkan pun sedang menanti.

“Kitab itu masih duduk dengan anggunnya di Perpustakaan School of Oriental and Africa Studies University of London menunggu kebajikan hati anak kandung Sekala Brak sepertimu untuk meneliti.”
Erik tak peduli dengan semua omong kosong kegaiban Sekala Brak. Ia hendak tuntaskan ambisinya lamanya. Melanjutkan studi doktoral dalam Hukum Adat Lampung Sai Batin, peradaban muasal ibunya, di Universitas van Amsterdam. Sesuai pula dengan gelar sarjana hukum dan master hukum adat yang ia raih dari Universitas Indonesia.

Itu terjadi empat tahun yang lalu kala rasionalitasnya tengah masyuk bersekutu dengan egoisme intelektualnya. Empat tahun berlalu segalanya pun berubah dengan cepat. Segala logika rasional yang memadat kini malah larut dalam udara.

***

KITAB Hikayat Orang-orang yang Berjalan di Atas Air mengandung lima unsur kunci yang dapat diringkaskan dalam sebuah kalimat: Kepasrahan kepada Allah Semata. Di kitab yang ditulis dengan menggunakan huruf Lampung kuno itu terlihat mantra-mantra percampuran ayat-ayat Alquran dan ajaran 

Sekala Brak lama.

Nenek moyangnya tak sepuritan yang ia duga.

“Seperti inikah dunia lama yang tak kupahami?” desis Erik sambil membacai fotokopi kitab itu yang dibawa dari London.

Kitab purba itu ditulis di atas kulit kayu. Ia begitu terpelihara di sana, persis seperti yang digambarkan Professor Syukri kepadanya. Kitab Hikayat Orang-orang yang Berjalan di Atas Air disimpan dalam ruang berpendingin yang menjamin pemeliharaan atas dirinya. Agar kitab yang telah rapuh dimakan usia itu tak tersentuh tangan manusia, pihak Universitas London membuatnya dalam versi microfilm. Foto kopi dari versi itu yang kini tengah dibaca oleh Erik dengan teliti. Sementara kitab aslinya masih seperti 900 tahun yang lalu, mencandra bau kulit kayu yang begitu purba dan tak lazim.

“Mohon maaf bila perjalanan menuju Liwa kurang menyenangkan, Atin. [1] Jalan raya menuju Liwa rusak parah. Maklum, pilkada bupati masih setahun lagi. Biasanya bupati yang sedang berkuasa akan segera memperbaiki jalan yang rusak beberapa bulan menjelang pemilihan bupati dilakukan. Biasalah, kampanye terselubung.”

“Ah, ya tak apa Jamauddin….”

Erik dikagetkan oleh sapaan ramah sepupunya di belakang kemudi. Lelaki yang usianya hampir sebaya dengannya itu yang menjemputnya di Bandara Raden Intan tadi siang. Tanpa beristirahat mereka langsung tancap gas menuju dataran tinggi Liwa di Lampung Barat. Seolah tak ingin ditinggalkan waktu yang enggan berhenti. Setelah saling bertukar senyum dan berbasa-basi, Erik yang duduk di bangku tengah kembali tenggelam dalam lembar demi lembar fotokopi Kitab Hikayat Orang-orang yang Berjalan di Atas Air. Ia seolah tak perduli dengan apa pun termasuk begitu buruknya jalan raya menuju kampung halaman ibunya di Liwa. Kedatangannya ke sana hanya untuk mencari pembenaran perihal kitab kuno itu dari mulut para tetua adat Sai Batin Paksi Buay Lapah di Way di Kembahang.

“Benarkah kitab itu betul-betul ditulis oleh Umpu Lapah di Way? Ataukah jangan-jangan ia hanya buatan oknum pujangga pada masa lalu?” Itulah persoalan besar yang menggelayuti pikiran sehat sang doktor muda. 

Hingga tiba pada halaman terakhir yang meringkaskan kepasrahan total kepada Allah Ta’ala, Erik pun tersentak. Kitab itu tak tuntas diselamatkan. Ada halaman lain yang tak sempat dibawa pergi oleh pemerintah kolonial Inggris ke London.

“Masih ada bagian-bagian lain yang hilang atau sengaja dihilangkan?”

Belum habis Erik terkejut dengan ucapannya sendiri, sebuah BMW X6 Sport berwarna merah marun menyalip mobil Xenia yang mereka tumpangi.

“Mobil itu membawa petaka…,” kata lirih Erik pada diri sendiri.

Sebuah firasat aneh menyerbunya secara tiba-tiba.

Sepersekian detik kemudian sebuah Toyota Land Cruiser hitam secara semena-mena menghantam bagian belakang Daihatsu Xenia, tepat di depan rest area Sumber Jaya. Mobil minibus itu pun terlempar ke depan nyaris masuk jurang. Saat Erik dan Jamauddin masih diliputi kebingungan, sebuah mobil Audi Q7 berwarna perak telah mengepung mereka dari sisi kanan. Praktis, tak ada jalan untuk melarikan diri. Kecuali melalui pintu sebelah kiri yang disambut jurang menganga di bawah sana.

“Keluar! Serahkan salinan Kitab Lapah di Way yang kau bawa itu!” tetak sebuah suara nan angkuh dari balik jendela Audi Q7.

“Siapa kau?” Erik tak mau kalah.
Sudut mata kirinya tak sengaja melihat Jamauddin menggigil ketakutan di belakang kemudi.

Tak ada jawaban yang diterima Erik. Malah selusin lelaki berpakaian parlente muncul dari dalam ketiga mobil itu dan kemudian mengepungnya dengan senjata api di tangan.

“Siapa kalian?”

“Nenek moyangmu penyamun berkepala batu. Begitu juga dengan dirimu. Serahkan kitab itu!” pekik lelaki bertampang Mongol dari balik jendela Audi Q7.

“Takkan kuserahkan!”

“Akan kubenamkan jasadmu di Danau Ranau, lelaki jalang!”

***

KETIKA sadar dari pingsannya, Erik merasakan sakit kepala yang luar biasa hebat. Di manakah ia kini? Masih hidupkah dirinya? Ingatannya terakhir kali adalah pukulan senjata genggam di tengkuknya yang membuatnya hilang ingatan. Setelah itu ia tak ingat apa pun. Bahkan kemana perginya Jamauddin sepupunya ia pun tak tahu. Lamat-lamat di dengarnya seperti suara debur ombak lautan. Tetapi bukan. Ia dapati dirinya tengah berada di pinggir sebuah danau.

“Masih hidup rupanya dirimu. Sebentar lagi tubuhmu akan diikat, mulutmu disumpal dan kami akan tenggelamkan jasad mudamu ke dalam sunyinya Danau Ranau. Menurut hikayat kuno Sekala Brak, ada sebuah kuali raksasa di dalam Danau Ranau yang siap sedia menghisap setiap benda yang berada dalam jarak hisapnya. Tubuhmu adalah salah satunya.”

“Siapa kau? Tega nian kau berbuat begini kepadaku?”
Lelaki bermata sipit tak menjawab pertanyaannya. Ia malah keluarkan salinan Kitab Hikayat Orang-orang yang Berjalan di Atas Air dan membakarnya tanpa perasaan.

“Jangan…,” Erik terpekik mengingat betapa naskah itu telah menjadi bagian dari hidupnya setahun terakhir ini.

“Masih ada satu lembar lagi. Kau mencari ini bukan? Halaman terakhir Kitab Lapah di Way….

“Di mana kau dapatkan halaman terakhir kitab itu?”

“Aku? Cukup mudah bagiku mendapatkannya. Perpustakaan milik Henry Sang Navigator. Kau tahu di mana letaknya?”

“Portugal…,” desis Erik.

“Anak pintar! Tak percuma kau memiliki dua gelar master dari UI dan UKM untuk kajian Hukum Adat dan kajian Manuskrip Melayu Kuno. Juga Ph.D Hukum Adat Lampung dari University van Amsterdam. You are brilliant, son of bitch!

“Kau mengetahui begitu banyak tentang aku. Siapa kau sebenarnya?”

“Aku? Baiklah kujawab siapa diriku agar kau tak mati penasaran. Aku keturunan langsung Pangeran Kekuk Suik, pewaris sah Sekala Brak. Lelaki yang terusir dari kampung halaman nenek moyangnya sendiri. Lelaki yang dihinakan oleh nenek moyang kalian para perompak dari Utara. Dasar keturunan samun!”

Bulu kuduk Erik meremang demi mendengar nama yang begitu purba dari masa tak tergapai, Pangeran Kekuk Suik. Tamong Batinnya di Kembahang pernah mendongeng tentang kepengecutan Kekuk Suik, pangeran terakhir Sekala Brak yang lari terbirit-birit dikejar balatentara Maulana Bersaudara.

“Ketahuilah keturunan Umpu Lapah di Way alias Maulana Bahruni, bahwa kitab ini telah kuburu sejak bertahun-tahun yang lalu. Bahkan sebelum kau sadar kitab semacam ini memang pernah ada di dunia.”

“Apa pentingnya kitab itu buatmu? Tiada dosa dan kesalahannya padamu.”

“Kitab seperti inilah yang telah merenggut kesetiaan rakyat dari bawah duli kekuasaan Puyang Dalom Ratu Sekeghumong. Disebabkan kelihaian ilmu mistik nenek moyangmu seperti yang termaktub dalam Kitab Lapah di Way [2], maka ribuan rakyat Sekala Brak berpaling dan mendurhakai ajaran nenek moyang mereka sendiri.”

“Betapa kejam dirimu!”

“Nenek moyangmu lebih kejam dan brutal!”

“Sebelum kau membunuhku, bolehkah aku tahu apa isi lembar terakhir kitab itu?” Erik alihkan pembicaraan.

“Hmm…. Masih penasaran kau rupanya anak muda? Halaman penghabisan dari Kitab Lapah di Way adalah berhubungan dengan rahasia berjalan di air. Bagaimana caranya seorang manusia menyatu dengan Tuhannya agar mampu melakukan hal-hal yang musykil, termasuk di antaranya berjalan di atas permukaan laut. Sungguh sakti nenek moyangmu si penyamun tua itu hahahahaha….”

Erik tak hiraukan ocehan dan hinaan lelaki bermata sipit di depannya. Pikirannya telah bulat untuk melawan dan merebut halaman terakhir Kitab Hikayat Orang-orang yang Berjalan di Atas Air yang belum dibakar.

“Lari, Atin!” sebuah suara muncul seketika dari balik pepohonan.

Jamauddin muncul bagai dewa penyelamat kesiangan.

“Dari mana saja kau?”

“Saya mengikuti diam-diam rombongan para penculik yang membawa Atin.”

“Dengan mobilmu yang rusak itu?” Jamauddin mengangguk mengiyakan.

“Tangkap dua bedebah ini, dan buang ke Danau Ranau! Kenapa tak kalian bereskan lebih dulu si sopir keparat ini?” suara lelaki bertampang Mongol terdengar murka.

Serentak saja lima lelaki bertubuh tegap menangkap keduanya. Kemudian mereka mengikat Erik dan sepupunya dengan tali tambang. Mulut keduanya disumpal pula dengan kain gombal. Lengkap sudah derita dua sepupu ini.

“Lempar! Sekarang!” perintah lelaki bertampang Mongol.

Ketika tubuh keduanya dilemparkan ke Danau Ranau terjadi kejadian yang tak dapat dijelaskan oleh akal sehat. Sesosok tubuh berpakaian dan bersorban putih muncul dari arah barat Danau Ranau. Ia berlari di atas air! Sosok misterius itu dengan ringannya menangkap tubuh Erik dan Jamauddin kemudian menaruh mereka di pinggir danau. Erik tercengang, juga sepupunya tak kalah cengang. Sementara para penculik telah lebih dahulu menggigil ketakutan melihat kejadian itu. Termasuk lelaki bertampang Mongol pun dibuat ketakutan bukan kepalang.

“Pergilah keturunan Sekeghumong. Jangan ganggu keturunanku. Mereka tak ada sangkut pautnya dengan kalian dan kekalahan moyang kalian pada masa lampau. Pergilah.”

Kemudian lelaki berpakaian serbaputih membuka kedua telapak tangannya. Air Danau Ranau bergulung-gulung beterbangan bagai peluru kendali mencari mangsa. Sekejap saja gumpalan-gumpalan air itu telah memorak-porandakan tanah di depannya. Mobil-mobil dijungkirbalikkan. Lelaki Mongol dan pengawalnya dilemparkan bagai anai-anai beterbangan. Hilang terlempar jauh entah ke mana.

Tak lama kemudian suasana sunyi sepi. Wilayah pinggiran Danau Ranau bagai perkampungan mati tak berpenghuni. Erik dan Jamauddin tertegun saksikan semua itu. “Siapakah Kakek?” Erik beranikan diri bertanya dengan nada suara masih gemetar.

“Salam sejahtera untukmu keturunanku. Aku Maulana Bahruni Ibn Maulana Yamiza Rahmat, puyangmu,” jawab lelaki tua berpakaian serbaputih. Suaranya begitu teduh menenteramkan hati.

“Puyang Dalom Umpu Lapah di Way?” Erik dan Jamauddin bersuara nyaris bersamaan diiringi ketakutan yang menghebat.

Lelaki tua berperawakan Timur Tengah itu mengangguk pamerkan senyumnya yang memancarkan pesona ketulusan dan keikhlasan.

“Mari kuajarkan kalian ilmu Lapah di Way. Bagaimana caranya, dengan kebesaran Allah semata, kita bisa berjalan dengan riangnya di atas permukaan air. Mari cucu-cucuku, kemarilah, agar kalian sadar betapa luasnya ilmu Allah,” ajak Umpu Lapah di Way.

“Tidak! Aku masih ingin hidup waras!” Jamauddin lari tunggang langgang mengiringi jeritannya yang terdengar histeris ketakutan.

Umpu Lapah di Way biarkan lelaki muda yang juga masih keturunannya itu meninggalkan mereka berdua.

“Dulu aku sering berlari dan bersilat di atas Danau Ranau untuk memikat hati penduduk sepanjang danau ini agar tak segan-segan memeluk agama Islam. Mereka pun terpikat dan akhirnya memeluk Islam dengan sepenuh hati. Segala Puji bagi Allah Penguasa Alam Semesta,” berkata Umpu Lapah di Way sambil menggandeng Erik turun ke Danau Ranau.

Erik menggigil ketakutan.

“Adakah ini mimpi?” desahnya dalam hati.

“Begitu jauh zaman kita berpaut. Sembilan ratus tahun lalu danau ini belum seperti ini. Rumah-rumah penduduk tak hanya berjajar di pinggir danau, tetapi juga masih ada yang sengaja dibuat di atas pohon, seperti monyet.”

Erik tersenyum menahan tawa dan takut mendengar perkataan puyangnya.

“Ulangi ucapanku. Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Segala Puji hanya bagi-Nya Allah Penguasa Alam Semesta.”

Erik mengulangi perkataan puyangnya. Sementara tangannya pelan-pelan mulai dilepaskan dari gandengan sang puyang. Ajaib! Ia rasakan kakinya menapak di atas air. Tak terendam barang sejengkal pun. Erik coba melangkah dengan tertatih-tatih. Dan ia memang tak tenggelam. Takjub! Itulah yang mulai menggerayangi akal sehatnya.

“Berjalan lebih cepat,” perintah sang puyang.

Erik lakukan perintah puyangnya. Ia berjalan cepat dan cepat. Kemudian ia berlari dari ujung selatan ke ujung timur Danau Ranau dengan sekali tempuh. Dengan perasaan pongah Erik berlari lebih cepat sambil sesekali menatap sombong pada Gunung Seminung yang berdiri gagah tak jauh dari tempatnya berada.

“Luar biasa! Tentu aku satu-satunya manusia modern yang bisa melakukan hal ini!”

Tatkala pikirannya mulai dirasuki keangkuhan dan kesombongan, pelan-pelan kemampuannya berjalan diatas air mulai meredup. Perlahan-lahan kakinya mulai terendam air. Tak lama kemudian ia tak dapat lagi melangkahkan kaki di atas permukaan Danau Ranau. Kemudian separuh tubuhnya pelan-pelan mulai tenggelam diikuti lolongan ketakutan terdengar dari mulutnya. Celakanya Erik tak bisa berenang.

“Tolong saya Puyang Dalom Umpu Lapah di Way.”

Tak ada pertolongan yang tiba untuk menyelamatkannya. Ketika kepalanya mulai terendam air, Umpu Lapah di Way pun tak pula bergeming. Erik saksikan puyangnya itu masih berkacak pinggang memandangi dirinya tanpa sedikit pun belas kasihan.

“Ampuni hamba, ya Allah.”

Itulah pekik terakhir yang terucap dari mulut Erik. Tak lama kemudian mata, hidung dan telinganya mulai disesaki air. Ia betul-betul tenggelam sekarang. Tak guna bagi Erik menyumpahi puyangnya itu. Kini kematian harus ia terima dengan lapang dada. Beberapa detik kemudian napasnya mulai lindap diikuti kehilangan kesadaran yang semakin menghebat. Tiba-tiba dirasakannya sepasang tangan mengangkat dan menggendongnya ke pinggir danau. Sepasang tangan yang sama yang telah menyelamatkan dirinya dari percobaan pembunuhan oleh keturunan Pangeran Kekuk Suik dan kaki tangannya.

“Kau belum mampu menguasai ilmu ini, cucuku. Hati dan pikiranmu masih terlampau kotor dan berkiblat duniawi. Kepongahan dan keangkuhan merajalela dalam jiwamu. Kepasrahan total tak cukup, cucuku. Halaman terakhir kitabku belum lagi kau baca dan resapi baik-baik. Kebersihan jiwa setiap pengikut Jalan yang lurus adalah mutlak sebelum memasrahkan diri kepada Allah dan mengamalkan isi Kitab Lapah di Way, Hikayat Orang-orang yang Berjalan di Atas Air. Camkan baik-baik keturunanku!”

Setelah itu tak ada lagi yang dapat diingat oleh Erik. Ia dibiarkan tergeletak begitu saja di pinggir Danau Ranau. Belasan jam kemudian ia dapati dirinya masih terbaring lemah di salah satu kamar VIP di Rumah Sakit Umum Liwa di Balik Bukit. Seorang nelayan baik hati menemukannya dan membawanya ke rumah sakit itu. Kelak, Erik akan selalu mengenang setiap penggal kejadian aneh di Danau Ranau dengan air mata berderai. Kekalahan telak akal sehatnya melawan kuasa alam metafisik. Semua itu bagai sekelumit kisah pahit masa kecil yang nyaris tumpas dimakan usia yang terus berlari. (*)
 .
.
Hentian Kajang, Malaysia 21 Juli 2011
 .
Catatan:
[1] Panggilan untuk abang dalam tuturan adat masyarakat Lampung Sai Batin.
[2] Lapah di Way bermakna berjalan di atas air (bahasa Lampung Sai Batin).










Purnama setia di Atas Angkor
Oleh
Amir Machmud NS











PURNAMA tak pernah ingkar. Ia selalu tiba di atas Angkor, cecandian hitam di kota pemujaan yang berkilauan terguyur cahaya bulan. Ia datang selalu tepat pada waktunya, edar kesetiaan yang setiap kali mencumbu batu-batu dan rimbun dedaun pohon bodhi.

Tak ada yang sanggup menerka seberapa tua usia rembulan yang pada setiap purnama tak berhenti mengembangkan senyum lebar dengan pipi gembil dan aurora kebahagiaan sepenuh kematangan pancaran cahaya terangnya. Tak pula ada yang mengerti seberapa kuat kerinduan yang dikandung rembulan mendorong bermahligai-mahligai pesona memanggil mereka yang tersihir magnet cinta dalam ungkapan yang mewakili kesempurnaan purnama sebagai geletar suara hati yang tak terperikan perihnya.

Tak juga lelaki itu. Gurat harapan di wajahnya adalah kesempurnaan ungkapan rindu. Kejap pijar di matanya adalah pantulan cahaya cinta dari pendaran sang rembulan. Ketakzimannya memandangi bulan penuh adalah penantian, entah apa, entah siapa, entah kapan batasnya. Begitu seterusnya setiap purnama tiba, dan dia selalu menunggu saat-saat seperti itu sebagai siklus waktu yang tak berhenti semenjak ia merasa rembulan memanggil dan dengan bahasa cahayanya membetot sebagian hatinya ke langit semesta.

Ia, Jayawarman yang tergurat usia. Raja yang berkuasa pada seluruh semesta Istana Angkor, namun tidak berkuasa atas hatinya sendiri.

Tak juga perempuan itu. Sayu pandangannya adalah bahasa hati yang pedih menggapai meneriakkan panggilan jiwa. Pantulan bening air dari sudut kelopak matanya, setiap kali, seperti mewartakan gugatan yang tak tersampaikan dengan kata-kata. Ia, seperti lelaki itu, dari sudut bumi yang berbeda juga takzim menatap bundaran bulat kuning segar di langit yang menebar aurora sejuta makna. Begitu seterusnya setiap purnama tiba, selalu dinanti sebagai siklus waktu yang tak berhenti semenjak ia merasa rembulan mengambil miliknya yang paling bermakna dan dengan cahayanya membenamkan sebagian hati yang entah tersembul di bagian terang cahaya yang mana.

Ia Indreswari. Putri yang menunggu sang Raja bongkar dari pertapaan mbangun candi, lalu winisuda sebagai pahlawan bagi seantero negeri, namun yang hingga umur melangkah menggurat kecantikannya, tak juga tiba Jayawarman menjemputnya.

Jayawarman, lelaki itu merasa sebagian hatinya ada di atas sana.
I
ndreswari, perempuan itu merasa separo jiwanya tenggelam di kecemerlangan sana.

“Kau mengambilnya, dan tak kunjung mengembalikan sebagai hak yang bisa menjawab impitan kerinduanku,” desah lelaki itu.

“Kau membawanya, dan tak jua mengembalikan sebagai separo jiwa yang mestinya meneteskan bahagia demi bahagia bagi hidupku,” keluh perempuan itu.

Dan, rembulan tak pernah menyurutkan guyuran cahayanya. Arak-arakan mendung menggumpal yang sesekali lewat tak mampu sepenuhnya menyaput tebaran nuansa kuning cemerlang: seperti tak hirau akan siksa sunyi yang mencengkeram lelaki itu, seperti tidak memedulikan nestapa rindu yang membebani perempuan itu.

“Aku takkan pernah hirau akan waktu, karena rembulan juga tak pernah ingkar datang pada tiap purnama. Ia mungkin selalu melihat, menatap semesta, dan suatu ketika akan mengembalikan sebagian hatiku yang dibawa dan disimpannya di atas sana.”

Lelaki itu mencoba untuk tidak tergulung putus asa karena ketidakpastian penantiannya.

“Aku tak akan peduli menjadi tua karena menunggu belas kasihan rembulan yang setiap saat tiba dan menertawakanku dari haribaannya. Biarlah ia menjadi makin gemuk bulat sementara tubuhku menjadi makin kurus karena usia dan penantian yang tak berkesudahan. Biarlah ia tahu aku terus memohon dan suatu ketika akhirnya menerima kembali sepotong jiwaku dari langit sana.”

Perempuan itu meratap dalam harapan yang tak menyerah kepada kepongahan rembulan.

“Ketika usia kami, usiaku dan usia rembulan sama-sama tua, pastilah ia sadar betapa lama aku menunggu dan ia segera memberi kepastian untuk mengembalikan hakku,” lelaki itu terus bergemeremang dengan kalimat yang pada tiap purnama juga terus dirangkai sebagai penyangga mimpi-mimpinya.

“Usiaku terus merambat, rembulan itu pun akan bertambah tua. Sampai kapan ia mempertahankan separo jiwaku di sana? Kesia-siaankah aku meminta dan ia pasti tahu aku tak berhenti menanti jawabannya?” Perempuan itu memastikan kalimat seperti yang selalu diungkapkannya pada tiap purnama.

***

TIDAK ada yang sanggup menerka apa mau rembulan dalam usianya yang juga beranjak tua. Tak juga lelaki itu. Tak juga perempuan itu. Tak juga puluhan, ratusan, ribuan, bahkan jutaan lelaki lainnya. Tak juga puluhan, ratusan, ribuan, bahkan jutaan perempuan lainnya.

Ia ada dalam keabadian yang tak dirambati perjalanan maju usia. Rembulan tak menjadi renta karena puluhan, ratusan, ribuan, bahkan jutaan orang yang mengharapkan kedatangan lalu memusatkan cura han perasaan kepadanya pada setiap naiknya kesempurnaan purnama. Rembulan akan tetap berseri di haribaannya meskipun begitu banyak hati yang ingin memetik dan membawanya turun sebagai persembahan cinta paling sempurna.

“Aku tahu apa yang ia harapkan dari purnamaku,” rembulan menyahuti desir hati Jayawarman.

“Aku paham dia menanti kepastian dari cahayaku,” rembulan menanggapi kegetiran harapan Indreswari.

“Lelaki itu mengira aku menyandera beban kerinduannya. Dia menduga aku mengambil hak yang sekarang diperjuangkannya. Sampai renta pun takkan ditemukan sebagian hatinya di haribaan semestaku. Jawaban atas ungkapan perasaannya ada pada warna hatinya sendiri, apakah seterang cahaya, atau segelap kehitaman malam, sekelam batu-batu candi yang disusunnya itu,” rembulan berkata-kata kepada dirinya sendiri.

“Perempuan itu berpikir separo jiwanya terbetot oleh magnet cahayaku. Sampai kapan pun takkan datang hati yang dimaksudkannya. Cinta ada di dalam lipatan hidupnya sendiri. Ketika cerah, cerahlah dia; tatkala gelap, hitamlah semuanya,” ia masih berkata-kata seperti kepada dirinya sendiri.

Dan, waktu tak berhenti berjalan. Rembulan terus berpendar dengan purnamanya yang selalu tepat janji. Ia datang dan melangkah dengan penuh keyakinan. Sedangkan lelaki itu, juga perempuan itu, terus menunggu purnama dengan penuh tanda tanya, dengan kegundahan tak berjawab kecuali hanya berharap rembulan bakal memberi kepastian seperti ia setia datang pada tiap purnama dan tak mengurangi pendar cahaya yang disiramkannya ke semesta jagat raya.

Rembulan terus menebar senyum walau ia memahami kenaifan manusia dalam menafsir apa yang dirasakannya lewat tanda-tanda semesta. Betapa cahaya dan purnamanya, bahkan kepekatan awan hitam yang lewat menyekat pun bisa menjadi keindahan yang sempurna bagi hati yang tengah berbunga-bunga.

“Ah, manusia. Kala hatinya ringan berbalut cinta; bukit tandus, batu-batu candi, riak sungai, kelengangan danau, ombak lautan, hutan, pepohonan, sapuan jahat angin, bahkan sengatan panas matahari pun semuanya ditafsir dengan bobot tak tepermanai eloknya.”

Namun betapa senyum lebar rembulan pun bisa dirasakan sebagai aroma kepahitan, cahaya keemasan yang menyiram alam serasa seperti ketemaraman yang menyayat sukma. “Ah, manusia. Kala hatinya dibuat pepat oleh cinta; bukit, bebatuan, riak sungai, kebiruan danau, ombak lautan, hutan, pepohonan, sapuan sepoi angin, dan panas matahari semua hanya menyajikan kepekatan warna yang tak menyisakan sedikit pun keindahannya.”

Dan, rembulan tetap menebar senyum, tanpa peduli Jayawarman dan Indreswari menafsiri warna hati mereka sendiri: apakah sebagai kesempurnaan rasa yang lalu menerbitkan keindahan pada semesta, atau menghayatinya sebagai keperihan hati yang lalu menyajikan seelok apa pun bahasa alam justru menjadi penambah timbunan duka.

***

LELAKI itu makin renta, tubuhnya tak bisa terus-menerus berpihak untuk diajak mengikuti peredaran siklus kedatangan purnama, sementara sang Dewi Malam tak pernah berubah selalu datang dengan terang cahaya, gembil pipi bahagia, dan pendar keemasan yang terus dipancarkannya.

Namun Jayawarman masih mencari dan menanti.

Perempuan itu tidak mampu terus-menerus duduk dan berdiri memandang cahaya pada tiap purnama karena irisan angin malam segera memaksanya tersuruk dan berbaring di haribaan, sedangkan rembulan tetap dengan angkuhnya memamerkan aura keabadian yang tak tersurutkan berapa pun panjang usia, kewajiban datang saat purnama, dan seluruh jejak perjalanannya.

Namun Indreswari masih memohon dan menunggu.

Jayawarman tak pernah tahu, separo hatinya yang ia duga disimpan rembulan di ketinggian singgasana, kini tergolek pasrah dalam kesia-siaan penantian. Indreswari juga tak pernah menduga, sebagian jiwanya terbawa oleh keputusasaan lelaki renta yang mengira rembulan telah menyita hak-hak hati dan hidupnya.
Dari tempatnya, kesetiaan rembulan tak berubah dari satu purnama ke purnama berikutnya. Wajahnya tetap bulat merona kuning yang awan sekental apa pun takkan sanggup menyaput aura kecantikan pada sepanjang malam edarnya. Cahayanya penuh menyiram dedaunan dan atap-atap rumah yang hujan pun tak kuasa mengguyur untuk menutup kilaunya.

Ia tak tahu hati manakah yang—kata lelaki itu—dibawa dan ditenggelamkan di balik terang cahayanya. Tak tahu pula ia kerinduan seberat apakah yang—kata perempuan itu—disandera di sesela bulat bundar purnamanya.

Candi Angkor menjulang, tegak perkasa tak seperti hati sang pemrakarsanya yang merasa ditinggalkan rembulan.

Pohon-pohon bodhi meranggas subur tak seperti hati Indreswari yang kering kerontang karena merasa diabaikan sang Dewi Malam…. (*)
 .
.
Genuk Indah, Juli 2011

Cerpen ini merupakan logi ketiga setelah “Senyum Khmer” (SM, 24 September 2007), dan “Bulan di Atas Angkor” (SM, 10 Maret 2008).










Layla Mampir di Serambi
Oleh
Abidah El Khalieqi











LAYLA ada di bandara Iskandar Muda, nengok kiri kanan tak nemu Majnun yang dirindu. Rasanya telah sekian abad tak jumpa. Menit demi menit hanya mengekalkan hampa. Makin bara ia. Ingin meninjunya, si Pangeran Cinta dari sahara kesunyian. Awas ya kalau berani nongol! Batin Layla menggempita.

“Say, di mana?”

Lama ponselnya dendam. Tak ada jawab. Padahal pesan terkirim.

“Belahan jiwa, di mana sudah?”

Makin sunyi. Sepi kian menjadi-jadi.

Diredam hati dan ditelepon Majnun. Lamaaa. Tak ada respons apa-apa. Layla sabar dan berjalan kembali, check-in. Mungkin Majnun baru mandi? Atau masih nyenyak di ranjangnya, memimpinya ajak terbang ke sorgaloka? Keterlaluan! Kembali Layla telepon dan telepon dan berulang telepon. Orang-orang menyodok punggungnya untuk segera maju. Banyak antrian di belakang.

“Maaf, saya mau lewat,” seseorang menepis agak kasar. Mungkin tak sabar menanti Layla bergeser dari pacaknya.

“Kakak, bergeser dong!”

“Ups! Maaf maaf maaf…,” Layla maju dan terus saja maju, tak mau nengok lagi hingga ruang tunggu.

Lihat sayangku, usai ‘masa kecewa’-ku ini, tak ada lagi ruang untuk kita berdua dapat bertemu. Hingga kiamat tinggal dua hari pun! Kau akan tahu, bakal merana seumur-umur. Rasain! Kau akan rasakan nanti, nikmatnya tinggal di gurun sunyi berabad-abad, berteman lautan batu dan gunungan pasir. Membatu lu! 

Memasir!
 
Layla duduk, mengeluarkan sepotong kue yang belum sempat disantap, sarapan. Sendiri tanpa Majnun menemani. Ingin nangis tapi ditahan. Terlalu mahal air mata. Terlebih untuk Majnun sialan, pikirnya. Air laut mana telah menyunami jalanmu, Sayang? Angin darat mana memuting-beliung arahmu? Lepas dong kaca mata hitam itu!

Usai minum sekotak green tea, Layla teraih kesegaran. Coba lagi mengontak Majnun, niatan untuk terakhir kali. Jika gagal, akan dianggap sebagai suratan nasib dari langit. Kita bakal mati merana berdua, Cintaku? 

Tahu tidak? Ah bisu aja lu!

“Masih puasa juga, Say? Kau bilang ‘ini hari raya’?”

Deg deg plass Layla menunggu. Jawaban Majnun seribu gagu. Semilir angin tak sampai kalbu. Matilah diriku, batin Layla sendu.

Disimpan ponsel rapat-rapat di saku baju. Ah lebih aman di tas saja. Mungkin perlu di off sekarang juga? 

Karna tak ada guna tanpa Majnun menyapa. Ikhlas sudah meyatim-piatu.

Dan kriiing!

Tersentak Layla. Hape ditangan tengah nuju off, eh malah nyaring melengking.

“Hallo, Say? Baru bangun dari tsunami ya?”

“Dah rampung tsunami haha. Marah niyee! Di mana kau? Aku datang nih! Depan pintu!”

“Pintu apaan? Aku dah mo cabut, tauk? Daag Majnun…!”

“Eit! Jangan cabut dulu. Di mana kau, Layla? Belum dipanggil kan? Ayo turun dan peluk aku! Ayo cintaku! Kemari cepat!”

“Alah dasar majnun! Kamu aja kemari. Coba kalau cinta mati!”

Tapi Layla turun dan menyibak pintu elektrik sembari bersungut-sungut gemas. Tangannya sudah siap bakal melayangkan tinju bertubi di dada Majnun, biar kapok dan tersungkur dan lebam-lebam oleh digdaya cinta. 

Jika masih kuat tertawa, Layla juga telah siapkan cakar dan cubit maha sakit, untuk kenangan bertahan sebulan.

Lho? Mengapa Majnun masih berkaca-mata hitam? Di tangan setangkai mawar, dan tangan satunya sekotak entah, berbentuk hati dalam kotak beludru biru. Mungkin batu akik, atau batu apung yang ditemu di gurun pasir saat melintas Sungai Ruhina, lalu membungkusnya dengan beludru biru untuk mengejutiku. Sialan!

Tahu benar ia kalau Layla bakal marah. Secepatnya Majnun ulurkan persembahan cinta, mawar putih dan batu apung! Mumpung Layla belum sempat meratuinya dengan bogem mentah.

“Apaan nih!” Layla pura-pura kaget.

“Mau tak? Atau kubawa pulang aja lagi nuju Lembah Bekka,” Majnun senyum menggoda.

Aduhai tampannya! Mati kutu Layla. Mengerjap mata tak percaya. Mengapa Majnun tambah ganteng kian tampan mendunia. Ah!

Mendadak lenyap seluruh kamus pertinjuan dari benak Layla. Kamus kemesraan menyergap rempak membakar ubun-ubun. Tapi bukan Layla kalau tak pandai main teater.

“Emohlah! Kau cuma bermaksud meredam tinjuku kan?”

“Haha. Jadi benar tak mau?”

Layla mengangguk. Ragu.

“Padahal kangen benar aku dengan tinju itu!” tambah Majnun, lagi-lagi menggoda.

“Ha! Mau aku jika begitu,” Layla menyamba persembahan, “Ehm… tapi…jangan jangan…,” Layla menimbang-nimbang isi kotak biru, “Apa ya isinya? Boleh dibuka, tak?”

“Tak! Nanti saja ketika dah terbang, oke?”

“Nah! Pasti ntar bunyi melewati security-check. Tak mau ah! Tuh kamu dicari Nizami!” Layla nunjuk arah samping Majnun. Spontan Majnun nengok arah yang ditunjuk. Tak ada siapa siapa. Secepat kilat, sepuluh jemari Layla nancap di pinggang Majnun, tak lepas lepas hingga Majnun nyerah dan bersumpah akan memenuhi apa pun saja permintaan Layla.

“Hanya satu,” kata Layla.

“Iya apa? Ayo katakan!” Majnun megap-megap menahan efek geli dan sakit dan malu juga takut kalau-kalau dilihat polisi syariah.

“Gendong aku sampai pintu check-in!”

“Apa? Jangan maen maen, Sayang! Aku dah cukup menderita nih! Lagian dilihat orang. Malu dong!”

“Yazuda. Jika begitu, aku tak mau kembali. Siapa suruh aku kemari. Biar aku tinggal di bandaramu aja. Aseeek!”

Bingung Majnun. Tengok kiri-kanan, mencaricari kemungkinan lain, andai kemungkinan itu ada. Tak mungkin meninggalkan Layla yang lagi kumat manja begini, pun tak mungkin memenuhi permintaannya. Lebih tak mungkin lagi, membiarkan Layla gagal terbang gara-gara panggilan teleponnya. Apa mau dikata?

Dengan bismillah, ia naikkan Layla di atas punggung. Senyum simpul Layla nyengir kuda. Di depan orang bertanya, “Ada apa digendong?” sembari nunjuk Layla. Sigap Majnun menjawab, “Sakit kakinya.” Orang di depan berkata lagi, menawarkan ide, “Ada troli, mungkin lebih ringan,” sigap lagi Majnun menjawab, “Tak berat amat dia.” Dan Layla mendengar kata ‘tak berat’ itu.

Di belakangnya orang-orang sama melongo tak paham, baru kali ini lihat pemandangan film India dalam kenyataan. Iseng Layla panggil orang di samping kanannya dan meminta kopernya untuk dibawakan. Orang-orang pun sama cemburu, ingin kopernya juga dicangking Layla. Layla oke oke saja.

Majnun tak sadar perilaku Layla, merasa aneh, mengapa berat tubuh Layla kian bertambah berat, langkah demi langkah. Saat tujuh koper ikut naik di punggungnya, Majnun berhenti tak kuat lagi melangkah. 

Benar-benar heran, takjub akan berat badan kekasihnya.

“Lho, Say, kok berhenti? Aku terburu nih, mesti segera check-in kembali atau terlambat!”

“Aneh, Sayang. Mengapa beratmu naik terus? Aku tak kuat gendong jin iprit!”

“Ah… tinggal dikit lagi! Ayo dong!”

“Tak kuat lagi, Sayang. Aku terima kalah. Apa pun saja maumu, nyerah deh aku!”

“Bener ni nyerah?”

“Swear!”

“Apa pun saja mauku?” Layla cengar-cengir, memandang kiri-kanan belakang dengan senyum bahagia. Para supporter cinta meng-applaus-nya. Tersadar Majnun dari perdaya, nengok Layla dan terhenyak dia.

“Nakal amat kamu ya?”

“Hehe… abis pingin terlambat. Ogah pulang aku, Say….” merajuk Layla.

“Mengapa tak bilang? Kau pikir aku juga tak ingin menahanmu? Apa kau belum dengar, ada istana yang memanggil-manggil namamu?”

“Istana apaan sih?” antusias Layla. Majnun pun kian terinspirasi menggoda.

“Istana hatiku. EL TAJ WAHDAH! (Pangeran Satu Satunya)!”

Pipi Layla delima, cepat-cepat turun dari punggung Majnun bersamaan waktu take off Garuda nuju ibukota. 

Itulah impian sejatinya, Layla-Majnun menyinta. Menyatu di alam pertama dan lebur di alam kedua.
Tanya Nizami kalau tak percaya. (*)
 .
.
Yogyakarta, 2011

 

 
 .
.
.


 
 

Tidak ada komentar: