Minggu, 06 November 2011

CERPEN KOMPAS



 


Biografi Kunang-kunang

Oleh
Sungging Raga



Pada malam hari, ibumu akan menjadi kunang-kunang, terbang ke hamparan bunga-bunga, ke sepanjang jalan, menelusuri remang cahaya, hinggap di daun-daun, berteduh dari embun, lalu terbang lagi, ke atap rumah, ke tiang listrik, ke bawah jembatan. Ibumu menjadi kunang-kunang sepanjang malam, mencari kamu yang sudah lama hilang.

”Di mana kamu, anakku? Di mana?”

Nyala di tubuhnya begitu terang, seperti kerinduan yang membara, namun berkedip-kedip, seperti rasa sakit yang menusuk-nusuk. Ibumu—kunang-kunang itu—terus mengembara, berjam-jam, tanpa lelah, tanpa keluh kesah. Ia akan terus mencarimu, ia arungi sepanjang jalanan yang berliku, yang senyap berbatu, ia terbang di atas sungai yang bercabang, yang entah bermuara di mana. Ia datangi setiap gubug-gubug lapuk. Sampai akhirnya ia temui kamu di sebuah rumah, rumah yang kemudian sangat dikenalnya. Dan sejak itulah, setiap malam, ibumu selalu setia mengunjungi rumah itu, melihat dirimu tertidur pulas, mendoakan keselamatanmu, lalu bergegas pergi ketika pagi hendak tiba, dengan niat untuk kembali di malam berikutnya….

***

Ceritanya akan selalu seperti itu, turun-temurun. Di kampung sepanjang bantaran Sungai Logawa ini, kalau ada seorang anak yang kehilangan ibunya, entah meninggal atau minggat dengan lelaki kota, maka orang-orang akan menghibur dengan cerita itu, mereka akan mengatakan bahwa ibunya sekarang sudah berubah menjadi kunang- kunang yang rajin mengunjunginya. Meski tak berwujud manusia, anak itu harus sadar bahwa sang ibu masih benar-benar ada, masih suka berdiam di dekatnya, terutama di malam hari, untuk memberikan kasih sayang yang tulus kepadanya.

Sejak dahulu aku tak benar-benar percaya dengan cerita tersebut, sampai malam ini aku mendengar penuturan Antiona, gadis kecil yang baru sebulan lalu ditinggal sang ibu, menikah lagi dengan seorang pengusaha. Aku memang suka menemani Antiona yang kesepian, ia tinggal sendiri bersama sang Kakek, sementara ayahnya juga sudah tiada, menjadi korban tabrak lari oleh sebuah bus jurusan Surabaya-Yogyakarta.

Antiona berkisah padaku, bahwa semalam ia baru saja bertemu ibunya. Awalnya aku tak terkejut, sebab bisa saja ibunya memang berkunjung ke desa ini untuk menjenguk Antiona. Tetapi gadis itu berkata bahwa ibunya sudah menjelma kunang-kunang, dan ia melihat kunang-kunang itu terbang di luar kaca jendela kamarnya.

”Lalu? kamu buka jendelanya?” Tanyaku.

”Iya, kubiarkan kunang-kunang itu masuk, lalu tidur di sampingku, di atas kasur.”

”Terus?”

”Terus aku tidur dan bermimpi, dalam mimpi itu, aku benar-benar bertemu Ibu.”

”Jadi, kamu bertemu ibumu cuma dalam mimpi?”

”Iya.”

”Besok paginya bagaimana?”

”Besok paginya kunang-kunang itu hilang.”

”Hilang?”

”Iya. Hilang begitu saja.”

Wajah Antiona berakhir sedih. Namun saat itu juga pikiranku melayang jauh. Setelah berpamitan dan meninggalkan rumah Antiona, cerita itu seperti berputar kembali untuk diriku sendiri.

Aku membayangkan ibuku masih hidup sampai saat ini, sampai detik ini, dan dia pun amat merindukanku malam ini.

Tetapi, siapa ibuku?

Barangkali ibuku memang pelacur. Ya. Sudah jadi rahasia umum, bahwa aku hanya anak pungut yang ditemukan warga dan sempat dititipkan ke keluarga kepala desa, sebelum akhirnya diserahkan ke seorang nenek di gubug dekat masjid yang kesepian. Awalnya aku adalah bayi menangis di dalam kardus mi, menangis
di bawah tiang lampu dekat pos ronda yang remang-remang.

”Dulu, kamu ditemukan warga di bawah sana,” Kata Nenek angkatku.

”Siapa yang membuang aku, Nek?”

”Mungkin saja ibumu.”

”Kenapa ibu membuangku, Nek?”

”Tidak tahu.”

”Terus ibu ke mana?”

”Tidak tahu.”

”Apa ibu tidak rindu aku?”

”Tidak tahu.”

”Apa Nenek mau bantu aku mencari ibu?”

”Hmm, tidak tahu.”

Lalu desas-desus pun mengiringi pertumbuhanku, ketika aku beranjak empat belas tahun, ketika aku dianggap sudah mulai bisa mengingat dan menampung kenangan, setiap tetangga berusaha memberikan versinya masing-masing tentang asal-usulku.

”Biasanya, yang suka membuang bayi adalah perempuan yang masih muda, masih SMA.”

”Betul itu, mungkin ibumu masih sekolah, dan ditinggal pacarnya sehabis dihamili, jadi kamu dibuang karena tidak dikehendaki.”

”Eh, tapi mungkin saja kamu dibuang suster rumah sakit, karena orangtuamu tidak bisa membayar biaya persalinan, sekarang kan banyak kasus seperti itu.”

”Atau kamu ini korban penculikan, orangtuamu tak sanggup membayar uang tebusan.”

”Atau mungkin kamu harus terima kalau ibumu memang pelacur. Wanita yang jadi pelacur memang suka membuang bayi yang telat diaborsi, sudah biasa itu.”

Semakin lama, kisah tentang asal-usulku membuatku pusing, namun aku sempat heran, mengapa tak ada yang menghiburku dengan cerita yang beredar di kampung ini, bahwa ibuku sudah menjelma kunang-kunang, dan hingga kini masih setia mengunjungiku setiap malam.

”Cerita itu hanya ditujukan untuk menghibur anak-anak yang benar-benar berasal dari kampung di tepi Sungai Logawa ini, diketahui jelas siapa ibunya, dan karena alasan apa perginya. Sementara kamu sudah pasti bukan dari kampung ini, karena sewaktu kamu ditemukan, orang-orang langsung lapor ke kantor polisi, beberapa hari dilakukan pencarian, tidak ada hasil, tidak ada seorang warga pun di sini yang merasa kehilangan atau ketahuan membuang anaknya. Jadi, pasti kamu dibuang orang dari kampung lain.”

Begitu penjelasan Nenek angkatku, ia suka berbicara sambil mengunyah sirih. Sebenarnya aku juga tidak terlampau berharap mereka akan menghiburku dengan cerita semacam itu, sebab toh cerita itu sangat tidak masuk akal, mana ada seorang ibu yang bisa menjelma kunang-kunang? Semakin bertambah umurku, aku semakin tidak percaya.

Tetapi semuanya nyaris runtuh setelah penuturan Antiona malam ini, entah mengapa aku merasa kisah kunang-kunang itu benar adanya. Barangkali memang tak ada yang mustahil di dunia ini.
Malam sudah larut, aku berjalan pulang dari rumah Antiona dengan setengah melamun, melangkah sendirian di jalanan kampung. Dan di sebuah perempatan yang remang, beberapa ratus meter sebelum rumahku, tiba-tiba kulihat seekor kunang-kunang terbang rendah di dekat tanah. Aku terheran-heran. Kunang-kunang itu sendirian saja, berkedip lemah.

Tunggu.

Apakah ia adalah jelmaan seorang ibu yang anaknya ada di kampung ini? Apakah ia ibu dari Antiona yang kemarin malam terbang di luar jendela?

Apakah ia ibuku yang pernah membuangku ketika aku masih bayi?

Kudekati kunang-kunang itu, kuambil salah satu botol bekas yang berserak di tempat sampah. Aku membentuk cekungan pada telapak tangan kiri untuk menggiring kunang-kunang itu masuk ke lubang botol, lalu aku menutupnya dengan telapak tanganku. Anehnya, kunang-kunang itu menurut begitu saja.

Kunang-kunang itu sekarang ada dalam botol, cahayanya tak memantul, ia terbang kesana-kemari, sepertinya kebingungan, berpindah-pindah pada dinding botol. Aku setengah berlari menuju rumah, langsung ke kamar, untung saja Nenek sudah tidur, jadi tak tahu apa yang kulakukan. Kututup bagian atas botol dengan plastik dan karet, lalu kuletakkan di atas meja. Dan seperti cerita Antiona, aku berharap malam ini bisa bertemu ibu, agar aku bisa tahu wajah ibu, walaupun hanya dalam mimpi.

Sambil merebah di atas tempat tidur, masih bisa kunikmati cahaya lemah kunang-kunang itu, hingga akhirnya aku terlelap dengan sendirinya.

***

Entah sudah berapa jam berlalu, aku terjaga karena sebuah guncangan kecil, tetapi cukup untuk membuatku tergagap bangun, kemudian segalanya menjadi terasa amat ringan. Tubuhku seperti melayang di udara. Dan ketika perlahan kubuka mata, tampak seorang lelaki dan seorang wanita sedang duduk dengan pandangan mata yang mengarah kepadaku.

”Jadi ini kunang-kunang yang semalam tidak mau pergi?” Tanya si laki-laki sambil mengernyitkan dahi. Si wanita lantas tersenyum.

”Benar, aku menangkapnya dengan mudah, kumasukkan ke dalam botol.”

”Untuk apa sih? Kurang kerjaan saja.”

“Lho, kamu tidak tahu, ya? Di desa sepanjang bantaran Sungai Serayu ini, semua wanita yang pernah kehilangan anaknya, entah meninggal, hilang, diculik, atau dibuang, selalu percaya tentang sebuah cerita konyol yang diwariskan turun-temurun.”

”Cerita konyol?”

”Iya. Cerita bahwa anak mereka yang hilang itu masih selalu hadir dalam wujud yang lain, yaitu berwujud kunang-kunang. Jadi, kutangkap saja kunang-kunang yang kesepian ini. Soalnya, kalau melihat kunang-kunang, aku selalu teringat cerita yang sungguh tidak masuk akal itu. Lucu, ya? Mana ada anak-anak yang bisa menjadi kunang-kunang? Konyol sekali, kan? Ha ha ha.”

Wanita itu terbahak-bahak, namun si lelaki sepertinya tidak tertarik untuk ikut tertawa, kulihat ia justru mengernyitkan dahi.

”Nalea…” Panggil si lelaki tiba-tiba. Dan wanita itu pun berhenti tertawa.

”Ya Sayang?”

”Aku jadi berpikir…”

Lelaki itu menghentikan ucapannya, kini keduanya berpandangan, tak lagi menatapku.

”Berpikir apa?”

”Apa benar kata orang-orang, sebelum menikah denganku, kau sudah pernah punya anak?” Lelaki itu bertanya sambil menatap wajah si wanita dengan tajam. Wanita itu tiba-tiba terdiam.

Aku seperti akan merasakan keheningan yang amat panjang di antara mereka, sampai akhirnya wanita itu tampak tersenyum tipis, lantas memeluk tubuh si lelaki,

”Tentu belum pernah, Sayang…”

Situbondo, 2010





 
 
Wiro Seledri
 
Oleh 
GM Sudarta
 
 
 
Berita lelayu yang diumumkan mesjid desa sesudah shalat subuh, mengejutkan saya. Mbah Prawiro meninggal dunia, padahal 3 hari yang lalu saya masih menjumpainya saat bersama ta’ziah di tetangga dekat rumah yang meninggal.
Bergegas saya menuju tempat tinggalnya. Setibanya di gubugnya, terlihat tidak banyak orang yang melayat. Hanya ketua RT setempat, beberapa hansip, pengurus mesjid, dan seorang polisi. Mbah Prawiro terbaring di atas ranjang bambu beralaskan tikar pandan yang sudah lusuh, diselubungi selembar kain batik. Di dalam ruangan yang cuma 3×4 meter yang sekaligus sebagai rumah tinggal dan dapur, di sekelilingnya teronggok kompor minyak tanah, periuk nasi, panci aluminium, dan dua buah cangkir dan piring kaleng.

Pak Min, penjaga palang rel kereta api mengisahkan, tadi sehabis shalat subuh, mbah Wiro, begitu biasa dipanggil namanya, berjalan pulang seperti biasanya lewat sepanjang rel kereta. Waktu itu adalah saatnya kereta dari Jakarta menuju Solo Balapan akan lewat. Sementara dia menutup palang rel kereta, dari sinar lampu kereta yang datang terlihat bayangan mbah Wiro yang masih berjalan di tengah rel. Pak Min berusaha mengejar sambil berteriak memanggilnya, tetapi mbah Wiro semakin cepat melangkah sambil mengucapkan Allahu Akbar dan merentangkan tangan. Dan terjadilah, mbah Wiro terpental ke sawah di samping rel.

”Tidak banyak lukanya, hanya di dada dan kedua kaki patah” jelas pak Min.

***

Sebetulnya belumlah bisa disebut rumah karena masih berupa gubug bambu beratap rumbia tak jauh dari rel kereta, seluas tak lebih dari 12 meter persegi, dengan secuil tanah sekeliling teritisannya dipenuhi tanaman sayur seledri yang rimbun, adalah tempat tinggal mbah Wiro yang telah dihuninya lebih 10 tahun. Dengan penghuninya yang sepertinya menyimpan misteri ini, sangat menarik perhatian dan keingintahuan saya.
Konon mbah Wiro adalah eks tahanan politik yang telah belasan tahun mendekam di tanah buangan jauh di belahan timur negeri ini. Usianya mungkin hampir 80 tahun. Setiap kali, dengan tertatih-tatih berjalan sambil membawa segepok sayur seledri untuk di jual ke pasar. Inilah kemudian yang mebuatnya disebut juga mbah Wiro Seledri.

Pertama kali saya berjumpa mbah Wiro, sewaktu berta’ziah seorang kerabat yang meninggal beberapa tahun lalu. Saya perhatikan, sementara jenasah sedang dishalatkan, dia duduk menyendiri, dengan mata rapat terpejam, kedua tangan dalam sikap mau shalat, nafas hampir tak terdengar. Kemudian ketika jenasah dimasukkan ke liang lahat, dia pun berhal demikian. Ternyata beberapa kali, setiap kali ada warga yang meninggal, saya menjumpai hal yang sama, sehingga mengusik hati dan penasaran untuk ingin tahu, apa sebenarnya yang dia lakukan.

Dari pak lurah, saya dengar bahwa mbah Wiro memang rajin melayat siapapun warga yang meninggal, kenal maupun tidak kenal. Sehingga kadang orang mencibir, itu kan hanya mencari suguhan teh dan sepotong kue dari keluarga yang berduka. Tetapi warga desa kami jarang mengadakan suguhan seperti itu. Kalaupun ada saya lihat mbah Wiro tidak menyentuhnya. Ini yang mendorong saya makin ingin tahu tentang dia.

Kesempatan itu datang saat ada acara pemakaman di desa sebelah. Kami pulang bersama meniti pematang. Secara tidak langsung saya bertanya tentang doa untuk orang meninggal. Dia menatap saya agak lama, sepertinya ingin mengatakan, ”Kan kamu sendiri sudah tahu!”

”Begini nak mas, saya berdoa untuk yang meninggal dan untuk saya sendiri,” jelasnya, ”Saya berbuat seperti yang nak mas perhatikan, karena dalam kegelapan mata terpejam kita bisa lebih banyak melihat.”

Saya terperangah sejenak.

“Maksudnya mbah.”

Dia hanya tersenyum dan bergegas menuju gubugnya.

Ah, gila rasanya dengan semakin besar keingintahuan saya akan misteri orang sepuh ini. Saya pun jadi rajin mendatangi acara pemakaman siapa saja untuk bertemu mbah Wiro. Mungkin teman-teman saya sudah menganggap saya ini pengikut ajaran mbah Wiro. Waktu saya tanyakan dalam kegelapan apa yang ingin mbah Wiro lihat.

Izroil!

Wah, makin gila saya mendengar jawabannya. Malaekat maut?!

Akhirnya saya paksa diri saya pada suatu hari berkunjung ke tempat tinggalnya.

”Nak mas masih muda. Dalam usia seperti saya, yang telah menjalani perjalanan hidup yang kelewat panjang adalah saat untuk merindukan ketenangan. Saya tahu malaekat Izroil akan selalu hadir saat orang meninggal”

Saya masih belum mengerti maksudnya

”Mbah pernah melihat Izroil?”
Dia menatap saya agak lama dengan muka serius. Seakan bergumam pelan dia berkata:

”Saya rasa sudah saatnya kaum muda mengerti akan perjalanan sejarah kelam yang telah terjadi di negeri ini?”

”Sudah pernah!” ujarnya kemudian dengan tegas

”Sekitar 40 tahun lalu, pasti nak mas belum lahir, hal itu terjadi. Bersamaan dengan munculnya lintang kemukus di langit menjelang tengah malam, itu pertanda bahwa dajal menguasai kita. Oleh dendam yang tak jelas, ribuan saudara kita dimakan pedang dan clurit.”

Saya belum menangkap maknanya.

Mbah Wiro berbalik sejenak, menyiapkan teh hangat yang kemudian disodorkan ke saya. Dia sulut rokok kawungnya, diisapnya dalam-dalam. Asapnya menyembur ke seluruh ruangan, membuat saya sedikit terbatuk-batuk. Dia ucapkan maaf dan menyilakan saya minum. Saya agak mengernyit menghirup teh yang pahit benar di lidah saya.

”Nak mas, kepahitan hidup bisa menjadi permulaan kemanisan hidup. Juga kemanisan hidup bisa juga menjadi permulaan kepahitan hidup.”

”Maksudnya?”

”Semasa muda saya hidup senang sebagai petani dengan sawah warisan orangtua yang luas. Hidup sangat kecukupan. Tapi kita manusia suka lupa diri, kurang mensyukuri nikmat Allah. Sawah ludes dalam judi sabung ayam. Jatuh ke tangan orang kaya yang banyak orang menyebutnya seorang tuan tanah. Akhirnya jadilah saya cuma sebagai petani penggarap. Dalam kesulitan hidup ini, sebuah organisasi persatuan para petani datang sebagai dewa penolong, paling tidak menolong saya lebih bersemangat dalam menghadapi hidup. Organisasi ini menjanjikan perjuangan untuk memperbaiki kehidupan petani, dengan melawan apa yang disebut setan desa, seperti rentenir, tengkulak ijon, dan apa saja yang merugikan kaum tani, termasuk melawan tuan tanah. Saya aktif di dalamnya sebagai ketua ranting desa…Yang baru kemudian saya tahu, bahwa organisasi ini mendapat julukan onderbow partai terlarang, oleh pemerintah!”

Mbah Wiro menghentikan ceritanya sejenak. Menarik nafas panjang, kemudian meneruskan:

”Dan pertanda lintang kemukus malam itu terbukti. Petaka besar terjadi. Hanya dengan tudingan terindikasi partai terlarang saja, saudara-saudara kita dibantai oleh sesama saudara. Perburuan telah membuat desa ini banjir darah. Nyawa manusia lebih murah dari nyawa ayam. Pak lurah memang menasehatkan saya untuk melarikan diri, karena menurut dia saya sudah masuk daftar. Tapi saya enggan. Sampai suatu tengah malam segerombolan orang berseragam membawa senjata laras panjang dan beberapa warga menyandang pedang dan clurit terdengar bergerak menuju tempat tinggal saya. Istri saya suruh sembunyi di semak-semak kebun belakang, sedang saya di ladang jagung, tak jauh dari depan rumah.

Setelah mereka menggeledah rumah ternyata kosong. Seorang dari mereka berteriak: Ladang jagung! Jadilah tanpa pikir lagi saya lari. Terus saja lari, meskipun dari jauh terdengar jeritan dan tangisan minta ampun istri saya. Lari menerabas apa saja, sampai nafas hampir habis, sampai jatuh terjerembab di bantalan rel kereta di pinggir desa.

Kemudian dengan sisa tenaga yang ada, saya susuri rel hingga sampai stasiun di batas kota. Saya mungkin pingsan. Setelah sadar saya sudah terbaring di tengah beberapa pemuda berbaju loreng seperti aparat. Saya dibawa ke suatu rumah besar yang penuh pemuda berseragam sama, tetapi saya rasa mereka bukan ABRI, karena hanya menyandang pedang dan clurit. Di sana saya benar-benar merasa akan dihabisi oleh sesama saudara!”

Sampai di sini, saya berpikir mana hubungannya dengan Izroil? Yang saya tahu hanyalah cerita guru tentang pemberontakan G30S sewaktu di sekolah menengah.

”Setelah disekap satu hari, tengah malam saya dinaikkan truk bersama banyak orang tangkapan lain,” lanjut mbah Wiro. ”Dengan tangan terikat dan mata tertutup kain hitam kami dibawa entah ke mana. Kami diturunkan di tempat yang saya pikir pasti hutan karena saya mendengar suara gemerisik dedaunan yang kami lewati. Kami dibariskan satu-satu disertai tendangan dan makian. Sebentar-sebentar kami disuruh maju selangkah. Dan sebentar-sebentar terdengar jeritan mohon ampun serta suara benda berat jatuh ke air. Saya semakin pasti bahwa saya akan dibantai. Ya Tuhan ampunilah segala dosa kami, tolonglah kami. Giliran saya tinggal maju setapak lagi. Saya tengadahkan muka sambil menangis, doa saya tak henti-henti. Dalam kegelapan mata tertutup, saya melihat seorang berjubah hitam mengendarai kuda di angkasa dan menoleh, sekejap tersenyum kepada saya….

Tiba-tiba terdengar tembakan gencar dan langkah-langkah berat berdatangan. Tembak-menembak terjadi. Tanpa komando kami tiarap. Teriakan kematian bersahutan. Sesaat kemudian berhenti.

Ternyata yang datang benar-benar anggota ABRI yang melepaskan tutup mata dan tali ikatan kami. Terdapat ada beberapa orang pemuda sedang sekarat dan seorang benar-benar meninggal tergeletak dengan sebuah kapak besar masih di tangan. Dan ya Allah, sebuah gubug pembantaian itu terletak di bibir sungai besar di mana menurut kisah lama Joko Tingkir telah mengalahkan 40 ekor buaya di sungai itu!
Itulah permulaan jalan panjang saya menuju tanah pengasingan di sebuah pulau yang jauh di sebelah timur sana”

Badan saya merinding membayangkan kisahnya. Saya jadi ragu dan bingung, apa yang sebenarnya terjadi dengan kengerian yang digambarkan film Pengkhianatan G30S/PKI yang diwajibkan oleh pemerintah untuk semua warga sampai anak sekolah harus menonton.

Melihat wajah mbah Wiro yang tampak letih, saya mencoba mengalihkan pembicaraan:

”Wah hebat. Sayur seledrinya subur amat mbah.”

”Darah dan daging saya seorang petani,” ujar mbah Wiro manggut-manggut, ”Tuhan menganugerahi setiap umat, kemampuan untuk bertahan hidup dalam keadaan apa pun.”

”Termasuk semaktu di tanah pengasingan mbah?”

”Benar nak mas. 12 tahun memendam perasaan kesendirian, kesepian, kengerian keadaan ribuan tahanan yang tak lepas dari kekerasan petugas, jaminan hidup tak memadai, harga diri sebagai manusia dihabisi, dan segala yang rasanya membikin hilang harapan. Tetapi ternyata itu semua makin memperkuat ketahanan kita untuk hidup. Meskipun kami ditempatkan di daerah perbukitan yang gersang. Tanaman yang tumbuh banyak hanya pohon kayu putih.

Semula memang tidak tahu apa yang akan saya buat, tapi akhirnya sadar bahwa kami dibuang di sini, mungkin demi mengurangi beban pemerintah untuk memberi makan kami. Itulah yang membuat kami semua merasa mempunyai satu ikatan kekeluargan yang erat. Kami mencoba bercocok tanam padi, tebu, jagung, ubi, dan kacang, Hasilnya kami konsumsi bersama. Meski kekurangan pupuk, tanaman kami cukup memuaskan.”

”Lalu dengan pupuk apa mbah” tanyaku asal-asalan.

”Sedikit ZA dicampur air tinja!” jawabnya serius. Saya tersenyum mendengar jawabannya. Tetapi wajahnya berubah sedih seperti hampir menangis.

”Tinja memang kita anggap barang paling hina dan menjadi santapan enak bagi babi.
Tapi benda itu yang membuat saya bisa bertemu Izroil lagi!”

Mbah Wiro tercenung beberapa saat, kemudian mendekatkan wajahnya padaku, sambil ujarnya pelan:

”Suatu hari, selepas menyiangi tanaman, perut saya berontak, yang membuat saya tak tahan buang air besar di sungai yang tak jauh dari barak. Tiba-tiba sebuah bedil menyalak, pelurunya hampir menembus kepala saya. Segera saya lari menuju barak, ternyata petugas bersenapan tadi sudah menunggu saya. Dengan tendangan saya dipaksa mengambil tinja yang sudah terapung di sungai. Dan di depan teman-teman dia paksa saya merangkak, dengan tendangan bertubi-tubi serta ancaman senjata, saya harus melahap tinja bagaikan seekor babi.

Selama seminggu hati saya menangis. Ketabahan saya selama ini runtuh. Betapa hinanya harga diri saya sebagai manusia. Sehingga tak tahan saya untuk tidak menyiapkan tali. Sewaktu jeratan tali mencekik leher dan sudah tak sadarkan diri sekilas seorang berjubah hitam mengendarai kuda di angkasa menoleh dan tersenyum kepada saya. Tiba-tiba teman-teman menolong menurunkan saya!”

Mbah Wiro diam sejenak, berkata pelan seperti pada dirinya sendiri:

”Ya sebetulnya dijadikan babi tidaklah seberat ketika telah dipulangkan dari sana. Saya menerima kenyataan tidak lagi bisa menjumpai rumah dan istri serta sanak keluarga saya.”

Seakan ada sesuatu yang menyesaki dada saya mendengar kisah terakhir ini. Lama kami terdiam. Mbah Wiro melepas nafas panjang dan memandang jauh ke depan, ke arah rel kereta di depan rumah. Sambil menunjuk sepasang rel kereta yang lurus sampai ujungnya tak terlihat, ujarnya:

”Lihat nak mas! Perjalanan hidup ini ibarat dalam kereta di atas rel lurus dengan tujuan yang sudah pasti di ujungnya. Kita tidak bisa membelokkan sendiri ke arah lain!”

Kami ngobrol apa saja sampai menjelang magrib. Sebelum meninggalkan rumahnya, saya sempat bertanya setengah bercanda:

”Omong-omong bagamana wajah malaekat itu, mbah?”

”Itu rahasia Tuhan!” jawabnya tegas.

Sesampai di depan rumahnya, saya memperhatikan tanaman seledrinya yang nampak benar sangat subur, saya bertanya pula:

”Pupuknya apa mbah?”

Dia hanya tersenyum kecil, sambil berbalik ke rumahnya.

Sehabis pertemuan itu, sekian lama saya tidak menjumpainya, sehubungan dengan tugas saya ke ibu kota. Hingga suatu hari secara kebetulan saya bertemu mbah Wiro sedang berjalan ke pasar sambil membawa segepok sayur seledri. Basa basi saya menyapa dengan bertanya apa kabar.

”Semalam saya bertemu dengan malaekat Izroil, dan dia telah mengabulkan permohonan saya tentang kerinduan yang selama ini saya dambakan” jawabnya sambil tersenyum. Tapi senyum itu! Senyum itu terasa sangat aneh.

***

Sehabis dzuhur jenasah mbah Wiro diberangkatkan ke pemakaman di pinggir desa. Pelayatnya hanya bisa dihitung dengan jari. Saya ikut mengusung kerandanya.

Sewaktu jenasah diturunkan ke liang lahat dan ketika kain kafan di wajahnya dibuka, saya sempat melihat wajahnya. Wajah yang tenang dan nampak tersenyum. Saya rasa mbah Wiro Seledri telah bersama malaekat Izroil ikut menunggang kuda di angkasa!

Klaten, 2011







 
 
 
Bersiap Kecewa Bersedih Tanpa Kata-kata
 
Oleh
Putu Wijaya
 
 
 
(Buat GM)
Aku menunggu setengah jam sampai toko bunga itu buka. Tapi satu jam kemudian aku belum berhasil memilih. Tak ada yang mantap. Penjaga toko itu sampai bosan menyapa dan memujikan dagangannya.

Ketika hampir aku putuskan untuk mencari ke tempat lain, suara seorang perempuan menyapa.

”Mencari bunga untuk apa Pak?”

Aku menoleh dan menemukan seorang gadis cantik usianya di bawah 25 tahun. Atau mungkin kurang dari itu.

”Bunga untuk ulang tahun.”

”Yang harganya sekitar berapa Pak?”

”Harga tak jadi soal.”

”Bagaimana kalau ini?”

Ia memberi isyarat supaya aku mengikuti.

”Itu?”

Ia menunjuk ke sebuah rangkain bunga tulip dan mawar berwarna pastel. Bunga yang sudah beberapa kali aku lewati dan sama sekali tak menarik perhatianku.

”Itu saya sendiri yang merangkainya.”

Mendadak bunga yang semula tak aku lihat sebelah mata itu berubah. Tolol kalau aku tidak menyambarnya. Langsung aku mengangguk.

”Ya, ini yang aku cari.’

Dia mengangguk senang.

”Mau diantar atau dibawa sendiri?”

”Bawa sendiri saja. Tapi berapa duit?”

Ia kelihatan bimbang.

”Berapa duit.”

”Maaf sebenarnya ini tak dijual. Tapi kalau Bapak mau nanti saya bikinkan lagi.”

”Tidak, aku mau ini.”

”Bagaimana kalau itu?”

Ia menunjuk ke bunga lain.

”Tidak. Ini!”

”Tapi itu tak dijual.”

”Kenapa?”

”Karena dibuat bukan untuk dijual.”

Aku ketawa.

”Sudah, katakan saja berapa duit? Satu juta?” kataku bercanda.

”Dua.”

”Dua apa?”

”Dua juta.”

Aku melongo. Mana mungkin ada bunga berharga dua juta. Dan bunga itu jadi semakin indah. Aku mulai penasaran.

”Jadi, benar-benar tidak dijual?”

”Tidak.”

Aku pandangi dia. Dan dia tersenyum seperti menang. Lalu menunjuk lagi bunga yang lain.

”Bagaimana kalau itu?”

Aku sama sekali tak menoleh. Aku keluarkan dompetku, lalu memeriksa isinya. Kukeluarkan semua. Hanya 900 ratus ribu. Jauh dari harga. Tapi aku taruh di atas meja berikut uang receh logam.

Dia tercengang.

”Bapak mau beli?”

”Ya. Tapi aku hanya punya 900 ribu. Itu juga berarti aku harus jalan kaki pulang. Aku tidak mengerti bunga.

Tapi aku menghargai perasaanmu yang merangkainya. Aku merasakan kelembutannya, tapi juga ketegasan dan kegairahan dalam karyamu itu. Aku mau beli bunga kamu yang tak dijual ini.”

Dia berpikir. Setelah itu menyerah.

”Ya, sudah, Bapak ambil saja. Bapak perlu duit berapa untuk pulang?”

Aku terpesona tak percaya.

”Bapak perlu berapa duit untuk ongkos pulang?”

”Duapuluh ribu cukup.”

”Rumah Bapak di mana?”

”Cirendeu.”

”Cirendeu kan jauh?”

”Memang, tapi dilewati angkot.”

”Bapak mau naik angkot bawa bunga yang aku rangkai?”

”Habis, naik apa lagi?”

”Tapi angkot?”

”Apa salahnya. Bunga yang sebagus itu tidak akan berubah meskipun naik gerobak.”

”Bukan begitu.”

”O, kamu tersinggung bunga kamu dibawa angkot? Kalau begitu aku jalan kaki saja.”

”Bapak mau jalan kaki bawa bunga?”

”Ya, hitung-hitung olahraga.”

Dia menatap tajam.

”Bapak bisa ditabrak motor. Bapak ambil saja uang Bapak 150 untuk ongkos taksi.”

Aku tercengang.

”Kurang?”

“Tidak. Itu bukan hanya cukup untuk naik Blue Bird, tapi juga cukup untuk makan double BB di BK PIM.”

Dia tersenyum. Cantik sekali.

”Silakan. Bapak perlu kartu ucapan selamat di bunga?”

”Tidak.”

Dia berpikir.

”Jadi, bukan untuk diberikan kepada seseorang? Bunga ini saya rangkai untuk diberikan pada seseorang.”

”Memang. Untuk diberikan pada seseorang.”

”Yang dicintai mestinya.”

”Ya. Jelas!”

”Sebaiknya, Bapak tambahkan ucapannya. Bunga ini saya rangkai untuk diantar dengan ucapan. Diambil dari puisi siapa begitu yang terkenal. Misalnya Kahlil Gibran.”

Aku terpesona lalu mengangguk.

”Setuju. Tapi tolong dicarikan puisinya dan sekaligus dituliskan.”

Ia cepat ke belakang mejanya mengambil kartu.

”Sebaiknya Bapak saja yang menulis.”

”Tidak. Kamu.”

Ia tersenyum lagi mungkin merasa lucu. Lalu menyodorkan sebuah buku kumpulan sajak. Aku menolak.

”Kamu saja yang memilih.”

”Tapi, saya tidak tahu yang mana untuk siapa dulu.”

”Pokoknya yang bagus. Yang positip.”

”Cinta, persahabatan, atau sayang?”

”Semuanya.”

Ia tertawa. Lalu menulis. Tampaknya ia sudah hapal di luar kepala isi buku itu. Ketika ia menunjukkan tulisannya, aku terhenyak. Itu bukan sajak Gibran, tapi kalimat yang ditarik dari sajak Di Beranda Itu Angin Tak Berembus Lagi karya Goenawan Mohamad:

”Bersiap kecewa, bersedih tanpa kata-kata.”

Aku terharu. Pantas Nelson Mandela mengaku mendapat inspirasi untuk bertahan selama 26 tahun di penjara Robben karena puisi.

”Bagus?”

Aku tiba-tiba tak sanggup menahan haru. Air mataku menetes dengan sangat memalukan. Cepat-cepat kuhapus.

”Saya juga sering menangis membacanya, Pak.”

”Ya?”

”Ya. Tapi sebaiknya Bapak tandatangani sekarang, nanti lupa.”

Aku menggeleng. Aku kembalikan kartu itu kepadanya.

”Kamu saja yang tanda tangan.”

”Kenapa saya?”

”Kan kamu yang tadi menulis.”

”Tapi itu untuk Bapak.”

”Ya memang.”

Ia bingung.

”Kamu tidak mau menandatangani apa yang sudah kamu tulis?”

”Tapi, saya menulis itu untuk Bapak.”

”Makanya!”

Ia kembali bingung.

”Kamu tak mau mengucapkan selamat ulang tahun buat aku?”

Dia bengong.

”Aku memang tak pantas diberi ucapan selamat.”

”Jadi, bunga ini untuk Bapak?”

”Ya.”

”Bapak membelinya untuk Bapak sendiri?”

”Ya. Apa salahnya?”

”Bapak yang ulang tahun?”

”Ya.”

Dia menatapku tak percaya.

”Kenapa?”

”Mestinya mereka yang yang mengirimkan bunga untuk Bapak.”

”Mereka siapa?”

”Ya, keluarga Bapak. Teman-teman Bapak. Anak Bapak, istri Bapak, atau pacar Bapak…”

”Mereka terlalu sibuk.”

”Mengucapkan selamat tidak pernah mengganggu kesibukan.”

”Tapi itu kenyataannya. Jadi aku beli bunga untuk diriku sendiri dan ucapkan selamat untuk diriku sendiri karena kau juga tidak mau!”

Aku ambil uangku dan letakkan lebih dekat ke jangkauannya. Lalu aku ambil bunga itu.

”Terima kasih. Baru sekali ini aku ketemu bunga yang harganya 900 ribu.”

Aku tersenyum untuk meyakinkan dia bahwa aku tak marah. Percakapan kami tadi terlalu indah. Bunga itu hanya bonusnya. Aku sudah mendapat hadiah ulang tahun yang lain dari yang lain.

Tapi sebelum aku keluar pintu toko, dia menyusul.

”Ini uang Bapak,” katanya memasukkan uang ke kantung bajuku sambil meraih bunga dari tanganku, ”Bapak simpan saja.”

”Kenapa? Kan sudah aku beli?”

Aku raih bunga itu lagi, tapi dia mengelak.

”Tidak perlu dibeli. Ini hadiah dariku untuk Bapak. Dan aku mau ngantar Bapak pulang. Tunjukkan saja jalannya. Itu mobilku.”

Dia menunjuk ke sebuah Ferrari merah yang seperti nyengir di depan toko.

”Aku pemilik toko ini.”

Aku terkejut. Sejak itulah hidupku berubah.

Jakarta, 30 Juni 2011






 
 
 
Perpisahan
 
Oleh
Linda Christanti
 
 
 
HANS, tiap kali kita berdiri di tepi sungai itu, kamu selalu mengatakan hal yang sama, seraya menunjuk permukaan sungai yang kehijauan dan memantulkan bayangan kita: mereka menemukan tubuh Rosa*) di sini. Alirannya membelah kotamu, mengalir sampai ke Berlin, kota terakhir yang kamu bayangkan sebagai tempat memulai kehidupan baru setelah letih mengelana dan menjauhinya berulang kali.

Tiga hari setelah ibumu meninggal, kamu, kembaranmu Fabian dan ayahmu pergi ke Sungai Spree dan mengenang masa silam yang kini bagai mimpi. Sejak itu kamu ingin lebih dekat dengan mereka. Kamu akan mengunjungi ayahmu sebulan sekali setidaknya jika menetap dan bekerja di Berlin.

Kita sekarang berdiri dan menatap sungai yang sama, di bagian tubuhnya yang lain.

”Hampir tiga belas tahun saya meninggalkan rumah orangtua saya. Setelah Ibu tidak ada, keinginan saya untuk menengok rumah jadi lebih kuat. Kamar saya juga masih ada,” katamu memandang ke seberang sungai.
Sudah dua kali kita bertemu di kota ini. Setelah seminar tentang negara-negara berkembang dan masalah-masalah yang tidak pernah selesai, kita bergegas mencari tempat untuk minum kopi dan menghirup udara luar. Bedanya, ibumu sudah tidak ada.

Namun, ibumu tidak pergi seperti Rosa. Ia meninggal dalam kamar yang tenang ketika kamu tengah mengemudi dengan kecepatan tinggi untuk menemuinya terakhir kali.

Empat hari sebelum itu, ia minta dipindahkan ke sebuah rumah tempat orang-orang menunggu kematian. Ia ingin menyongsong mautnya sendiri.

Seperti apa ibumu waktu hidup, aku ingin tahu, menyesal tidak sempat bertemu dan mulai hanyut dalam kenangan kematian itu.

”Ibu saya seorang guru, kepala sekolah yang baik dan serius bekerja, sangat memperhatikan anak-anaknya, sedikit tidak sabar, dan kadang-kadang khawatir,” katamu.

Kamu menatapku, tapi sebenarnya tidak sungguh-sungguh. Kamu melihat seseorang yang tidak ada.

”Ibu saya meninggal dengan berani.” Kali ini kamu berseru sambil mengamati permukaan sungai yang mulai bergetar. Bayangan hijau kita masih di situ.

Tidak ada yang ganjil dan keliru dalam pilihan ibumu. Sebagian tubuh yang sekarat sama seperti dia. Mereka sengaja menjauh dari siapa pun yang mengenalnya, yang pernah mesra. Mereka sengaja mencipta jarak yang kelak akan terus memanjang ketika perpisahan itu benar-benar datang.

Ibumu ingin kalian terbiasa dengan ketidakhadirannya atau ia memang ingin melepas semua ikatan dengan kehidupan lebih dini, seperti menuang ikan-ikan kecil di akuarium ke dalam sungai ini dengan kesadaran untuk tidak mencari mereka lagi dan memang mustahil. Ia bahkan berkata pada ayahmu untuk mencari seseorang yang lain sebagai penggantinya. Ia juga sudah melepas ikatan mereka yang membuat kamu dan Fabian ada.
Kamu masih ingat suatu hari bersama ibumu. Musim panas terakhir. Fabian belum kembali dari Frankfurt karena ia harus menunggu pembukaan pameran lukisannya. Ayahmu di lantai bawah. Dari jendela apartemen, puncak-puncak gedung dan langit bersih terlihat jelas dan seolah lebih nyata dari hari-hari sebelumnya karena baru sekarang perhatianmu benar-benar tercurah pada pemandangan di luar sana, ketika tidak banyak yang menyita pikiran kecuali sosok kurus yang terbaring sakit di ranjang.
Ibumu tiba-tiba berkata, lirih, ”Hidup saya begitu indah.”

Kamu tertegun. Tidak percaya Ibumu mengucap kalimat itu, kata-kata yang sangat dalam maknanya dan menghapus seketika sedih yang muncul dari rasa tidak berdaya sekaligus kegagalan untuk berbuat lebih baik dan lebih sering terhadapnya sejak dulu.

Setelah itu, ia tidak berkata sepatah kata pun selama hampir tiga jam. Kamu memijat lembut kaki-kakinya. Kamu belum siap berpisah.

Ketika suara ibumu benar-benar hilang karena sakit yang makin parah, percakapan kalian bertukar dengan sentuhan, sama seperti saat kamu lahir dulu, saat terdorong keluar dari rahimnya yang hangat. Kamu mencari-cari tubuhnya dan sentuhan ibumu adalah rasa aman dan tenang. Kamu ibarat ulat mungil dalam sebuah kepompong, sebelum menjadi kupu-kupu dan terbang.

”Saya sudah pergi ke mana-mana, kadang meninggalkan negara ini dan sekarang saatnya tinggal. Tapi sebenarnya negara yang mana ya? Negara saya sudah tidak ada,” tuturmu seraya tertawa.

Usiamu 10 tahun saat tembok itu hancur. Orang-orang di timur bebas pergi ke barat, lalu kata ”timur” dan

”barat” itu benar-benar lenyap.

Kesenyapan dalam kamar ibumu masih terasa dalam hati, di satu bagian yang selalu kosong setelah ia pergi. Kesenyapan itu pernah menjelma luka yang dalam dan kini bekasnya tetap ada.

”Selalu di sana.” Kamu meraih tanganku dan menggenggamnya erat. Barangkali orang-orang yang lewat menyangka kita pasangan kekasih.

Di kamar ibumu, benakmu dipenuhi kenangan dari masa kanak-kanak, masa yang sudah lama berlalu serta paling berarti dari semua kenangan, dan inilah yang ganjil dari bagian yang seharusnya sayup itu: semua kesedihan dan kebahagiaan berasal dari sana, ada di masa kini dan terbawa ke masa depan. Suatu hari kamu, Fabian, dan orangtuamu tamasya ke pantai. Angin bertiup dari Laut Baltik. Kamu berlari-lari di pasir. Ibumu berdiri di pinggir pantai, memandang kejauhan. Kamu merasakan butir-butir pasir yang hangat, melihat ombak putih bergulung-gulung. Tiba-tiba ibumu menoleh ke arahmu, melambai seraya tersenyum.

”Musim panas seharusnya lebih panjang.” Suaramu terdengar jauh dan kelam.

Kutatap matamu yang coklat dan ingin mengatakan sesuatu, lalu menganggapnya tidak lagi perlu. Mungkin nanti saja, saat kita punya waktu lebih panjang atau saat kamu sudah siap. Tapi kelihatannya waktu kita pendek, tidak pernah terulang. Apa ya nama perasaan semacam ini? Rasanya seperti sesak dan aku memang mengidap asma. Kamu tersenyum, lalu menatapku sungguh-sungguh, ”Mungkin itu namanya kesedihan.” Setelah itu, kamu melihat ke sungai dan berkata lagi, datar dan pelan, ”Saya tidak tahu. Mungkin juga bukan kesedihan. Hanya kamu yang tahu.” Kita sama-sama menghela napas.

Ayahmu juga terlambat sampai di rumah itu. Perawat mengabarkan bahwa kematian datang lima menit yang lalu dan Ibumu telah pergi bersamanya. Suntikan morfin membuat rasa sakit sama sekali tidak mengganggu prosesi itu, perawat meyakinkan ayahmu yang pucat dan sedih. Ayahmu lantas menghibur diri lebih keras bahwa inilah cara pergi yang diinginkan istrinya.

”Ayah sudah punya seseorang sekarang, yang dia sedikit cinta. Saya senang dia kembali hidup”. Kamu terdengar merestui hubungan mereka.

Udara dingin. Apakah kita akan makan siang di restoran yang sama? Seperti tahun lalu?

”Kita makan di restoran yang sama saja, ya. Pelayannya mungkin masih ingat kita.”

Aku benar-benar letih. Kita melangkah bersisian, meninggalkan tepi sungai. Pohon-pohon menaungi kita. Daun-daun berguguran di trotoar. Kamu sudah memiliki seseorang.
Semalam kamu mimpi aneh.

”Dalam mimpi itu saya berbaring dan ketika saya membuka mata saya, saya melihat Ibu saya berbaring di arah yang berlawanan. Saya lalu bertanya kepadanya, bukankah Ibu sudah meninggal. Ibu saya bilang, dia belum meninggal, tapi hanya koma. Waktu itu saya panik sekali, waduh, bagaimana ini Ibu saya kok hidup lagi padahal Ayah saya sudah dengan seseorang.” Kamu menghela napas.

”Mungkin saya belum sepenuhnya bisa menerima orang lain yang menggantikan Ibu saya dalam hidup Ayah.”
Tiba-tiba kamu berhenti melangkah, ”Tolong kamu pikirkan ini baik-baik. Jangan hidup sendirian. Siapa pacarmu sekarang?”

Aku merengkuh pundakmu, mengajakmu terus melangkah, tiada berkata-kata. Kamu tertawa. Rasanya enak berjalan seperti ini.

”Sudah lama, ya, kita tidak berjalan seperti ini.” Kamu memelukku.
Atau kukatakan saja sekarang?

Tapi aku malah bercerita tentang kematian Ayahku. Setelah dia meninggal, aku pulang ke rumah sebentar untuk menengok ibuku.

Di kamar orangtuaku, ada satu lemari besar khusus untuk menyimpan barang-barang ayah agar tidak berdesakan dengan milik ibu di lemari yang lain. Aku membukanya, melihat pakaianpakaian Ayah tergantung dan terlipat rapi. Waktu kubuka salah satu laci, kutemukan baju baletku waktu berusia tujuh tahun, sepatu baletku yang tali-talinya telah kumal, kacamata-kacamataku waktu di sekolah dasar, jepit-jepit rambut dengan hiasan beruang kecil.

”Barangkali Ayahmu merindukan kamu yang tidak pernah pulang dan benda-benda itu menghiburnya,” katamu pelan.

Udara benar-benar dingin. Patung beruang di muka satu galeri itu tampak begitu tua.

Hans, kita tidak akan bertemu lagi tahun depan atau bahkan sebelum tahun itu tiba. Setelah meninggalkan Berlin, aku akan menulis surat terakhir untukmu: tentang sel-sel penyakit yang berkembang dan menjalar dalam kesenyapan, dan hari-hari yang tidak akan kita miliki lagi di mana pun.***

*) Rosa Luxemburg, seorang tokoh sosialis Jerman. Dia meninggal ditembak pada 1919, mayatnya dibuang ke sungai.







 
 
Perihal Sebatang Kayu di Belakang Limas Kami yang Ada dalam Hikayat Emak

Oleh
Guntur Alam
Jangan sesekali kau dekati batang kayu itu. Selalu itu yang Emak katakan bila mata bocahku (dulu) mulai berbinar-binar menatap batang kayu yang tumbuh rindang di belakang limas kami itu. Lalu, aku akan melempar tanya yang sama lewat retina mata yang seketika meredup mendengar larangan Emak itu. Mengapa?

Di dahan yang paling dekat dengan pokok batangnya, ada seekor ular coklat besar bersarang. Ular itu akan menggigit siapa saja yang mengusiknya.

Mendengar jawaban Emak itu, aku pasti akan berjinjit ngeri. Terburu membunuh keinginan yang meluap-luap untuk bergumul di dahan-dahannya. Dan sejak saat itu, aku selalu menikam luapan rasa yang sama.
 
Namun, semakin gigih aku meredam keinginan mendekati batang kayu itu, semakin gencar pula Emak mengulang-ulang hikayatnya. Cerita yang aku pun mulai hafal tiap bagiannya. Entah, Emak seolah-olah tengah menggodaku, serupa seseorang yang hendak menguji; seberapa patuh aku akan larangannya itu? Sementara itu, sifat kanak-kanakku yang penasaran akan kebenaran hikayat Emak, menggebu-gebu: Apa benar? Atau ini hanyalah dongeng Emak semata agar aku tak jadi anak gadis bengal yang bergumul dengan dahan-dahan kayu, macam bujang-bujang ingusan itu.

Di batang kayu itu ada seekor ular coklat besar yang siap mematuk siapapun yang mendekatinya. Dulu, ada seorang gadis muda dengan wajah bulat telur, leher jenjang, kulit sawo matang dengan ikal mayang yang bergelombang sebatas pinggulnya, mata belok, hidung bangir, dan bibirnya sangat tipis. Ia gadis yang cantik.
Selalu itu yang jadi pembuka hikayat Emak. Lambat laut, aku seperti merasa: Tidakkah tokoh gadis yang ada dalam hikayat Emak itu diriku? Sejak menduga-duga serupa itu, aku kerap mematut wajahku di cermin dalam bilik. Rambut hitam yang legam serupa ombak bergelombang sampai pinggang, mata belok, hidung bangir, kulit sawo matang. Persis. Emak seolah-olah tengah menghikayat cerita tentang diriku.

Gadis muda itu tinggal bersama emaknya di limas mereka. Seorang perempuan tua yang mulai terdengar begitu cerewet baginya. Selalu saja melarangnya mendekati batang kayu yang tumbuh rindang di belakang limas mereka. Padahal, di bawah batang kayu itu, saban hari menjelang siang sampai malam merayap datang, ada seorang bujang yang duduk dengan kambing-kambingnya. Bujang berahang keras dengan sorotan mata elang, tangannya besar dengan bidang dada yang begitu luas untuk bersandar. Sebelum emaknya memergoki ia kerap datang dan bercerita bersama bujang itu tentang kambing, batang kayu tempat mereka berteduh, sampai kain tenun (setelah itu emaknya selalu melarangnya mendekati batang kayu itu), gadis itu merasa telah menemukan hidupnya. Diam-diam, ada yang tumbuh di dadanya, sekuntum mawar liar yang menggeliat-geliat.
Di bagian hikayat itu, aku selalu menemukan raut muka Emak berubah. Ada binar-binar yang tak dapat Emak sembunyikan, serupa sipu gadis pemalu yang jatuh cinta. Jarang sekali, aku menemukan riak-riak bahagia di
gurat muka Emak yang keras.

Gadis itu tak dapat meredam geliat mawarnya. Lebih-lebih bila mata beloknya tengah menerawang di langit-langit kamar. Bayangan ia yang menyandarkan kepala di dada bujang itu selalu saja mengantar-kantar matanya. Genggaman jemari besar dengan telapak kapalan terasa begitu lembut saat memegang tangannya. Ia tak tahan. Ia tak dapat menahan rindu yang menyekap.

Lalu, raut muka Emak akan kembali berubah. Setelah binar-binar yang demikian jarang aku temui itu, aku akan menemukan wajah Emak yang nelangsa. Penuh beban, penuh derita, seperti seseorang yang menahan rindu begitu besar, hingga rindu itu terasa tengah meremas-remas hatinya tanpa belas.

Setelah tak sanggup menahan rindu yang mengantar-kantarnya, gadis itu melarang pantang emaknya. Pada pagi menjelang siang yang kelak gadis itu catat sebagai hari paling pekat dalam hidupnya, ia menemui bujang itu. Mereka melepas rindu yang sudah tak tertakar, hingga meluapkan segala rasa sampai tak sadar kain tenun telah tersingkap dan seekor ular coklat besar yang mengintai mematuk si gadis yang lengah. Bisa telah tersembur, taring telah tertanam. Si gadis membiru dalam ketakutan, si bujang cemas hingga lari ditelan rimba, meninggalkan gadis bermata belok menampung bisa yang merenggut nyawanya.

***

Sesungguhnya, aku tak suka bila Emak telah berhikayat. Selain cerita Emak yang selalu sama: Tentang seorang gadis cantik dan batang kayu yang tumbuh rindang di belakang limas kami itu, cerita Emak diam-diam telah menakutiku. Aku kerap bermimpi buruk. Telah berkali-kali aku ceritakan itu kepada Emak. Tentang aku yang ketakutan dalam tidurku. Seolah aku tengah melanggar pantang Emak, diam-diam menyelinap, dan pergi ke bawah batang kayu itu. Di sana, aku menemukan seekor ular coklat yang demikian besar, bermulut lebar dengan kedua taring yang mengerikan.

Itu artinya, jangan sesekali kau pantang Emak. Bila kau lakukan, ular coklat besar itu akan mematukmu, menyemburkan bisanya yang beracun, hingga kau meregang nyawa sendiri dan terlempar ke alam orang-orang mati. Terkuncil. Sendiri. Dan sunyi.

Pasti. Pasti kata-kata itu yang Emak lontarkan bila aku bercerita tentang mimpi-mimpi burukku. Bila telah demikian, Emak akan kembali mengulang hikayatnya, perihal sebatang kayu di belakang limas kami itu dan seorang gadis cantik yang dipatuk ular coklat karena melanggar pantang emaknya.

Setelah aku merasa Emak tak akan pernah berhenti menceritakan hikayatnya yang menakutkan itu, aku memilih untuk tak menceritakan lagi mimpi-mimpi burukku. Sebab, ceritaku tentang mimpi-mimpi yang mengerikan itu tak akan membuat Emak iba dan menyudahi kisah membosankannya.

Sama hal dengan keinginanku untuk pergi bersama bujang-gadis sebayaku yang saban pagi kutatap dari jauh. Mereka tertawa-tawa, berloncat-loncatan, kejar-kejaran dengan baju yang seragam. Putih-merah. Warna yang menggoda mataku. Selalu saja, saban malam sebelum pejam menjemputku pelan berlahan, doaku sama: Hendak rasanya aku bermimpi di antara mereka, dengan seragam yang sama, menderaikan tawa bersama.
Namun, mimpi itu tak kunjung datang, saban malam hanyalah mimpi tentang ular yang bersarang di batang kayu itu yang menemani tidurku. Mimpi mengerikan.

Sejatinya, aku hendak bercerita kepada Emak, mengapa aku ingin sekali mendekati batang kayu itu. Batang kayu yang tumbuh di belakang limas kami, batang kayu yang berdiri kokoh di tengah padang rumput. Di sana, aku kerap menemukan bujang-gadis seumurku berkejaran, berlari menangkapi capung, bersorak-sorak, lalu mereka berguling-guling di atas rumput. Menderai tawa yang rincak di cupingku.

Tapi, aku tak kunjung mampu untuk mengutarakannya. Tersebab, Emak seolah telah mampu membaca pikiran yang ada di batok kepala kanak-kanakku.

Percayalah, mereka tak akan suka padamu. Ebak-emak mereka akan gegas menyeru mereka pulang, bila kau ada di antara mereka. Setelah itu, kau pasti menangis. Dan Emak tak hendak melihat airmata ada di wajahmu, sebab airmata itu tak akan membuat mereka iba. Menyakitkan, bukan?

Entah, apa yang Emak katakan? Hanya saja, air muka Emak terasa sangat mengerikan. Serupa seringai hantu perempuan yang mati penasaran, nelangsa, penuh beban, penuh dendam. Dan, aku memilih mengubur keinginanku bersama hantu perempuan yang menakutkan itu.

***

Ada hikayat yang sesungguhnya sangat ingin kudengar dari Emak. Tentunya, bukan hikayat tentang sebatang kayu yang tumbuh di belakang limas kami dan seorang gadis cantik yang dipatuk ular coklat besar lantaran melanggar pantang emaknya. Hikayat ini tentang Ebak yang tak sekalipun dapat kubayangkan rupanya. Tak ada selembar foto atau apapun yang berhubungan dengan lelaki itu di limas kami. Hingga, aku pun tak tahu, harus membayangkan rupanya seperti apa.

Ebak-mu telah mati dan kau yatim bersamaku di limas ini.

Selalu. Selalu itu yang Emak katakan bila aku mulai memancing Emak untuk bercerita tentang Ebak. Dan aku pun akan menemukan air muka Emak berubah keruh. Seperti seseorang yang menahan marah, nelangsa, cinta, kesumat, dan semua rasa yang berbalur dalam hatinya. Rasa yang bergumul-gumul hingga melahirkan raut muka Emak yang terlihat begitu mengerikan juga menumbuhkan iba bila kau pandang lamat-lamat.
Bisakah kita ziarah ke kuburnya?

Dan aku pun mengikuti kebiasaan Emak. Mengulang permintaan yang sama. Berulang-ulang. Walau aku pun tahu, jawaban Emak pasti akan sama pula.

Anak gadis tak elok berziarah ke kubur. Kau mulai lupa apa yang Emak ajarkan? Nabi melarang anak gadis ziarah, tersebab pasti akan menangis meraung-raung di sana.

Lalu, aku mulai memutar otak kanak-kanakku agar dapat meminta Emak menceritakan hikayat tentang Ebak. Selain, aku ingin membuat Emak lupa mengulang-ulang hikayat sebatang kayunya itu, aku kian penasaran dengan sosok laki-laki yang telah membuatku ada di limas ini.

Tak ada yang luar biasa untuk Emak ceritakan tentang Ebak-mu. Ia lelaki berahang keras dengan sorot mata elang, bertelapak tangan besar yang kapalan. Rambut legam dan dadanya serupa padang rumput yang bidang.
Hanya itu. Dan cuma itu. Tak ada yang lainnya, hingga aku hanya dapat mereka-reka wajah Ebak dalam benakku. Dalam benak kanak-kanak. Aku pun tak punya pembanding, seperti apa rupa lelaki. Di limas ini, cuma ada aku dan Emak. Dua perempuan yang terasa begitu kaku dalam bercerita.

Apa musabab kematian Ebak?

Aku masih setia mengejar Emak dengan hikayat yang sepertinya tak hendak ia terakan. Bila telah demikian, Emak akan memasang wajah merengut. Mendelikkan mata tak suka padaku. Dan aku pun akan menutup mulut.

Ebak-mu mati di tengah rimba, usai berlari lantaran melihat seekor ular mematuk seseorang. Kematian yang mengerikan, kematian yang membuatnya terlempar ke alam yang tak bisa kau raba. Sudah, tak usah kau tanya tentang itu lagi.

***

Begitulah, Emak selalu saja menghikayatkan tentang sebatang kayu di belakang limas kami itu. Tentang seorang gadis cantik yang dipatuk ular coklat besar lantaran melanggar pantang dari emaknya. Kebiasaan Emak menceritakan hikayatnya itu kian menjadi-jadi saja seiring usiaku yang menampak. Dan aku mulai terbiasa dengan ceritanya, kuanggap dongeng semata, tak perlu dicemaskan. Aku pun tak hendak lagi memaksa Emak menceritakan hikayat tentang Ebak, karena aku tahu Emak pasti tak akan menceritakannya. Dan, aku pun tak perlu bercerita kepada Emak, kalau aku diam-diam telah dua kali ke bawah batang kayu itu. Mengintip seorang bujang yang mulai berjakun, bersorot mata elang dengan rahang keras yang tersenyum padaku. (*)

C59, Januari-Maret 2011





 






 

Tidak ada komentar: