Senin, 07 November 2011

CERPEN KORAN TEMPO



 

Racun untuk Tuan
Oleh
M. Iksaka Banu


BERANDA berbentuk setengah lingkaran, dan seorang perempuan kecil di hadapanku. Sudah ratusan kali aku duduk di beranda ini bersamanya. Biasanya mulai pukul lima, sepulangku dari kerja. Persis seperti saat ini. Ia akan datang dengan kopi serta kudapan dalam toples. Lalu kami bercakap sedikit tentang peristiwa hari itu, atau sekadar termangu menatap kaki bukit, memerhatikan galur-galur ladang tembakau yang tampak seperti permukaan kasur berwarna hijau tua. Pemandangan luar biasa yang tak pernah kujumpai di tanah kelahiranku. Namun karena sejak pagi berkutat di tengah ladang tembakau, seringkali aku lebih tertarik membenamkan diri di balik lembaran koran.

Apabila itu yang terjadi, ia memilih diam, atau menisik baju sambil sesekali ikut menikmati kudapan. Itulah sebagian besar hariku bersamanya, sebelum semua kembali surut, seperti awal kedatangannya di rumah ini. Jauh, asing, bahkan lebih parah lagi: hampa.

Dan sore ini, kehampaan itu menemukan wujudnya: Kopor besar, buntalan kain berisi barang-barang pribadi, serta kebaya ungu yang dengan haru dipakainya untuk menggantikan kebaya putih berenda yang telah akrab dengan lekuk tubuhnya selama enam tahun terakhir.

Sesungguhnya telah kuminta ia membawa seluruh kebaya putihnya. Aku tak mau istriku kelak melihat tumpukan kain itu di dalam lemari. Tapi ia menolak. Takut dianggap menyalahgunakan simbol status, yang kini tak lagi disandangnya. Pernyataan itu ibarat tamparan keras di wajah. Membuatku berpikir, siapa pecundang gila hormat yang dulu membuat peraturan aneh bahwa seorang nyai harus bisa dibedakan secara kasat mata lewat warna bajunya?

Mengapa sehelai kebaya––dan maksudku memang benar-benar kain kebaya––yang berwarna putih memiliki nilai lebih dibandingkan warna lain? Apakah karena dianggap paling dekat dengan warna kulit orang Eropa?

“Imah,”aku berhenti sebentar seolah baru sadar, selama ini aku tak pernah memanggil nama Belandanya.Ya, kurasa nama yang ia ucapkan saat tiba pertama kali dulu memang lebih cocok untuknya dibandingkan Maria Goretti Aachenbach.

“Imah, dengarkan.”

“Saya, Tuan,” jawabnya lirih dalam Melayu. Di wajahnya, kesedihan terpahat jelas meski ia berusaha menyembunyikannya.

“Sekali lagi, aku tidak mencampakkanmu. Engkau masih anggota keluarga,” kugigit pangkal cerutu, lalu kusulut ujungnya dengan korek api. “Jadi, kalau ada masalah, terutama keuangan….” aku mengangkat bahu, berusaha menemukan kalimat lanjutan, tapi tak ada yang hinggap di benak.

“Tuan tak usah memikirkan saya,“ sahutnya. “Tetapi sesekali jenguklah Sinyo dan Nona.”

“Tentu, itu toh rumahku juga,” gumamku. “Katakan kepada anak-anak, mereka boleh menginap di sini setiap akhir bulan.”

Imah mengangguk. Kini, air matanya benar-benar tergelincir. Ingin sekali kuraih kepala berhias bunga melur itu, sembari meletakkan tanganku di pipinya seperti tahun-tahun kemarin, atau membisikkan sesuatu ke cuping telinganya. Bahkan sesungguhnya, ingin sekali kucium bibirnya perlahan untuk memberinya ketenangan, bila memang itu yang ia perlukan saat ini. Sayangnya, tak tersedia lagi pilihan yang lebih baik untuk menyelamatkan sesuatu yang hanya kupinjam sebentar untuk menggenapi kekosongan hidupku tempo hari.

Aku menghela napas. Kuhampiri tumpukan barang di sisi meja. Kutarik sebuah papan berbingkai keemasan. Potret anak lelaki dan perempuan, tertawa girang dalam baju seragam pelaut. Anak-anakku. Lahir dari rahim Imah.

“Mereka punya wajah Belanda. Mereka akan baik-baik saja. Hanya saja….” lagi-lagi aku tak sanggup menuntaskan kalimat.

Imah menyeka mata.

“Ini dunia yang mustahil kaupahami, Imah. Aku pun sering kesulitan memahaminya,” gumamku.


YA, mana mungkin ia, dan mungkin seluruh penduduk Hindia Belanda ini paham, betapa seorang pegawai swasta seperti aku sanggup hidup terpisah ratusan kilometer dari tanah air di Eropa. Lepas dari bangsanya, lepas dari peradaban, untuk ditempatkan di sebuah perkebunan tembakau terpencil di Deli? Aku memang tak akan sanggup… bila hanya sendirian.

Minggu-minggu awal sebagai asisten administratur merupakan masa tersulit dalam hidupku. Ada perasaan terkucil, sepi, gelisah, yang sangat mengganggu sebelum aku berhasil memicingkan mata setiap malam. Mungkin lantaran masih terbawa sisa masalah dalam sehari: menghukum kuli pemberontak, memberi sanksi kepada tandil yang malas bekerja. Memastikan bahwa siklus pekerjaan berputar sempurna agar pasar tembakau di Eropa mendapat pasokan cukup.

Sesungguhnya aku tidak benar-benar sendiri. Ada seorang jongos yang membersihkan rumah serta menyiapkan makanan sederhana untuk sarapan. Ia datang subuh, pulang menjelang pukul tujuh petang. Ada juga seorang tukang kebun merangkap tukang kayu yang tidur di ruang belakang.

Saat aku mulai terbiasa dengan pola hidup seperti itu, datanglah undangan makan malam di kediaman sep-ku, sang kepala administratur perkebunan, Dirk van Zaandam. Selesai santap malam, ia menepuk bahuku.

“Sudah waktunya engkau punya pengurus rumah tangga, Fred. Di negeri ini, akan terlihat aneh bila urusan rumah tangga kaukerjakan sendiri.”

“Aku sudah punya, Heer. Anda sudah bertemu Unang, yang tempo hari memperbaiki meja kerjaku, bukan?” Jawabanku membuat van Zaandam terpingkal-pingkal.

God Almachtig,” serunya di antara tawa. “Bersembunyi di mana engkau selama ini, Fred? Apakah mereka tidak pernah mengatakan hal ini kepadamu? Tak ada lagikah orang baik hati yang membagikan brosur ‘Tata 
Cara Hidup di Hindia’? Itu brosur yang sangat bagus. Tuntunan lengkap menyesuaikan hidup di sini.”

“Pernah kubaca, meski tak yakin apakah brosur itu yang Anda maksud. Tapi aku tahu kebutuhan rumah tangga di sini agak berbeda. Itulah sebabnya aku memelihara jongos dan tukang kebun untuk….”

“Fred, Fred, Fred,” van Zaandam menggeleng-gelengkan kepala. “Lupakan brosur itu.”

Ia masuk sebentar ke dapur, kemudian keluar lagi menggandeng seorang wanita pribumi, yang tadi sepintas kulihat menyiapkan meja makan.

“Fred, ini pengurus rumah tangga. Namanya Mina,” van Zaandam merangkul bahu wanita itu, membuatku sedikit tercengang.

“Mina, sedikit salam manis untuk Tuan Aachenbach?” van Zaandam mendorong Mina ke hadapanku. Wanita berkulit cokelat itu cekikikan, mencubit bahu van Zaandam, lalu membungkuk kepadaku, “Selamat petang. Semoga Tuan suka hidangan tadi,” sapanya dalam Melayu.

Aku berusaha memasang senyum walau dalam pikiran berkecamuk seribu satu hal yang saling bertentangan. Sudah tentu perkara moral tidak termasuk di dalamnya, karena sejak berangkat dari Holland telah kutetapkan bahwa pekerjaan yang akan kugeluti di Hindia ini tidak banyak membutuhkan pertimbangan moral. Apalagi cinta kasih.

Beberapa hari kemudian, atas rekomendasi van Zaandam dan Mina, aku memilih Imah, seorang wanita yang berangkat bersama rombongan kuli wanita dari Jawa untuk menjadi pemetik daun tembakau. Tubuhnya kecil, kulitnya cokelat muda. Wajahnya, menurutku, tidak buruk untuk ukuran rekan sebangsanya, apalagi untuk daerah perkebunan ini. Ditambah lagi, saat datang ke rumah ia sudah didandani habis-habisan oleh Mina, sehingga tampak bersinar di balik kebaya putih berendanya.

“Dia sudah digembleng matang untukmu,” van Zaandam mengedipkan mata.

Aku tak menyangkal. Kehadiran Imah menghasilkan rutin baru yang terasa janggal tapi menyenangkan. 

Mungkin karena ia cukup cerdas, tidak seperti kebanyakan wanita pribumi lain yang sulit sekali diajak bicara.
Pagi-pagi buta, seluruh pelosok ruangan sudah rapi dan bersih. Di meja makan terhidang kopi panas kental, lengkap dengan roti panggang, selai, dan telur rebus. Tengah hari, ia menyuruh Unang mengantar makan siang dalam rantang. Malamnya, setelah seluruh rangkaian kegiatan tuntas dikerjakan, Imah akan menghampiriku di ranjang. Menuang minyak gosok, lantas memainkan jemarinya dari ujung kepala hingga ujung kakiku. 

Meluruhkan kepenatan yang menggelayuti tubuh selama satu hari. Seringkali kegiatan ini berujung pada gelinjang perempuan itu di pelukanku. Ya, Imah dan aku. Tuan dan pengurus rumah. Agak aneh pada mulanya, tapi kami melakukannya cukup sering.

Biasanya setelah gelora besar itu, untuk menit-menit yang cukup lama, kami berbaring saling hadap, tanpa busana. Masing-masing dengan serpih pikiran, yang jarang sekali kami bagi. Untuk apa berbagi? Semakin lama bersamanya, semakin kuketahui bahwa wanita Hindia sangat piawai membaca pikiran. Sekali melihat raut wajah, mereka tahu persis apa yang kita butuhkan. Bagaimana dengan semua berita buruk tentang gundik jahat, pemalas, boros, keras kepala, yang akhirnya terpaksa menanggung siksa tubuh dari pasangannya? Ah, tidak pernah. Tak ada itu di dalam rumah tanggaku.

“Tetapi kau harus tetap waspada,” kata van Zaandam pada suatu kesempatan. “Sekali kausakiti, atau kaubuat cemburu, saat itu pula kau harus hati-hati terhadap makanan dan minuman yang mereka hidangkan.”

“Pil nomor 11?” tanyaku yang segera disambut derai tawa van Zaandam. Aku mengingatnya selalu.

Pada tahun kedua dan ketiga, lahirlah anak-anakku. Seperti keluarga lain, kegembiraan menjadi seorang ayah tak bisa kusembunyikan. Apalagi menemukan kenyataan bahwa dengan separuh darah pribumi mengalir di tubuh mereka, Joost dan Kaatje tumbuh sehat. Tidak mudah sakit seperti anak-anak Belanda totok yang kukenal.

Barangkali lantaran tak lagi memikirkan urusan rumah, aku bisa memusatkan perhatian sepenuhnya pada pekerjaan. Sejumlah bonus berhasil kuraih sebagai imbalan naiknya target produksi serta rendahnya kasus perlawanan kuli di dalam kelompok kerjaku.


MEMASUKI tahun kelima, aku naik pangkat menjadi administratur dan berhak mengambil cuti selama sebulan ke Belanda. Mula-mula aku singgah ke Rotterdam, menyerahkan laporan kerja kepada induk perusahaan, lalu pulang ke Spijkenisse, menengok ibuku yang hidup seorang diri.

Penuh sukacita, Ibu mengundang sejumlah tetangga masa kecilku menikmati makan siang sederhana di halaman belakang. Di situlah, di antara gelak tawa antrean hidangan, aku bersua dengan Helena Huberta Theunis, putri dari Johannes Theunis, teman Ayah.

Helena terpaut usia lima tahun denganku. Aku mengenangnya sebagai gadis kecil yang kelaki-lakian. Selalu ikut main perang-perangan bersama kami, gerombolan anak lelaki. Telinganya lebar, sehingga dulu kami juluki dia si gajah. Siapa sangka kini menjelma menjadi gadis yang anggun. Kami banyak berbincang, menjahit kembali perca kenangan, dan menjadi sangat akrab.

Keesokan harinya, kutegarkan hati bertandang ke rumah keluarga Theunis menemui Helena. Seperti kemarin, sambutan kedua orang tuanya demikian terbuka. Aku memang bukan orang asing. Dulu Mama Theunis kerap mengundang pasukan anak lelaki menikmati panekuk buatannya. Lagipula orang tua mana yang keberatan anak gadisnya didekati seorang wakil kepala perkebunan tembakau Hindia? Kulakukan beberapa kunjungan susulan yang semakin menguatkan hati. Ya, sebuah keputusan besar harus kubuat.

Tepat di akhir bulan, kuajak Helena berkeliling kota dengan kereta kuda milik almarhum ayahku. Ia membawa serta Anneke, seorang teman karib yang juga berperan sebagai chaperone. Sejak pagi, tak putus kami bercakap di antara gedung-gedung lama sepanjang Oostkade, Noordkade, dan Westkade. Dilanjutkan ke Voorstraat, menyusuri Veerweg yang berujung pada dermaga feri, sebelum akhirnya duduk melepas penat, membongkar bekal piknik kami di rerumputan tepi sungai di sekitar Oude Maaspad, dekat pintu air.

Langit Spijkenisse beranjak merah, cuaca dingin berangin. Di seberang sungai, sebuah kincir angin tua berputar pelahan menimbulkan derak berulang yang mencemaskan. Itulah sedikit gambaran tentang keadaan sekitar kami, saat aku minta kepada Anneke dan Helena untuk berhenti sebentar dari kesibukan mereka membereskan bekal makanan.

“Anneke,” kataku. “Aku ingin engkau menjadi saksi pernyataanku kepada Helena sebentar lagi.”

“Pernyataan apa?” hampir bersamaan, Anneke dan Helena menoleh.

Aku merangkak mendekati Helena, kujemput ujung telapak tangannya perlahan. “Menikahlah denganku, Leen.”

Anneke memekik mendengar kalimatku, sementara Helena tergelak, menyembunyikan wajahnya yang memerah.

“Ini sangat mendadak,” ujar Helena. “Apakah aku harus tinggal di Hindia?”

“Apakah itu sebuah kalimat persetujuan?” dalam genggamanku, tangan Helena terasa dingin. Dapat kurasakan pula getar keraguan di situ. Di belakang Helena, Anneke tak putus mengucap mijn God, sehingga dengan sedikit kesal perlu kutenangkan.

“Jadi, bagaimana?” kuburu mata Helena.

“Fred, aku belum bisa memberi jawaban,” Helena menunduk. “Terutama karena aku tak yakin bisa bertahan di sana. Kudengar kehidupan di perkebunan tembakau sangat keras. Banyak pemberontakan kuli. Entah di mana, pernah kubaca kritik seorang pengacara atas perlakuan kejam para pengelola perkebunan terhadap kuli.”

“Van den Brand?” tanyaku. “Sebelum berangkat ke Hindia sudah kubaca brosurnya. Siapa pun akan berontak bila diperlakukan kasar. Sejauh ini kami berusaha bersikap adil. Namun takkan kusangkal bahwa di lapangan bisa saja terjadi penyelewengan moral yang memicu penyerangan terhadap orang Eropa. Bukankah semua jenis pekerjaan memiliki risiko?”

Ada jeda sebentar yang kami gunakan untuk bersitatap.

“Akan kubicarakan dengan orangtuaku. Bersediakah menunggu?” terdengar kembali suara Helena.

Aku memang harus menunggu. Bukan karena orangtua kami tak setuju, melainkan karena jatah cutiku habis. Padahal tak mungkin membawa Helena ke Hindia sebelum meresmikan hubungan kami dalam sebuah pernikahan. Mustahil pula melangsungkan hal ini secara tergesa.

“Kirim saja sarung tanganmu,” tulis ibuku, tak lama setelah aku tiba kembali di Deli. “Bulan depan kami nikahkan Helena dengan sarung tanganmu. Setelah itu ia boleh menyusul ke Hindia.”

Menikah dengan sarung tangan atau keris sebagai wakil mempelai pria, sudah sering kudengar. Sejujurnya aku tidak mendukung laku semacam itu. Bagaimana mungkin Tuhan, yang dipercaya hadir menjadi saksi utama dalam sakramen suci, bersedia memberi berkat kepada benda mati, meskipun benda itu dipegang oleh wakilku di sana? Tapi itulah yang kulakukan. Sebagai balasannya, minggu lalu kuterima sebuah telegram dari Helena: tiba di genoa stop dua minggu lagi belawan stop sarung tangan kubawa stop segenap cinta stop leentje stop.


SUARA langkah kaki kuda diakhiri dentang panjang lonceng delman meruntuhkan lamunanku.

“Imah pergi dulu, Tuan,” perempuan di depanku bangkit dari duduk, meraih barang-barangnya. Gerakan tubuhnya terlihat kaku, seperti di perbatasan antara hendak lekas pergi atau diam di tempat. Pada saat yang sama, ada semacam tekanan keras mengimpit dadaku. Membuat kedua kakiku goyah. Aku tahu, ini perasaan yang biasa berkecamuk manakala kita menyadari akan kehilangan orang yang kita sayangi selamanya. Perasaan yang dahulu juga hadir saat liang lahat ayah tercinta mulai ditimbuni tanah.

“Imah,” kedua tanganku terjulur, nyaris membentuk sebuah pelukan kalau saja Unang tak berlari keluar membantu Imah mengangkat barang-barang ke atas delman. “Cium sayang untuk Sinyo dan Nona,” akhirnya kuloloskan sepotong kalimat. “Dan kowe Unang, lekas kembali setelah antar Nyai.”

Hampir serempak Imah dan Unang mengangguk. Delman memutar arah. Ketika memintas kembali di depanku, Imah berseru: “Sudah Imah siapkan makan malam di meja.”
Aku melambai. Kubiarkan mataku mengikuti laju delman hingga lenyap ditelan tikungan, lantas dengan gontai kuseret kaki menuju ruang makan.

Di balik tudung saji kujumpai makanan kegemaranku: sambal goreng tempe, rendang balado, sayur lodeh, telur dadar, serta semangkuk besar cendol. Kuisi gelas dengan cendol, santan dan gula kelapa hingga penuh. Sejengkal sebelum mendarat di bibir, aku tersentak. Terngiang kembali nasihat van Zaandam. Pil nomor 11. Larutan fenil, arsenik, atau air liur ular kobra. Oh, baru saja aku menyakiti hati Imah, bukan? Ya, bahkan telah kubuat remuk hatinya dengan mengusirnya dari rumah agar istri Eropaku bisa masuk dan tidur di sisiku.

Aku termangu sejenak. Kutebar pandangan. Berharap melihat sebuah tanda, isyarat, atau hal lain yang bisa kugunakan untuk… ah, entah untuk apa. Yang jelas, segera tertangkap olehku jendela kaca ruang tamu yang jernih, bebas debu, dengan gorden berlipit-lipit yang dikelantang sempurna sehingga terlihat berkilau terkena cahaya lampu. Agak ke kanan, terpampang lemari perpustakaanku. Aku mendekat. Buku-buku itu disusun rata sesuai ketinggiannya, dan kupastikan tak ada debu di permukaan setiap buku. Di seberang lemari, terbujur meja panjang bertaplak putih tempat aku biasa menerima tamu. Sisi luar meja tampak lurus tanpa cela mengikuti permukaan tembok di belakangnya. Di sekelilingnya, sebuah sofa berikut tiga buah kursi dibariskan dengan keteraturan jarak satu sama lain yang seimbang. Tepat di sudut ruangan, terhampar sebuah kursi malas dilengkapi selimut serta bantal kecil yang dahulu digunakan Imah untuk merawatku selama sebulan saat terserang malaria. Sungguh, dibutuhkan ketulusan hati mengerjakan itu semua.

Kutimang sekali lagi gelas di tanganku. Lantas kureguk habis isinya. (*)


Jakarta, 25 November 2010

M. Iksaka Banu bekerja di bidang desain grafis dan periklanan. Lulus dari Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB. Bermukim di Jakarta.




 
 
T a r a w e n g k a l
Oleh
Niduparas Erlang
 
 
TARAWENGKAL seukuran pantat gelas belimbing itu telah serupa bara kayu rambutan yang membakarnya. Merah menyala. Seperti cabe matang di pohon. Namun Durahim masih terus membolak-baliknya dengan penjepit dari pelepah kelapa yang dibelah dua, seperti ketika ia membakar terasi untuk membuat sambal. Ah, sambal. Sudah hampir seminggu Durahim tidak makan dengan sambal, meski tetap makan dengan lalapan. Hambar memang, tapi apa boleh buat. Lalapan seperti daun suraung, daun sintrong, daun jatake, jengkol yang sedang dipanennya, atau petai cina, dan sejenisnya masih dengan mudah didapatnya dari kebun sendiri. Tapi cabe? Ahai, ingatannya akan itu semua membuat selangkangan Durahim menjadi semakin perih-nyeri. Apalagi jika membayangkan gerusan setumpuk cabe dibalurkan pada sekitar kelaminnya. Panas dan perih. Barangkali, serupa-serasa dengan penyakit anyeng-anyengan yang tengah dideritanya, yang sedang diobatinya kini.

Belum matang sempurna, pikirnya. Dan tentu saja tarawengkal yang membara itu tak akan meruapkan bau sedap seperti terasi yang dibakar, atau bau gurih ikan asin yang dipanggang—yang juga dijepit dengan pelepah kelapa—yang membuat Durahim akan terburu-buru mengangkatnya, tergopoh mengeluarkannya dari tungku batu bata.

Tetapi kali ini, Durahim tak hendak berlekas-lekas meski sedari tadi semburan asap yang mengepul-bergulung—yang barangkali serupa dengan sepucuk runcing pisau yang ditempelkan di ujung bulu matanya sementara ia dilarang berkedip, atau ditetesi air cabe—telah berkali-kali menggenangkan perih di pelupuk matanya yang kerut-kemerut. Entahlah, asap pembakaran balarak dan kayu rambutan, juga sabut kelapa, selalu dirasainya lebih perih ketimbang permintaan cerai istrinya. Perihnya menyerpih berkali-kali. Terlebih kini, ia didera anyeng-anyengan yang membuatnya tak nyaman terlelap. Ah, biarlah mata memerah, asalkan istriku berhenti marah-marah karena penyakit sialan ini. Penyakit yang datang di saat dan tempat yang tak tepat, pikirnya. Barangkali, mestinya ia memanjakan istrinya di ranjang reot itu ketika anak-anaknya pergi mengaji malam hari.

Ya, sudah dari semalam Durahim merasakan sakit yang teramat pada pinggang dan selangkangannya. Panas. Perih. Nyeri. Berat. Seakan ada setumpukan batu-batu yang menindihnya sedemikian rupa. Ada beribu jarum-jarum halus yang menusuk-tusuk dari dalam di sekitar selangkang. Hingga ia sempat merintih setiap kali kepingin kencing, merasakan perih dan panas pada kelamin ketika cairan itu terpaksa bergulir dan menetes sedikit. Hanya sedikit menetes, namun mengakibatkan ngilu yang panjang di sekujur tubuhnya.

Sejurus, hasrat untuk kencing kembali bertandang yang masih pula dibarengi sakit pada pinggangnya. Maka dijepit dan dikeluarkannya segera tarawengkal yang barangkali telah benar-benar matang sempurna. Ah, panas yang purna, merah yang memesona, seperti telah lama dikulum di kedalaman neraka. Diangkatnya tarawengkal yang mulai memindahkan baranya pada penjepit pelepah kelapa, sejajar dengan matanya yang lamur. Ditiliknya sejenak. Cukup, desisnya sebelum akhirnya ia menggeletakkan tarawengkal begitu saja di atas tanah kering retak-retak, agak ke sisi sebelah kiri dari tungku itu. Dan dengan tergesa Durahim menyingsingkan sarung, mengangkang tepat di atas bara tarawengkal.Tubuhnya meregang. Kepalanya terjenggut ke belakang. Menahan sakit pada pinggang dan selangkang. Dan dari air mukanya yang legam, nampak ia tengah berusaha keras mengeluarkan air kencing sekaligus menahan panas dari dalam, dan panas yang meruap dari bawah yang terasa membakar kulit pahanya.

Seperti perempuan hamil kala melahirkan, Durahim mengejan sekuat maut membetot nyawa, sekuat ruh meronta dari raga. Selang beberapa jenak, terdengar bunyi ceessss dari bawah sarungnya—seperti suara golok usai ditempa dan dicelupkan ke sekolam air. Sementara Durahim bergidik seperti kambing kehujanan. 

Rasa puas sekaligus senang tersirat di air mukanya yang meriak tenang. Ah, benarkah mengencingi bara tarawengkal akan bisa menyembuhkan anyeng-anyengan? Semoga, harap Durahim sembari mundur beberapa jengkal.

Tetapi tiba-tiba air muka Durahim menjadi keruh seketika. Matanya nanap bergetar melihat darah yang berleakan di atas dan di sekitar tarawengkal. Itu bukan air kencing. Atau mungkin air kencing yang telah bercampur darah segar. Dan di atas tarawengkal yang padam, tidak persis di tengahnya, ada sebutir putih sebesar biji kedelai. Tak sempurna lonjong memang, tapi seperti sesuatu yang lunak atau hendak pecah. 

Duhai, dapatlah dipastikan kini apa yang menyebabkan Durahim kesakitan. Ia menahan nyeri dan panas di sekitar selangkangan semalaman.


“MANG, Mang Dur. Pinjam kapak,” teriak Juhro—seorang muda yang giat di karang taruna—sembari menggedor-gedor pintu dapur. Dengan letih dan agak malas, tanpa menimpali teriakan itu Durahim menyongsong pintu yang bagian bawahnya telah keropos dimakan rayap. Memutar tulak, dan menarik gagang pintu.

Terdengar pintu berderit mengilukan gigi. “Mau ngampak apa, Juh?”

“Mang Kajali meninggal, Mang. Jatuh dari pohon jengkol.”

Innalillahi wa innaillaihi rojiun. Durahim terbengong melompong. Kaget dan tidak menyangka, seakan pula tak percaya pada berita kematian Mang Kajali. Memang, siapa nyana maut akan dengan cepat mengusir Kajali dari kampung kelahirannya ini. Betapa kemarin sore Kajali masih dilihatnya sehat-bugar berkeliling berjualan terong dan jengkol sembari berteriak “saenah…nya sae nya ngeunah.” Teriakan khas Kajali ketika berdagang hasil kebun. Tak peduli apa pun yang dijualnya—kacang panjang, terong, jengkol, jagung, atau pete—selalu diteriakkannya kata-kata yang sama. Saenah… nya sae nya ngeunah, berdenging suara Kajali di telinga Durahim. Tentu suara itu datang dari dalam kepalanya sendiri, karena Mang Kajali kini sudah tak mampu berteriak lagi.

Durahim masih terhenyak dalam beberapa jenak, entah menahan sakit pada pinggang atau berduka atas kematian Kajali. Tapi kemudian dapat dikuasainya dirinya sendiri. Sembari masih memegangi pinggangnya seperti seorang jompo yang encok, Durahim mengambil kapak yang tersandar pada bilik bambu di pojok dapur, di dekat gentong air itu. Diserahkannya kapak pada Juhro. “Nanti saya nyusul.”

Demikianlah, di kampung ini, tatkala didapati seorang warganya pergi direnggut maut maka para lelaki muda atau tua akan berbondong berdatangan ke rumah sahibul musibah dengan membawa kapak atau golok. 

Mereka akan menebang pohon, bambu, dan batang pisang, mengumpulkan reranting kering, memungkasi pelepah-pelepah kelapa yang daunnya telah ranggas, dan membelah kayu. Setumpuk kayu bakar harus disiapkan demi melanggengkan tradisi tahlilan selama satu minggu ke depan. Sementara ibu-ibu, termasuk juga istri Durahim yang selalu tampil dengan muka berpupur tebal dan bibir bergincu merah—entah datang ke tempat kawinan atau melayat orang meninggal—juga bergegas ke rumah si mayit sembari menenteng pisau-pisau yang kadang kelewat berkilau. Beberapa di antaranya juga membawa baskom berisi beras satu atau dua liter. Syahdan, upacara kematian harus disambut dan dirayakan sedemikian rupa. Kadang lebih meriah dari sebuah pesta kawinan anak seorang lurah dengan jaipongan atau dangdutan. Bahkan, sahibul musibah yang tengah dirundung duka berkepanjangan itu mesti pula menyambut kedatangan para tetangga. Menyiapkan kopi dan teh dalam teko-teko besar, gula dalam toples, dan batang-batang rokok kretek dalam gelas untuk para pembelah kayu, penggali makam, dan pembuat keranda bambu. Sekadar suguhan dan ucapan rasa terima kasih, barangkali.

Juhro yang melenggok sembari memanggul kapak di pundak kanan, segera disambut dengan sebonggol kayu mahoni sepanjang kira-kira dua hasta begitu ia sampai di samping rumah Mang Kajali. Di sana, tampak beberapa orang yang juga tengah membelah kayu, membikin keranda, dan menyiapkan bedeng untuk memandikan si mayit.

“Langsung ngampak saja, Juh,” kata Mang Mardi, ketua RT yang sekaligus penggagas karang taruna, yang tengah asyik mengaso sembari merokok.

“Iya, Mang,” teriaknya sembari mengangguk. Juhro melepas baju dan mempertontonkan dadanya yang tidak bidang. Lantas diangkatnya kapaknya tinggi-tinggi, diayun sekuat-sekencang otot lengan. Bunyi prak dari kayu yang terluka, meski belum terbelah sempurna, mengambang di udara siang yang lumayan terik. Sekali dua Juhro mengulangi gerakan yang sama, hingga meruaplah bau busuk dari ketiaknya yang berbulu lebat. Keringatnya mengucur sederas pancuran. Ah, bau keringat, bau tengkuk inilah agaknya yang disukai istrinya Durahim. Tapi siapa yang akan peduli dengan bau tubuhnya di siang segerah ini. Orang-orang yang juga tengah ngampak itu barangkali lebih memikirkan aroma bau ketiak dan bau keringatnya sendiri yang jauh lebih hangru dari busuknya ketiak Juhro.

Pada ayun-hentakan kapak yang kesekian kali, batang kayu mahoni sepelukan orang dewasa itu merekah terbelah. Juhro tampak puas dan senyumnya mengambang, melayang-layang, menabrak pipi istri Durahim yang melintas menjinjing pisau. Mata keduanya bersirobok. Seperti anak baru remaja mereka saling melempar senyum.


MALAM menggigil. Suasana muram durja masih melingkungi rumah almarhum Mang Kajali. Suara-suara riuh rendah yang tadi terdengar bergegas membaca surat Yaa-Siin, telah berganti dengan pembacaan doa-doa yang panjang. Orang-orang yang memenuhi ruang sampai teras rumah, tampak khusyuk berdoa dan mengamininya bersama. Di tepi teras, di bawah cahaya kuning yang jatuh lembut dari bohlam 10 wat, Durahim tampak meringis menahan nyeri pada selangkang dan berat pada pinggang. Tangan kanannya yang memegangi dan memijit-pijit pinggangnya sendiri, menyikut Mang Mardi yang kebetulan duduk di sebelahnya.

“Saya pulang duluan. Anyeng-anyengan saya kumat lagi,” katanya berbisik, sembari tangan yang lainnya mencomot beberapa batang rokok kretek dari dalam gelas dan menyelipkannya di lipatan sarung. Mang Mardi hanya mengangguk pelan.

Durahim beringsut, mencari-cari sandal jepitnya di antara sandal dan terompah yang tumpang-tindih berantakan. Pusing mencari, atau karena tak kuat menahan nyeri, ia pakai sembarang sandal. Dengan sarung terangkat sampai ke lutut, Durahim gegas berlari tanpa ancang-ancang. Padahal ia bisa saja kencing di bawah pohon kelapa, atau pohon pisang, seperti biasa dilakukannya ketika berada di kebun. Tapi malam begini, ketika seorang tetangga baru saja meninggal, betapa pamali kencing di sembarang tempat, pikirnya.
Tiba di depan rumah panggungnya yang nyaris roboh dengan napas tersengal terengah-engah, Durahim mendengar rintih-desah istrinya dan suara yang berbisik lemah dari dalam kamar. Beberapa kali terdengar juga bunyi kriet amben. Ah, anaknya barangkali belum pulang dari surau, atau tengah menonton teve di rumah tetangga. Sementara para istri yang ditinggal suaminya pergi tahlilan tak akan ada yang berani ke luar rumah pada malam-malam setelah hari kematian itu. Duh, bunyi-bunyi itu cukup menggelikan, cukup membuatnya geram. Tubuh Durahim menggigil, dan anyeng-anyengan-nya kian menyayat-nyayat. Hening mengambang ke seluruh malam.

Diambilnya sebongkah batu sebesar dua kali kepalan tangan. Ditimbang-timbang dan dilemparkannya ke atas bubungan. Terdengar bunyi genteng pecah, berkepingan, berjatuhan satu dua, dan berhasil menghentikan rintih desah istrinya yang memilukan-memalukan itu. Tapi kini, Durahim memiliki banyak tarawengkal untuk dijadikannya bara, dan dikencinginya. (*)

Catatan:
Tarawengkal, pecahan genting.
Anyeng-anyengan, sakit sulit-kencing.
Balarak, daun kelapa kering.
Tulak, sepotong kayu pipih yang tengahnya dipaku pada tiang pintu, untuk pengunci.
Nya sae nya ngeunah, bagus dan enak.
Hangru, bau busuk.


Niduparas Erlang lahir di Serang, 11 Oktober 1986. Sedang belajar di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Serang-Banten.

 
 




 

Tidak ada komentar: