Pring Re-ke-teg Gunung Gamping Ambrol
Oleh
Seno Gumira Ajidarma
Ribuan orang baik-baik telah berkumpul di atas bukit, siap menyerbu perkampungan para pencuri, perampok, pembunuh, dan pelacur, yang terletak di tepi sebuah sungai yang mengalir dan berkelok dengan tenang, begitu tenang, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih tenang, yang memantulkan cahaya kemerah-merahan membara di langit meskipun matahari sudah terbenam.
Ribuan, barangkali lebih dari sepuluh ribu, sebut saja beribu-ribu orang baik-baik telah siap dengan segenap senjata tajam, parang-golok-kelewang, tombak, linggis, pentungan besi, rantai, alu, kayu, maupun badik yang lekuk liku dan geriginya jelas dibuat agar ketika ditusukkan mampu menembus perut dengan mulus, dan ketika ditarik keluar membawa serta seluruh isi perut itu tanpa dapat dibatalkan.
Beribu-ribu orang baik-baik, tiada satu pun tiada membawa senjata, tampak sangat amat siap menggebuk dan menyabet, mencincang dan membantai, memenggal dan menyembelih, bagai tiada tujuan lain dalam hidup ini selain melakukan pembunuhan dan tiada lain selain pembunuhan. Orang baik-baik yang sebelumnya tampak sebagai orang-orang yang selalu ketakutan, karena memang penakut dan pengecut jika sendirian, mendadak bagai kerasukan setan ketika melebur dalam jumlah ribuan.
Terdengar dentang parang saling diadukan seperti tiada sabar lagi untuk ditetakkan, suara kelewang diasah pada batu basah demi jaminan betapa darah pasti akan tersemburkan, semua orang sibuk dengan alat-alat pembunuhan, senjata tajam maupun senjata tumpul, yang telah disahihkan untuk memberlangsungkan pembinasaan.
Sebentar lagi, tepat pada saat hari menjadi gelap, telah disepakati menjadi waktu penyerbuan.
”Jika mereka masih tidak mau menyerahkan pemerkosa itu,” kata seseorang sambil mengacungkan pentungan,
“perkampungan itu harus dibakar.”
Disebutkan betapa anak perempuan Pak Carik telah diperkosa. Ia ditemukan terkapar di jalan keluar desa setelah hilang semalaman. Para penggali kapur yang berangkat pada pagi hari berembun segera membawanya kembali ke desa, yang segera saja menjadi gempar. Mirah, kembang desa sederhana, tetapi yang justru karena itu layak dipuja, telah dihinakan begitu rupa sehingga nyaris tak bisa menangis dan tak bisa berbicara.
“Siapa mereka, Mirah? Siapa?”
Pak Lurah yang berkumis melintang tampak begitu berang, bertanya terus sambil memaksa, karena baginya penghinaan ini bukanlah hanya penistaan kepada seorang perawan umur 16 tahun yang diperkosa, melainkan juga penghinaan kepada desa. Pak Carik sendiri, ayah dari korban yang tak bisa bersuara, kaku beku membisu seribu bahasa.
“Katakan Mirah, katakan! Supaya aku tidak membunuh sembarang manusia!”
Wajah Mirah sulit diceritakan, karena perasaan yang terbayang di wajahnya pun mustahil diterjemahkan. Namun cerita para penggali kapur tentang kain dan kebayanya yang koyak moyak dan centang perenang, tanpa harus bernoda darah segala, bagi orang-orang desa itu sudah lebih dari segala pengungkapan.
Sebetulnya belum jelas bagaimana Mirah bisa ditemukan terkapar pada pagi hari di tempat itu. Di desa terpencil seperti itu, anak gadis seperti Mirah pasti sudah berada di dalam rumah pada pukul enam sore.
Untuk berada di sana, seseorang atau beberapa orang, harus menculiknya—dan pikiran semua orang memang Mirah itu pasti diculik, diperkosa di tengah jalan itu, lantas dibuang…
Tepatnya lebih baik begitu, supaya terdapat pihak yang bisa diganyang.
Tidak jelas juga mengapa kecurigaan dan kesalahan harus dialamatkan kepada perkampungan para pencuri. Namun beberapa saat lagi, ribuan orang yang merupakan gabungan duapuluh desa di sekitar pegunungan kapur itu sudah akan menyerbu perkampungan.
***
“Seandainya pun tidak ada peristiwa pemerkosaan ini, perkampungan candala itu memang sudah lama harus dibakar,” kata Pak Lurah kepada Jagabaya yang hanya bisa mengangguk-angguk tanpa kata. Sebagai penjaga keamanan ia tahu diri betapa selama ini hanya menjadi tertawaan para pencuri, perampok, pembunuh, dan pelacur yang menghuni perkampungan itu.
Jalan keluar itu memang terarah menuju perkampungan di bawah sebuah bukit kapur, tetapi penduduk desa tidak pernah menapakinya turun ke sana, melainkan percabangannya yang menuju ke atas, tempat mereka melinggis dinding-dinding di bukit kapur, dan mengumpulkan bongkahannya yang menggelinding. Batu-batu kapur yang putih kekuning-kuningan telah lama menjadi sumber kehidupan mereka, sampai mereka lupa sebelumnya orangtua mereka mendapatkan penghasilan darimana.
Di pegunungan kapur tidak ada sawah, jadi nenek moyang mereka, bahkan sampai kepada orangtua mereka yang beberapa di antaranya masih hidup, tentu mempertahankan kehidupan dengan segala cara. Mulai dari berburu dan menjerat binatang, mencari ikan di sungai, dan sekadar berkebun di tengah hutan supaya ada yang bisa dimakan. Bagi mereka yang belum pernah melakukan perjalanan keluar desa, dijamin tidak pernah mengunyah nasi dan sudah cukup bahagia dengan ubi.
Ketika jalan aspal dibuat nun di balik pegunungan kapur, dan dari jalan aspal itu muncul sejumlah truk yang bersedia membeli dan mengangkut bongkahan batu-batu kapur, tidak kurang dari duapuluh desa sampai hari ini hidup dari penggalian kapur. Dalam waktu empatpuluh tahun wajah pegunungan itu sudah berubah. Apa yang semula tampak sebagai pegunungan dengan punggung bukit memanjang, separuhnya kini lebih terlihat sebagai dinding-dinding tegak lurus dan jurang-jurang baru yang terbentuk karena penggalian. Maka jalan setapak bisa juga berarti jalan setapak dengan jurang dalam di sisi kiri dan kanan …
Pada jalan setapak seperti itulah Mirah ditemukan.
“Ini saat yang tepat untuk membasmi mereka,” ujar Pak Lurah berulang-ulang.
Dengan datangnya truk-truk pengangkut bongkahan batu kapur, sedikit demi sedikit datang pula orang-orang dari luar desa, yang jika tidak ikut menggali atau membuka warung makan bagi para pekerja, di antaranya ada pula yang menjadi perantara pembelian bongkahan batu-batu, membuka kios rokok dan sampo untuk membersihkan rambut dari serbuk-serbuk kapur, dan sejumlah pekerjaan yang tidak begitu dipahami penduduk desa. Di antara pekerjaan itu antara lain menyewakan pengeras suara dan televisi untuk menyanyi-nyanyi. Adapun mereka yang menyewa pengeras suara dan televisi itu dilayani perempuan pekerja yang menyediakan minuman, ikut menyanyi, dan hampir selalu tersenyum dengan amat sangat manis sekali.
Senyuman itu juga dipermasalahkan penduduk desa, karena tidak dianggap sebagai senyum keramahan melainkan senyum rayuan.
“Senyum rayuan beracun!”
Kata orang-orang yang merasa wajib menjaga kesucian di setiap desa orang baik-baik.
Sebetulnya hanya para penggali kapur dari luar desa sajalah yang dalam kesepian dan keterasingan alam pegunungan kapur datang ke sana untuk melewatkan waktu. Namun pemandangan orang menyanyi dan tertawa-tawa rupanya memberikan perasaan tidak menyenangkan bagi orang-orang yang merasa dirinya suci.
“Lagipula, siapa bilang penduduk desa suatu hari tidak akan pernah tergoda?”
Tentu saja senyum yang manis adalah senyum yang manis. Apalagi jika itu senyuman yang manis sekali. Manusia yang bermata dan berhati tidak akan terlalu keberatan, jika suatu ketika secara suka rela merasa lebih baik tergoda sahaja.
Mirah masih terpaku beku tanpa suara. Pandangan matanya sungguh tanpa makna, bagaikan mata itu terbuat dari kelereng layaknya. Sebetulnya tidak ada kesimpulan yang bisa diambil dari pandangan mata seperti itu. Namun tergeletaknya anak Pak Carik di jalan keluar desa yang mengarah ke perkampungan itu bagai telah menyimpulkan sesuatu.
Memang benar, apabila ada pencurian, perampokan, bahkan pembunuhan, selalu saja kecurigaan terarah ke perkampungan itu. Memang benar pula betapa tiada pernah ada bukti, karena kambing yang lenyap dari kandang tak meninggalkan jejak, begal menyambar dan menghilang pada remang senja bagaikan bayangan, dan mayat korban selalu merupakan buangan dari desa takdikenal yang tidak pernah menunjuk langsung siapa pembunuhnya. Betapapun kali ini seperti terdapat kesepakatan tanpa perlu peresmian, bahwa perkampungan itu sudah waktunya dimusnahkan, jika perlu bahkan tanpa alasan!
Kebencian, ya kebencian yang tidak mungkin dicari alasannya, adalah satu-satunya alasan itu sendiri…
Orang-orang luar, orang-orang yang berbeda, orang-orang yang tidak mungkin sepenuhnya dimengerti, menimbulkan kebencian karena selalu tampak menyanyi dan tertawa-tawa.
Telah dikirimkan Jagabaya yang selalu gagal menjaga datangnya bahaya itu ke sana, dengan tugas meminta penyerahan sang pemerkosa.
Jagabaya itu, yang sejak awal sudah selalu ragu, pulang dengan tangan hampa.
“Apa kata mereka?”
Jagabaya pun menirukan jawaban kepala perkampungan di bawah sana.
“Pemerkosa? Tidak ada pemerkosa di kampung ini! Mungkin kami memang sebangsa candala, tetapi kami sama sekali tidak perlu memperkosa siapapun di luar kampung ini untuk mendapatkan cinta, karena di kampung ini cinta macam apapun setelah dibagi rata masih selalu bersisa. Tidakkah kalian sadari betapa semua perempuan memang pelacur di kampung ini? Dan perempuan kampung ini sudah jelas senyumannya manis sekali, baik kepada orang luar, apalagi kepada saudara candalanya sendiri! Tuduhan apalagi yang ingin ditimpakan kepada kami? Kami telah membuka warung makan dan kami telah membuka kios rokok maupun sampo maupun sabun untuk membasuh debu-debu kapur, tetapi kalian rupanya lebih suka menganggap kami sebagai candala! Katakan kepada bangsamu, bangsa orang-orang yang menamakan dirinya orang baik-baik itu, kami tidak takut mati, karena apapun yang kami lakukan selalu kami pertanggungjawabkan dengan seluruh hidup kami!”
Dalam keremangan, tetap saja terasa betapa wajah Pak Lurah merah dan padam.
“Dasar bejad!”
Ia mengangkat pedangnya bagaikan Drestajumena bersiap memimpin balatentara Pandawa dalam Perang Bharatayudha. Langit yang tadi kemerah-merahan dan membara sekarang memang sudah gelap. Perlu waktu sehari penuh untuk berkeliling dari desa ke desa, meyakinkan setiap lurahnya untuk ikut membasmi kampung candala.
“Serbu!”
Maka ribuan orang baik-baik dari duapuluh desa yang mengelilingi bukit bersama lurahnya masing-masing segera menyerbu ke bawah dengan senjata di tangan. Mereka berlari dalam gelap sambil berteriak-teriak, sebagian besar untuk menutupi ketakutannya sendiri. Ada yang tersandung batu dan jatuh tertelungkup lantas mati terinjak ribuan penyerbu di belakangnya. Ada yang menahan lari karena takut mati tetapi terseret dan terpaksa melaju ke depan jua. Ada pula yang menyerbu dengan semangat tekad bulat seolah-olah memang membela keadilan dan kebenaran, meski jika diamati jelas tidak menguasai cara bertempur sama sekali.
Namun dalam kegelapan segala perbedaan hanya melebur dalam gelombang serbuan penuh amarah, karena berita yang tersebar dari mulut ke mulut bahwa Mirah putri Pak Carik telah diperkosa. Siapa lagi pelakunya jika bukan begundal dari kampung candala?
***
Syahdan, di perkampungan takbernama di tepi sungai yang mengalir dengan tenang dan berkelok yang selama ini dikenal sebagai kampung tempat bermukimnya para pencuri, perampok, pembunuh, dan pelacur, tampak semua orang dengan wajah sungguh-sungguh telah bersiap menyambut penyerbunya. Mereka tidak perlu berteriak-teriak dan hanya dengan saling memandang telah sangat siaga. Jumlah mereka tidak sampai seratus orang, tetapi wajah mereka tidak menunjukkan ketakutan sama sekali.
Nyaris tidak ada seorangpun yang memegang senjata karena apapun yang dipegangnya bisa menjadi senjata yang sangat berguna. Ada yang memegang batang kayu, ada yang memegang gagang sapu, dan ada pula yang cukup memegang sebatang lidi. Para pelacur yang senyumnya manis, begitu manis, bagaikan tiada lagi yang lebih manis, ada yang tampak mengebutkan selendang dan ada pula yang menggenggam ratusan jarum.
Tidakkah segenap orang baik-baik itu menyadari, betapa tindakan mereka itu seperti bunuh diri sahaja?
Tidakkah mereka sadari, betapa para candala, jika memang candala, dan tiada lain selain candala, yang selalu terpinggirkan dari zaman ke zaman, tentulah jauh lebih siap menghadapi pertempuran terbuka daripada mereka, meskipun dikeroyok orang baik-baik begitu banyaknya? Tidakkah telah sering mereka bicarakan juga, meskipun tak pernah dan tiada akan pernah dengan bukti nyata, betapa para candala sebagai manusia memang digjaya dengan segala mantra sirep, tenung, teluh, kebal tubuh, dan setelah merapal ilmu halimunan bila perlu dapat menghilang bersama senja?
Tidakkah ribuan orang baik-baik yang menyerbu bagaikan air bah ke bawah menuju perkampungan candela di pegunungan kapur itu taksadar, setaksadartaksadarnya, betapa batang kayu, gagang sapu, dan sebatang lidi itu sekali digerakkan, sembari melenting-lenting di atas kepala, akan memakan korban jiwa, setidaknya ratusan dari mereka dalam seketika? Begitulah, ribuan orang baik-baik yang sedang berteriak-teriak sambil berlari-lari itu, betapapun tidaklah pernah membayangkan, bagaimana selendang yang halus dan wangi itu akan dapat memecahkan kepala, dan betapa ratusan jarum dalam genggaman akan melesat seketika bagaikan bermata untuk mencabut ratusan nyawa.
Banjir darah akan membuat bukit kapur itu menjadi merah.
“Serbuuuuuuuuu!”
Teriakan membahana yang terdengar dari jauh itulah yang telah menggugah kembali kesadaran Mirah, sehingga matanya yang semula bagaikan kelereng itu kini tampak bersukma dan bibirnya bergetar seperti mau berbicara.
Namun, betapapun, segalanya sudah terlambat.
Sudah terlambat bagi Mirah untuk menyampaikan, bahwa yang telah menyambarnya ketika ia kembali dari sumur pada pagi buta, melarikannya ke jalan itu dan berusaha—ya, masih berusaha—memaksakan suatu kehendak yang tidak dipahaminya, tiada lain dan tiada bukan adalah anak Pak Lurah adanya…
Kampung Utan,
Sabtu 1 Januari 2011. 23:23.
Sematku Patah di Cungking
Oleh
Ema Rianto
Setelah menempuh perjalanan lebih 24 jam dari Perancis-Hongkong-Singapore-Jakarta, Surabaya- Banyuwangi, badan terasa patah-patah. Bis patas AC yang aku naiki dari Surabaya rupanya hanya sampai di Jember. Perjalanan ke Banyuwangi hanya bisa menggunakan bis ekonomi yang penuh aroma minyak angin.
Setelah tiga puluh tahun aku meninggalkan Cungking, baru kali ini aku kembali lagi. Ya, ini bukan mimpi. Aku benar-benar pulang kampung. Sesekali terdengar percakapan dalam boso osing yang hanya dimengerti oleh kami orang osing.
Setelah enam setengah tahun mengarungi beberapa samudra sebagai awak kapal, akhirnya aku terdampar di kota pelabuhan Marseille, Perancis Selatan. Di bar aku kenal Manuela, gadis keturunan Spanyol yang ngefan orang Indonesia. Usaha Manuela berbahasa Indonesia kami apresiasi. Manuela memaksa saya untuk bercakap dalam bahasa Indonesia, ia tak melayani percakapanku dalam bahasa Inggris. Ennuyeux¹ komentarnya.
Tak puas sampai di situ, ia pun memaksa saya tinggal di apartemen kecilnya agar ia lebih intensif belajar bahasa, alasannya. Bahkan ia mencarikan pekerjaan sebagai sopir di perusahaan catering agar aku tak melaut lagi. Jadilah aku kumpul kebo dengan Manuela hingga lahir dua orang gadis yang kini sudah remaja.
Aku sengaja pulang hendak menemui gadisku, yang dulu dengan sengaja meninggalkan aku. Walaupun untuk itu aku harus berbohong kepada Manuela atas rencana kepulanganku ini. ”Kamu tidak bermaksud menemui pacarmu di Cungking kan?” tanyanya menyelidik. Aku tak peduli seperti apa gadisku sekarang. Hidup makmur bersama juragan gabah yang menikahinya dulu? Ataukah sudah menjanda ditinggal mati suaminya? Aku berharap ia sudah janda. Aku mau pamer.
Ketika mendengar kabar gadisku dilamar orang dan diterima, dadaku terasa sesak, dan perut terasa mual sekali. Aku mengutuk keputusannya. Dan aku bersumpah tak ingin menjumpainya walaupun hanya dalam angan. Tapi jujur dalam hati kecilku aku tetap merindukannya, aku berharap ia kembali, aku terima ia sejanda apa pun. Tidak! Najis! Aku tidak sehina itu, egoku segera menolak. Aku akan dapatkan gadis yang lebih cantik dari dia, sumpahku. Tapi kenapa bayangannya menggelayutiku ke mana pun aku pergi? Dekapan itu terasa lembut menenteramkan hatiku di saat aku gelisah. Aku sering mendekapnya walau hanya dalam bayang. Kubayangkan ia mendekap erat tubuhku dan menyandarkan kepalanya di dadaku penuh pasrah. Bayang-bayang itu sangat aku nikmati, sampai akhirnya aku tersadar, aku dan dia berjarak ribuan kilometer.
Dan aku kembali menyumpah. Najis! Patah hati anak dusun pada gadis penyanyi gandrung.
Perasaan galau sudah terasa sejak bis memasuki kawasan Kalibiru setelah melalui hutan Merawan yang eksotis. Seharusnya aku yang menjadi bapak anak-anaknya, kalau saja aku mau membuang gengsiku. Penyesalan itu yang selalu mengusik hatiku. Entah berapa ratus kali aku menggumam seperti itu walaupun kini sudah ada Margareta dan Aleece, hasil kumpul keboku bersama Manuela.
Kerap aku menyalahkan diri sendiri. Kata orang, sebelum ada janur melengkung aku masih punya kesempatan. Baru saja gadisku dilamar orang, aku sudah menggelepar. Tak ada sedikit pun keberanianku ketika itu untuk mendekati dia dan menyatakan cinta gombalku padanya. Padahal ada empat puluh hari masa pingit, waktu yang lebih dari cukup untuk sekadar menggombal mengobral cinta. Ke mana aku saat itu? O ya, aku ingat, aku pergi ke Kang Suri dukun pelet Macan Pote dusun terpencil jauh di selatan Cungking. Dengan sebungkus rokok Gangsar dan uang seribu rupiah, setara dengan lima belas liter beras kala itu, aku diberi seruas kecil patahan batang koro yang sudah kering. Semasa kanak-kanak, batang koro yang sudah kering acap digunakan untuk latihan merokok. Namun kini untuk kepentingan lain.
Setiap pagi menjelang subuh, aku diwajibkan meniup batang koro ke arah rumah gadisku seraya mengucap kata-kata bujukan dalam hati agar ia membatalkan pernikahannya dan memilih aku sebagai pendampingnya. Syarat itu memberatkan, aku hanya melakukan beberapa kali karena aku lebih sering bangun kesiangan.
Aku mengira setelah sematku diambilnya, usai sudah perburuanku. ”Pucuk semate hun kuthung telu,” (ujung lidinya saya patahkan tiga ruas) bisikku yang ditanggapinya dengan tertawa cekikikan. Hanya dia yang aku beri tahu, gadis yang lain tidak. Tapi pesanan seperti itu bisa datang dari banyak pemuda. Semakin menarik sang gadis semakin banyak pemuda yang menitip pesan sematnya. Tapi aku berharap dia hanya mencabut sematku.
Betapa bungahnya hati ini ketika tengah malam seusai acara malam pesat maulid nabi, semat yang aku sisipkan di dinding gedek bersama semat pemuda lainnya sudah tercabuti. Tinggal beberapa biting yang masih tersisa, entah punya siapa. Aku yakin sematku telah diambilnya. Itu artinya ia telah memilihku sebagai bakal calonnya.
Pacaran kala itu sifatnya rahasia, tidak lazim jalan berdua. Bahkan tak saling kenal pun dapat dinikahkan. Aku tak ingin jadi bulan-bulanan kawan sebaya yang mengumumkan hubungan saya dengan gadisku dengan menuliskannya di sembarang tembok entah pakai arang atau daun jati. Tulisan itu kerap membuat hubungan remaja yang sedang memadu kasih kandas di tengah jalan lantaran malu diketahui banyak orang. Rupanya perkiraanku salah, tak lama setelah acara maulid nabi, ia dilamar juragan penebas gabah dan dinikahinya.
Gumpalan harapan itu masih mengganjal dalam hatiku, dan abadi hingga kini. Gumpalan imajiner itu seharusnya sudah memudar terurai waktu. Namun perasaan penyesalan dan terkalahkan membuat hati penasaran. Dan gumpalan itu semakin mengganjal, mengeras dan membatu di sudut ruang yang kian tak terjangkau. Gadis mungil hitam manis bersuara merdu, bermata bola pingpong yang kerlingannya senantiasa menggoda hatiku itu adalah cintaku.
***
Suasana Cungking tak banyak berubah setelah aku tinggalkan puluhan tahun. Aku masih merasa akrab dengan lingkungannya. Namun ada sedikit pergeseran budaya, anak mudanya lebih bangga berbahasa Indonesia gaya jakartaan. Boso osing menjadi asing di negerinya sendiri. Padahal Manuela di Paris semangat belajar boso osing setelah aku ceritakan keunikannya. Langue Osing seulement compris par les gens Osing,² promosiku suatu ketika kepada Manuela yang membuat ia semakin penasaran. Tak jarang Manuela ikut menyanyikan lagu Ulan Andung-andung ketika aku menyanyikannya. Exotiques, katanya. Aku merasa geli karena cengkoknya jauh api dari panggang. Ia berjanji suatu saat akan berkunjung ke Cungking, bukan ke Bali.
Aku sengaja datang pada bulan maulud, karena pada bulan ini banyak kawinan dan aku berharap gadisku naik pentas dan menyanyi seperti dulu. Benar saja, gadisku mengenakan kebaya putih berenda dan bawahan batik warna hijau, siap menyanyi. Entah apa judul lagu yang dinyanyikannya, sebagian liriknya aku dengar ”Ulan katon adoh panggone. Riko adoh kari parek rasane, eman. Hun enteni riko saenteke ulan. Gawanen isun munggah nang ulan, eman.” (Bulan kelihatan tapi jauh, kamu jauh tapi terasa dekat sayang, aku menunggumu hingga habis bulan, bawa aku naik ke bulan sayang). Aku ge-er, berharap lirik lagu itu untukku.
Gadisku terperanjat saat melihat aku menyelinap menemuinya. Tanpa berucap ia menghampiri dan menarik lenganku pergi menjauh. Kawan sebelahnya cuma melirik sekilas dan masa bodo. Pelayanan seperti itu sudah biasa terutama untuk si penyawer.
Mata bola pingpongnya menusuk tajam ke mataku seraya berkacak pinggang ia memaki ”Ke mana saja kau pecundang?” katanya ketus. Hampir saja aku jatuh tak siap menyambut makiannya. ”Puluhan tahun aku menunggu, empat kali aku menjanda karena menunggumu. Dasar pecundang!” makinya setengah menjerit. Aku tak hendak membela diri, mendengar suaranya saja aku sudah senang walaupun itu makian. Ini cinta ataukah birahi? L’amour sans désir est impossibilité.³ Terdengar desahan napasnya yang memburu. Aku biarkan dia melepaskan umpatannya. Akhirnya kudengar ia terisak. Ingin rasanya aku menggapainya.
Sembari terisak ia merogoh-rogoh tas hitamnya yang sejak tadi dikempitnya. ”Ini sematmu. Tak ada lagi gunanya bagiku. Aku berjanji akan mengembalikannya sendiri kepadamu. Supaya kamu tahu betapa lama aku menunggumu.” Ia mematah-matahkan sematku sebelum mengembalikan kepadaku. Ketika kutanya kenapa dipatahkan? Untuk melampiaskan kekesalannya padaku umpatnya sambil menahan isak.
”Lagu yang kau nyanyikan tadi untukku?” tanyaku berharap. ”Iya,” jawabnya dengan tatapan kosong.
”Tapi itu yang terakhir, aku takkan menyanyikannya lagi,” imbuhnya memelas. Tak tega aku mendengar sumpahnya. Ingin rasanya aku memeluk dan mendekap erat tubuhnya, mengelus, menepuk-nepuk punggungnya sembari meminta maaf, seperti yang sering aku lakukan dalam bayang.
Di atas pentas, remaja putri menyanyikan lagunya Rosa yang sedang ngetop ”Ku Menunggu”, seolah mewakili perasaan gadisku selama ini yang setia puluhan tahun menungguku. Perdants!4 Batinku mendamprat diriku sendiri. (Bekasi, Maret 2011).
1)membosankan
2)bahasa Osing hanya bisa dimengerti oleh orang Osing
3)cinta tanpa gairah itu tak mungkin
4)pecundang!
Pilihan Sastri Handayani
Oleh
Sori Siregar
Begitu Sastri selesai membaca berita dan keluar dari studio, Barbara juga keluar dari cubicle—ruang operator tempat Barbara sebagai produser mengawasi karyawan yang bertugas menyiar—dan menyambut Sastri dengan tersenyum.”
”Sastri,” katanya dengan suara lembut. Nama Nicosia harus dibaca dengan tekanan suara pada ”si” bukan pada ”co”. Jadi Nicosia dibaca Nico’sia bukan Ni’cosia.
”Sorry for the mistake, Barbara,” Sastri menyahut.
”Ok. No problem,” sahut produser yang berasal dari Australia itu.
Kemudian kedua perempuan itu melangkah bersama, Barbara ke kamar kerjanya dan Sastri ke ruang kerja para broadcaster. Rekan-rekan Sastri tampak sibuk mengetik bahan program masing-masing di ruang kerja itu. Mereka disebut broadcaster bukan announcer, karena tugas mereka bukan semata-mata menyiar, tetapi juga menyunting, mewawancara, mencari bahan-bahan dari perpustakaan yang akan mereka rangkum untuk program masing-masing, menyampaikan laporan pandangan mata, memperkaya berita dari yang diterima dari pusat pemberitaan (news room), bertugas keluar kota dan berbagai tugas lain yang menyangkut siaran radio.
Begitu Sastri membalik-balik bahan-bahan tertulis untuk acara mingguannya ”Arts in Britain”, Colin, kepala seksi, muncul di pintu masuk dan memanggil Sastri ke kamarnya.
”Sebagai orang yang besar perhatiannya terhadap sastra dan teater tampaknya kamu akan mendapat kepercayaan melakukan tugas yang tidak ringan dari atasan kita.”
”Mr. Hugh House?”
”Bukan”
”Lalu siapa?”
”Kepala Bagian Timur Jauh, Harold Dickens.”
”Tugas apa, Colin?”
”Saya tidak tahu. Tapi ada hubungannya dengan peningkatan persahabatan antara kedua negara, negeri ini dan negeri Anda. Juga ada kaitannya dengan pameran industri negara ini di Jakarta.”
”Oh, goodness.”
”Mengapa? Senang?”
”Tidak malahan takut”
”Takut?”
”Boleh dibilang begitu tetapi juga senang.”
***
”Saya mendengar banyak tentang Anda dari Colin, kepala seksi yang memimpin Anda.
Anda suka teater dan sastra, bahkan katanya Anda menulis karya sastra.”
Sastri hanya tersenyum mendengar kata-kata Harold Dickens, di ruang kerjanya itu.
”Karena itu saya mempercayai Anda untuk melaksanakan tugas ini. Saya rasa dari semua teman-teman Anda, hanya Anda yang dapat melaksanakan tugas ini.”
Setelah itu Harold Dickens menatap Sastri yang sejak awal tidak mengeluarkan sepatah kata pun.
Sebenarnya, di matanya gadis berusia 24 itu terlalu muda untuk melaksanakan tugas yang akan dibebankannya. Tapi ia yakin atasan langsung gadis itu, Colin Wild, mencalonkan Sastri karena prestasi Sastri yang baik walaupun Sastri baru saja melalui probationary period atau masa percobaan enam bulan di kantor itu. Merasa tak nyaman dengan tatapan kepala bagian Timur Jauh itu, Sastri bertanya.
”Apa yang harus saya lakukan Mr. Dickens?”
”Good question,” kata Harold Dickens sambil berdiri dan menyerahkan sebuah buku kepada Sastri. Sastri membaca judul buku itu. Sebagai gadis yang juga senang kepada sejarah buku itu tidak asing baginya karena ia pernah membacanya sebagian di Perpustakaan Nasional di Jakarta. ”History of Java” karyaThomas Stamford Bingley Raffles yang pernah menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada abad ke-19. Merasa ingin tahu lebih jauh Sastri menatap wajah Mr. Dickens.
”Perdana Menteri akan ke Indonesia tiga bulan lagi, untuk meningkatkan hubungan kedua negara. Pada waktu yang sama pameran industri Inggris akan berlangsung di Jakarta. Nah, upaya yang baik ini akan kita meriahkan dengan mengudarakan sebuah sandiwara radio tentang tokoh yang ada hubungannya dengan negeri Anda yang dulu bernama Hindia Belanda. Tokoh itu, banyak melakukan penelitian tentang flora dan fauna di negeri Anda. Raffles ,tokoh yang saya maksudkan, dengan tekun meneliti peninggalan-peninggalan kuno seperti Candi Borobudur dan Prambanan. Ia juga belajar bahasa Melayu dan meneliti berbagai dokumen sejarah Melayu dan sastra Jawa. ”History of Java” yang Anda pegang dan diterbitkan tahun 1817 itu adalah karya tulisnya mengenai penelitian yang dilakukannya di Jawa. Dan jangan lupa bunga Rafflesia Arnoldi yang aromanya menyengat itu diberikan sebagai penghormatan kepada Raffles yang menemukannya.”
Menyaksikan Sastri terus menatapnya dengan sungguh-sungguh dan penuh perhatian, Mr. Dickens tersenyum.
”Andalah yang dipercaya menulis sandiwara radio itu.”
”Saya?” Sastri bertanya karena ia tidak percaya kepada pendengarannya.
”Ya, Anda. Sastri Handayani.”
”Saya tidak pernah menulis naskah drama, apalagi drama radio,” jawab Sastri spontan. ”Saya hanya pernah menjadi pemain dalam sebuah kelompok teater.”
”Colin memperlihatkan novel yang Anda tulis.”
”Novel memang benar, Mr. Dickens, tapi bukan drama.”
”Saya tetap percaya Anda mampu menulisnya. Cukup dengan enam kali siaran dengan durasi masing-masing selama lima belas menit.”
Sastri terdiam. Baginya tugas itu tidak ringan. Waktunya hanya tiga bulan, sedangkan buku yang harus dibacanya cukup tebal. Di meja di depan Mr. Dickens masih ada dua buah buku lagi yang jangan-jangan harus dibacanya juga. Tetapi risikonya pasti ada jika ia menolak tugas ini. Pada waktu yang sama Sastri merasa kepercayaan yang diberikan kepadanya ini merupakan tantangan.
Menulis drama radio dari sebuah buku sejarah bukanlah pekerjaan mudah. Ia harus hati-hati sekali melakukan pilihan, mana yang harus diungkapkan dan mana yang tidak perlu ditampilkan. Pilihan itu harus diwujudkan pula dalam dialog-dialog yang meyakinkan, pekerjaan yang jelas tidak mudah, karena ini adalah peristiwa sejarah dari masa lampau yang jauh.
”Bagaimana?”
”Sastri tidak langsung menjawab. Bahkan, ia pula yang bertanya.
”Mengapa Anda memilih Raffles, bukan tokoh lain atau drama Inggris yang sudah ada.”
”Hanya Raffles yang paling tepat. Dia cukup dikenal di negeri Anda. Monumen istrinya bahkan masih berdiri kukuh di Kebun Raya Bogor.”
Jawaban itu membuat Sastri merasa Harold Dickens tidak ingin mengubah rencananya. Susah untuk dibantah lagi. Di matanya Raffles mungkin akan ditampilkan seindah mungkin tanpa cacat cela. Saat itulah Sastri ingin menguji apakah Harold Dickens memang menginginkan begitu.
”Anda ingin saya menulis drama tentang Raffles seutuhnya, maksud saya apa adanya, dalam keterbatasan sebagai sebuah drama?”
”Benar.”
”Termasuk kedatangannya sebagai penjajah?”
Harold Dickens terkejut. Ia tidak menyukai kata-kata itu. Baginya Raffles hanya melaksanakan tugas dan banyak melakukan yang baik untuk Hindia Belanda termasuk memperkenalkan otonomi terbatas dan membagi Jawa dalam 16 karesidenan, mengubah sistem kolonial dan sistem hukum, memperbaiki kehidupan pribumi di samping menghentikan perdagangan budak dan membuat peraturan yang mencegah kaum feodal pribumi memeras rakyatnya.
”Anda tahu?” katanya menanggapi kata-kata Sastri. ”Raffles mengambil-alih jabatan Gubernur Jenderal dari tangan penjajah Belanda, hanya karena ketika Inggris tiba di Batavia dengan 100 kapal dan 12.000 tentara, penjajah Belanda mengaku takluk dan menyerahkan jajahannya kepada Inggris.”
”Apakah itu tidak berarti Raffles justru menjadi tokoh penting penjajah?”
”Itu hanya pengambilalihan sementara. Karena sangat banyak langkah-langkah yang baik dilakukan Raffles di Hindia Belanda, Inggris menganggap tindakan Raffles berbahaya dan menariknya pulang ke Inggris pada akhir 1815. Ia bukan penjajah, ia hanya mengambil alih jabatan untuk sementara mewakili Inggris.”
Sastri melihat kemarahan di mata Harold Dickens. Namun, hati Sastri berontak. Baginya Raffles tetap penjajah, mewakili negara Inggris. Setelah itu Belanda kembali menjajah negerinya 350 tahun ketika negeri ini masih bernama Hindia Belanda. Itu pun harus diungkapkan betapa pun banyak hal baik yang dibuat Raffles selama bertugas di Hindia Belanda.
Masih dalam suasana marah, dialog tetap berlangsung antara Sastri dan Harold Dickens tentang penjajah dan penjajahan. Mereka mempunyai pandangan berbeda tentang penjajah, dan penjajahan itu paling tidak tentang Raffles yang disebut Sastri sebagai penjajah itu. Debat berlangsung keras sekitar lima belas menit, karena Sastri berani membantah pendapat Dickens. Karena Harold Dickens tetap defensif dan menyalahkan Sastri, dengan suara pelan gadis berusia 24 tahun itu menjawab.
”Maafkan, Mr. Dickens. Bagi saya Raffles tetap petinggi penjajah dan itu harus juga diungkapkan walaupun hanya dalam satu kalimat. Kalau tidak bagaimana saya harus memulai drama ini? Apakah saya harus menyebut Raffles sebagai ilmuwan atau seorang peneliti yang secara sukarela datang ke Hindia Belanda untuk meneliti Candi Borobudur, Prambanan dan meriset sastra Jawa? Apakah saya harus menyebutnya seorang turis yang tiba-tiba berhasrat melakukan penelitian karena banyak obyek menarik di Hindia Belanda?”
Harold Dickens terdiam. Pertanyaan yang masuk akal, pikirnya. Tapi untuk menyebut Raffles sebagai penjajah ia tetap keberatan. Apalagi ia sendiri adalah anggota ”Zoological Society of London” yang didirikan Raffles. Ia tidak punya alasan untuk membantah kata-kata Sastri. Setelah lama berpikir dan terdiam akhirnya ia memutuskan untuk tidak melanjutkan rencananya dan mengakhiri pembicaraannya dengan Sastri. Dia sangat sadar Sastri pasti akan menolak jika ia memaksa gadis itu untuk tidak menyebut Raffles sebagai penjajah. Inilah yang menyebabkan Dickens mengalah.
”Ya, sudah, kalau Anda tidak ingin menulis yang baik tentang Raffles, rencana ini saya batalkan saja,” ujarnya dengan dingin. Ia pun hanya mengangguk dan tidak berkata apa pun ketika Sastri meminta diri.
***
Satu minggu setelah itu, Harold Dickens kembali memanggil Sastri ke kamarnya. Kepada Bagian Timur Jauh itu tampak berubah dan sangat ramah kepadanya.
”Anda punya saran lain sebagai pengganti Raffles? Seingat saya minggu lalu Anda menyarankan drama Inggris yang ada. Drama mana yang Anda maksudkan?” ujar Dickens.
”Bagaimana kalau Shakespeare?”
”Shakespeare? Wah, itu ide bagus. Drama mana yang Anda pilih? ’Julius Caesar’ atau ’Othello’, ’Macbeth’ atau ’King Lear’?”
”Saya memilih Hamlet.”
”Mengapa Hamlet?” Dickens bertanya.
Ketika Sastri akan menjawab, Dickens meletakkan jari telunjuk ke bibirnya, sebagai isyarat agar Sastri tidak menjawab.
”Pilihan yang bagus,” katanya kemudian. Saya pengagum Laurence Olivier yang berperan sebagai Hamlet dalam drama pengarang besar kami itu. Saya senang betul pada kata-kata yang diucapkan Hamlet pada saat ia dirundung keraguan. ”To be or not to be, that is the question.”
”Oke saya akan mengerjakan itu secepatnya,” sahut Sastri.
***
Ketika Sastri sibuk membolak-balik ”Hamlet, Pangeran Denmark” terjemahan Trisno Sumardjo yang dipinjamnya dari perpustakaan, Colin berdiri di depannya.
”Mr. Dickens mengatakan Anda anak yang berani dan keras kepala. Tapi dia senang karena Anda punya jiwa kebangsaan yang hebat.”
Ketika Sastri menatap Colin, atasannya itu mengangguk.
”Colin, aku juga senang kepada Mr. Dickens. Ia orang yang paling berkuasa di bagian Timur Jauh ini, tapi ia tidak mau menggunakan kekuasaannya karena cara berpikirnya tidak sempit. Kemarin ia menepuk pundak saya, karena saya tidak mengambil pilihannya, tetapi mengajukan pilihan saya sendiri yaitu ’Hamlet’.”
Jakarta, 1 Maret 2011
P A Y U N G
Oleh
Veridiana
Dian menjulurkan lehernya keluar jendela. Hatinya senang melihat awan hitam bergulung di langit Jakarta sore itu. Terdengar gemuruh guntur berkepanjangan di kejauhan, mirip suara bergulirnya ban raksasa di jalan beton yang bergelombang dan berlubang.
Sambil berjongkok dan mengintip kolong lemari, ia menarik keluar sebuah payung besar warna-warni kebanggaannya. Besarnya hampir seperti payung yang setia bertengger di atas gerobak penjual buah dingin di ujung gang. Payung ini benda terbaru dan terbagus yang ia miliki saat ini. Warna kainnya masih cemerlang, berbeda warna di setiap lengkungannya. Gagangnya terbungkus kayu yang dipernis warna coklat muda.
Payung itu ditemukan Bapak seminggu yang lalu di bak sampah milik sebuah rumah besar di kompleks perumahan tempat Bapak biasa memulung sampah. Waktu ditemukan, tiga bilah rangkanya terlepas sehingga payung menjadi bengkok jika dikembangkan. Padahal, hanya jahitannya saja yang putus, sedangkan rangkanya masih bagus dan berkilap. Dengan bantuan Bang Ayub, tetangga sebelah rumah, sebentar saja payung selesai dijahit. Ongkosnya gratis, begitu kata Bang Ayub.
Kebetulan ada Mak yang menjaga Diyon di rumah. Sebentar lagi Bapak pulang. Sambil menenteng sandal jepit kuningnya, Dian berjalan mengendap-endap melangkahi tubuh Mak dan Diyon yang sedang tidur pulas, melintang di atas kasur tipis di tengah rumah. Pintu rumahnya berderit pelan saat ditutup.
Sejak payung itu jadi miliknya, hujan membawa gairah baru dalam hidup Dian. Hujan berarti kerja. Kerja berarti rezeki. Seperti Bapak, ia juga ingin membawa pulang sejumlah uang ke rumah. Hari ini payungnya akan beraksi untuk kedua kalinya. Pengalaman pertamanya sebagai pengojek payung seminggu yang lalu menghasilkan tiga belas ribu rupiah dalam waktu dua jam, di tengah guyuran hujan yang tak seberapa deras. Harusnya bisa mencapai paling sedikit enam belas ribu rupiah jika Markun tak mendadak muncul dan merebut paksa tiga calon pelanggannya.
Hari ini pasti lebih banyak, pikirnya. Sekarang adalah waktunya para karyawan—yang bekerja di gedung-gedung tinggi itu—pulang kerja. Mereka yang tak mendapat tumpangan kendaraan akan membutuhkan payungnya untuk menuju halte bus atau pangkalan taksi.
Dian berharap, hujan sedikit lama hari ini. Semoga tak bertemu Markun di hari yang baik ini. Juga tak bentrok dengan Jaka, Bono, dan Ipung, yang rajin bekerja di musim hujan.
Mereka tak seperti Markun yang suka merebut pelanggan. Tapi, Bono gesit luar biasa, karena jam terbangnya lebih banyak dari yang lain. Dia pengojek payung senior di musim hujan. Jika hari sedang cerah, Bono sering menongkrong di gang dengan kacamata hitam kebanggaannya. Biasanya, rambut Bono berkilap seperti habis mandi dan disisir kaku dengan gel hingga membentuk kerucut di ubun-ubun kepala. Dalam hati, Dian berencana membeli gel rambut semacam itu suatu hari nanti jika ia punya uang.
Sambil menyusuri gang, Dian menimbang-nimbang, akan digunakan untuk apa uangnya nanti. Uang hasil ojek payung yang lalu dipinjam Mak untuk membeli beras. Tak apalah, musim hujan belum berakhir, pikirnya. Yang pasti, kali ini ia ingin membelikan Diyon biskuit yang diputar-dijilat-dicelupin itu. Satu bungkus saja, untuk dicelupkan dalam segelas air putih. Tak perlu beli susu karena Diyon sudah cukup menyusu pada Mak waktu kecil. Tapi, boleh juga. Jika rezekinya baik, Dian ingin membeli sekotak susu rasa stroberi. Dian meneguk ludah waktu membayangkan dirinya memutar, menjilat, dan mencelupkan biskuit itu ke dalam segelas susu berwarna semu merah muda.
Dian sudah berencana akan menabung sebagian uangnya untuk membeli payung tambahan. Ia sudah menyurvei harga payung di beberapa toko di pasar. Ada yang berharga dua puluh ribu rupiah, tapi terlihat kecil dan rapuh. Yang kelihatan cukup besar dan lebih kekar kira-kira berharga tiga puluh ribu rupiah. Ia tak mau membeli yang rapuh, supaya tahan lama.
Payung tambahan pertama itu akan disewakannya pada Satrio saat hujan. Bagi hasil seperempatnya untuk pemilik payung. Jika Satrio dapat sepuluh ribu, Dian berhak atas setoran dua ribu lima ratus. Kemudian ia akan menabung terus hingga payung tambahannya ada lima buah. Payung besarnya akan tetap ia gunakan sendiri. Selain Satrio, masih ada Upit, Karyono, Agus, dan Cakri. Mereka pasti juga mau jadi pengojek payung. Yang penting mereka jujur, tidak nakal seperti Markun. Jika hujan, mereka berpencar mencari pelanggan. Payung-payung Dian akan beredar di beberapa halte, rumah sakit, dan ruko-ruko, melalui kelima temannya itu. Kemudian setoran pada pemilik payung akan menambah jumlah tabungannya.
Dian tak dapat menahan senyum saat membayangkan teman-temannya menyetor hasil ojek payung. Tapi, bagaimana jika mereka berlima membohonginya? Atau istilahnya, korupsi? Mungkin saja, Cakri yang genit itu ingin segera membeli gel rambut seperti punya Bono dan tidak melaporkan uang hasil ojek payung dengan jujur. Senyum Dian menghilang. Dahinya berkerut. Lalu…, aha! Ia berseru dalam hati. Sebelum menjadi mitranya, ia akan meminta kelima temannya bersumpah di atas Al Quran, seperti pada pelantikan para pejabat yang dilihatnya di televisi Bang Ayub. Sebaiknya, ia juga meminjam peci hitam Bapak supaya sumpah itu terasa resmi.
Jika rezeki ojek payung baik, Dian ingin membeli jas-jas hujan kecil yang dijual di warung. Jas hujan warna-warni yang plastiknya tipis itu berharga paling sedikit sepuluh ribu rupiah. Ia pikir, sebaiknya, anak buahnya itu jangan sampai jatuh sakit karena diguyur hujan. Jas hujan bertopi itu akan melindungi teman-temannya. Seragam warnanya, semua berwarna biru. Maka mereka akan menjadi Pasukan Biru, penyelamat dalam musim hujan. Tidak bisa gratis, pikirnya. Ia akan menyewakan jas hujannya sebesar seribu rupiah untuk satu kali pakai, saat mereka menyewa payung-payungnya.
Tapi, bagaimana jika Satrio, Upit, Karyono, Agus, dan Cakri lupa pada sumpahnya? Dahinya kembali berkerut. Matanya menatap jalanan. Kakinya iseng menendang-nendang kerikil di depan langkahnya. Sesaat kemudian, sebuah ide menyergap lamunannya. Baiklah, pikirnya, supaya mereka tak lupa, ia akan membeli spidol antiair. Akan ditulisnya di bagian dalam payung. Tuhan ada di mana-mana.
Jujur saja, sebenarnya Dian tak terlalu paham pada kalimat itu. Ia hanya meniru apa yang pernah dikatakan Pak Ustad padanya. Dengan malu-malu, setelah belajar mengaji, ia pernah bertanya, ”Di mana Allah itu, Bapak Ustad?” Pak Ustad mengelus kepala Dian, menatap lekat bola matanya, sambil menjawab, ”Allah atau Tuhan ada di mana-mana, Nak. Di mana-mana…,” Saat itu Dian manggut-manggut. Tapi, sejujurnya, dia tetap tak mengerti. Pak Ustad tidak bilang bahwa Tuhan mengawasi mereka dari atas. Di mana-mana, harusnya berarti di semua tempat, bahkan yang gelap dan tersembunyi. Pikirnya, Tuhan yang Maha Agung itu pasti sangatlah penyayang jika Dia juga ada di sini, di tengah-tengah bau sampah yang menguar tertiup embusan angin dari sungai di belakang rumah.
Jika Tuhan mau berada di sini, apalagi di rumah megah yang dilihatnya di televisi semalam. Tapi, herannya, pemilik rumah megah itu memilih minggat dari rumah dan sedang dicari polisi karena korupsi. Begitulah kata si penyiar berita. Tuhan pasti tahu di mana orang itu, tapi Dia tak bilang. Karena Tuhan tak bilang-bilang apa yang diketahui-Nya, mungkin saja Satrio, Upit, Karyono, Agus, dan Cakri juga tak takut pada Tuhan. Tapi, Dian berencana tetap membeli spidol tahan air itu. Seandainya Satrio, Upit, Karyono, Agus, dan Cakri tidak korupsi, tetap saja mereka juga bisa berhenti jadi anak buahnya dan menyewakan payung milik mereka sendiri nantinya.
Biarlah, pikir Dian. Terlalu jauh untuk dipikirkan. Payung tambahannya saja belum dibeli. Wajahnya kembali gembira karena membayangkan lembaran-lembaran rupiah di kantong celananya.
Memikirkan lembaran-lembaran uang membuat khayalan Dian buntu. Ia tak dapat membayangkan, berapa uang yang bisa ia tabung dengan modal enam buah payung. Bahkan, ia tak pernah membayangkan punya uang banyak. Yang dia tahu, uang adalah penyambung hidup keluarganya sehari-hari. Jika mampu, mungkin ia ingin lebih sering membeli biskuit dan susu, juga sepasang sandal baru untuk Mak. Mungkin juga, suatu hari dia bisa membeli sepasang sepatu bola. Tapi, ia tak yakin karena tak tahu harganya.
Lamunannya terhenti saat tiba di ujung gang. Dian menganggukkan kepalanya pada Bang Joni, penjual buah dingin.
”Hei, Kojek!” Bang Joni memanggilnya dengan suara serak dan melambaikan tangannya pada Dian. Ia memang sering memanggil anak-anak dengan sembarangan. Dian berhenti di depan Bang Joni.
”Jual aja payung kau itu. Buat ganti payung gerobakku ini.”
”Enggak dijual, Bang.”
”Kubayar dua puluh ribu rupiah.”
”Enggak mau, Bang.”
”Berapa?”
”Enggak dijual, Bang.”
Bang Joni mendengus.
”Payung itu terlalu besar buat kau. Lebih besar payung itu daripada badan kau yang macam ikan asin itu, Jek.”
”Biarin, Bang.”
Dian mengeratkan pegangan pada payungnya dan berbelok ke jalanan di sisi tanah kosong berpagar beton rendah. Masih didengarnya Bang Joni memaki-maki dirinya.
Dari kejauhan dilihatnya Satrio. Anak itu makin kurus saja. Ia pasti lebih mirip ikan asin, seperti yang dikatakan Bang Joni, pikir Dian.
”Mau ke mana, Yan?”
”Biasa,” Dian menggerakkan sedikit payung yang dipeluknya.
”Payungmu masih satu?”
”Satu. Nanti kalau ada satu lagi, kamu ikut, Yo.”
Satrio mengangguk sambil mengelap ingusnya dengan pinggiran baju. Lama ia menatap punggung Dian yang menjauh ke arah jalan raya.
Mobil-mobil masih bergerak lancar, tetapi sebentar lagi pasti akan semakin padat karena mendekati jam tutup kantor-kantor. Banyak yang akan membutuhkan ojek payungnya. Seribu rupiah diterimanya untuk satu kali menyewakan. Kadang-kadang ada yang berbaik hati memberi dua ribu rupiah untuk jarak yang dekat.
Dian melihat Markun di kejauhan. Lebih baik pura-pura tak melihat dan melewati jalan lain. Tapi sudah terlambat. Markun berjalan ke arahnya. Dian heran, Markun tak membawa payung di hari semendung ini.
”Hai, Jelek! Pinjam payungnya!” Pantas Markun tak membawa payung. Jantung Dian berdegup lebih kencang. Tak sadar, ia mengeratkan pegangan pada payungnya.
”Jangan, Mar.”
”Sebenar aja, Sompret!”
Markun melotot galak pada Dian. Sengaja dadanya dibusungkan, menggertak. Dian memeluk payung besarnya erat-erat. Bola matanya melirik ke kiri dan ke kanan.
Markun mencibir. ”Enggak ada yang nolongin lu. Mau lari, ha?!”
Markun mendesak Dian mundur sampai merapat ke tembok beton.
”Pinjam. Jangan pelit. Nanti malam gua balikin.”
”Enggak boleh. Gua belum kerja hari ini.”
”Sama donk, Nyet. Bukan lu aja yang butuh duit!”
Bau nafas Markun terbawa hembusan angin. Busuk, sebusuk perbuatannya. Dian melengos, menghindari bau yang menyerang hidungnya.
”Memangnya lu enggak punya payung?”
”Ngapain lu tanya-tanya?!” bentak Markun sambil menyentuh payung. ”Sini payung lu!”
”Jangaaa…an!”
”Sini!”
”Enggak!”
Markun mencoba merenggut payung itu. Tenaganya yang besar menyeret tubuh Dian yang tetap memeluk payung. Markun melepas sebelah tangannya pada batang payung dan melayangkannya pada pipi Dian. Plak! Plak!
”Rasain lu!”
”Aaaa….!”
Buk! Markun mendorong Dian sekuat tenaga ke tembok. Payung terlepas dari tangan Dian. Punggung Dian membentur tembok. Sakit. Matanya mendadak panas oleh desakan air mata yang siap-siap tercurah. Sandal jepitnya putus.
Markun tak membuang waktu. Sebentar lagi hujan turun. Dengan gesit ia berlari. Tujuannya adalah halte bus di dekat jembatan. Di sana rezeki musim hujan menunggu. Lembaran-lembaran seribu rupiah akan berpindah tangan. Siapa cepat, siapa dapat. Siapa yang rajin, siapa yang kuat, akan menuai lembaran rupiah terbanyak.
Dian membuang sandal jepitnya. Telapak kakinya perih, mungkin tergesek kerikil saat tadi Markun mendorongnya kuat-kuat dan menginjak sandalnya. Gagal pekerjaan hari ini. Ia tak memercayai Markun akan mengembalikan payungnya nanti. Seandainya dikembalikan, payungnya mungkin sobek atau patah, tak akan selamat dari kejahilan Markun.
Mendadak Dian teringat Diyon. Biskuit dan susu. Satrio dan teman-teman. Payung-payung tambahan.
Pasukan Biru. Hatinya sakit.
”Bangsaaat….at!” Lidahnya yang tadi kelu tiba-tiba lantang memaki.
Mendengar teriakan itu, Markun menengok dan mengacungkan tinjunya. Lalu, ia melanjutkan larinya.
Kilat menyambar-nyambar. Guntur menggelegar di langit yang makin menghitam. Seorang gadis di tepi jalan menjerit sambil menutup telinganya. Terkejut oleh suara guntur, sekaligus karena Dian yang berlari seperti kesetanan dan hampir menabraknya.
Markun pun berlari dengan lincah, meliuk-liukkan pinggangnya untuk menghindari tabrakan dengan manusia lain yang berjalan bergegas karena khawatir hujan segera turun. Cepat sekali larinya. Entah, karena dia mendadak takut pada Dian yang mengamuk seperti kesurupan karena memburu waktu, atau karena dia tak mau membuat keributan di pinggir jalan yang mulai padat. Markun pernah diciduk Satpol PP saat tawuran.
Ciiiitttt…..!!! Sebuah mobil pikap hitam mendadak mengerem, nyaris menghantam tubuh Markun di belokan pagar beton yang membatasi bantar kali dengan jalan raya. Markun berhenti mendadak dan hampir jatuh karena sandal jepitnya yang tiba-tiba putus. Ia melepas sandalnya dan terus berlari.
”Mampus lu!” Si pengemudi berteriak membentak Markun. Markun tak peduli. Ia terus berlari.
Keterkejutan menahan langkah Dian. Ia membiarkan pikap itu lewat memutar di hadapannya. Mendadak tubuhnya terasa lemas. Sebagian kemarahannya berganti kesedihan. Tetesan air hujan pertama jatuh di kening Dian, diikuti tetesan lain yang semakin banyak. Air tumpah ruah dari langit, menyamarkan air mata yang juga mengucur deras. Pandangan Dian menjadi kabur. Semangatnya mendadak runtuh. Markun menghilang.
Tak ada gunanya berteduh. Dian menyeberangi jalan raya yang semakin padat. Tak ada Markun di jembatan, berarti ia mengojek payung di tempat lain. Di jembatan terlihat Bono, dengan rambut yang tertutup bandana kuning yang sudah basah, sedang sibuk menawarkan payungnya.
Terduduk di median yang lengang. Dian membenamkan wajah di antara kedua lututnya, menghindari tetes hujan yang membuat pipinya pedih. Matanya telah kering oleh air mata. Hanya air hujan yang terus menderas.
Dian menutup mata dan telinganya. Lamat-lamat suara klakson kendaraan terdengar berganti-ganti, seolah berasal dari tempat yang jauh. Dian merasa dirinya mandi di bawah pancuran air bergagang putih. Di sekelilingnya, dinding dan lantai keramik yang juga serba putih, seperti dalam iklan sabun mandi yang sering ia lihat di televisi. Hatinya kemudian mendingin dalam tubuh yang menggigil.
Di hadapannya, mobil-mobil bergerak tersendat.
Tangerang, 30 Maret 2010
*Cerpen ini terinpirasi foto dalam buku Mata Hati yang berisi kumpulan foto Kompas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar