Kamis, 10 November 2011

CERPEN SUARA MERDEKA



Pembaca Masa Depan dari Selatan
Oleh
Gunawan Tri Atmodjo









KETIGA kakak seperguruannya telah mengambil jatah kitab berbungkus kain hitam yang tergolek di meja. Kini hanya tersisa satu dan itu adalah jatahnya. Dengan tangan bergetar, dia mengambil kitab itu lalu menangkupkan di dada. Tidak ada di antara mereka yang membuka kain hitam pembungkus kitab. Perhatian mereka kini terpusat pada Mahaguru yang tengah sekarat di pembaringan. Di sela kedatangan ajal yang tak tertunda, Mahaguru berwasiat dengan ucapan tersendat, “Kitab itu sejatinya adalah jodoh kalian. Kalian telah disuratkan untuk menjadi tuan atasnya dan memiliki ilmu yang ada di dalamnya. Kalian harus kuat karena kitab itu akan selalu melawan, menunjukkan berbagai jalan yang tidak selalu berujung kebaikan.”

Setelah menuntaskan wasiat, Mahaguru mengembuskan napas terakhir. Keempat murid segera menghambur ke jenazah Mahaguru. Kesedihan mereka segera menguar, memicu sengit udara, dan memeras gumpalan mendung menjadi hujan. Dengan tersaruk, kakak tertua membopong jenazah Mahaguru keluar bilik menuju pendapa. Dia beserta kedua kakak seperguruan mengikuti dengan pisau-pisau kenangan menyayati labirin ingatan. Mereka terkenang segala budi baik Mahaguru yang telah menjadi orang tua bagi mereka saat hanya langit yang menjadi bapak dan bumi menjadi ibu bagi mereka.

Hujan telah menjelma tirai-tirai hitam di pelataran. Kakak kedua yang bertubuh kekar, dengan bertelanjang dada menyibaknya. Dengan ilmu kanuragan yang dimiliki, hanya dengan tangan kosong dalam waktu kurang dari sepeminuman teh, sebuah lubang kubur telah menganga di depan pondok Mahaguru. Seperti wasiat terdulu, Mahaguru ingin jika meninggal nanti dikebumikan di pelataran rumah, di bawah pohon melinjo yang telah begitu tua umurnya. Dengan segenap kemurungan, upacara pemakaman dilaksanakan. Kakak pertama menjadi pemimpinnya. Jika ada yang mampu melihat kegaiban, sesungguhnya ada beribu lelembut yang menyesaki pelataran itu. Mereka ikut berkabung dan jadi saksi doa-doa dari para murid mengangkasa, menyusup di antara celah-celah hujan menuju nirwana.

Seperti hujan yang menggaris malam, perpisahan juga telah menggaris kebersamaan mereka. Malam itu juga setelah pemakaman usai, dengan masih berselimut duka, mereka hendak mengucapkan, “Selamat tinggal!” Sebelumnya mereka berembuk untuk kali terakhir dan membuat beberapa kesepakatan persaudaraan. Salah satunya adalah kesepakatan menjadikan padepokan di lereng gunung itu sebagai pusat dari dunia mereka. Mereka akan menyebar ke empat penjuru mata angin, dan takdirlah yang akan mengantar mereka kembali ke tempat itu. Seperti sudah paham maksud tiap keinginan, mereka memulai perjalanan tanpa meributkan arah. Semua seperti sudah tahu arah yang harus dituju. Kakak pertama menuju barat, kakak kedua menuju timur, kakak ketiga menuju utara, dan dia sendiri menuju selatan. Mereka memulai langkah pertama meninggalkan padepokan dengan sebuah kitab terselib di balik pakaian.

***

SEJAK menuruni lereng menuju selatan, dia telah ribuan kali menoleh ke gunung tempat dia dibesarkan Mahaguru. Semakin jauh perjalanan yang dia tempuh, ujud gunung itu makin tidak tampak lagi. Kini dia merasa benar-benar dilepas untuk mengarungi dunia sendirian. Bekalnya hanya ilmu yang telah diajarkan Mahaguru dan kitab yang kini tersimpan rapat di balik pakaian. Sampai sejauh ini, dia belum berniat membuka kitab itu. Ilmu kanuragan yang diajarkan Mahaguru sudah cukup membuat dia bertahan hidup.
Dia tidak akan menghentikan langkah kaki jika firasat belum menemukan tempat tepat. Makan, minum, dan penginapan seolah dengan sendirinya telah tersedia di sepanjang perjalanan. Dia sudah terbiasa makan buah-buahan dan tidur di pepohonan. Jika keberuntungan sedang berpihak, dia bisa merasakan enaknya makanan yang diberikan orang yang berderma pada pengembara seperti dirinya hingga nasib menuntunnya ke desa itu.

Desa itu lengang seperti kuburan. Sawah-sawah terbengkalai tidak tergarap. Hampir semua pintu tertutup. Tidak ada hewan ternak, bahkan angin pun seakan berhenti bertiup. Satu-satunya kehidupan di desa itu berasal dari kedai tuak di tengah desa. Aroma arak sangat menyengat, dan hanya gerombolan lelaki bertampang kasar yang ada di kedai itu. Dia mengabaikan panorama itu tapi dia tidak bisa mengabaikan adegan yang terjadi di hadapannya. Seorang wanita setengah baya diseret tiga lelaki kekar keluar dari rumahnya sementara anaknya hanya mampu menangis di depan pintu. Perempuan itu sudah setengah telanjang, ada darah mengalir dari sela bibir, yang memaksanya bertindak. Dengan satu gerakan cepat ketiga lelaki itu terjengkang dan lari tunggang langgang. Rupanya mereka memanggil teman-temannya yang bermarkas di kedai tuak. Mereka semua menghunus golok yang berkilat. Dengan ketenangan yang luar biasa dia hanya mematahkan ranting daun waru sebagai senjata. Dengan kecepatan yang luar biasa pula, golok-golok itu segera beterbangan ke udara, dan pemiliknya terkapar dengan memar di sekujur badan.
Begitulah, dengan singkat dia berhasil mengusir para bramacorah dari desa itu. Semua warga desa berterima kasih kepadanya. Dan dia diberi sepetak tanah kas desa sebagai imbalan. Dia menerima semua itu tanpa pamrih balas jasa tapi semata karena firasatnya mengatakan bahwa dia harus menetap.

Di desa itulah dia menanam hidupnya. Dia ikut membangun kembali desa itu hingga mekar kembali. Rona bahagia mulai memancar di wajah tiap warganya. Ada harapan hidup yang tumbuh, tanpa adanya kekhawatiran disatroni bramacorah lagi. Mereka seakan memiliki malaikat pelindung. Dia menerima semua itu dengan rendah hati dan menolak ketika didaulat sebagai kepala desa.

Dia sungguh menikmati hidup dan berasa cukup dengan kemampuan yang dimiliki saat ini sehingga belum berniat membuka dan mempelajari kitab yang diwariskan sang guru. Hidup yang dinikmati membuat waktu berjalan tak terasa. Dia tetap memegang sumpah lajang yang dibaiatkan Mahaguru kepada keempat muridnya tanpa kehilangan kesenangan hidup. Tanpa disadari, sudah satu dasawarsa dia meninggalkan padepokan di lereng gunung itu.

Kerinduannya kepada kakak-kakak seperguruan sejauh ini hanya terobati dengan kabar angin yang mengatakan bahwa kakak pertamanya telah menjadi tabib sakti di barat, kakak keduanya menjadi pendekar kebal senjata di timur, dan kakak ketiganya menjadi pemanggil hujan yang hebat di utara. Dia yakin, semua kesaktian itu mereka peroleh dari kitab yang diwasiatkan Mahaguru. Dia berkeyakinan seperti itu karena mereka memperoleh ilmu yang sama ketika digembleng Mahaguru dan dia tidak memiliki tiga kemampuan itu.
Kabar angin itu seakan memantik niatnya untuk membuka kitab yang diwariskan Mahaguru kepadanya. Dia ingin tahu ilmu langka yang dipercayakan Mahaguru kepadanya. Dengan takzim, dia membuka kitab yang telah sepuluh tahun menemani itu. Kitab yang terbuat dari daun lontar, aksara tergurat samar ada sketsa seperlunya yang juga tidak jelas bentuknya. Berhari-hari dia berusaha memahami kesamar-samaran dalam kitab itu. Hingga akhirnya semua terbaca jelas. Semua laku kanuragan dan kebatinan tertera siap untuk ditunaikan. Dan dia takjub dengan apa yang baru diterjemahkannya. Kitab itu berisi kesaktian untuk melihat masa depan.

Tidak mudah untuk menguasai ilmu tersebut. Tahun-tahun awal belajar merupakan siksa batin yang hebat baginya. Dia tidak mampu menguasai sedikit pun kesaktian itu. Itulah saat-saat ketika dia mulai meragukan kemampuannya sendiri, saat ia mengambil jarak dari kehidupan sekitarnya. Fase-fase itulah yang menuntutnya untuk lebih dekat dengan Yang Maha Kuasa. Dia merasa gagal dan tebersit keinginan untuk mengurungkan niat mempelajari kesaktian itu. Tapi di saat akan menyerah, dia teringat kakak-kakak seperguruannya yang telah menguasai kesaktian masing-masing. Tentu mereka juga mengalami kesulitan seperti ini, pikirnya. Hal ini melecutnya untuk tidak menyerah. Begitulah, perjuangannya belajar mulai memperlihatkan hasil. Setelah lima tahun belajar, kini dia mampu melihat kejadian sepenanak nasi setelah saat ini.

Ada kepuasan menyelinap dalam hatinya. Meski hanya sepenanak nasi, setidaknya dia paham kejadian pada masa depan. Waktu yang dihabiskan untuk laku batin dan kanuragan yang melelahkan tidak sia-sia. Kini, hanya dengan sedikit meditasi, dia jadi tahu apa yang akan terjadi sepenanak nasi kemudian. Ketika dia melihat anak kecil mulai memanjat pohon, dia telah melihat kejadian sepenanak nasi kemudian yaitu anak itu jatuh dan kakinya patah. Ketika melihat seorang petani menuju sawah, dia melihat kejadian kemudian adalah duel antara petani itu dan seekor kerbau yang tiba-tiba mengamuk di tengah sawah. Dia bisa mencegah hal-hal tersebut dengan menasihati mereka. Setelah sepenanak nasi, ada hal yang terjadi sesuai perkiraan tapi ada pula hal yang terjadi di luar dugaan, meskipun ini sangat langka dalam penglihatannya.

Jika saja dia mau berjudi, tentu dia akan kaya raya. Semisal judi sabung ayam di desa sebelah. Dalam tempo sepenanak nasi, dia akan tahu ayam yang akan menang dan dia bisa mempertaruhkan seluruh uangnya untuk ayam itu. Tapi kesaktian tersebut diciptakan dan dikuasai bukan untuk hal itu dan sejenisnya. Kesadaran itu telah tertanam dalam dirinya. Petuah mulia Mahaguru untuk menolong sesama terus terngiang di telinganya. Karena jika disalahgunakan, kesaktian itu akan hilang atau berbalik menyerang pada pemiliknya.

Untuk beberapa saat dia merasakan kegunaan kesaktian ini, tapi masih sebatas untuk dirinya sendiri dan hal-hal remeh menyangkut orang di sekitarnya. Dia merasa kesaktian ini belum layak untuk diterapkan pada orang lain untuk masalah yang lebih besar, karena jika dia akan menolong orang lain menghadapi hal sulit maka dia harus mendampingi orang itu sepanjang keperluannya. Dan hal ini tentu saja akan merepotkannya sendiri. Beranjak dari hal itu pula serta diperkuat kenyataan bahwa kejadian dalam sepenanak nasi ke depan kebanyakan sangat biasa dan dapat diduga, maka dia bersikeras ingin menambah kesaktiannya. Dia merasa belum tuntas menguasai kesaktian dalam kitab itu.

Dan usaha kerasnya kembali dimulai. Dia meningkatkan laku batin dan kanuragan seperti yang tertera di kitab itu dengan berlipat. Penderitaan yang begitu hebat telah dia lalui selama hampir lima tahun hingga akhirnya dia memperoleh kesaktian melihat masa depan sampai dengan sehari setelah saat ini. Dengan sedikit meditasi, dia sudah mengetahui kejadian pada esok hari. Impas rasanya keterampasan hidupnya selama lima tahun dengan memperoleh penglihatan ini. Dia mulai berani menolong banyak orang dengan memanfaatkan kesaktian ini.

Dan seperti keinginan dulu, orang yang akan menghadapi keputusan sulit pada esok hari dapat dengan mudah dibantu. Dia memberi nasihat yang sangat berharga bagi mereka. Dia memberikan jalan selamat bagi mereka.
Namanya pun mencuat sebagai pembaca masa depan dari selatan, sama termahsyur dengan ketiga kakak seperguruan. Sejauh ini dia merasakan masih ada ikatan batin yang kuat dengan ketiga kakak seperguruan.
Tapi kemampuannya ini lagi-lagi dihadapkan oleh keterbatasan. Dia kembali mengecap ketidakpuasan karena orang-orang yang memanfaatkan kesaktiannya terbatas pada mereka yang berada di sekitar desanya saja, yang jarak tempuh dari rumahnya dengan berjalan kaki atau naik kuda kurang dari satu hari. Jika perjalanan lebih dari satu hari dan kebutuhan untuk tahu akan hari esok mendesak, apalah guna bertemu dengannya. Hari tersebut tentu sudah terlewati sebelum bertemu dengannya.

Kenyataan ini terus menerornya. Dan dilihatnya kitab itu seperti lorong misteri yang belum seutuhnya terselami. Kitab itu seakan menggodanya dengan segenap tabir rahasia, seakan menjanjikan ada kesaktian yang lebih jika dia mau memasukinya lagi. Detik itu juga dia putuskan menjalani laku kanuragan dan kebatinan yang lebih hebat dari sebelumnya. Dia siap mengasingkan diri dari kehidupan untuk memperoleh kesaktian puncak dari kitab tersebut. Dia membayangkan dapat melihat masa depan seutuhnya, hingga akhir hayat orang yang meminta pertolongan kepadanya. Dia rela menghilang berpuluh tahun dari peradaban manusia untuk mencapai puncak ilmu ini.

Penduduk desa sudah mahfum akan kelakuannya ini. Jika dia tidak keluar rumah selama bertahun-tahun, mereka akan menganggapnya khusyuk bertapa, meski ada beberapa warga pernah melihatnya di malam-malam tertentu sedang menyunggi bahan makanan atau menandu air. Dia masih dianggap separuh dewa. Ketiadaannya tak mengurangi rasa hormat mereka kepadanya. Dahulu lima tahun menghilang, kemudian lima tahun lagi, dan kini sekitar dua puluh tahun dia tak menampakkan sosoknya di depan warga.

Warga desa secara rela bergantian merawat bagian luar rumah itu. Ada di antara mereka yang memberanikan diri mengintip lewat celah rumah tapi tidak mendapati apa-apa selain rasa bersalah. Kesetiaan mereka senantiasa disuburkan oleh ingatan akan kepahlawanannya saat menumpas para bramacorah.

Kali pertama dia membuka pintu setelah dua puluh tahun menjalani lelaku, dia melihat seorang gadis menyapu pelataran rumahnya. Dengan sekali lihat dia dapat membaca masa depan gadis itu, kelak dia akan dipersunting bandar judi dari desa sebelah, hidup bergelimang harta tapi tidak bahagia, mempunyai tiga orang anak dan delapan cucu, pada usia enam puluhan, gadis itu akan jatuh miskin dan suaminya meninggal, gadis itu segera menyusul sesudahnya. Dia terkagum, begitu sempurna penglihatan ini.

Si gadis yang melihatnya segera mengabarkan hal ini pada penghuni desa lainnya. Mereka kembali menyambut hangat kehadirannya di tengah-tengah mereka. Kesaktiannya yang meningkat juga dengan segera menjadi buah bibir. Orang-orang dari seberang berdatangan meminta bantuannya. Dengan senang hati, dia membantu mereka.

Hingga pada suatu ketika datang orang dari timur. Selain meminta nasihat, orang itu juga membawa kabar bahwa pendekar kebal dari timur telah binasa karena diracun oleh orang yang sangat membencinya. Cerita itu tidak berarti apa-apa baginya. Dia datar menyimak dan cerita tersebut menguap seiring dengan kepergian orang itu.

Dalam diamnya, tiba-tiba dia mendapat penglihatan bahwa besok akan ada dua lelaki tua yang mendatanginya. Dia merasa tidak mengenal kedua pria itu tapi dia akan menyambut mereka dengan baik layaknya seorang tamu.

Keesokan harinya, saat mentari mulai meninggi dia mendengar pintunya diketuk. Begitu pintu dibuka, kedua lelaki tua yang tidak dia kenal secara hampir bersamaan memeluknya, seperti ada gumpalan rindu yang hendak diledakkan di tubuhnya. Dia tidak mengelak dan menerima semua itu tapi ada kata-kata yang membuatnya heran. Seorang dari mereka berkata, “Lama tidak bersua, apa kabarmu adik seperguruan?”
Belum tuntas keheranannya oleh perkataan itu, lelaki tua satunya menimpali dengan pertanyaan yang kian membuat berkerut dahinya, “Tentu kau belum pikun sehingga lupa pada kami, adik seperguruan?”

Setengah mati dia mengingat wajah mereka, tapi tetap saja dia tidak mengenali. “Aku tidak mengenal kalian, sungguh. Kalian siapa?” jawaban berujung pertanyaan ini mengirim kenyataan di benak kedua lelaki tua bahwa dia memang sedang tidak berpura-pura.

“Tampaknya kami harus menyegarkan ingatanmu, kami adalah kakak seperguruanmu yang datang ke sini untuk mengajakmu membawa jenazah kakak keduamu ke padepokan tempat Mahaguru disemayamkan. Kita telah berjanji sebelumnya bahwa siapa saja di antara kita yang meninggal lebih dulu, saudara yang masih hidup harus mengebumikannya di sana.”

Dia tetap tidak dapat mencerna ucapan itu. Suasana tiba-tiba lengang. Hingga seorang yang tampak lebih tua di antara keduanya kembali berucap, “Tampaknya kita semua telah sampai di puncak kesaktian kitab yang diwariskan Mahaguru. Kitab itu sangat sakti tapi juga bukannya tanpa kelemahan. Benar kata Mahaguru, kitab itu akan melawan dan menunjukkan berbagai jalan yang tidak selalu berujung kebaikan, terlebih jika kita berambisi menguasainya sepenuhnya.”

Lelaki tua itu berhenti sejenak sebelum melanjutkan, “Seperti aku yang mampu mengobati segala macam penyakit tapi tak dapat menyembuhkan penyakitku sendiri, mesti itu hanya menghilangkan sebiji kutil. Seperti dia yang mampu memanggil hujan tapi pantang terkena air hujan karena akan membuat lidahnya kelu dan bisu. Seperti adik pertama yang kebal segala senjata tapi hanya sebatas tubuh luarnya saja sedangkan serangan racun dari dalam tubuh dengan cepat mengakhiri hidupnya. Dan kau…,”’ ucap lelaki tua itu terputus sembari menunjuk sosoknya, “Kau mampu membaca masa depan tapi kehilangan masa lalu. Kau telah menjadi pikun, tanpa ingatan tanpa kenangan. Apa yang masih kauingat sepanjang hidupmu?”

Pertanyaan itu menyerangnya tanpa ampun. Dia mencoba mengingat apa yang masih dapat diingat sebelum wajahnya mendadak pucat. Ternyata dia hanya mampu mengingat ketika bangun pada pagi hari tadi dan memakan seiris mentimun. Itulah ingatan terjauh yang mampu ditempuhnya. Dia tak ingat lagi kejadian-kejadian sebelum saat itu. Dia tak ingat kejadian-kejadian sebelum bangun tidur. Tiba-tiba dia jatuh terduduk. Kedua pria tua itu segera memapahnya ke pembaringan. Mulutnya kini menggumamkan pertanyaan entah pada siapa, “Jadi apa gunanya aku mengetahui masa depan tanpa secuil pun kenangan akan masa lalu?”

Kedua lelaki tua itu menyadari keguncangan jiwa adik seperguruannya. Mereka paham bahwa dia akan menjadi sosok yang baru setiap pagi, seperti bayi tapi dengan akal, budi, dan raga orang dewasa. Mereka hanya dapat saling tafsir dalamnya duka ketika dia, adik seperguruan mereka itu, bertanya, “Siapa aku?” (*)









Putri Sang Pemimpi
Oleh 
Abidah El Khalieqy










MENJEJAK tanahmu, lama aku termangu. Inikah bumi yang kaukisahkan itu. Yang menyimpan pundi-pundi karun dunia. Namun sengsara karena ribu-ribu mata terus mengawas dan ribu-ribu tangan terus mengeruk. Tak ada habisnya.

“Ini tumpah darahku, Nona. Jangan sembarang bicara.”

Aku membisu. Melangkah bersama kerinduan. Mata asing namun ramah, menyalamiku dengan senyum dan nyanyian. Kuhikmati embusan angin, jalan raya dan rindang pepohonan. Kulihat juga sekilas gunung-gunung menjulang tinggi, diam, dan kembali tertutup kabut.

Terbayang pula dalam kabut itu, aku bergegas mencari cermin. Paling besar dan lebar. Ingin kupastikan seberapa acak diriku kini. Benarkah katamu, model sisiran rambutku yang bergaya sedikit punk ini, atau gaun yang sedang kukenakan ini memang sedikit kedodoran. Padahal, aku tengah mencoba gaun para putri model Abad Pertengahan yang berumbai-rumbai, dan bermanik-manik pula. Model kuku pun kubentuk seperti kepala kucing, dan kugambari dengan mata dan kumis lengkap dengan sepasang taring menyeringai. Hikhik.
Andai saja engkau tahu dan mengerti tentang gaya, tentang fashion, pasti tak perlu merisaukan penampilanku yang agak asing ini. Karena demikianlah tradisi sebuah gaya, temperamen sebuah citra. Seperti lukisan surealis Salvador Dali, tak masalah judulnya Perempuan Cantik, tapi yang ditampilkan kursi terbalik. Ini seni. Ekspresi jiwa tinggi. Memiliki citarasa yang kuhikmati dengan sepenuh hati. Termasuk selera untuk dan dalam bermimpi.

“Jangan bermimpi, di sini!,” katanya mantap. Haqqul yakin.

“Tapi orang-orang besar pernah bilang, gantungkan cita-citamu setinggi langit. Apa itu bukan mimpi menurutmu?”

“Bukan. Karena kita bukan orang besar. Titik!”

“Kalau bulat dan bundar pasti, hihihi….”

“Juga bukan. Tapi segi delapan!”

Ah! Percuma ngomong sama manusia skeptis begitu. Membiarkan diri tak punya mimpi. Tak punya cita-cita. Mungkin saja kenyataan hidupmu demikian pahit dan berat, jadi tak ada lagi ruang untuk bermimpi dan menggantungkan cita-cita sampai ke langit tujuh. Kasihan benar engkau itu. Masak, mimpi saja tak boleh. Betapa kering dan gersang hidup ini tanpa mimpi. Tanpa jalan setapak menuju multidunia. Dunia warna pelangi.

Rupanya, tak banyak yang tahu bahwa para ilmuwan kaliber dunia juga suka bermimpi. Para pengarang besar amat menyukai mimpi. Para ratu dan raja-raja demikian tergila-gila pada mimpi. Para konglomerat dan teroris dan penambang timah dan penjahit dan ibu-ibu arisan dan batita playgroup dan para caleg dan para ustaz dan sutradara film dan artis-artis, semuanya berumbai-rumbai mimpi. Jangan katakan bahwa para petani, para istri diplomat, para gubernur, para veteran, para mahasiswa itu tanpa mimpi. Semuanya berkuyup dengan mimpi.

“Lagi pula, pernahkah Anda tidur tanpa mimpi?”

“Aku tak mau mimpi. Tak suka mimpi. Bahkan dalam tahap tertentu, membenci mimpi. Menjauhkan hidup dari mimpi. Tak ingin bertemu dengan mimpi.”

“Ah!”

“Ow! Kalau aku lebih suka meniru Nabi Yusuf,” kataku menyentil.

“Dia Nabi dan kita umat Muhamad.”

“Betul. Tapi mimpi Nabi Yusuf direkam Kitab Suci. Berikut takwilnya.”

Dan kulihat dahimu mengernyit, mempertegas tato sujud alias dua tanda hitam di kening, yang biasa dianggap sebagai kuatnya sembahyang pada malam-malam berbintang. Ahli sujud ini meragukan mimpi Nabi Yusuf dan takwilnya. Kurang validkah rekaman Kitab Suci?

“Bukan begitu maksudku. Mimpi yang terberi itu wallahua’lam. Tapi aku tak mau bermimpi. Bahaya!”

“Ah! Masak sih?”

“Iya. Kaulihat kan di televisi. Para caleg yang bugil di arak massa karena edan gara-gara mimpi jadi anggota dewan tapi tak kesampaian. Kaudengarkan cerita mahasiswa S-3 tiba-tiba shalat menghadap selatan gara-gara mimpi jadi doktor tapi gagal. Kaulihatkah tante ganjen tetanggamu tiba-tiba perutnya menggelambir mengerikan gara-gara mimpi bertubuh langsing bak peragawati tapi gagal operasi sedot lemak. Kaulihat kan?”

Aku merinding membayangkan semua contoh yang keluar dari mulutmu. Benar juga, pikirku. Pantas saja alergi mimpi. Satu alasan yang masuk akal. Terlalu berat risiko mimpi yang gagal. Tapi bagaimana kalau ternyata mimpi itu berubah jadi kenyataan?

“Sesekali pergilah ke Rumah Sakit Jiwa. Di sana kau akan menemukan bahwa hampir seluruh penghuninya adalah orang-orang yang gagal meraih impian!”

“Oya? Kau sudah pernah bertandang ke sana?”

“Secara spiritual dan intelektual, sudah.”

“Berarti secara fisik belum?”

“Suatu saat nanti. Karena RSJ akan lebih afdal jika aku bertandang secara jiwa juga.”

Ha! Mantap benar kau ini. Tegas sekali pilihan hidupmu.

Jangan sekali-sekali bermimpi, karena hidup adalah rantai kenyataan. Bukan lompatan impian apalagi khayalan. Itukah alasan mengapa engkau sukses dan berkecukupan? Hidup tenang karena tak digelayuti utang. Tak diganduli hantu sebagaimana kaum pemimpi yang suka awut-awutan. Ya seperti diriku ini. Karena siang malam bermimpi jadi istri diplomat, segala akses menuju sana kuriset satu demi satu. Termasuk tentang kemungkinan gagal dan segala macam kendala. Orang-orang harus kudekati. Teknik-teknik yang mesti kupraktikkan sendiri.

Tentu saja secara intens, aku juga selalu membayangkan kalau calon suamiku itu seorang duta besar untuk negara paling makmur di seantero jagad ini. Kalau hanya negara macam Somalia atau Bangladesh atau Palestina, aku ogah. Paling tidak, calon suamiku mestilah seorang duta dari negara macam Swedia atau Kuwait atau Prancis atau mungkin Saudi yang bertumpuk dinar dan riyal. Hehe.

Akan kugantung cita-citaku di langit itu! Yang penting logis. Masuk akal. Seorang mahasiswi nyaris doktor begini, berparas lumayan aristokrat begini, dari keluarga yang menjunjung arti genetika dan makna perjuangan (termasuk perjuangan mendapatkan jodoh), dengan usia yang cukup siap menerima pinangan, kurang syarat bagaimanakah diriku untuk bermimpi tentang laki-laki diplomat semacam itu?

Masuk akal kan impianku? Bukankah juga, dari impian seperti ini aku dapat merancang masa depan dan menguatkan artikulasi doa-doa. Dan jika doa-doaku terkabul, mimpi itu akan jadi kenyataan. Dream comes true!

“Masalahnya jika gagal, impian tinggal impian, apa yang bakal kau lakukan?”

“Ah! Biasa. Aku cukup berbesar hati untuk menerima kekalahan, termasuk jika impianku hanya tergantung di langit, tak mau turun ke bumi. Itu nasib namanya. Bagian hidup yang sudah digariskan.”

“Baguslah jika masih mampu menerima takdir dengan lapang dada dan luas hati. Aku hanya khawatir, baru bermimpi saja kondisimu sudah awut-awutan begini, entahlah apa yang akan terjadi jika gagal. Semoga arak-arakan si bugil di televisi adalah berita terakhir untukmu.”

“Aku ini putri sang pemimpi, tauk!”

Aku tegaskan diri sekali lagi. Agar aku masih bisa mengintip berbagai wajah gemawan yang indah dan selalu tak terduga. Membawa agenda tersendiri setiap perjalanan udara. Karena wajah awan yang kulalui tak pernah serupa. Berbeda-beda. Persis dengan wajah-wajah para penumpang, selalu berganti dan beraneka. Tak peduli penumpang domestik atau bukan, jika boleh mengabsen, akan kutunjukkan nama baru yang berbeda-beda dalam setiap perjalanan.

Pertama adalah Bu Menteri dengan dua stafnya. Duduk paling depan di kelas eksekutif. Berturut-turut di belakangnya, Keluarga Kerajaan, Para Pengusaha, Para Turis Bule, Para Anggota Legislatif, Para Artis, dan lain sebagainya.

Seperti ibu di sampingku dalam pesawat tadi, tertawa-tawa serakah membisik temannya. “Rupanya kita semua ketagihan negeri ini. Lalu pulang dan kembali lagi. Lagi. Lagi.” Matanya berkilau seperti benda yang melingkar di kedua pergelangan tangannya. Emas murni seberat duka lara para yatim di Ajun. Begitu besar gelang itu, aku belum pernah melihat yang serupa.

Kupikir benda itu hanya pas dipakai para pemain lenong atau ketoprak. Dengan bangganya, ternyata ibu itu berkali-kali menepuk pundak temannya, mungkin biar gemerincing gelang itu sampai ke telingaku, juga telinga semua penumpang. Ah!

Terbayang juga di benak ketika aku menaiki tangga pesawat internasional dengan hati penuh. Mengembang senyuman. Ringan kakiku melangkah mendaki satu demi satu. Usai penantian yang panjang di ruang tunggu, aku lega telah duduk berjajar penumpang yang lain. Merapat jendela karena memperoleh nomor istimewa. Itulah seat number yang selalu kuimpikan. Sebelah jendela. Karena dengan itu, aku bisa melongok gumpalan awan raya nan jelita.

“Inikah penyulingan raksasa milik Tuhan, yang mendaur air dari masa ke masa hingga kiamat tiba?” bisikku dalam hati sendiri.

Pesawat terbang di atas 27 ribu kaki. Kusaksikan keindahan awan yang bergugus-gugus, kadang seperti piramida putih, untaian biru gemunung raksasa. Semesta yang mengerucut, sempurna dalam takbir dan tasbih pada-Nya.

“Hai, jangan melamun, Nona. Tugas kita masih panjang.”

“Ah! Kau ini pelupa rupanya. Aku ini putri sang pemimpi!”

“Sebentar lagi, listrik di sini akan padam.”

“Bukan padam, tapi kematian. Kegelapan mesti ditata ulang, kampung-kampung sekarat diremajakan. Aspal usang penuh korupsi dan pungli perlu diganti. Listrik mati memberi jeda bagi manusia untuk refleksi, keluar dari rasa pengap tipu muslihat, dunia busuk penuh kotoran.”

“Kau bermimpi, Nona. Ini negeri memang banyak cela. Sarat cacat dan mudarat.”

“Oya? Seberapa cacat jika dibanding mimpi-mimpiku?”

“Cacat negeri menghancurkan, cacat mimpimu meleburkan rindu.”

“Ah!”

Aku bergidik. Lalu tergetar. Suasana jiwa timbul tenggelam, mengombak terus tak kuasa diam. Kurangkum segala pikiran tentang takdir, tak ketemu juga larik kesimpulan yang harus kupinggir.

Sepiring nasi telah raib dari tanganmu, Kawan! Lalu ingatanmu mengembara pada baju-baju dan kendaraan dan rumahmu. Juga kampungmu, para janda dan yatim piatu. Ini negeri telah dipenuhi gedung-gedung pertunjukan, banyak dalang dan sutradara yang dikorbankan. Bertahun-tahun, berpuluh tahun membangun, hanya pikun berarak. Peristiwa demi peristiwa digulung bencana. Hati berjuta bengkak-bengkak.

“Jangan melamun, Nona. Ini bandara, bukan taman hiburan.”

“Ah! Kau memang sungguh pelupa”.

“Apalagi jika berada di sisi sang pemimpi, hik hik hik….”

Sepasang kakimu melangkah pasti. Coba menggandengku dengan sentuhan jemari. Padahal kau tahu, sudah sejak dulu aku menghindar dari hal seperti ini. Walau itu di negerimu, dan aku sedang sendiri. (*)


Yogyakarta, 2010









Bapakku Telah Pergi [ 1 ]
Oleh
R Giryadi








Bapakku telah pergi
menemui pembakaran
ruang suci tempat selesaian



tapi ekor-ekor yang ditinggalkan
membelit tubuhku….

PUISI karya sahabatku yang aku temukan di antara sisa duka setelah kepergian Bapak, seperti belati yang menyayati kulit. Kata demi katanya seperti merajam hati, menelusup ke lorong gelap sejarah keluarga kami.
Kata-kata itu seperti membetot seluruh organ tubuh Bapak yang membeku. Tubuh Bapakku yang terbaring di atas ambin, tiba-tiba seperti bangkai tikus yang kemarin digilas mobil.

Bahkan kata-kata itu dengan sangat kejam telah membongkar sejarah kehidupan keluarga kami. Ya, keluarga kami telah dijadikan lahan untuk ejekan. Bahkan lebih kejam, tubuh Bapak yang telah mebusuk di pembaringan abadi masih dicukil-cukilnya hingga ia tak sempat wawancara dengan para malaikat.
Puisi itu memang tidak sempat dibacakan di depan mayat Bapak. Tetapi puisi itu terselip dalam tumpukan buku-buku. Entah mengapa saat jasad Bapak dibungkus kain kafan, aku teringat puisi itu. Tidak tahu mengapa puisi itu seperti menyembul sendiri di antara rak buku.

Saat itu tubuhku seperti terguncang-guncang, saat kata demi kata seperti mencuat dari mulutku. Kata-kata itu seperti jendela besar, yang tembus pandang dengan masa lalu Bapak. Jendela itu seperti labirin yang menyimpan rahasia masa lalu. Dalam labirin itu, sahabatku memunguti tapak-tapak hitam Bapak. Kemudian ia mencatatnya dalam kepala hydrosevalus-nya, sebagai kata-kata yang indah.

“Indah?”

Ini sudah keterlaluan. Sahabatku yang kupercaya bisa menyimpan rahasia, telah meramalkan kematian Bapak dengan sangat keji. Ia seperti kelelawar atau burung hantu yang sekali mengepakan sayapnya, mampu merubah malam menjadi begitu menakutkan.

Aku yakin puisi ini disiapkan bukan untuk meghormati kepergian Bapak. Tetapi dengan keyakinan penuh, puisi ini diciptakan untuk menghitamkan sejarah kami.
Bacalah pada bait berikut puisi ini:



menciptakan jarak, yang ujungnya
masih dipegangnya
batasnya tak teraba
maka jadilah itu hantu

Puisi ini mungkin sudah dilupakan orang. Atau orang-orang tidak tahu menahu tentang puisi ini. Tetapi orang lebih banyak tahu, di sudut rumah kami yang gelap sering muncul siluet orang merokok sambil berdehem-dehem.

“Apa itu suara Bapakmu?”

Orang-orang bergunjing. Bapaku yang meninggal karena serangan jantung itu, telah menjelma menjadi bayangan hitam dengan ekor yang menjuntai dan melilit-lilit tubuhnya. Orang-orang berbisik, sembari matanya menatap tajam pantatku, seolah-olah di pantatku ada ekor. Ekor yang teramat panjang dan melilit-lilit tubuhku.

“Jadi kamu punya ekor!”

Orang-orang menggambar diriku di tembok-tembok kampung dengan arang. “Monyet yang dikutuk jadi hantu!” tulis mereka.

Membaca itu semua, buku tipis yang berisi puisi sahabatku ini seperti ingin membakarnya. Tetapi saya teringat pesan luhur: membakar buku, membakar pikiran orang lain. ‘Itu tiran!’

Tetapi, kata-kata ini lebih tiran. Aku menduga, sahabatku sedang merencanakan kudeta besar-besaran terhadap tahta keluargaku.

“Otak penyair bukan otak udang, kan?” keluhku pada Shoim, salah satu sahabatku di makam leluhurnya. Ia sedang mengorek-orek pekuburan. Ia sibuk mencari pisang yang nyangkut di perut yang tidak berhak.
“Ia diamanatkan lahir di bumi sebagai malaikat,” kata Shoim, yang kemudian senyumnya merekah karena telah menemukan sebiji pisang di perut mayat.

“Ia makan pisang yang bukan haknya,” kata Shoim sambil menunjukan mumi pisang.
Melihat pisang yang sudah seperti mumi itu, tiba-tiba aku teringat perut Bapak yang membuncit. Aku melihat diperut Bapak tertanam beribu-ribu tundun pisang yang bukan haknya. Aku menggali kuburan Bapak. Di kain kafannya yang telah rapuh ada tulisan mirip rajah. Tulisan itu tak lain dan tak bukan, bait puisi sahabatku itu :


bapakku telah pergi, memang
tapi hantunya itu demikian kuat
demikian mendesak
sampai bagian dalam tubuhku
bergetar, berpusar, seperti
tubir, seperti gerigir

“Apa kamu tidak memahami kata-kata ini. Bahkan ia menciptakan puisi ini jauh sebelum Bapakku mati!”
Sahabatku yang guru ini tampak lebih dewasa menerima kemarahanku. Ia tersenyum. Tetapi saya kira senyuman itu ejekan buatku. Meski tidak terucap, tetapi telingaku mendengar dengus hatinya: “Kamu bodoh!”
Aku memang bodoh. Tetapi puisi ini telah mengusik pikiranku yang bodoh ini. Apalagi barisan kata-kata itu seperti telah menelanjangi orang yang sangat aku hormati. Apakah kamu tau, saking menghormati, aku tak berani meneteskan air mata di depan mayat Bapakku. Beliau pernah mewejangku tentang makna menghormati. Beliau kisahkan tentang  tewasnya seorang  penjahat di depan anaknya yang kelaparan.
“Ia tidak menangis. Semakin menangis perutnya semakin melilit-lilit. Ia malah mengasah pedang, dan menyelipkan di sisi pinggangnya. Hidup harus diperjuangkan,” kata Bapak.
Kata-kata Bapak itu persis seperti yang dikatakan dalam bait berikutnya :


si sayap-sayap tembikar
yang selalu melipatiku
seperti ladang-ladang itu
tanah harapan, dimana
aku telah menyerahkan kesetiaan
bangkit dan runtuh dan bangkit

Kukira ini benar. Selama beradab-abad keluarga kami telah membangun ladang-ladang. Menghijaukan tanah-tanah gersang. Menanami jagung, padi, dan palawija. Menata batu-batu menjadi benteng dan candi-candi. Membangunkan mereka yang tertidur. Menidurkan mereka yang kelelahan. ‘Gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharja.’ Begitulah kami menyebut keberhasilan mengolah sawah dan ladang.

Bapakpun sangat menyukai nyanyian, Kolam Susu. Yang satu baitnya menyebutkan, ‘orang bilang tanah kita tanah surga. Tongkat dan kayu jadi tanaman….’. Kami selalu menyanyikan saat akan menaman padi atau palawija. Tetapi setelah lagu itu diangap tidak progresif revolusioner, tiba-tiba kami seperti kehilangan doa. Bahkan kami seperti kehilangan sawah ladang tempat kami hidup. Kami seperti hidup dalam gelembung. Hampa. Rentan. Dimata-matai. Kemudian lenyap! Dan di dalam puisi sahabatku itu terselip sejarah kami.


demikianlah asal mula
aku membikin sebuah lahan di gelembung
demikian seterusnya aku mengada.

“Kamu membela!” sergahku dan segera meninggalkan Shoim karena aku melihat dari matanya tumbuh pisau.

Lama aku merenungkan kecurigaan pada puisi sahabatku ini. Sementara hantu Bapak dan ekornya semakin melilitku. Ibu hanya sembunyi di balik bayangan hitam Bapak. Matanya berkaca-kaca. Mulutnya komat-kami seperti merapal doa. Entah doa apa?

Dan entah mengapa, setelah kepergian Bapak, sahabatku yang tinggal di kota penuh jelaga hitam dan angin laut itu, seperti ditelan gelombang. Aku sempat bertanya pada sahabatku yang lain yang tinggal di atas gunung garam.

“Apakah ia seorang pengkhianat?” tanyaku.

“Tidak!” serunya.

“Kalau begitu mengapa ia sembunyi setelah membunuh Bapakku dengan keji?”

“Membunuh?”

“Aku menyebutnya seperti itu….” jawabku ragu.

“Bacalah dengan lebih baik,” kata laki-laki hitam legam, sembari mengayuh sampan, dan menghilang di balik gunung garam yang menjulang di antara dua lautan luas.

***

1000 hari kepergian Bapak telah berlalu. Seiring dengan berlalunya hari-hari mengingat Bapak, kabar berita mengenai sahabatku, yang telah menciptakan puisi untuk Bapak, semakin tak kudengar. Tetapi, aku sempat membaca puisi-puisinya yang penting di koran-koran.

Dari sekian puluh puisi, hanya ‘Bapakku Telah Pergi’, yang terus mengusik nuraniku. Dan entah mengapa, puisi itu seperti diciptakan untukku. Atau lebih tepatnya mengutuki nasibku.

Belum sempat aku memikirkan bagaimana menuntaskan dendamku, tak dinyana-nyana, sahabatku datang sambil menenteng tas karung terigu berwarna kuning gading.

Belum sempat aku menyambutnya, ia sudah nyerocos tidak karu-karuan. Ucapannya seperti keluar dari telinga, mata, mulut, dan dubur. Tidak ada henti. Kepala hydrosifalus-nya seperti menumpahkan semilyar kata-kata dan membuatku terbungkam.

Sorry, aku tak sempat melawat,” kata sahabatku saat napasnya hampir habis.
Aku masih tertegun dibuatnya.

“Aku hanya ingin menyampaikan ini,” kata sahabatku, sembari menyerahkan buku ‘Ciuman Bibirku yang Kelabu.’ [2] “Ini pelunasan hutangku,” lanjutnya.

Aku menatap matanya yang bergerak ke sana-kemari seperti kelereng. Aku seperti dihipnotis oleh sinar matanya yang seperti mercury. Aku menerima buku bersampul coklat bergambar bibir merah merekah.
“Sampai jumpa lagi ya!”

Aku seperti terpaku di tanah. Aku pandangi kepergian sahabatku yang bertubuh seperti mentimun bungkil itu. Ia berjalan mekeh-mekeh. Aku seperti melihat ekor di pantatnya. Ya, ekor itu sempat menyumbul, ketika ia kencing di semak-semak depan rumahku.

Aku segera membuka bukunya. Dan tiba-tiba hantu Bapak menyeruak dari lembar-lembar buku itu. Menuding-nudingku dengan sorot matanya seperti kilat.

Aku berlari. Berlari sampai di bibir kuburan Bapak yang tak terawat. Di nisan yang berlumut aku menangis: dan inilah doaku yang pertama, setelah Bapakku pergi.

dan bukan atas hantu: [3]
“Hantu Bapak”



bapakku telah pergi, memang
menemui pembakaran
ruang suci tempat selesaian…. (*)



Sidoarjo, 2006-2010

R Giryadi, lahir di Blitar, 10 April 1969. Lulusan Sarjana Pendidikan Seni Rupa IKIP Surabaya 1994. Selain bergiat di teater, ia menulis cerpen, esai, dan puisi. Karya-karyanya selain dibacakan diberbagai kesempatan, juga dipublikasikan di media massa seperti, Horison, Surabaya Post, Kompas (Jawa Timur), Jawa Pos, Radar Surabaya, Surya, Suara Merdeka, Suara Karya, Sinar Harapan, Media Indonesia, Suara Indonesia, Bende, Aksara, Majalah Budaya Gong, Majalah Budaya Kidung, dll. Kumpulan cerpennya Mimpi Jakarta (2006), Dongeng Negeri Lumut (2011). Kumpulan naskah dramanya Orde Mimpi (2009), Dewa Mabuk (2010).

Keterangan :
[1] Pinjam judul puisi Mardi Luhung. Puisi ini pernah dimuat dalam buku tipis bertajuk: ‘Bapakku Telah pergi’ Puisi Penyair Pilihan Bengkel Muda Surabaya 1995.
[2] Antologi puisi Mardi Luhung 2007 yang juga memuat puisi ‘Bapakku Telah Pergi.’
[3] Bait terakhir puisi ‘Bapakku Telah Pergi’ karya Mardi Luhung berkala, Gresik 1995. Ditulis Mardi Luhung, tepat satu tahun meninggalnya bapak penulis cerpen ini.








Sebuah Surat untuk Phytagoras
Oleh
Sungging Raga










Kita adalah sepasang angka sederhana, sepasang angka dalam rumus sisi miring segitiga.
APAKAH kita sedang berbalas puisi?

Tiba-tiba sebuah algoritma menarik kita ke dalam malam yang sepenuhnya tak biasa. Malam yang menawarkan sudut pandang paling indah tentang cinta yang buram dan remang. Tak ada bulan malam itu, tak ada lampu merkuri yang membuat napasmu terang oleh cahaya. Hanya ada kata dan angka, yang membuat kita merasa sedang bercanda di bawah tetesan musim bunga.

Seperti matematika, kau pun memilih untuk mencari jalan terjal untuk menyelesaikan rumus sederhana di hadapan kita, sebuah rumus air mata, sementara aku memutuskan untuk bersikap pengecut menunggumu tanpa romansa. Bahwa cinta bisa begitu berbatu oleh kata-kata, itu juga sudah kau ucapkan. Kau seperti menarikku ke dalam kepergian yang asing, yang belum sempat kucatat setiap jejaknya. Dan kau tahu? Kita tidak hidup di sebuah segi tiga sama kaki yang menjadikan segala yang simetris menjadi berharga, kita lebih suka untuk mendefiniskan segala sesuatu sebagai sebuah segi tiga yang memiliki sebuah sudut siku-siku, sehingga kita bercinta di garis phytagoras, dan aku ingin merangkulmu dari sudut yang paling sepi itu, tanpa terangnya romantisme yang penuh kamuflase, tanpa hakikat kesabaran merangkai asmara lewat jalinan air mata.

Tetapi bukankah masing-masing dari kita terpenjara oleh perhitungan buta? Bahkan ketika pintu itu terbuka, ketika segi tiga rekayasa itu menelan setiap kata dan angka, kita tak pernah pasti menyatakan bahwa kita akan bercerita. Kau yang berdiam di sana, hanya merasa sebagai perempuan paling luka, sementara aku seperti lelaki yang paling mudah terbaca.

“Apakah kita bisa melakukan sesuatu di dalam segi tiga ini?”
Bahkan kesetiaan seperti lampu-lampu redup yang menaungimu. Bahkan aku tak tahu apakah hatimu seperti pintu keluar dari sebuah diskografi perpisahan. Ataukah kau hanya sebuah cermin dari setiap duka yang senantiasa merapatkan rongga-rongga perasaan. Sama seperti romansa sepasang remaja berkaca mata di
dalam kelas matematika, kita menjadi terlalu rumit, sangat rumit untuk dipecahkan.

Terkadang kubayangkan kita hanya manusia purba, hanya mengenal alam yang diam, ketika setiap kata-kata akan berbau daun-daun basah yang segar, atau hijau seperti bukit-bukit teh di dataran tinggi, atau kita hanya sepasang angsa yang hidup dalam puisi anak-anak, kubayangkan seperti itu, sehingga kita tak perlu membuat prasasti tersendiri untuk membubungkan cinta yang bergerigi.

“Ini hanya segi tiga, bukan cinta segi tiga.”

Dan waktu terasa berjalan amat cepat, padahal waktu tak beranjak. Detik masih terangkai di ujung jarum yang jauh. Tetapi kita telah membuat jarum sendiri, memutar keraguan kita sendiri. Aku tahu, bahwa keraguan bisa menjadi bangkai waktu, mungkin karena itulah aku ingin mempersingkat waktu, meski mereka bilang bahwa cinta akan lebih indah jika disampaikan lewat gerbong-gerbong metafora, tetapi aku ingin bicara saja dengan detonasi bocah kecil yang ceria.

“Tunggu, padahal aku belum melakukan apa-apa,” katamu segera.

Tunggu, bukankah seorang perempuan bisa melukai tanpa harus melakukan apa-apa? Bukankah perempuan bisa menggali setiap jurang dalam diamnya yang abadi? Mungkin kita adalah sepasang angka yang tersesat.
Atau kau yang membuatku tersesat dari sebuah pintu keluar yang terbata-bata.

Sebab ini panggung segi tiga. Rawan air mata.

Bahwa pertanyaan-pertanyaan terkadang tidak memberikan pilihan jawaban, kau pun telah mengatakannya. Sebenarnya kita tidak membuat kerangka algoritma, sebab angka-angka telah siap, dan huruf-huruf berbaris rapi membentuk wajahmu yang maya. Tetapi perhitungan ini terlanjur menghitam, membentuk jalinan rumit tentang sebuah melodrama kesetiaan.

Barangkali aku hanya berdiri di sudut paling lemah di kelopak matamu, sudut yang kadang terang kadang padam, dan aku tak memiliki ekspektasi apa pun untuk menyentuhmu. Kita tahu, kita hidup di dalam fiksi yang berjalan, kita adalah monolog yang bersilang di sisi miring phytagoras, yang jika bertumbukan maka hanya akan ada pecahan kematian abstrak. Dan kau seperti telah melakukan segala sesuatu, bahwa angka-angka dan kata-kata tidak benar nyata, kau seperti menggenggam sesuatu yang halus dalam diriku, sesuatu yang mudah raib, seperti air mata.

Lalu bagaimana dengan kemungkinan-kemungkinan itu? Bahwa aku akan membawamu beranjak dari segi tiga itu, bahwa aku telah berjanji untuk mengajakmu berdiam di sudut-sudut terindah rel kereta, dan hanya kita berdua selamanya, maka aku akan tenang memandangmu, layaknya memandang langit yang menumpahkan sampah-sampah hujan. Oh. Apakah kita juga akan tertembus hujan? Sebab hujan adalah garis-garis yang tak pernah bisa diterjemahkan oleh angka-angka. Karena kita tahu, cinta yang tergesa-gesa selalu cemas oleh hujan.

Sekarang sudah kutulis semua keraguan itu, kulenyapkan semua kemungkinan yang tak berpenghuni. Kelak jika bisa kugenggam erat tanganmu, akan kuajak kau ke stasiun paling bisu di sepanjang rel kereta itu, rel kereta yang mengenal betul jejak-jejak musim bunga, dan kubiarkan kau lenyap dalam batas rel yang mengerucut seperti segi tiga.

Maka pejamkan matamu, sebab dalam jarak tak berhingga ini, kita akan saling menguji betapa imaji kita terlalu tajam, meski sesungguhnya aku tak punya cukup bahasa bahkan hanya untuk membayangkan rambutmu yang menumpahkan ilusi yang terus memanjang.

“Sebab aku ingin bercinta tanpa mata di sini.”

“Tanpa metafora?”

“Tanpa metafora.”

Ya. Bersama imajinasi yang tergesa ini, bersama sisa aroma kata-kata yang terbakar ini, aku telah berjanji, akan kutelusuri semua sudut segi tiga, dari sepasang bintik buta dan hatimu….

Sampai aku menjadi air mata terakhir di hatimu yang kaca, airmata yang terus meneteskan airmata. (*)


Situbondo, 2010










Bukan Sekadar Air Mata
Oleh 
Indra Tranggono










RIBUAN kilometer waktu telah ditempuh Rosoh memasuki kota demi kota. Belasan sepatu telah ia pakai: satu jebol diganti sepatu lain. Puluhan galon keringat tubuhnya telah membasah dan menguap. Satu tujuan Rosoh: ibukota negara Krusantarel. Tepatnya, Istana Presiden Klobodan.

Laki-laki asal desa kecil Tembiz itu bisa saja menumpang bus, truk, atau kereta api. Namun, ia telah bersumpah untuk menemui Presiden Klobodan dengan berjalan kaki, sepanjang hampir 1.500 kilometer. Sumpah itu diucapkan, setelah Tatum—anak bungsunya—meninggal akibat serangan demam berdarah. Tatum menyusul empat kakaknya—Darel, Morgi, Burka, dan Arka—yang juga meninggal karena demam berdarah.
Krani—istri Rosoh—keberatan dengan tindakan suaminya itu. Apalagi, Rosoh pergi dengan membawa lima tengkorak yang digali dari kubur anak-anaknya. Krani tidak tega menyebut suaminya gila, namun ia juga kesulitan menemukan kata lain.

“Aku menggali kubur anak-anakku sendiri. Aku memeluk tengkorak mereka karena aku sangat menyayangi. Apakah aku salah?” ujar Rosoh dengan tatapan pasti.

“Ini bukan soal salah dan benar. Kamu memang punya hak. Tapi, tindakanmu tidak wajar, sayangku….”

“Lima anak kita mati karena rumah sakit menolak mereka. Apakah itu wajar? Rumah sakit selalu curiga kepada orang miskin macam kita, Krani. Dan, semua hanya diam. Aku merasa negara telah tiada. Apa ini juga wajar?”

Krani terdiam. Kalimat suaminya terasa menikam. Dadanya terasa dipenuhi tumpukan sekam. Mata Krani basah, bukan karena sekadar air mata. Krani memeluk suaminya. Ia merasakan tubuh itu sangat dingin.

“Usiamu hampir tujuh puluh tahun, Sayangku. Apakah kamu kuat? Ingat, perjalanan itu sangat berat.”

“Krani. Aku ini lahir untuk jadi petani, makhluk paling kuat di planet bumi ini.” Rosoh tersenyum. Ia membalas pelukan istrinya.

“Pergilah, Sayangku. Pergilah….” Krani memperkuat pelukannya.
Matanya basah, tapi bukan sekadar karena air mata.
***

LIMA tengkorak yang diuntai dengan rantai besi itu menggantung di leher Rosoh. Tengkorak-tengkorak itu sering saling beradu ketika Rosoh berjalan; menimbulkan suara kemlothak. Rosoh tersenyum. Ia merasa mendengar suara anak-anaknya yang saling bercanda. Ya, mereka sangat bahagia, melebihi menikmati pesta atau piknik keluarga, pikir Rosoh. Pesta? Piknik? Ah, tidak juga, ujar Rosoh dalam hati, membantah pikiran sendiri. Bukankah aku belum pernah mengajak mereka pesta atau piknik? Bagaimana mungkin petani sayur miskin macam aku bisa membuang uang sebanyak itu? Jika aku tidak miskin, pasti anak-anakku tidak mati secepat itu. Maut, ternyata bisa juga memandang kelas. Rosoh tersenyum. Ia merasakan mendapatkan tambahan tenaga dalam perjalanan yang bahagia.

Kota demi kota telah dimasuki. Tempat demi tempat telah disinggahi untuk sekadar istirahat atau tidur. Warung demi warung telah dimasuki. Rosoh pantang meminta atau mengemis. Ia membeli makanan dan minuman yang dibutuhkan.

Banyak orang menaruh iba padanya, dengan memberi uang, namun dengan rasa hormat dia tolak. Rosoh merasa tindakan yang dilakukan menjadi tanggung jawab pribadi. Ia tidak ingin merepotkan siapa pun.
Setiap orang yang berpapasan dengan dirinya selalu berhenti dan mengamati seluruh tubuh Rosoh, tapi ia tidak hirau. Ada puluhan wartawan yang mencegat dan ingin mewawancarai Rosoh, tapi niat itu ditolak dengan halus. Alasannya, Rosoh tidak sedang mencari sensasi. Ia justru berharap semua orang menganggap tindakannya sebagai peristiwa biasa dan wajar. Semua orang yang bernasib sama dengan dirinya, bisa melakukan jika mau, ucap Rosoh dalam hati.

Tanpa seizin Rosoh, ternyata koran, majalah dan televisi telah memberitakan peristiwa aneh ini dengan gegap-gempita. Apalagi, tindakan itu dikaitkan dengan keinginan Rosoh untuk menemui Pesiden Klobodan. Rosoh benar-benar marah. Ia ingin protes, tapi tak tahu caranya. Maka, ia memilih membiarkan semua kabar itu berlalu. Namun, tidak bagi Pasukan Ketertiban Kota.

Dengan empat anjing pelacak, Pasukan Ketertiban Kota memburu Rosoh. Mereka menemukan Rosoh di ujung kota, di sebuah tempat ibadah yang sunyi. Empat anjing itu menggonggong sangat keras, membuka paksa mata Rosoh yang terpejam, berdoa. Rosoh bangkit dan langsung menyelamatkan lima tengkorak anaknya.

Anjing-anjing itu menyerbu tubuh Rosoh. Mereka berusaha menggigit, namun Rosoh melawan. Ia mengayun-ayunkan tongkat. Anjing-anjing itu terpukul dan terkapar. Bukannya lari, anjing-anjing itu malah kembali menyerang Rosoh. Rosoh kewalahan. Ia berlari. Namun, Pasukan Ketertiban Kota mengadang.

“Bapak kami tangkap!”

“Alasannya?”

“Melanggar ketertiban!”

“Saya tidak membuat kacau. Saya selalu tertib di jalan.”

“Bapak membawa benda yang tidak wajar di tempat umum!”

“Tidak wajar? Ini tengkorak anak-anakku sendiri.”

“Itu tidak penting! Pokoknya benda ini kami sita! Silakan jika Bapak akan meneruskan perjalanan!”
Petugas itu merampas lima tengkorak.

“Saya tidak mungkin pergi ke Ibu Kota tanpa tengkorak anak-anak saya!” Rosoh merebut lima tengkorak.
Terjadi pergulatan. Rosoh berhasil mempertahankan tengkorak anak-anaknya.

“Bapak telah melawan petugas, berarti melawan hukum!”

“Hukum siapa?”

“Hukum negara!”

“Negara yang mana? Negara siapa?”

“Ya, negara kita!”

“Kita siapa? Jangan seenaknya mengucapkan kata kita!”

“Bapak kami tangkap!”

“Kalian tidak punya hak. Tidak ada undang-undang dan hukum yang melarang siapa pun membawa tengkorak anaknya.”

Pasukan Ketertiban Keamanan itu berusaha menggelandang Rosoh. Tapi Rosoh meronta dan melawan. Rosoh berhasil lolos dari kepungan para petugas. Ia berlari. Terus berlari. Anjing-anjing bergegas mengejar. Rosoh melompat ke truk yang sedang melintas.
***

ROSOH tersenyum, ia sudah sampai di Ibu Kota. Ia mempercepat langkah menuju Istana Negara. Di depan Istana Negara, pasukan keamanan berjaga-jaga, lengkap dengan pagar kawan berduri, panser, dan mobil penyemprot air. Rosoh gemetar. Ia pun mulai menimbang-nimbang: meneruskan langkah ke tujuan atau memilih pulang. Ia memandangi lima tengkorak anaknya. Mereka seperti tersenyum kepadanya. Keberanian Rosoh pun terpompa. Ia pun melangkah dengan gagah.

Di seberang Istana Negara ternyata telah berkumpul massa. Rosoh kaget, ternyata mereka pun membawa tengkorak manusia. Tengkorak-tengkorak itu mereka acung-acungkan, sambil berteri ak-teriak menyebut nama Presiden Klobodan.

Rosoh memutuskan bergabung dengan mereka. Ia mendekati gerombolan orang yang juga berkalung tengkorak.

“Ini tengkorak siapa?” ujar Rosoh kepada seorang laki-laki.

“Yang ini, istri saya. Yang ini dan ini, anak-anak saya.”

“Kenapa mereka mati?”

“Isteri saya mati karena diare. Dua anak saya mati karena demam berdarah. Jika rumah sakit tidak menolak, pasti mereka bisa tertolong dan tidak mati secepat ini. Bapak sendiri membawa tengkorak siapa?”

“Lima anak saya….”

Mereka saling memandang.
 
Mendadak muncul seorang lelaki muda. Dengan wajah terbakar, ia memanjat tembok sebuah bangunan di seberang istana.

“Saudara-saudara, karena Yang Mulia Bapak Presiden Klobodan tidak bersedia menerima kita, maka marilah kita kumpulkan tengkorak-tengkorak yang kita bawa. Di sini, kita akan menyusun tengkorak-tengkorak itu menjadi candi, demi menambah keindahan kompleks Istana Negara ini. Kita berharap, setiap Presiden Klobodan lewat, akan melihatnya dan menikmati pemandangan yang indah ini. Setuju?”
Orang-orang menjawab, “Setuju!”

Orang-orang pun menaruh tengkorak di pinggir jalan. Tumpukan tengkorak itu terus bertambah, meninggi dan terus meninggi hingga puluhan meter.

“Marilah, kita mengheningkan cipta dan berdoa untuk seluruh keluarga kita yang telah meninggal….”
Doa menggeremang. Lagu “Gugur Tengkorak” mengalun panjang.

Suasana khidmat itu berantakan, ketika terdengar letusan senapan dan derap sepatu lars, diikuti gemuruh mesin panser. Ratusan petugas merangsek ke kerumunan orang. Mereka menghalau dan membubarkan kerumunan pengunjuk rasa itu. Orang-orang pun berlari lintang-pukang menghindari pentungan atau desing peluru.

Hanya Rosoh yang tetap bertahan di sana. Seluruh tubuhnya telah kenyang pukulan dan hantaman. Ia pun mandi darah. Tapi ia tak surut langkah. Ia tetap bertahan. Ia tetap berdiri menjaga lima tengkorak anaknya dari amukan petugas.

Panser-panser pun bergerak cepat. Terdengar suara gemuruh reruntuhan candi tengkorak. Butiran-butiran tengkorak itu menggelinding, melesat, saling tumpang tindih dan bercecaran tak karuan ketika panser itu menabrak candi tengkorak. Rosoh melesat, mencoba mencari dan menyelamatkan tengkorak anak-anaknya. Ia tenggelam di lautan tengkorak yang berserakan.

Lima tengkorak anaknya itu berada hanya beberapa centi dari tangannya. Namun, sebelum tangannya meraih, panser itu mendadak melindas tengkorak-tengkorak itu. Rosoh menjerit menyebut nama anak-anaknya. Rosoh terkapar. Sebutir peluru bersarang di dadanya.

Rosoh menangis, tapi yang keluar bukan sekadar air mata. Ia pun merasakan dadanya basah. Ia mencium bau anyir darah. Mendadak pandangannya gelap, namun dalam beberapa saat berubah terang, sangat terang, seterang siang. Ia melihat lima anaknya tersenyum dan memeluknya. Mereka membawa Rosoh terbang melesat ke langit, menembus gumpalan awan putih. Inilah piknik keluarga yang membahagiakan itu, pikir Rosoh. (*)


Ndalem Tirtonirmolo, Yogyakarta, 2010










 

 



 

Tidak ada komentar: