Rumah Kopi Singa Tertawa
Oleh
Yusi Avianto Pareanom
“Kau masih suka cappuccino kan, Mas?”
“Tentu saja. Ada apa? Kenapa menarik-narik rambut dan senyam-senyum seperti itu?”
“Kalau begitu mari angkat cangkir.”
“Ayo!”
“Kau pembohong yang manis, dari dulu kau memang tak suka minuman ini.”
“Ketahuan, ya? Habis bagaimana, kalau tidak tubruk tidak mantap. Bahkan, kopi kampung yang dicampur bubuk jagung pun lebih enak ketimbang favoritmu ini.”
“Ngawur, ah. Mengapa sih butuh enam bulan pura-pura suka?”
“Aku tak mau membuatmu kecewa.”
“Kenapa tak boleh kalau hanya urusan kopi?”
“E…, aku ingin mengesankanmu.”
“Ha ha ha. Payah, ah. Kalau ingin membuatku terkesan, kenapa tak menari di tengah sana dengan kaki terangkat sebelah dan lidah terjulur?”
“Sungguh?”
“Tidak, dungu.”
Meja 10
“Kalau yang diminta bergerak orang-orang itu agak repot, Bang.”
“Harganya lebih tinggi?”
“Bukan itu, mereka panasan. Bisa geger nanti.”
“Malah bagus, tho?”
“Kalau ada yang mati?”
“Pelankan suaramu.”
“Sori.”
“Prinsipnya, mereka jangan sengaja disuruh bunuh orang begitu, kita ini bukan binatang. Tapi, kalau terpaksa ada yang habis, apa boleh buat.”
“Kodenya apa?”
“Pita biru.”
Meja 4
“Tetap Sora Aoi, Miyabi pipinya nggak halus.”
“Malah alami, dong. Sora sampai sekarang mainnya begitu-begitu saja. Belum berani nggak sensor.”
“Nggak pentinglah itu, kita kan tetap bisa membayangkan.”
“Tanggung.”
“Tapi penghayatannya, Bung, penghayatannya. Bahkan kalau lawan mainnya kayak babi sekalipun, Sora tetap menciumnya sepenuh hati.”
“Layak menang Oscar? Ha ha ha. Okelah, malah enak, kita tak perlu bertengkar siapa milih siapa bila suatu hari tiba-tiba saja kita terjebak di kamar bersama mereka. Tapi, tahu tidak, Bung, sekarang ini di Jepang yang lagi naik daun justru pemain yang tua-tua.”
“Genre mature dan lolita kan sudah dari dulu ada?”
“Bukan, yang ini tua lawan tua, nenek-nenek lawan kakek bau tanah.”
“Jangkrik!”
“Tentu tidak sepopuler film yang pakai bintang-bintang AV yang muda, tapi ada ceruk bisnisnya. Trennya naik.”
“Dan lidah nenek-nenek itu juga bertualang ke bagian tubuh manusia yang tak pernah tersentuh sinar matahari?”
Meja 13
“Kalau lu nggak mau balik, gua bakal jadi homo. Dan, kalau gua kenapa-kenapa, lu yang dosa!”
Meja 7
“Aku ingin setia kepadamu, Maura, janji.”
“Apa maksudmu?”
“Apa maksudmu dengan ‘apa maksudmu’? Setia ya setia.”
“Aneh, kok tiba-tiba bilang begitu. Lagi pula kok tidak deskriptif, katanya dulu pernah ikut kelas penulisan kreatif?”
“Apa anehnya? Justru kamu yang aneh, biasanya wanita tersanjung kalau pasangannya bilang begitu.”
“Aturan mana?”
“Buku roman, telenovela, atau sinetron Korea yang kautonton?”
“Aku kok tidak?”
“Tidak tergetar atau tidak merasa aneh?”
“Deskripsikan apa yang kaumaksud dengan kata aneh.”
“Aneh itu adalah… ah, sial! Ngapain aku harus nuruti keinginan anehmu?”
“…eh, eh, kok main cium, sih?”
“Biarin, gemas. Aku jadi tak mengerti dirimu.”
“Kalau tak mengerti mengapa pakai janji segala?”
“Tak mengerti bukan berarti tak bisa berjanji.”
“Lha itu, Mas Setaku sayang, dungu namanya.”
Meja 2
“Mbak Septi bagaimana?”
“Sedih aku sebetulnya. Tapi, bagaimana lagi. Perasaan merana itu kan susah disembuhkan. Dua tahun terakhir sudah mendingan, tapi minggu lalu kembali lagi seperti dulu.”
“Pas setelah eksekusi?”
“Sebetulnya sebelumnya sudah ketika berita eksekusi si anjing itu mulai ramai di televisi. Tapi, kukira siapa pun yang diingatkan akan nasib buruk anaknya yang mati dirusak dan dipotong-potong akan nelangsa berkepanjangan seperti itu.”
“Anu, menurutmu, pantas tidak aku dolan ke rumah kakakmu itu?”
“Jangan main-main.”
“Aku sangat serius. Kautahu, aku sudah suka kepada mbakyumu sejak kita masih SMP. Sungkan saja yang membuatku menahan diri. Mungkin takut dianggap ingusan juga. Tapi, sekarang kan sudah sama berumur. Lagi pula aku bukan jenis laki-laki seperti bekas suaminya.”
“Aku bilang lagi-lagi, jangan main-main. Kautahu, ia benar-benar… Oke, oke, pelan-pelan, oke?”
Meja 1
“Aku tadi baca di Yahoo, Marion Bartoli bilang IQ-nya 175.”
“Lebih tinggi ketimbang Einstein, dong?”
“Iya, ha ha ha, Einstein cuma 160. Tapi yang ciamik, si Marion ini omong kalau selama ini tidak bilang-bilang karena tidak ingin pamer ia itu pintar.”
“IQ tinggi tapi servis pertamanya kok busuk ya? Peringkatnya biasa-biasa, mana tampang biasa lagi. Cantikan juga Marion Cotillard yang sama-sama Prancis.”
“Jangan dilawankan bintang film, dong.”
“Kalau di tenis juga masih banyak yang lebih mantap. Maria Sharapova tetap yang paling sedap.”
“Kembali ke soal kecerdasan, si Einstein itu sebetulnya sering tidak cerdas juga lho.”
“Soal dia minta bantuan Marcel Grossman untuk ngerjain hitungan matematika Relativitas Umum?”
“Bukan, aku kemarin baca bahwa sebagian besar uang hadiah Nobelnya ludes gara-gara salah pilih investasi.”
Meja 8
“Aku sudah pesankan. Nasi goreng wagyu, marble sembilan.”
“Dekaden betul.”
“Makan enak itu transendental.”
“Tapi masa marble sembilan hanya jadi lauk nasi goreng?”
Meja 7
“Kalau Mas bilang ingin setia, apa itu berarti kau juga ingin aku setia?”
“Aduh, jelas dong.”
“Itu tiran namanya, fasis.”
“Serius ini, memangnya kau tak keberatan aku main gila?”
“Kalau itu maumu, aku bisa apa?”
“Tidak sakit hati?”
“Pasti, tapi apa bisa melarang? Laki-laki dilarang sampai berbuih pun percuma kalau memang punya niatan ke sana. Untuk adilnya, wanita juga.”
“Bisa gila aku sore ini. Bagaimana kalau sudah menikah?”
“Terserah mereka.”
“Kok mereka?”
“Ya mereka yang menikah itu.”
Meja 9
“Si Tennyson ini pasti bodoh atau sok tahu luar biasa.”
“Ada apa, Neng, mendadak sewot begitu? Teni… sopo, tho?”
“Alfred Lord Tennyson.”
“Bos baru di kantormu?”
“Bukan, dia ini… Begini deh, dia ini dulu sekali kira-kira pernah bilang kalau lebih baik pernah bercinta sekalipun akhirnya putus di tengah jalan ketimbang nggak pernah mencintai sama sekali. Apa tidak gemblung, Mbak?”
“Menurutku apik itu, orang jadi punya kenang-kenangan.”
“Ah mending tidak cinta-cintaan. Sakitnya itu betul-betul lho, Mbak. Hati, Mbak, hati.”
“Lho, lho, memang belum lupa tho sama yang kemarin? Kan sudah lama….”
“Ini deh, Mbak, baca.”
“Cilik-cilik hurufnya. Besarin dikit kenapa?”
“…nah, sudah baca sendiri kan. Aku tadi iseng baca di taksi waktu ke sini, dapat terusan dari teman kantor. Bayangkan, Roy C. Sullivan, si park ranger Amerika itu kesamber petir tujuh kali tidak mati-mati, paling lecet saja. Begitu ditolak cinta, langsung bunuh diri. Apa ini bukan lebih baik nggak usah demen-demenan?”
“Jadi si Teni… itu bodoh karena ada orang bunuh diri gara-gara hatinya remuk?”
“Seratus persen, tanpa diskon.”
“Ah, kalau aku kok ora cocok.”
Meja 4
“Lihat tuh mbak-mbak yang baru datang dan duduk di situ. Mantap, Bung.”
“Jangkrik! Matamu itu lho. Apa lupa pelajaran di sekolah? Tataplah orang pada matanya….”
“Kecuali susu mereka benar-benar bulat….”
“Jangkrik! Salah posisi aku.”
Meja 13
“Kalau lu nggak mau balik, gua….”
“Mau apa? Mau apa?”
Meja 7
“Kukira Mas tak pernah memintanya.”
“Jangan menangis ah, malu.”
“Biar.”
“Ternyata kamu yang telenovela.”
“Terserah. Tapi, kalau selama ini Mas Seta ragu-ragu, aku lebih lagi karena tak ada kepastian dari Mas.”
“Kau kan bisa melamarku lebih dahulu?”
“Apa?”
“Katanya progresif?”
“Katanya gentleman, melamarnya tadi kok pakai bentak-bentak?”
“Harusnya bagaimana?”
“Apa yang kaupelajari dari buku roman?”
“Sang laki-laki berlulut, merogoh kantong, dan mengeluarkan cincin.”
“Mengapa tak kaulakukan itu?”
“Tak ada cincin padaku saat ini.”
“Lupakan cincinnya, lakukan berlututnya.”
“Benar-benar telenovela.”
“Biar, ayo cepat.”
“Baik. Maukah kau Maura Wigati Sulaiman menjadi istriku?”
“Dengan satu syarat.”
“Sebutkan segera.”
“Kauhabiskan dua cangkir cappuccino ini.”
“Ternyata kau yang tiran, yang fasis.”
“Biar.”
Meja 13
“Tolong! Tolong!”
Meja kasir
“Oalah, goblok, goblok! Mau mampus kok di warung orang!” (*)
Yusi Avianto Pareanom, editor di Penerbit Banana.
Sang Penulis
Oleh
Noor H. Dee
PENULIS itu mencopot kedua tangannya dan membuangnya ke tempat sampah. Kedua tangannya menggelepar sebentar lantas diam seperti tangan orang pingsan.
Ia mencopot kedua tangannya begitu saja. Tidak dengan pisau dan semacamnya. Tak ada darah yang membuncah dan semacamnya. Tak ada luka yang menganga dan semacamnya. Ia memperlakukan tubuhnya seperti lego yang dapat dicopot dan dibuang semaunya.
Ada kegetiran yang begitu abstrak, yang tak bisa ia katakan, dan ia mengerti bahwa sejak dahulu kata-kata memang seperti itu: tidak pernah bisa diandalkan untuk menjelaskan segala hal. Kata-kata hanyalah sebuah usaha untuk mendekati kebenaran, tapi selalu berhenti di titik hampir. Ia mengerti sekali akan hal itu.
Ia sudah bertahun-tahun menjadi penulis. Setiap detik ia selalu bergumul dengan kata-kata yang tidak pernah setia: menemukannya, mendedahnya, membongkarnya, dan meragukannya. Itu sebabnya ia tidak tahu mesti berkata apa ketika menyaksikan kedua tangannya teronggok di tempat sampah. Seperti kesedihan tapi bukan itu, seperti kebahagiaan tapi itu pun masih kurang tepat. Entahlah. Ia hanya bisa diam, dan ia merasa betapa diam ternyata masih lebih baik dari segala macam kata yang pernah manusia temukan. Alasan mengapa ia membuang kedua tangannya ke tempat sampah cukup sederhana: ia tidak ingin menulis lagi.
Sebenarnya sudah lama sekali ia ingin berhenti menulis. Pena dan kertas telah ia buang, laptop-nya telah ia hibahkan kepada kekasihnya yang gemar berkata-kata kotor, dan buku-buku yang sekiranya dapat membangkitkan gairah menulis sudah ia bakar di halaman belakang dengan menggunakan beberapa batang korek api dan setengah liter minyak tanah. Tidak lupa, hampir setiap malam ia juga selalu memohon kepada Tuhan yang selama ini sering ia khianati, agar bakat menulisnya segera dicabut sampai ke akar-akarnya. Dan, hasilnya adalah setiap malam ia harus menderita sakit kepala.
Ia kesal karena seluruh usahanya selalu gagal. Ia masih tetap terus menulis. Ia menulis di pintu kulkas, di layar telepon genggam, di bak kamar mandi, di bantal, di cermin, di lipatan baju, di kalender, di meja makan, di sepatu, di kantung celana, di permukaan piring, dan di kaca jendela yang jarang sekali terbuka. Bahkan ketika sedang tertidur pun ia masih mampu menyelesaikan dua buah cerita pendek di selimut tebal tempat ia biasa bersembunyi dari dinginnya malam. Ia juga tidak tahu mengapa semua itu bisa terjadi. Ia tidak mengerti mengapa ia masih terus saja menulis. Karena bingung mesti berbuat apa lagi, sedangkan kegiatan menulisnya tidak juga kunjung berhenti, tanpa pikir panjang lagi ia langsung mencopot kedua tangannya untuk kemudian membuangnya ke tempat sampah.
Ia berhenti menulis karena ia merasa menulis adalah perbuatan yang percuma. Ia sudah menulis ribuan puisi, ratusan cerita pendek, dan puluhan novel. Belum lagi ditambah dengan beberapa artikel dan essai yang pernah dimuat di beberapa majalah dan surat kabar nasional. Banyak orang yang kemudian mengidolakannya, memborong semua karya-karyanya, bahkan ada yang sampai tergila-gila begitu rupa kepadanya. Ia memang hanya penulis, tapi popularitasnya sudah hampir sama dengan para selebritas. Setiap kali ia meluncurkan buku baru, berbagai jenis manusia dari berbagai jenis penjuru berbondong-bondong memadati ruangan acara itu. Semula ia memang jumawa dengan semua itu. Namun akhirnya ia sadar, bahwa ternyata semua itu adalah percuma.
Semua itu bermula dari pertanyaan sederhana yang terlontar dari mulut seorang gadis pada saat acara peluncuran bukunya sedang berlangsung, “Apa artinya menulis jika tulisan kita tidak mampu mengubah apa pun?” Pertanyaan sederhana itu ia jawab dengan lancar.
“Menulis adalah semacam katarsis, yang dapat membebaskan kita dari kejumudan.” Ia juga mengatakan bahwa seorang penulis bukanlah nabi, yang diutus Tuhan untuk mengubah suatu kaum. “Tugas seorang penulis,” ujarnya melanjutkan, “bukanlah untuk mengubah keadaan, melainkan hanya ingin mengabarkan tentang segala hal yang sedang terjadi di depan mata kita secara apa adanya.”
Semua yang hadir dalam acara itu mengangguk-angguk, merasa takjub, untuk kemudian bertepuk tangan bersama-sama.
Tidak ada yang tahu bahwa sesampainya ia di rumah, ketika ingin beranjak tidur, pertanyaan itu masih terus membututinya: apa artinya menulis jika tulisan kita tidak mampu mengubah apa pun? Keesokan harinya pertanyaan itu kembali terngiang di benaknya. Di hari-hari berikutnya pun demikian. Sampai akhirnya penulis itu lelah, dan mulai merasa gelisah.
Apa artinya menulis jika tulisan kita tidak mampu mengubah apa pun?
Penulis itu gelisah bukan kepalang. Semula ia tidak peduli dengan pertanyaan sepele itu. Semula ia menganggap bahwa tugas seorang penulis ya hanya menulis saja.Titik. Tidak lebih dari itu. Tapi, entah kenapa, akhirnya ia sepakat bahwa ternyata dirinya adalah seorang penulis yang tiada berguna.
Ia sudah banyak menerbitkan buku, tapi ia sama sekali belum bisa mengubah apa pun. Sebenarnya ia juga tidak tahu apa yang mesti diubah, tapi ia sadar bahwa keadaan memang masih tetap begini-begini saja. Ia sering mengangkat tema tentang kemiskinan dalam setiap cerpen-cerpennya, tapi sampai sekarang kemiskinan itu masih ada dan tak pernah berubah. Ia sering mengangkat tema tentang kerusakan alam di setiap sajak-sajaknya, tapi sampai sekarang masih banyak saja orang-orang yang tidak peduli dengan alam, malah lebih parah dari sebelumnya. Ia juga sering mengangkat tema tentang kemunafikan manusia di setiap novel-novelnya, tapi hingga detik ini kemunafikan itu belum juga hilang.
Begitulah. Akhirnya penulis itu memutuskan untuk berhenti menulis dan membuang kedua tangannya ke tempat sampah.
“Selesai sudah,” gumam penulis itu sambil menjatuhkan tubuhnya ke ranjang. Lebih baik tidak usah menulis sama sekali, ujarnya dalam hati, dari pada menulis tapi tidak pernah dihiraukan sama sekali.
Tidak lama kemudian, penulis itu tertidur.
PENULIS itu terbangun dari tidurnya dan terkejut bukan main. Ia melihat dinding kamarnya sudah dipenuhi dengan tulisan. Begitu pula dengan lemari baju, permukaan piring, sepatu, sampai atap rumahnya pun telah dipenuhi tulisan. Ada yang berupa puisi, cerita pendek, seloka, gurindam, pantun, haiku, dan ada pula yang hanya berupa sekumpulan kata-kata yang tersusun secara acak tanpa bisa diketahui apa maknanya. Penulis itu kembali menderita sakit kepala. Ia yakin betul bahwa semua tulisan itu adalah tulisannya. Bukan tulisan orang lain. Ia tidak tahu kalau pada akhirnya akan menjadi sesulit ini. Ia juga tidak tahu bagaimana ia bisa membuat tulisan-tulisan itu, padahal sepasang tangannya telah teronggok di tempat sampah. Mungkinkah ia menulis dengan kakinya? Atau mulutnya? Atau telinganya? Atau dengan pikirannya? Ia tidak tahu. Kepalanya benar-benar ingin pecah.
“Mengapa jadi sulit begini, padahal aku hanya ingin berhenti menulis? Ah, sepertinya lebih baik aku mati saja!” ujarnya sambil bangkit dari rebahnya, berjalan mendekati lemari pakaiannya yang tertutup, dan susah payah menarik pintu lemari itu dengan gigi depannya.
Di dalam lemari itu tampak sebuah pistol yang mengilat. Ia tersenyum. Ya, lebih baik aku mati saja, ujarnya dalam hati.
Namun seketika itu pula ia terdiam. Ia tidak tahu bagaimana cara menembakkan pistol ke dalam mulutnya. Sebab, ia baru ingat, kedua tangannya telah berada di dalam tempat sampah! (*)
Noor H. Dee lahir di Depok, Maret 1982. Buku kumpulan cerpennya Sepasang Mata untuk Cinta yang Buta (Forum Lingkar Pena, 2008).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar