Sabtu, 18 Februari 2012

CERPEN JAWA POS


Pengusung Jenazah yang Berjalan Mundur
OLEH
ADAM GOTTAR PIRRE


 


DITERANGI  lampu biji jarak [1] yang ditusuk seperti sate, malam itu kami duduk setengah melingkar menghadap ke timur di sangkok [2] rumah. Di depan kami, terletak sebuah nyiru berisi biji jagung dan sebuah mangkuk batu. Dengan biji palawija itulah kami hendak menghitung jumlah kosakata yang masih tersisa dalam bahasa ibu kami, bahasa Dungau, setelah gelombang demi gelombang penjajahan, perang suku, progam KB, dan siaran televisi menyusutkan jumlah populasi kami dari 5 juta jiwa menjadi 461 orang, yang mendiami sebuah kampung terpencil yang diapit barisan bukit-bukit yang memanjang dari pesisir selatan ke utara.
Di bagian utara, kampung kami dibatasi oleh langit biru yang di bawahnya terdapat sebaris pohon pinang—yang mengingatkan pada sebuah lukisan kincir air dengan latar belakang pohon palem di rumah Mr Van der Hook di negeri Belanda—dengan bongkahan-bongkahan awan kumulus di atasnya yang bergulung-gulung bagai ombak Samudra Hindia yang menjadi batas kampung kami di sebelah selatan. Sedangkan di sebelah timur, tampak lapisan bukit-bukit terjal dengan tanah merah yang berlubang-lubang [3], mirip tembok batu bata belum diplester, yang pada setiap musim penghujan selalu mengirim banjir sampai dalam rumah, sehingga kami sekeluarga dan keluarga lain terpaksa tidur di atas pohon, sementara menunggu air surut ke laut.

Maafkan kalau aku hanya menyebutkan tiga di antara empat arah mata angin dalam pandangan kosmologi kami—yaitu utara, selatan, dan timur—sebagai pembatas kampung kami. Sedangkan arah satunya lagi—arah terbenamnya matahari—terpaksa tidak aku sebutkan. Sebab, kami begitu takut pada arah yang satu itu!
Sebab, gelombang demi gelombang imperialisme yang bercokol di tanah kami akan selalu muncul dari arah itu. Mereka datang silih berganti seperti rombongan sirkus atau perampok yang menjarah segala milik kami. Mulai rempah-rempah hingga bongkahan emas, semua digondolnya, seperti anjing menggondol tulang, hingga kami tak punya apa-apa lagi, kecuali lahan kering dan bayi-bayi bermata cekung dengan perut buncit mirip balon, yang oleh bidan puskesmas dibisikkan dengan suara lirih di telinga kami, “Busung lapar…!” katanya karena takut bocor ke kuping wartawan.

Sejak ribuan tahun silam hingga hari ini, tak kurang dari tujuh bangsa yang telah menjajah kami. Mereka datang dengan bermacam-macam alasan. Ada yang datang dengan membawa roh-roh halus, mitologi, azimat, uang logam, keris berkarat, kitab bersampul kulit binatang, bedil, televisi, telepon genggam, gambar porno, dan lain-lain. Tetapi, sebenarnya motifnya sama saja, yaitu kekuasaan dan uang. Maka, dalam waktu tak lama berselang, di tempat kami berdirilah tempat-tempat pemujaan, keraton, pasar, kemudian kantor-kantor, penjara, hotel-hotel, pusat bisnis, tempat hiburan, vila-vila di atas bukit, dan lain-lain, yang sebelumnya tak kami kenal. Sebab, kami sudah terbiasa dengan pola hidup bercocok tanam, berternak, menjaring ikan di laut, dan menenun pakaian sendiri. Selain itu, kami memiliki tradisi tenten [4], bukan ekonomi uang. Sebab, uang bagi kami sengaja diciptakan oleh golongan berkuasa untuk menukar hasil keringat kami, para petani, peternak, dan nelayan. Itu kejahatan! Karena itu, kami menolak semua buku sabda bersampul kulit binatang yang melegalkan uang dan ekonomi pasar.

Ketika salah satu komplotan penjajah pergi, setelah berkuasa selama tiga setengah abad, beberapa pulau di bawah kawasan ini kompak bergabung, lalu membentuk sebuah negara merdeka. Kami pun ikut bergabung dengan harapan nasib kami bertambah baik ke depan. Tetapi, lacur, yang terjadi malah sebaliknya. Perilaku mereka ternyata lebih buruk daripada penjajah. Korupsi merajalela. Pegawai-pegawai pemerintah makan gaji buta setiap bulan, tak jelas pekerjaannya. Emas, mutiara, dan hasil bumi kami dikuasainya serta dijualnya kepada pihak asing. Kami tambah sengsara seiring dengan menyusutnya jumlah populasi kami, dengan lahan yang makin menyempit seperti tikar pandan karena dipenuhi oleh mereka yang terus berdatangan seperti rombongan semut di malam buta, memenuhi setiap jengkal tanah.

Sekarang kami baru sadar, betapa ruginya bergabung dengan mereka dalam satu negara. Kami terdesak. Dan dongkol!

***

Gelombang demi gelombang penjajahan yang datang ke kampung kami selalu masuk dari arah itu. Karena itu, sebagian besar dari kami mengalami fobia, tak berani memandang ke arah itu atau sekadar membayangkan kapal-kapal yang berlabuh di dermaga pelabuhan di balik bukit. Apalagi mendengarkan bunyi raungan sirenenya yang memekakkan telinga serta menggetarkan udara dan butir-butir pasir di pantai, kami akan langsung menyumbat lubang telinga dan memejamkan mata sambil merasakan bulu kuduk berdiri seperti tunas ilalang di musim hujan. Beberapa orang dari kami juga akan langsung berlutut dan kencing di celana. Satu dua orang bahkan jatuh pingsan.

Sudah beratus-ratus tahun kami tak berani lagi memandang ke arah menakutkan itu. Jangankan menghadapkan wajah ke sana, menoleh pun kami tak berani. Jika ada di antara kami yang lupa dan secara kebetulan menengok ke sana, kami pun akan langsung menjerit-jerit histeris seperti melihat hantu atau setan. Sebab, yang terbayang di benak kami adalah bedil, meriam, pedang, tombak, panah, keris, baju zirah, dan para perempuan kami yang diperkosa seperti binatang. Sehingga kami akan langsung memekik!

Perasaan terteror itu menyelinap pula sampai alam mimpi sehingga membuat kami sering berteriak di malam buta. Apabila di waktu tidur secara tak sengaja wajah kami menghadap ke sana, hal itu akan menjelma menjadi mimpi buruk yang membuat kami langsung mengingau. Bayi-bayi di ayunan pun akan menangis seketika kalau wajahnya dihadapkan ke sana. Bahkan, konon, mayat pun akan mendadak memekik kalau wajahnya diarahkan ke sana. Meskipun, yang terakhir ini tidak untuk ditelan mentah-mentah karena ada ceritanya sendiri. Mengingat rasa takut itu sudah menyatu dengan kehidupan kami sehari-hari, lambat laun rasa takut itu berkembang menjadi mitos.
Karena alasan itu pula, di tempat kami berlaku sebuah aturan aneh yang tidak ada di tempat lain di kolong langit ini, yaitu dilarang memanggil nama orang dari belakang. Peraturan itu berlaku bagi kami yang sedang berjalan beriringan menuju ke timur. Yang berjalan di belakang dilarang memanggil nama orang yang berjalan di depan. Sebab, dikhawatirkan, begitu namanya dipanggil, yang bersangkutan akan langsung menengok ke belakang, yang berarti memandang ke sana, sehingga membuatnya berteriak-teriak. Ketentuan tersebut terpaksa diterapkan untuk melindungi suku kami dari rasa takut yang telah berlangsung selama beratus-ratus tahun sehingga membuat kami kerap menjerit-jerit seperti orang kerasukan roh-roh jahat.

Sejak peraturan ganjil itu diterapkan, seiring dengan makin menyusutnya populasi kami, jeritan-jeritan aneh itu mulai agak berkurang. Berbeda sekali dengan tahun-tahun sebelumnya, ketika populasi kami masih berjumlah 4,5 juta jiwa, di mana-mana yang terdengar hanya suara jeritan, bersahut-sahutan seperti serangga di lubang-lubang.

***

Bayang-bayang imperialisme yang terus menghantui sampai lubang kubur itu telah membuat kami hanya berani memandang ke utara, timur, dan selatan. Jika kami sedang menghadap ke timur, sementara kami hendak mengambil sesuatu—misalnya topi atau pisau—yang terletak di belakang kami, terpaksa kami mengambilnya dengan cara bergerak mundur agar tidak melihat ke arah yang menakutkan itu. Begitu pula ketika kami pergi ke rumah tetangga yang tempatnya di sebelah timur, saat kembali ke rumah kami akan menempuhnya dengan cara berjalan mundur macam undur-undur.
Repotnya adalah ketika kami harus bepergian jauh dalam jarak di atas 1 kilometer ke timur. Pengalaman itu membuat kami sulit untuk tidak mengeluh. Sebab, itulah salah satu beban terberat yang dirasakan oleh sanak saudara kami sebagai akibat dari nasib sial yang ditimpakan sejarah di punggung kami. Sebab, saat pulang kami harus berjalan mundur melalui bukit-bukit, sawah, ladang, sungai, dan jalan setapak. Bisa dibayangkan betapa beratnya mendaki dan menuruni lereng bukit berbatu terjal seraya berjalan mundur di antara pohon-pohon kaktus berduri tajam mirip jarum pentul, yang tidak jarang pula menancap di punggung dengan ujung patahan tertinggal di daging. Kondisi jurang yang curam kadang-kadang membuat kami terpaksa harus merayap mundur seperti pejuang gerakan bawah tanah di gunung-gunung. Padahal, berjalan mundur puluhan meter di tempat yang datar saja susahnya bukan main, apalagi di medan yang berat sejauh 3 atau 4 kilometer. Sulit dibayangkan! Tetapi, daripada mata kami harus melihat ke arah yang menakutkan itu, yang akan mengakibatkan kami berteriak-teriak seperti melihat setan, lebih baik kami berjalan mundur dan merelakan punggung kami tertusuk duri kaktus.

Selain kesukaran itu, beberapa kesulitan yang membuat kami merasa sangat tertekan adalah saat menyelenggarakan pesta perkawinan untuk sanak saudara kami atau mengurus jenazah. Bisa dibayangkan, orang-orang yang hanya berani menghadapkan wajah ke timur, utara, dan selatan harus mempersiapkan sebuah pesta, memotong kerbau atau sapi, serta menanggap hiburan yang akan berpentas semalam suntuk. Bagaimana kalau kerbau jantan atau banteng yang akan disembilih tiba-tiba mengamuk saat kakinya hendak dijerat dengan tambang? Akibatnya tentu mudah ditebak. Seperti yang terjadi pada pesta perkawinan Kuhala dan Nijara beberapa waktu lalu, persiapan pesta menjadi berantakan. Di mana-mana, yang terdengar hanya suara jerit tangis dan orang berteriak. Iring-iringan perempuan yang sedang berjalan menjunjung bakul di lorong setelah mencuci beras di pancuran tiba-tiba berteriak menjerit-jerit ketika seekor kerbau jantan mengamuk hendak menubruk mereka. Apa jadinya kalau mereka terkena sabetan ujung tanduk kerbau yang tajam itu. Karena itu, perempuan-perempuan itu berlari terbirit-birit ke sungai atau bergerak tak tentu arah sambil menjunjung bakul hingga secara tak sengaja wajah mereka menghadap ke arah yang menakutkan itu, yang membuat mereka langsung memekik sambil menutup mata dengan tangan, hingga bakul berisi beras di kepala mereka terlepas dan tumpah berhamburan ke sungai.

Itulah pesta perkawinan paling nahas sekaligus memalukan dalam sejarah tradisi kami. Sebab, para tamu hanya disuguhi kue-kue, buah-buahan, dan lauk-pauk, tanpa nasi. Tetapi, sebelum menghadiri undangan, rupanya mereka sudah mendengar kabar tentang peristiwa nahas itu sehingga memaklumi keganjilan menu yang dihidangkan oleh tuan rumah. Tidak ada yang menghina atau mencibir.
Tetapi, tanpa kegaduhan yang ditimbulkan oleh amukan banteng atau kerbau pun, setiap acara pesta memang selalu diwarnai oleh kegaduhan. Terlebih-lebih saat acara tontonan berlangsung di malam hari, suara jeritan akan lebih sering terdengar dari celah-celah penonton yang berjubel memenuhi bagan depan panggung yang diatapi daun kelapa. Untuk menghindari risiko yang lebih besar, biasanya panggung akan dibuat menghadap ke utara atau selatan agar para penonton maupun grup komedi yang pentas tidak menghadap ke arah yang menakutkan itu.

elain mengurus perkawian, kesulitan besar yang dialami oleh warga kami adalah ketika mengurus orang mati. Meskipun kematian hanya terjadi dua atau tiga kali dalam setahun, mengurus jenazah sampai selesai pemakaman selalu dirasakan sebagai beban terberat. Beban berat yang dirasakan ketika mengurus mayat bukan pada saat memandikan dan mengafaninya dengan kain tapo-kemalo [5], tetapi sewaktu membawanya ke kuburan.
Di tengah masyarakat kami, juga sudah lama beredar cerita bahwa apabila tubuh si mayat dihadapkan ke arah terbenamnya matahari, dia akan langsung memekik ketakutan seperti orang hidup. Menurut cerita orang tua-tua, peristiwa buruk itu pernah terjadi ketika Rahala Tortor, pimpinan suku kami yang bergelar Raja Batu IX, mangkat sekitar 150 tahun silam. Setelah jasadnya disucikan dengan air kelapa hijau 88 butir, lalu dikafani dengan kain tapo-kemalo, yang juga digunakan untuk membungkus oroknya waktu lahir, tubuhnya sempat dimiringkan ke kiri sehingga secara tidak sengaja wajahnya menghadap ke sana. Konon, beliau langsung berteriak memekik seperti orang ketakutan.

Entah, benar atau tidaknya peristiwa yang diceritakan secara turun-temurun dari mulut ke mulut oleh orang tua kepada anak-anaknya itu tentu saja sulit untuk dibuktikan secara ilmiah sehingga orang-orang di luar kami menganggapnya sebagai mitos belaka, termasuk peneliti dari Barat, seperti Dr Van der Hook dari Utrecht, yang juga sahabat keluarga kami, yang sempat mampir ke rumah dalam perjalan ke Australia dan PNG beberapa waktu lalu, juga berpendapat demikian. Tetapi, yang jelas, sejak mangkatnya Raja Batu IX—yang konon mempunyai istri makhluk halus itu—sampai sekarang sanak saudara kami akan selalu terlihat berhati-hati dalam mengurus jenazah, jangan sampai wajahnya sempat menghadap ke arah yang menakutkan itu.

***

Mengusung keranda jenazah ke kuburan sambil berjalan mundur itulah beban paling berat yang dialami oleh sanak saudara kami selama ini. Sebab, letak kuburan yang menyimpan jasad jutaan saudara kami berada di puncak bukit yang terdapat di arah yang menakutkan itu. Sementara kami harus menguburkan sanak saudara kami di sana.

Penyakit colonialism-phobia yang telah menimpa kami selama berabad-abad sebenarnya memberi kami cukup alasan untuk membuat sebuah lokasi kuburan baru di tempat lain, tetapi kami tak melakukannya karena tak ingin tulang belulang kami terpisah satu dengan lainnya. Meskipun, harus mengusung jenazah sambil berjalan mundur dari kampung ke kuburan di atas bukit.

Bisa dibayangkan, ratusan pelayat, termasuk anak-anak dan perempuan, terpaksa harus naik-turun bukit sambil berjalan mundur. Sementara di atas kepala mereka bergoyang-goyang keranda jenazah.
Seperti yang juga terjadi sore itu, ratusan orang terlihat sedang berjalan mundur mendaki lereng bukit di antara onggokan-onggokan batu hitam dan pohon-pohon mati. Di atas kepala mereka, begoyang-goyang dua keranda mungil, jenazah bayi korban busung lapar. Karena harus melewati sejumlah bukit sambil berjalan mundur, diperkirakan acara pemakaman itu baru akan selesai besok pagi.
***
Terdengar kokok ayam betina di atas atap dapur. Beberapa orang dari kami tak ikut ke kuburan karena mendapat tugas menghitung kosakata yang masih tersisa dalam bahasa ibu kami yang nyaris punah.

“Sudah berapa?” tanya Kuru sambil menahan kantuk dengan asap rokok lintingan kulit jagung.

“Sembilan ratus enam puluh satu,” jawab Siwur sambil memegang sisi mangkuk batu berisi biji jagung.

“Masih banyak?” tanya Kuru lagi, tak sabar.

“Kayaknya kurang dari seribu!” sahut Karwo yang masih terus menghitung.

Mata kami mulai terasa perih dan berair karena terus-menerus memelototi biji jagung yang tampak pucat dalam sinar lampu biji jarak yang berkedip-kedip seperti tetes hujan di tirisan atap, yang malam itu turun lebat mengguyur malam dan pohon-pohon.

Petir menggelegar, menyemburkan kilat yang berpijar menyambar pohon lontar di lereng bukit, dan menghanguskan kesusastraan kami. Tanah pun bertambah merah. Wajah kami tampak seperti Orang-Orang Merah dari Bumi yang Dilupakan [6]. Angin berembus, meliuk bagai tubuh pelacur tua, memadamkan lampu dari biji jarak. Semangkuk biji jagung berpindah ke mulut Siwur.

“Lapar…!” desisnya.

Itulah satu-satunya kosakata yang tersisa di mulut kami. (*)
 .
.
Ampenan, 12 Januari 2012
 .


CERPEN JAWA POS


Kang  Maksum
OLEH
A. MUSTOFA BISRI


 


Masya Allah! Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun!
Tidak mungkin, tidak mungkin! Kang Maksum? Ah….

BERITA itu cepat beredar. Berita yang benar-benar mengguncang kotaku. Di mana-mana—di pasar, di warung-warung, di perkantoran, di sekolah-sekolah—berita itu mendominasi pembicaraan. Seperti biasa, orang-orang pun asyik menduga-duga dan menganalisis.

Waktu itu media massa cetak dan elektronik belum seperti sekarang. Seandainya itu terjadi sekarang, pastlah beritanya akan menjadi santapan gurih pers. Akan menjadi perbincangan berhari-hari di media massa. Tinjauan dari berbagai sudut dan aspek pun akan ramai dilontarkan para pakar dan narasumber yang sengaja diundang.

Untunglah, waktu tiu pers belum seperti sekarang. Jadi, aku masih bisa menghindar dari pembicaraan tentang berita itu. Berhari-hari aku sengaja tidak keluar rumah agar tidak mendengar orang membicarakan berita itu. Rasanya, aku belum bisa menerima hal itu terjadi pada diri Kang Maksum.

Tapi, bagaimana menghindar dari pembicaraan tentang peristiwa yang begitu dahsyat? Tidak keluar rumah pun, pembicaraan peristiwa itu terus seperti menguntit dan menerorku. Seisi rumah seperti tidak pernah bosan dengan topik itu. Akhirnya, aku menyerah. Menerima kenyataan dan, meski sangat pahit, berusaha wajar menyikapi peristiwa yang mengguncang itu.

Kang Maksum meninggal. Itu saja sudah mengejutkan. Selama di pondok pesantren, saya belum pernah mendengar Kang Maksum sakit meskipun sekadar pilek. Dia tipe orang yang begitu perhatian menjaga kesegaran badannya. Setiap pagi dan sore, pada saat mandi, Kang Maksum tidak hanya menimba–dengan timba model senggot yang beratnya masya Allah—untuk dirinya sendiri. Dia sengaja juga mengisi kulah-kulah untuk kawan-kawan lain, terutama santri-santri kecil yang tak kuat menimba seperti saya. Dia mengatakan bahwa apa yang dilakukannya itu tidak untuk kepentingannya sendiri. “Ini membuat badanku sehat,” katanya.
Ah, Kang Maksum!

Terbayang olehku wajah Kang Maksum yang ganteng, yang selalu bersih seperti baru saja mandi. Masih terngiang-ngiang bicaranya yang lembut dan suaranya yang merdu bila membaca ayat-ayat Alquran atau membaca kasidah Al Barzanji. Tidak mungkin, tidak mungkin! Kang Maksum? Ah….
Kang Maksumlah yang mengajariku qiraah; mengenalkanku kepada nada-nada bayati, sika, dan hijazi di pesantren. Kang Maksum juga yang sering memberiku ijazah doa-doa dan berbagai wirid; mulai doa dan wirid agar mudah menghafal, agar tenang menghadapi setiap orang, agar hati tenteram, hingga doa aneh agar dapat melihat jin.

Di pesantren kami, Kang Maksum memang dikenal sebagai santri senior yang memiliki suara merdu setiap malam Jumat saat berjanjenan, acara bersama-sama ber-shalawat nabi dengan membaca karya madah Syekh Jakfar Al Barzanji, santri-santri selalu menunggu-nunggu giliran Kang Maksum membaca kasidah-kasidahnya. Terutama, saat melantunkan kasidah yang dimulai dengan “Ya Rabbi shalli ‘alaa Muhammad, ya Rabbi shalli ‘alaihi wa sallim” atau “Ya Rasulullah salaamun ‘alaik, ya Rafiasyaani wad-darajati.” Santri-santri lain yang kemudian bersemangat menyahuti lantunan itu berusaha ngepas-ngepaskan suara mereka dengan irama lantunan Kang Maksum. Tapi mana mungkin. Di samping merdu, cengkok lagu Kang Maksum memang sulit ditiru.

Di samping seni suara, Kang Maksum juga dikenal sebagai pendekar silat yang lihai dan digdaya. Konon, dia punya aji lembu sekilan yang membuatnya terbentengi dari pukulan dan aji welut putih yang membuatnya sulit ditangkap. Setiap pesantren mengadakan perayaan, seperti mauludan dan khataman, dan ada atraksi pencak silat, Kang Maksum yang mandegani, yang mengatur siapa-siapa yang tampil. Siapa-siapa yang tampil dan untuk silat keseimbangan; siapa yang tampil melawan siapa.
Biasanya, di akhir pertunjukan, Kang Maksum sendiri yang tampil mendemonstrasikan kepiawaiannya. Itulah yang paling ditunggu-tunggu penonton. Dengan gerakan tubuhnya yang ringan, Kang Maksum meloncat ke arena panggung. Pertama-tama, diperagakan kejadukannya dengan menghantamkan batu kali sebesar gentong atau pedang tajam ke punggungnya—yang sedikit pun tidak membuat goyah kuda-kudanya. Kemudian, dengan gagah dan lincah, Kang Maksum tidak hanya memamerkan jurus-jurus istimewanya, tapi juga memainkan berbagai senjata tajam, seperti pedang, tombak, dan trisula.

Sebenarnya banyak santri yang ingin belajar silat dan kejadukan Kang Maksum. Tapi, kebanyakan tidak kuat melakukan tirakatnya. Kalau, misalnya, hanya puasa seperti biasa, pasti banyak yang mampu. Ini tidak. Ada puasa mutih, puasa dengan berbuka nasi saja, tidak pakai lauk apa pun, selama 7 hari atau 40 hari. Ada puasa ngebleng, puasa sehari semalam tanpa buka. Ada puasa pati geni, tidak hanya puasa sehari semalam tanpa buka, tapi juga tanpa tidur. Bayangkan!

Kang Maksum sendiri memang ahli tirakat. Sejak entah umur berapa, konon sejak kecil dia ngrowod. Bukan hanya puasa ndaud, sehari puasa sehari buka, tapi ndaud dengan berbuka hanya umbi-umbian atau bulgur. Sudah ngrowod begitu, setiap buka—kadang-kadang juga setiap sahur—Kang Maksum makannya tidak lebih dari selapik cangkir.

***

Kelihatan sekali Kang Sofwan—seniorku dan kawan akrab Kang Maksum di pondok pesantren—terburu-buru. Dengan singkat dia menyampaikan berita itu. “Cepat sampean berpakaian,” katannya memerintah. “Kita ke sana sekarang.” Aku masih terguncang. Laa hawla walaa quwwata illa billah. Bagaimana mungkin hal itu terjadi? Kang Maksum? Ah, rasanya tidak masuk akal.

“Cepat!” hardik Kang Sofwan tidak sabar.

Sampai di rumah Kang Maksum, kami lihat sudah banyak orang yang datang. Beberapa di antaranya duduk-duduk di halaman dan sebagian lain, yang kebanyakan kaum perempuan, berada di dalam rumah. Semuanya diam atau berbisik-bisik. Sesekali isak tangis terdengar meningkahi bagai irama gaib. Mbah Ghazali, modin paling tua di tempat kami, baru selesai melakukan tugasnya.

***

Siapa yang pernah membayangkan? Kang Maksum meninggal terlindas kereta api! Tubuhnya menjadi tiga bagian! La hawla wala quwwata illa billah!

Hanya karena kelihaian Mbah Modin Ghazalli, jenazah itu dapat dipertautrapikan. Tapi, kebuncahan hati ini? Ah.

Berita itu cepat beredar. Berita yang benar-benar mengguncang kotaku. Di mana-mana—di pasar, di warung-warung, di perkantoran, di sekolah-sekolah—berita itu mendominasi pembicaraan. Seperti biasa, orang-orang pun asyik menduga-duga dan menganalisis. Waktu itu media massa cetak dan elektronik belum seperti sekarang. Seandainya itu terjadi sekarang, pastilah beritanya akan menjadi santapan gurih pers. Akan menjadi perbincangan berhari-hari di media massa. Tinjauan dari berbagai sudut dan aspek pun akan ramai dilontarkan para pakar dan narasumber yang sengaja diundang.

Untunglah, waktu itu pers belum seperti sekarang. Jadi, aku masih bisa menghindar dari pembicaraan tentang berita itu. Berhari-hari aku sengaja tidak keluar rumah agar tidak mendengar orang membicarakan berita itu. Rasanya, aku belum bisa menerima hal itu terjadi pada diri Kang Maksum.

Tapi, bagaimana menghindar dari pembicaraan tentang peristiwa yang begitu dahsyat? Tidak keluar rumah pun, pembicaraan peristiwa itu terus seperti menguntit dan menerorku. Seisi rumah seperti tidak pernah bosan dengan topik itu. Akhirnya, aku menyerah. Menerima kenyataan dan, meski sangat pahit, berusaha wajar menyikapi peristiwa yang mengguncang itu.

Melihat tubuh Kang Maksum yang demikian, orang sulit mengatakan bahwa peristiwa tragis yang menimpanya itu merupakan kecelakaan.

Lalu? Pasti bunuh diri. Begitu kesimpulan orang-orang yang tidak mengenal Kang Maksum memastikan. Namun, bagi yang mengenalnya, seperti aku dan Kang Sofwan, bunuh diri adalah hal yang paling mustahil dilakukan oleh Kang Maksum.

Di samping cukup memiliki pengetahuan agama, Kang Maksum orang yang mencintai kehidupan.
Kah Zuhdi, alumnus pesantren kami yang lebih senior daripada Kang Maksum dan Kang Sofwan, mencoba meyakinkan bahwa almarhum Kang Maksum memang sengaja membiarkan dirinya dilindas kereta api untuk menjajal “ilmu”.
“Aku dengar, sebelumnya Kang Maksum pernah membiarkan dirinya ditabrak sepeda, motor, dokar, dan truk. Dan, sejauh itu, dia selamat-selamat saja, tak kurang suatu apa.”

“Jadi,” lanjut Kang Zuhdi, “kemungkinan besar itu merupakan kelanjutan dari uji coba tataran ilmu kekebalan Kang Maksum. Sayang, rupanya kali ini tidak berhasil.”

Mungkin banyak yang menerima kesimpulan Kang Zuhdi itu. Tapi, aku dan Kang Sofwan, yang sedaerah dan kenal baik dengan Kang Maksum serta keluarganya, tetap tak bisa menerima. Tak ingin menerima. Tapi. (*)