Lantai 9, Malam-malam
Oleh
Budi Maryono
RE menyusupkan foto La di bawah bantal. Sebenarnya, satu jam belumlah cukup untuk menikmati senyum perempuan yang memberi dia cinta tanpa syarat dan dua anak manis itu. Tapi Re tak mau terhajar gelisah karena rindu. Rindu pada masa lalu yang acap menggapai-gapai. Rindu pada pagi yang riuh, siang yang gaduh, serta malam-malam tukar napas dan peluh.
“Sebelum bertemu denganmu, aku tak percaya ada laki-laki yang sedemikian penuh cinta hingga membunuh hasrat sendiri untuk melukai,” kata La pada malam pertama yang kemudian lewat tanpa percik darah.
Re tersenyum dengan dada terbusung. Tak sia-sia selama ini dia mengoleksi aneka topeng dengan berbagai ekspresi. Bukan topeng kayu, apalagi tembaga, melainkan topeng kulit yang bisa amat melekat ketika dia pakai hingga tak memerlukan tempat penyimpanan khusus selain wajahnya. Cermin pun tak tahu, apalagi La.
“Sebelum bertahun hidup bersamamu, aku ragu ada laki-laki yang sedemikian penuh sayang hingga membunuh hasrat sendiri untuk mengembara malam-malam,” kata La pada entah malam keberapa setelah keduanya masyuk bercinta.
Re tersenyum dengan dada agak sesak. Cermin yang selama ini baik-baik saja, tadi pagi tiba-tiba meretak. Dia curiga, kaca pemantul itu mulai bisa melihat seringai di balik berlapis-lapis topeng di wajahnya. Atau, ini yang membuat dia teramat waswas, selapis dua lapis topeng itu telah mengelupas terkikis angin malam nan beringas.
“Ternyata kau bukan laki-laki yang berbeda. Hanya anak-anak yang membuatmu masih mau pulang, itu pun cuma badan. Hati dan pikiranmu tak pernah turut ke rumah. Selalu tertinggal entah di mana, di hati dan pikiran entah siapa….” kata La pada sebilah dini hari sebelum mereka bertengkar hebat dan berkeputusan pisah ranjang.
Re kehilangan senyum dengan dada nyaris meledak. Tak hanya cermin sekarang, bola matanya pun meretak. Hampir tak ada lagi yang bisa dia sembunyikan dari rasa La. Rasa yang kian lama kian tajam saja serupa pisau yang dipakai oleh para penjagal untuk membeset kulit binatang. Satu sesetan lagi, Re pasti telanjang.
“Kini aku sangat yakin, laki-laki dan cinta tidak punya hubungan darah. Kau pun tak terkecuali. Maka nikmatilah kelelakianmu sendiri!” kata La yang kemudian berjalan menjauh dari rumah bersama dua buah hati mereka, Lu dan Ka.
Re meledak. Berkeping-keping.
***
RE memutuskan untuk keluar dari kamar hotel yang dia tinggali tiga hari ini. Ke mana? Tak tahu dia. Saat jiwa payah karena kerja dan hanya kerja, yang terpenting memang bukan pergi ke melainkan keluar dari. Setelah menutup pintu dan memasukkan kunci ke dalam saku, dia berjalan lambat di lorong hotel yang mati, tak ada kehidupan sama sekali. Lantai 9 yang lengang. Teramat lengang.
Sampai kemudian Re mendengar suara batuk-batuk kecil. Perempuan! Dia lihat jam tangan berwarna cokelat legit: 11.45. Hampir tengah malam.
“Mau ke mana dia?” batin Re meski belum melihat sosok perempuan itu.
Ketika hampir sampai lift, barulah dia tahu, perempuan itu tak hendak ke mana-mana. Hanya membaca komik atau mungkin malah novel grafis di sofa dekat lift sembari merokok.
Perempuan itu mendongak, menatap Re, tersenyum, dan kembali ke bacaan. Re hanya sempat membalas senyuman itu sekilas dengan anggukan. Dia pencet tombol lift, ke bawah. Begitu pintu terbuka, cepat-cepat dia masuk. Namun sebelum pintu menutup dan lift bergerak turun, dia lempar kerlingan. Sama. Ternyata sama. Perempuan itu juga mengerling padanya. Batuk-batuk karena tersedak asap rokok, namun tak kehilangan senyum yang pada malam di mana dan kapan pun pasti menggoda. Maka melekatlah senyum itu di benak Re.
“Kau selalu begitu! Tidak pernah tak tergoda, bahkan oleh senyum basa-basi belaka!” Bukan. Kali ini bukan suara La pada suatu ketika. Itu suara hati. Suara yang muncul setiap kali Re ingin atau hendak berpaling dari rumah. Dan seperti biasa, Re mengabaikannya. Karena itu dia mengubah arah. Bukan lagi pergi entah ke mana melainkan hanya sampai di teras hotel, berdiri sejenak untuk memenuhi rongga dadanya dengan udara malam, dan kembali ke lantai 9.
Angka 5 menyala.
Thing!
Pintu lift terbuka. Seorang perempuan dengan rambut sedikit acak-acakan masuk, tersenyum, berdiri persis di sisi Re. Parfum yang sangat maskulin melabrak hidung. Re ingat aroma itu. Aroma kemarin malam. Aroma yang membangkitkan keisengan hingga dia dan perempuan itu berciuman tanpa tujuan. Malas berbincang tapi sama-sama ingin membunuh waktu luang dari lantai 5 sampai lantai 9. Begitu pintu lift terbuka, keduanya keluar dan berjalan ke arah berlawanan. Re ke kiri, perempuan itu ke kanan. Tak pernah saling kenal, seolah tak pernah pula berciuman.
Hasrat yang sama tak muncul lagi malam ini karena Re telah terpikat senyum perempuan yang sedang membaca komik atau mungkin novel grafis sambil merokok di dekat lift lantai 9. Senyum yang baginya jauh lebih menggoda ketimbang kenikmatan ciuman tanpa tujuan. Saat perempuan berparfum sangat maskulin itu mengubah posisi badan, tidak lagi bersisian tapi berhadapan, Re menahan diri kuat-kuat agar kejadian kemarin malam tak terulang.
“Sedang jatuh cinta rupanya?”
“Ya,” jawab Re, namun buru-buru meralat, “Ah, belum. Baru tergoda. Terpikat.”
“Hebat!”
Re berkerut kening.
Seraya merapatkan badan, perempuan itu melanjutkan, “Kau hebat. Belum jatuh cinta, sudah setia. Bahkan tak mau mengulang ciuman yang tidak punya arti apa-apa selain membunuh waktu luang.”
Re tertawa lirih dan mundur setelapak. “Aku tidak sedang setia,” katanya, “Aku hanya sedang menahan diri demi kenikmatan atau semogalah juga keindahan yang lebih.”
Giliran perempuan itu yang tertawa, juga lirih, lalu dengan sedikit jinjit dia desahkan kata-kata ke telinga Re,
“Harapan bisa semenawan sekaligus serapuh gelembung sabun. Kita tiup pelan-pelan, ia terbang dan memantulkan cahaya aneka warna. Namun sekali terbentur, ia pecah dan kembali menjadi air bersabun. Jika nasib sedang buruk, mungkin saja memercik dan memedihkan mata.”
“Amsal yang bagus. Sayang, nasib buruk adalah teman lamaku.”
Perempuan itu tersenyum sinis, mengubah posisi kembali bersisian. Dua-duanya diam menunggu pintu lift terbuka di lantai 9.
Thing!
Perempuan yang tadi membaca komik atau mungkin novel grafis sambil merokok itu kini sudah berdiri, tersenyum sangat lebar dan merentangkan tangan, kemudian memeluk perempuan berparfum sangat maskulin yang melompat keluar. Dalam saling peluk itu, dia tatap Re yang takjub hingga pintu lift kembali menutup.
***
TIDAK ada pilihan. Tidak ada keputusan. Re hanya diam membiarkan waktu merambat bersama lift yang bergerak naik hingga lantai tertinggi dan berhenti. Saat pintu terbuka, matanya bertabrakan dengan mata bulat dua bocah kembar berpipi bakpao dalam lukisan di dinding. Sama bulat dengan mata Lu. Sama bulat dengan mata Ka. Yang beda, mata kedua bocah dalam lukisan itu sangat cerah, sedangkan mata Lu dan Ka saat pergi bersama ibu mereka begitu berkabut.
Dua bocah kembar dalam lukisan itu tersenyum bersama. Re terperangah. Dia kucak-kucak mata. Tetap saja. Bulu kuduknya meremang. Reflek dia pencet tombol untuk menutup pintu lift. Dia pencet juga angka 9 sembari tergesa berdoa semoga ini hanya halusinasi, semoga waktu tidak berhenti. Dia melepaskan napas lega dan menyandarkan badan ketika lift bergerak turun.
Thing!
Pintu lift terbuka.
Re terkesiap.
Dua hari lalu, kemarin malam, pun tadi ketika dia turun dan naik lagi, yang terpajang di dinding lantai 9 seberang lift itu lukisan dekoratif hijau rimbun dedaunan berhias bunga-bunga kecil aneka warna. Kenapa kini berubah menjadi dua bocah kembar berpipi bakpao bermata bulat cerah dan tersenyum? Ya, sama persis dengan lukisan di lantai tertinggi. Kembali Re mengucak mata. Tapi tetap saja.
Dia melangkah keluar dari lift dan belok kiri. Bergegas seolah bisa mendahului waktu. Yang memenuhi kepalanya sekarang hanya kembali ke kamar 909, menyeduh kopi dengan gula merah (dua-duanya instan), lalu nonton televisi. Apa saja yang tertayang di televisi. Iklan, film, berita, talkshow, sepak bola, siaran-ulang diskusi, tausiah, atau lelang BB oleh perempuan-perempuan (sok) seksi yang menjerat mangsa dengan pamer paha dan sembulan dada.
Re membuka pintu kamar.
Masuk.
Tersedak.
Bersamaan dengan debam pintu yang kembali tertutup, Re melihat La sedang membaca buku di atas ranjang, diapit Lu dan Ka yang telah lelap. Bukan ranjang hotel tempat dia menginap atas nama sebuah kantor berita melainkan ranjang mereka di rumah. Bagaimana mungkin? Gugatnya dalam ketersedakan. Gugatan itu membentur tebing gema ketika Re melihat dan menyadari, kamar yang baru saja dia masuki pun bukan kamar hotel melainkan kamar dia dan La di rumah.
Re terperangkap.
Sesak napas.
Megap-megap.
Karena tak ingin mati tiba-tiba, Re balik badan, tergesa-gesa membuka pintu kamar, tergesa-gesa pula keluar.
Dia menoleh ke kiri dan kanan. Lorong panjang nan lengang. “Ini hotel!” desisnya. “Masih hotel….”
Re bersyukur seperti baru saja terbangun dari mimpi buruk yang menggelisahkan dan melelahkan. Saat itulah lamat-lamat dia mendengar suara batuk-batuk kecil. Perempuan! Ah, pasti perempuan yang membaca komik atau mungkin novel grafis sembari merokok. Tapi mendadak dia ingat perempuan berparfum sangat maskulin, ingat juga bagaimana dua perempuan itu saling peluk dan berjalan menuju kamar 9… entah berapa.
Lalu siapa yang mengeluarkan suara batuk-batuk kecil itu sekarang? Re berjalan tetap, namun lambat menuju lift. Sekitar 50 meter sebelum sampai, dia melihat dari belakang seorang perempuan sedang duduk di sofa dekat lift, membaca atau menulis di notebook, dan merokok. Maju tiga langkah lagi, dia tergeragap karena mengenali bentuk tubuh dan cara duduk seperti itu. La!
Ya, begitulah La jika sedang duduk, membaca atau menulis, di sofa: kaki bersila, notebook di pangkuan. Persis! Tapi La, istrinya, tidak merokok. Tidak pernah pula menginap di hotel kecuali bersamanya. Sontak dia tersadar sedang memasuki lorong mimpi buruk (lagi). Secepat mungkin dan sekuat tenaga dia berbalik, namun terlambat. Perempuan itu menoleh dan keduanya bersitatap.
“La?”
Perempuan itu mengangguk dan tersenyum.
Re tercekik.
***
KUMATIKAN dan kututup notebook di pangkuan. Kucecap sisa kopi pahit yang menemaniku semalaman. Kuisap rokok terakhir yang tinggal sebuku jari lalu kusundutkan ke asbak hingga tumpas. Kenikmatan puncak terpuncak menjalari seluruh tubuhku. Benar-benar puas rasanya bisa membuat Re terkesiap, tersedak, terperangkap, dan tercekik.
Berkali-kali aku tergoda untuk membunuhnya tapi berkali-kali pula godaan itu kusingkirkan. Seberapa berkobar pun kesumat dalam dadaku, mati tetap terlalu simpel untuk Re, terlalu ringan, tidak menyiksa, tidak sepadan dengan apa yang dia lakukan terhadapku. Bertahun-tahun. Bahkan cuma dalam fiksi sekalipun. Jadi biarlah dia tercekik begitu. Selamanya.
Oh, iya, maaf…hampir lupa.
Namaku La. (*)
.
.
Semarang, Mei 2011
Budi Maryono, cerpenis, tinggal di Semarang. Ia antara lain menulis antologi cerpen Siluet Bulan Luka dan Di Kereta Kita Selingkuh, dan Tamu-tamu Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar