Senin, 07 November 2011

CERPEN KORAN TEMPO



 

Tem Ketetem
Oleh
Guntur Alam





CERITA ini sesungguhnya kisah terlarang. Andai-andai yang tak boleh kau dengar, apalagi ditutur ulang. Sebab orang-orang tua di kampungku percaya, bila kisah ini terkubur bersama masa, bala yang mengintai di baliknya akan ikut terbenam pula. Tapi, ada sebuah pengecualian, Kawan. Cerita ini boleh kau simak sekali saja, sebagai pengingat agar kau belajar pada catatan masa.

Nah, sebelum kau simak, ingatlah, kisah ini hanya boleh sekali kau dengar. Bila telah usai, lekas-lekas kau bungkus dalam ingatan, lalu simpan rapat-rapat di sudut kenangan. Jadi, bila sewaktu-waktu kau bermalam di kampungku, Tanah Abang, di pedalaman Muara Enim sana, tengoklah bulan di langit malam. Jikalau bulan malam itu pucat mengembang serupa kejantanan bujang belanjaran yang menggeliat, itulah masa yang menyungkup cemas, menyekam bala dalam balutan pekat.

Patut pula kau ingat, Kawan, ini bukan hal tentang petang temaram semata. Petang ketika cericit kelelawar ingar di atas bubungan limas, petang yang menjadi penanda bagi orang-orang Tanah Abang: Hantu Seriman tengah melayap, mencari bocah naas. Ia yang datang saat bulan pucat mengembang, tak sekadar hantu perempuan berketiak lebar lagi asam, yang kerap membenamkan kepala bocah-bocah malang di sana, atau menyimpannya dari pandangan mata orangtua yang bertalu cemas. Ia lebih menakutkan dari rupa hantu bertetek besar macam pepaya busuk yang menggantung di batangnya itu.

Simaklah, mantera pengusir yang orang-orang tua lafal dan ajarkan saat bulan mengembang, masa cemas menyungkup di dada, mengusir bala dalam selimut pekat: Tem ketetem, sape tepi kulambani, sape tengah kukerok ijat mate….


DI kampungku, Kawan, anak bujang tak punya bilik serupa perawan. Bila malam datang membawa kantuk yang merayu mata, bujang-bujang akan meringkuk di tengah limas, berselimut sarung kotak-kotak, memeluk guling sebagai karibnya. Nah, inilah masa yang penuh bala bagi para bujang. Malam ketika bulan pucat mengembang adalah petaka yang harus dihindarkan.

Jangan jatuh tertidur, Bujang! Bulan pucat tengah penuh. Mengembang di kelam raya. Bila kau pantang, kau akan bangun esok paginya dengan dunia pekat selama-lamanya!
Itulah petuah, larangan, bisa pula kau sebut ancaman, Kawan, dari Kajut-kajut bercucu bujang belanjaran, dari Emak-emak yang memiliki anak jantan yang masih anyir selakangannya, dapat pula dari Ebak-Ebak yang ingin bujang-bujangnya merasakan cemas yang sama saat ia seusia mereka.

Semua ini bermula dari andai-andai temurun yang ada di kampungku. Perihal perawan cantik bernama Ketetem, pujaan hati bujang-bujang seantero Tanah Abang dan dusun-dusun tetangga. Gadis cantik bernasib naas, hingga ia melahirkan dendam turunan yang selalu hendak ia tuntaskan, memberi bala pada semua bujang, termasuk yang lahir jauh sebelum ia ada. Semua ini berawal dari kesumat yang ia bawa hingga ajal, menyekam rohnya ke dalam dunia para setan.

Inilah hikayatnya, Kawan. Jauh beratus tahun sebelumnya, jauh sebelum masa aku dilahirkan, pun dengan Emak-Ebak-ku, begitu pula dengan Pugoe-kajut–ku. Masa ketika Tanah Abang hanyalah dusun kecil berhutan belantara, kampung yang ada di antara megahnya kerajaan kecil, Kebon Undang. Di masa itu,Tanah Abang memiliki purnama berbentuk sintal, dalam raga menggiurkan seorang perawan.

Konon, kata Kajut-ku yang menterakan kisah ini padaku, perawan jelita itu bernama Ketetem, gadis semata wayang Muneng Gelung. Dapatlah kau bayangkan paras eloknya? Berbibir penuh yang merah seperti delima, merekah-rekah, liur basah oleh lelehan ludah yang dibawa lidahnya. Lehernya jenjang dengan kulit bersih yang merontokkan mata saat kau memandangnya, ikal mayangnya bergelombang seperti debur ombak nakal yang rincak, menggeliat-geliat, sampai menyentuh bokongnya. Jangan lupa kau bayangkan pula hidung bangirnya, bulu mata lentiknya, dan retinanya yang hitam dengan bagian putih yang bersih tak alang kepalang. Sepasang alisnya pun tumbuh sempurna. Setelah itu, turunkan matamu ke dadanya, dua bukit di balik besan-nya sangat penuh laksana mangga setengah matang yang mengkal. Lalu, rayapkanlah matamu ke kakinya, betis bulir padinya begitu menggoda. Oi, kau bayangkanlah betapa ia perawan yang sempurna wujudnya.

Keelokan paras dan tubuh Ketetem tersohor hingga ke kampung tetangga, ke ceruk-ceruk berbujang, ke bukit-bukit lelaki bertongkat pusaka. Tak heran, telah banyak telapak kaki yang bertandang di limas Ebak-nya, mengutarakan niat memboyong Ketetem, menjadikan selimut penghangat di malam senyap, melewati dingin udara Sungai Lematang yang merayap ke darat bila malam tengah matang di usianya.

“Pilihlah salah satu bujang, Tem. Ebak tak bisa terus menerus menolak mereka.”

Petang itu, Muneng Gelung kembali meminta anak perawannya memilih salah satu bujang yang pernah bertandang ke rumah mereka. Lelaki itu mulai cemas. Entah, ia merasa kecemasan yang tak bermuasal perihal Ketetem. Tentang kebiasaan anak gadisnya menolak sekian pinangan yang ada.

Ketetem tak bersuara. Dibiarkannya saja Ebak-nya yang mulai renta itu menghabiskan petang dengan repetan yang ramai, berkicau bersama kepak burung yang riuh pulang ke sarang, meningkahi cericit kelelawar yang ingar menyambut mangsa, mengintai mangsa-mangsa naas untuk menuntaskan hasrat perut mereka. Ketetem cuma meletakkan secangkir kopi hitam dengan gelungan asap yang meliuk-liuk di atasnya, ubi rebus yang masih mengepul menjadi karib kopi panas, duduk terserak di atas piring tanah liat. Lalu, perawan sintal itu mundur ke belakang, kembali ke pawon tempat ia menghabiskan sebagian besar hidupnya.

“Lama-lama kau tua, Tem. Dua puluh, dua satu, dua dua. Oi, apa kau tak cemas bila kelak kau telah tiga puluh tahun, tak akan ada lagi bujang yang hendak merasakanmu. Kau akan keriput macam mangga busuk yang masak di batang, ujung-ujungnya jatuh ke tanah, dimakan musang bisa pula hewan tanah yang menjijikkan seperti cacing gelang,” suara Muneng Gelung masih saja terdengar meracau di tengah limas. Ketetem menyumpal rapat-rapat lubang cupingnya.

“Kau terima saja bujang Pesirah Layuk, si Gentar itu. Parasnya elok, badannya liat, balam-nya lebar, sawah pun banyak. Kau tak akan sengsara kawin dengannya,” sambung Muneng Gelung. Lelaki renta itu tak peduli dengan kebisuan yang dijadikan jawaban oleh perawannya. Ia terus saja merepet.

“Atau, kau terima bujangnya Kadus Namin. Dapat pula kau timbang pinangan si Kudik toke guci dan kain itu. Pokoknya, kau pilihlah. Kepala Ebak ini sudah mau pecah mencari jawaban untuk mereka, kau selalu saja diam. Bujang macam mana yang hendak kau terima? Macam putera mahkota Ratu Kuring Sidjang Keuring Remuas Tempurang itu? Janganlah, kau bermimpi, Tem.”

Ketetem mendengus mendengar ucapan Ebak-nya barusan, tangannya sibuk mengaduk-aduk nasi dalam periuk dengan sereket kayu ribu-ribu, uap panas dan bau nasi setengah matang mengelindap. Wajahnya matang seperti cabai, menahan uap panas yang menjilati kulit mukanya. Peluh bercucuran dari anakan rambut di jidatnya. Ia menutup kembali periuk dari tanah liat itu, menarik kayu bakar yang masih menyala di bawah pantat periuk, mengumpulkan arang-arang yang membara, memanaskan nasi agar matang pelan-pelan.

“Aku belum bertemu yang pas saja, Bak. Bila telah kutemukan, kusudahi pusing kepala Ebak itu,” selalu saja jawaban itu yang dilontarkan Ketetem bila telah jengah mendengar repetan Ebak-nya.

“Bila?” Ketetem menghela napas lagi mendengar sahutan Ebak-nya.

“Itu rahasia Sang Semesta, Bak.”

Muneng Gelung senyap. Lelaki renta itu tak bersuara lagi, ia tak tahu harus berkata apalagi ketika perawannya itu selalu saja membungkam kata-katanya dengan Sang Semesta. Siapa pula yang dapat menyingkap rahasia semesta? Perihal jodoh dan maut seseorang. Ah, lelaki itu membiarkan semesta berjalan membawa masa untuk memberinya jawaban atas nasib perawan bertubuh purnamanya: Ketetem.


BEGITULAH, saban hari, bila petang senggang saat Muneng Gelung melepas penat seharian di sawah dan rimba balam. Lelaki itu selalu membuka repetan dengan cerita yang sama. Perihal kepeningannya menghadapi bujang-bujang yang menunggu jawaban atas pinangan mereka terhadap perawannya, kecemasan lelaki itu akan suatu hal tentang anak gadisnya yang ia sendiri pun bingung hendak mengurainya dari mana. Dan, perawannya akan selalu membungkamnya dengan kata-kata yang sama pula.

Bujang-bujang pun kian tak sabar, kian tak kuasa menahan gejolak yang telah membara di dada. Seperti ada seekor ular melata dalam tubuh mereka, ingin sekali menggigit seseorang, memuntahkan racun dari taring-taring yang bunting kepayahan, melepaskan sisik yang terasa gatal karena telah melewati masanya terkelupas.
Oi, siapa pula yang tahan menunggu jawab tak berkabar. Sementara itu, saban tengah hari saat dusun mati karena orang-orang tua bergumul di sawah, ladang, dan rimba balam, mata bujang hanya dapat melihat sosok menggiurkan seorang perawan dalam balutan besan serupa purnama, melenggak-lenggok menuju Sungai Lematang, untuk membasuh tubuhnya yang matang sempurna. Sementara itu, ular dalam tubuh bujang-bujang itu kian menggeliat-geliat saja, mendesis-desis, tak sabar lagi memuntahkan racun yang telah penuh di taring-taring mereka.

Dan semesta pun mencatatkan takdirnya. Entah, apa ini ada campur tangan ular-ular yang bersemayam dalam tubuh para bujang, atau murni takdir semesta yang telah dicatatkan jauh sebelum Ketetem mengoek panjang usai lepas dari rahim Emaknya. Entahlah, siapa pun tak sanggup menguraikan itu. Masa hanya bercerita tentang nasib Ketetem yang malang. Tentang kisah pilu yang kelak melahirkan bala turunan, kisah sedih yang menjelma menjadi andai-andai terlarang. Pun perihal ular siapa (saja) yang menghujamkan taringnya, menyemprotkan bisa hingga Ketetem menemui ajalnya dengan tubuh telanjang di bibir Lematang, di semak-semak, rimbun Nanggai, kangkung liar, dan kelapa-kelapa yang menjulang ke langit raya. Tak seorang pun bisa menerakannya.

Hanya saja,orang-orang tahu, Muneng Gelung meratap-ratap menemukan perawannya terkoyak-koyak taring ular, membiru dalam balutan besan yang kusut masai. Inilah buah cemas yang ia risaukan beberapa purnama silam. Tentang kecemasan akan ular-ular yang tak tahan menunggu jawaban dari perawannya, hingga memuntahkan taring tidak pada tempatnya. Kemudian, orang-orang mendengar bisikan lelaki renta itu di cuping mayat perawannya: Kau harus lumat bujang-bujang durjana itu, Tem.

Seperti itulah kisah itu terurai. Mula-mula, orang-orang dusun Tanah Abang melupakan nasib malang Ketetem lantaran masa yang melibas dengan cepat.Tapi, kengerian mulai terdengar gaungnya ketika purnama mengembang pucat di kelam raya, beberapa bujang ditemukan tewas dengan bola mata menghilang. Desas-desus bergulir setelah Muneng Gelung meracau: Mereka itulah ular-ular yang mematuk perawannya.

Lalu, bala itu merayapi semua bujang. Tak hanya bujang pemilik ular yang menyemprotkan racun pada tubuh Ketetem semata. Tapi, semua bujang yang tak tahan melihat tubuh mengkal seorang perawan. Nah, kau ingatlah itu, Kawan, bila kau ada di Tanah Abang, tahanlah matamu dari tubuh perawan, sebab itu sebuah pantang, lebih-lebih bila malamnya purnama pucat mengembang di kelam raya. Karena masa itu penuh bala. Masa Ketetem menunaikan dendamnya. Cuma satu yang bisa kau lakukan: Jangan jatuh tertidur di tengah limas dan rapalkan mantera pengusirnya. (*)


C59, Juli-November 2010

Guntur Alam lahir di Tanah Abang, Muara Enim, Sumatera Selatan, 20 November 1986. Kini menetap di Bekasi, Jawa Barat.


Catatan:
[1] Kebon Udang: Kerajaan kecil di bawah kekuasaan Sriwijaya. Bertempat di dusun Bumi Ayu, kecamatan Tanah Abang, kabupaten Muara Enim, Sumatra Selatan.
[2] Ratu Kuring Sidjang Keuring Remuas Tempurang: Ratu yang memimpin Kebon Udang di masa jayanya. Hanya nama ratu inilah yang tercatat sebagai raja di Kebon Undang. Misteri raja-raja yang lain belum terungkap.

Tidak ada komentar: