Ai - Bi
Oleh
Indah Ariani
“Tuliskan semua yang kamu rasakan di kaca atau apa saja. Lalu hapus. Dan kau tak akan bersedih lagi.”
KALIMAT-KALIMAT itu terngiang lagi di benak Ai-Bi. Gadis kecil bermata bintang itu ragu-ragu melakukan apa yang dianjurkan Paman Han, lelaki yang pernah ditemuinya dalam mimpi. Ai-Bi bimbang. Di kaca mana ia harus tuliskan lara? Kaca jendela, kaca meja, atau cermin dalam kamarnya? Atau pada kaca piring dan gelas yang jumlahnya terus menipis karena terus jadi sasaran pertengkaran ayah dan ibu? Ah, Ai-Bi tak pernah tahan mendengar nyaring piring pecah atau muncratan darah dari telapak tangan ayah. Darah yang selalu berhasil membuat ibu bungkam. Bukan karena ibu lelah membantah, tapi karena dia pingsan. Ibu takut darah. Fobia, kata Kak Sita, anak tetangga sebelah rumah yang kuliah di fakultas kedokteran.
Ai-Bi merasa dia juga punya fobia. Pada kaca atau apa saja yang bisa memantulkan bayangannya. Di kamarnya, semua kaca ia tutupi berbagai poster, mulai dari poster perkalian, pembagian, hingga gambar Princess, juga Winnie The Pooh, bahkan selimut perca buatan Oma. Apa saja, yang bisa menghalangi pantulan wajahnya. Ai-Bi takut melihat bayangan itu. Anak kecil bermata bintang yang redup tak cemerlang. Ibu bilang, Ai-Bi tak boleh cemberut, apalagi bersungut. Ibu suka menjewernya bila ia merengut. Ai-Bi harus menurut, padahal susah sekali tersenyum, apalagi tertawa, saat hatinya ingin menangis. Ia selalu heran, bagaimana Ibu bisa ceria, dan selalu tertawa ketika bertemu teman-temannya.
Mungkin Ibu pemain sandiwara, seperti Tante Nusye, teman Ibu. Beberapa kali Ai-Bi diajak menonton Tante Nusye berpentas teater di Sasana Budaya. Di sebuah pertunjukan,Tante Nusye menangis pilu, sampai para penonton ikut menangis. Juga Ibu. Ketika pertunjukan usai, dan Ibu memburu ke belakang panggung, mereka berpelukan sambil tertawa-tawa. Aneh sekali orang dewasa. Waktu Ai-Bi bertanya pada Tante Nusye, dia menjawab, juga sambil tertawa, “Itu kan cuma sandiwara, gadis kecil.” Ai-Bi melongo.
Sejak saat itu, Ai-Bi senang bermain “habis nangis ketawa” seperti Ibu dan Tante Nusye. Saban kali habis menangis ketakutan mendengar pertengkaran ayah-ibu, ia akan menyelinap ke luar rumah. Masuk ke halaman rumah Kak Sita sambil tertawa pada siapa saja yang ia temui di rumah itu. Pada papa-mama Kak Sita, pada Mbak Surti pembantu rumah tangga mereka, bahkan pada Sully, anjing kampung milik Kak Sita yang rewel dan selalu menyalak ketus padanya.Tapi Ai-Bi tetap tertawa juga pada anjing pengecut itu. Ai-Bi tertawa melihat Sully mendelik sengit padanya tiap kali dihela Kak Sita.
Ai-Bi senang bermain dengan Kak Sita yang pandai bercerita. Ada saja kisah yang didongengkannya buat Ai-Bi. Sama seperti dirinya, Kak Sita tak punya saudara. Tidak kakak, tidak adik. Anak tunggal, kata Kak Sita, yang suka meminta Ai-Bi jadi adiknya saja. Katanya, dia cuma bersaudara dengan buku-buku. Ai-Bi tak percaya mama Kak Sita melahirkan buku-buku yang disusun rapi di kamar itu. “Tapi aku mau juga bersaudara dengan buku supaya pandai cerita seperti Kak Sita,” pikir Ai-Bi tiap kali.
Ai-Bi sudah mulai bisa membaca. Mungkin ia bisa meminta Ibu melahirkan buku-buku yang akan jadi bakal saudaranya. Kak Sita juga punya buku tulis yang bagus. Sampulnya beludru warna toska, dengan lis coklat muda. Ai-Bi pernah membaca nama buku Kak Sita yang tertulis di sampul, “Diary”. Mirip nama teman Ai-Bi di taman bermain, Diany yang sering bertukar bekal dengan Ai-Bi. Bertukar bekal dengan Diany selalu membuatnya bersemangat. Ai-Bi tak terlalu suka makan bila sendiri. Ia jarang merasa lapar saat sepi. Apalagi di rumah cuma ada Mbok Nah. Jadi ia sering malas makan, dan biasanya mengemil gulali, dan permen kopi. Tapi Mbok Nah selalu repot menyuruhnya makan nasi, sayur, lauk pauk, dan selalu memaksa Ai-Bi berhenti makan gulali dan permen kopi.
“Ayo Non, makan dulu. Nanti sakit kalau tidak mau makan. Itu gulali dan permen juga bikin gigi rusak. Nanti kalau ompong, Non Ai-Bi ndak cantik lagi,” begitu Mbok Nah selalu membujuk. Biasanya Ai-Bi merengut, tapi ia akan segera jatuh kasihan pada Mbok Nah, lalu ia mengalah, dan makan meski bosan. Bolak-balik ayam. Bolak-balik daging. Bolak-balik ikan. Tentu saja, setiap hari ada sayur. Kalau sempat, Ibu memasakkan spaghetti, atau macaroni panggang atau menu lain. “Kamu perlu makanan bergizi, biar sehat, cepat besar, dan pintar,” kata Ibu, selalu. Ibu sepertinya tak pernah tahu kalau bukan kurangnya makanan yang membuat ia malas makan, melainkan karena kesepian.
Untunglah di dunia ini ada abon dan kecap yang selalu sukses membuat ia mau makan dalam kesunyian. Kecap selalu berhasil membuatnya makan cukup lahap. Ibu pernah sebal melihat betapa tergila-gilanya Ai-Bi pada kecap, dan memboikot cairan sedap berbahan kedelai hitam itu dari dapur dan meja makan mereka. “Nanti bisa-bisa kulit kamu sehitam kecap, lho,” kata Ibu kesal. Lalu Ai-Bi berhenti makan. Kemudian, berbulan-bulan Ai-Bi mogok makan nasi, dan hanya minta mi instan. Badannya susut, dan jatuh sakit. Ibu dan Ayah bertengkar karenanya. “Mengurus anak satu saja tidak becus,” sindir Ayah menusuk. Ibu tak betah hanya diam. Dia membantah. Mereka pun bertengkar lagi. Piring-piring, gelas-gelas kembali pecah, dan Ai-Bi gelisah.
Dalam demam, Ai-Bi melangkah ke luar kamar, mengendap berjalan ke rumah Kak Sita. Tapi rumah itu tak ada. Ia tak berhasil menemukannya. Padahal, Ai-Bi yakin ia menuju ke sana. “Kenapa cuma ada cahaya dan ruang kosong, ya?” Ai-Bi berhenti. Masih terdengar tengkar Ayah dan Ibu. Dua kepala batu itu. Dan kepala Ai-Bi beku. “Semoga kepalaku cuma jadi es saja. Jangan jadi batu seperti kepala Ayah-Ibu,” doanya. Dan Tuhan mengabulkan doa Ai-Bi. Anak kecil itu mengira kepalanya jadi es, yang melelehkan cairan dingin dan manis, yang rasanya seperti es loli ketika ia jilati. Tapi ternyata itu bukan lelehan dari kepala, melainkan airmata. Airmata dengan rasa gula. Lalu Ai-Bi tak lagi ingat apa-apa.
.
“BANGUN, anak manis. Bangun.” Tepukan halus te rasa di pipi Ai-Bi. Matanya membuka. Wajah lelaki itu begitu dekat dengan wajahnya. Bukan Ayah. Tak ada Ibu. Ai-Bi sedikit takut. Tapi ia suka raut ramah wajah lelaki di hadapannya. Di mana dia? Di surga? Atau neraka? Tak jelas di mana, tapi pasti bukan di kamarnya. Sebab, kaca-kaca dan cermin tak tertutup poster dan selimut perca. Ai-Bi bisa melihat pantulan dirinya di mana-mana. Lelaki itu tersenyum. Sepertinya dia baik, tak suka marah seperti Ayah. Tangannya juga tak punya bekas luka. Pasti dia belum pernah meremas gelas. Ai-Bi sedikit tenang. Matanya tak lagi melelehkan air gula.
“Siapa namamu?” tanya lelaki itu. Ai-Bi ingat Kitaro, musisi Jepang yang musik-musiknya sering diputar Ibu pagi-pagi. Ai-Bi tak terlalu suka musiknya. Meski kata Ibu musik Kitaro bagus, Ai-Bi sering takut mendengarnya. Ia hanya suka melihat sampul albumnya yang kebanyakan didominasi warna jingga, penuh imaji samar, tertumpang-tindih dengan citra wajah Kitaro yang jarang tersenyum. Angker, tapi Ai-Bi merasa dia baik, juga tak suka bersandiwara seperti Ibu, dan Tante Nusye. “Pasti aku boleh cemberut di depannya,” pikir Ai-Bi tiap kali melihat gambar Kitaro.
Anehnya, di depan lelaki mirip Kitaro itu Ai-Bi justru ingin tersenyum semanis mungkin. Ia senang dengan air mukanya yang hangat. Tak beku seperti di sampul-sampul album itu. Ia tersenyum, lalu tertawa. Lelaki itu memeluknya. Menangis. Ai-Bi heran. “Kenapa Paman menangis?” tanyanya. Tapi paman itu terus menangis, sementara Ai-Bi terus tertawa. Entah kenapa. Apa mungkin ada saklar ajaib yang menghubungkan hati keduanya yang berada pada kutub yang berbeda? Ai-Bi jatuh cinta seketika. Pada Paman Han, lelaki mirip Kitaro itu. Juga pada tangis dan pelukan hangatnya.
“Kenapa Paman menangis tadi?” tanya Ai-Bi. “Sebab kamu tertawa,” kata Paman Han. Ai-Bi tak mengerti. Ia bahkan tak tahu di mana mereka berada. Namun tempat asing itu terasa akrab bagi Ai-Bi. “Kita sedang duduk di hatimu, Nak,” kata Paman Han. Ai-Bi tak tahu apakah paman itu serius atau bercanda. “Mana mungkin hati bisa dimasuki? Mbok Nah malah mesti mengeluarkan hati dari dada ayam sebelum dimasak jadi bacem,” ingatnya. Tapi, sudahlah, ia ingin disayang Paman Han. Semoga saja Paman Han mau menyayanginya lebih dari Ayah, yang seperti musuh abadi bagi Ai-Bi.
“Kamu tahu arti namamu?” tanya Paman Han. Ai-Bi tak mendengar. Ia sedang mengamati Paman Han dan sibuk menerka dari mana senyum di wajahnya datang, padahal bibirnya tak menyunggingkan senyum. Ai-Bi yang tak tahu bahwa senyuman kadang datang dari hati itu juga sibuk heran kenapa ia berani menatap bayangannya di kaca. Mata bintangnya berbinar cemerlang tanpa airmata gula, dan senyum secerah cabai merah merekah di bibirnya.
Paman Han menyentuh pipi Ai-Bi dengan kedua telapak tangan, lalu menolehkannya beberapa derajat. Ai-Bi tak lagi menatap cermin. Manik matanya kini tertusuk tajam oleh mata Paman Han. Tusukan yang mengalirkan hangat. “Kamu tahu arti namamu?” ulang Paman Han, penuh sayang. Sepanjang ingatan Ai-Bi, belum pernah ia disapa begitu lembut oleh Ayah. Ingatan yang membuatnya melambung. Ai-Bi menggeleng. Kepalanya berbohong tentu saja. Sebab Ibu pernah beberapa kali bercerita tentang arti namanya. Tapi Ai-Bi ingin mendengar dari Paman Han.
Paman Han mengelus kepala AiBi tiga kali, dan merengkuh bahunya sambil berkata, “Ai itu cinta. Bi berarti cantik dan indah.” “Oh, sama saja seperti cerita Ibu,” pikir Ai-Bi. Tapi dia senang mendengar itu juga dari Paman Han. Terlebih lelaki itu bicara sambil memeluk dan mengelus kepalanya. Ai-Bi merasa nyaman dan tak ingin kehilangan hangat itu. “Paman kenal Ibu?” tanya Ai-Bi tiba-tiba seakan yakin akan mendapat jawaban ya. “Indira? Ya. Sangat,” jawab Paman Han singkat. “Paman kenal Ibu di mana? Di kantor? Atau Paman pernah latihan sandiwara juga sama-sama Tante Nusye?”cerocos Ai-Bi.
Entah kenapa ia tak takut bertanya, dan tak khawatir dihardik seperti biasa ketika ia bertanya pada Ayah. Ai-Bi yakin Paman Han tak akan memakinya “anak jahanam”. “Paman mengenal ibumu dulu sekali. Di sebuah waktu di masa lalu kami,” kata Paman Han tanpa peduli apakah Ai-Bi mengerti kata-katanya, “Kami mencintaimu.” Meski bingung, Ai-Bi senang. Kalau Paman Han juga mencintainya, artinya cinta Ai-Bi tak bertepuk sebelah tangan.
“Pernah lihat namamu ditulis dengan huruf kanji?” tanya Paman Han seperti membelokkan arah perbincangan. Dahi Ai-Bi mengernyit sedikit. Matanya memperhatikan tangan Paman Han menggambar di udara. Tak tertoreh apa-apa di sana. Ia tak melihat apa pun. Jelas, udara memang bukan kanvas. Itu hanya ruang nirwarna dan telunjuk Paman Han tanpa tinta. Tentu tidak akan tergambar apa pun di sana. Seakan mengerti apa yang dipikirkan gadis kecil di depannya, lelaki itu menarik tangan Ai-Bi mendekati cermin dan mengembuskan napas ke permukaannya.
Uap hangat melapisi sebidang cermin dengan embun dan Paman Han segera menuliskan garis-garis di atasnya. “Ai…. Bi…. Cinta…. Indah….” Paman Han menulis sambil bicara serupa Ai-Bi mengeja alif, ba. Huruf kanji yang membentuk namanya itu amat cantik. Ai-Bi ingin sekali bisa juga menuliskannya. “Waaaaa, bagus. Ai-Bi juga pengin bisa nulis sebagus itu. Paman mau ajari?” tanya Ai-Bi. Sambil mengangguk, Paman Han mengangkat dan menggendong Ai-Bi, menimangnya seperti bayi. Ai-Bi berpikir, kapan ayah mau menimangnya seperti ini.
Ingatan tentang Ayah kembali membuatnya muram. “Kenapa Ayah tak mau berlaku manis seperti ini padaku?” pikir Ai-Bi. Padahal ia sayang sekali pada Ayah. Tapi sikap dingin dan tak peduli itu seperti dinding yang tak bisa ditembus AiBi dengan senyum manis, apalagi rewel tangis. Hardikan Ayah selalu terasa seperti pisau majal yang begitu sakit mengiris. Kalau saja Ai-Bi punya lampu Aladdin, mungkin permintaan pertama yang ia sodorkan pada Ginny adalah menukar Ayah dengan Paman Han. Ibu pasti juga senang. Tapi Ayah tentu akan sangat marah, dan bisa-bisa seluruh gelas di rumah pecah diremasnya. Ai-Bi bergidik. Gagasan buruk. Ia tak mau tangan Ayah terluka parah dan harus dijahit seperti selimut perca buatan Oma.
“Paman kerjanya apa? Jualan tinta juga seperti Ayah?” Yang ditanya tertawa kecil. Mungkin geli mendengar Ai-Bi menyebut ayahnya yang punya perusahaan bolpoin itu sebagai penjual tinta. Kini mereka duduk di salah satu bangku yang menghadap ke luar, ke kebun, yang baru disadari keberadaannya oleh Ai-Bi. Sebatang pohon rimbun berdaun ungu yang tak ia ketahui namanya menyapa mata. Nanti ia akan tanyakan pada Ibu dan Mbok Nah. Mungkin mereka tahu nama pohon bagus itu. “Aku penulis, Nak. Kerjaku membuat cerita,” kata Paman Han. “Oh ya? Paman kenal H.C. Andersen? Tahu cerita Burung-burung Undan Liar? Atau cerita prajurit yang punya pemantik api ajaib? Ai-Bi juga suka cerita Gadis Penjual Korek Api,” potong Ai-Bi bersemangat. Paman Han kembali tertawa. Kali ini agak keras. “Ya, ya. Aku juga kenal Andersen cuma dari ceritanya. Sama sepertimu. Paman belum lahir waktu dia menulis cerita,” katanya.
Kembali Ai-Bi jatuh hati. Kali ini pada kesediaan Paman Han berbincang panjang dengannya. “Kenapa Ayah tak jadi penulis saja, ya?” benaknya bicara. “Ai-Bi suka menulis?” tanya Paman Han. Ai-Bi menggeleng malu karena belum lancar menulis. Mendadak muncul keinginan kuat dalam dirinya untuk segera pandai menulis. Ia ingin jadi penulis seperti Andersen dan Paman Han. “Ai-Bi juga pengin bisa menulis cerita,” cetusnya. Paman Han mengelus kepalanya.“Pasti bisa,” katanya. “Ai-Bi juga pengin bisa menulis huruf kanji seperti paman tadi,” sambung Ai-Bi cepat. Tawa renyah Paman Han kembali terdengar. “Pasti bisa, Nak,” Paman Han meyakinkan. Ai-Bi percaya sekali, dan meski belum lagi tahu bagaimana caranya, ia yakin pasti akan segera bisa menulis.
“Paman mau mengajari Ai-Bi menulis?” tanyanya ragu. Manik mata Ai-Bi menatap utuh mata Paman Han. Sorotnya memohon.Yang ditatap menganggukkan kepala. “Pasti,” jawab Paman Han lembut. “Betul, Paman? Kapan?” kejar Ai-Bi riang. “Sekarang,” sahut Paman Han. “Begini,” katanya seraya meraih telunjuk kanan Ai-Bi. Lelaki itu tak paham kalau gadis kecil itu kidal. Tapi Ai-Bi tampaknya tak terlalu peduli dengan jemari mana ia akan menulis nanti. Ia terlalu bahagia.
“Tuliskan semua yang kamu rasakan di kaca atau apa saja. Lalu hapus. Dan kau tak akan bersedih lagi,” kata Paman Han. Mata jernih Ai-Bi mengerjap. Entah kenapa, suara Paman Han barusan seperti datang dari ujung lorong yang panjang. Terpiuh. Jauh. Tiba-tiba Ai-Bi ingin menangis. Ia takut Paman Han pergi. Ia tak ingin Paman Han pergi. “Ai-Bi pengin belajar menulis, bikin cerita seperti Paman,” kata Ai-Bi. Kali ini sedikit merajuk dan suaranya bergetar menahan tangis. Tangannya mencari tangan Paman Han. Ia ingin dipandu.
“Iya, begitulah cara menulis. Caraku menulis,” kata Paman Han. “Tapi telunjuk kan tidak punya tinta, Paman?” kata Ai-Bi. “Jemari kita, Ai-Bi, adalah pena ajaib untuk menuliskan apa saja. Semusykil apa pun ceritamu,” katanya tanpa peduli Ai-Bi tak mengerti apa arti musykil itu. Mendadak, kesedihan mendesak hati Ai-Bi. Siap meluap. Tenggorokannya sakit menahan tangis. Ai-Bi memeluk Paman Han.
Rasa akan kehilangan lelaki yang ia jatuhi hati berkali-kali dalam beberapa saat ini membuat Ai-Bi patah hati.
“Ai-Bi mau menulis, dan bikin cerita seperti Paman,” katanya berulang-ulang. Ia takut kehilangan, dan berharap janjinya itu akan menahan Paman Han kendati tak ada sedikit pun tanda lelaki itu akan pergi. Ai-Bi menangis dalam pelukan Paman Han. Airmatanya meleleh lagi.Tapi kali ini tanpa rasa gula. Tawar. Ai-Bi tak bisa menawar.
.
“BANGUN, Sayang. Bangun, Ai-Bi. Ayo, minum dulu, ya,” kata Ibu di sampingnya. Di tangan Ibu ada air putih dalam gelas Bugs Bunny kesayangan Ai-Bi. Di mana Paman Han? Kenapa dia tak ada di samping Ai-Bi? “Bu, Paman Han mana?” tanya Ai-Bi. Suaranya seperti igau. “Siapa, Nak? Paman siapa?” tanya ibu terkejut. Jantungnya seperti tersengat. “Paman Han. Tadi Ai-Bi ketemu Paman Han. Dia mau ajari Ai-Bi menulis,” katanya tetap dengan nada igau. “Ah, itu cuma mimpi, Nak. Nggak ada Paman Han,” kata ibu sambil memeluk dan mengelus kepala Ai-Bi. Di hatinya rindu mengamuk, menghancurkan benteng yang ia bangun bertahun-tahun. Helaan panjang napasnya tak dapat menghalau nyeri yang terusik lagi. Akhirnya Paduka Han datang menemui sang putri dalam mimpi. “Seandainya saja kamu bisa kembali pada kami, Han, pasti kita bertiga sangat bahagia,” sambat Indira entah pada siapa.
Indira tahu, Han tak akan bisa kembali pada mereka. Masa lalu yang telah tamat, amat jarang mau bertandang ke masa sekarang, apalagi ke masa depan. Ia terpaksa mengubur Han bersama ingatan tentang cinta yang tak direstui semesta. Indira menyeka matanya diam-diam. “Istirahatlah tenang, Han. Kami mencintaimu,” bisiknya dalam hati. Di sebuah ruang penuh cahaya, di dimensi berbeda, seorang lelaki duduk terpaku, diam mencintai dua perempuan terkasihnya. Menimang mimpi tentang Ai-Bi. (*)
.
.
Karawaci, 21 April 2011
Buat sepasang keramik merah beraksara kanji
Indah Ariani, wartawan di majalah mode dan gaya hidup Dewi. Bergiat di Koinsastra dan Gerakan Indonesia Membaca Sastra.
Tamu Ketiga Lord Byron
Oleh
Guntur Alam
TAK banyak yang tahu. Ah, mungkin tepatnya, tak ada yang tahu, kalau selain Mary Wollstonecraft Godwin dan kekasihnya, penyair Percy Bysshe Shelley, yang menjadi tamu Lord Byron di musim panas 1816, ada seorang tamu lagi yang menginap di kastilnya malam itu. Kastil megah di tepi Danau Geneva.
Andai, andai saja aku tidak pernah bertemu dengan tamu ketiga Lord Byron itu, mungkin kisah mencekam yang diceritakan tamu ketiga itu akan lenyap selamanya. Ah, kau tahu? Tentu, tentu kau tahu. Di malam musim panas yang tiba-tiba bercuaca buruk itu, Lord Byron mengajak Mary dan Percy untuk berlomba menulis kisah mencekam. Hujan badai yang disertai petir, guntur, dan kilat di luar kastil membuat mereka jenuh karena tak bisa melakukan apa pun di halaman kastil. Telah banyak cerita yang mereka uraikan di depan perapian hingga Lord Byron merasa tak ada lagi cerita menarik. Maka, tercetuslah idenya itu. Berlomba menulis cerita mencekam.
Tentu kau pun tahu, kalau Marylah yang memenangkan taruhan dalam menulis kisah itu. Walau sejujurnya, aku pun berani bertaruh, seandainya kisah mencekam tamu ketiga itu diceritakan di depan Lord Byron, Mary, dan Percy, mungkin sekali ia yang jadi pemenangnya. Atau, bila tamu ketiga itu menerbitkan ceritanya dalam bentuk novel (seperti yang dilakukan Mary) dua tahun setelah ia menemukan ide lewat mimpi buruknya di kastil itu, maka bisa jadi pula novelnya akan menjadi termasyhur seperti novel Mary Frankenstein.
Jadi, kisah mencekam apa yang tamu ketiga itu ceritakan?
Seperti halnya Mary yang terjaga dari mimpi buruk di malam berbadai itu, demikian juga tamu ketiga. Namun jika Mary ketika terjaga langsung bergegas meraih kertas dan pena menuliskan mimpi buruknya itu untuk jadi cerita mencekam, tidak demikian halnya dengan tamu ketiga.
Mimpi itu seperti nyata. Tamu ketiga melihat lorong kastil Lord Byron yang ia kenal, berkelok dan senyap, lalu sebuah ruangan pengap. Ia masih merasakan tangannya mendorong pintu itu dan sebuah pemandangan mengerikan terhampar di depan matanya. Ia terkesiap. Terpekik. Dan terengah-engah di atas ranjang. Kilat menggores tajam di jendela kastil, angin yang bersiut ganas mengobrak-abrik gorden seperti liukan tari seorang perempuan di klub-klub liar, dan petir berdentum. Tamu ketiga itu mengelap dahinya.
Lama ia terdiam di atas ranjangnya. Mengatur debar jantung yang kacau-balau. Matanya masih nyalang terarah ke satu titik tembok kastil. Di benaknya, berseliweran tanya: Apa ini cuma mimpi? Atau nyata? Haruskah aku memastikannya? Aku tahu ruangan itu. Aku kenal lorong itu. Dan aku kenal wajah di dalam ruangan itu.
Dan beragam tanya lain tindih-menindih seketika itu juga.
Pada akhirnya, tamu ketiga itu turun dari ranjangnya. Ia mengambil mantel yang tersangkut di dekat pintu, mengenakan alas kaki, dan pelan-pelan membuka pintu kamarnya. Lorong kastil temaram. Tak ada satu pun yang terjaga di malam berbadai itu. Tidak Lord Byron, Mary, Percy, atau pun para budak kulit hitam yang mengurus kastil ini. Mungkin semua terlelap dalam baluran mimpi masing-masing. Mungkin mereka terlelap usai bercinta dengan kekasih masing-masing menjelang tidur tadi.
Ia berjalan pelan di sepanjang lorong kastil. Tujuannya sudah jelas, lorong temaram yang ada di ruang bawah tanah. Tamu ketiga pernah ke lorong itu, ketika di musim dingin bertahun lalu, kali pertama ia menginap di kastil ini. Malam yang diselimuti salju tebal, sedang tuan rumah belum pulang dari pelesirannya. Ia disuguhi anggur terbaik yang dimiliki Lord Byron. Rasa anggur terbaik itulah yang membuatnya mengenal lorong temaram itu. Dan seorang budak kulit hitam yang mengantarnya. Awalnya budak itu tak hendak meluluskan permintaannya, melihat tempat penyimpanan anggur terbaik Lord Byron. Namun, budak itu sadar, kalau orang di depannya adalah tamu kehormatan tuannya. Dan ia tidak ingin mendapat masalah dari tuannya.
Sedikit gemetar, tamu ketiga itu mendorong pintu ruang penyimpanan anggur itu. Gelap menyambutnya. Ia tidak bisa melihat apa pun di dalam sana. Beberapa menit kemudian, barulah ia bisa melihat bayangan tong-tong kayu berisi anggur yang tersimpan. Berjejer. Mata tamu ketiga melihat sekeliling, tak ada sosok yang ia lihat.
Ah, ini pasti hanyalah mimpi buruk, desau hatinya. Ia sedikit menyesali, mengapa ia terlalu bodoh mengikuti mimpi buruknya. Tamu ketiga berniat berbalik dan menutup kembali ruang itu. Tiba-tiba….
“Menara kastil, Tuan. Menara kastil. Rahasia terbesar Lord Byron….”
Seketika lutut tamu ketiga terasa lemas, hanya beberapa senti di depannya, sesosok mengerikan berdiri. Sepasang matanya pecah, bibirnya robek, wajahnya berlumur darah. Ia menyeringai, mengerang, dan terlihat menggapai-gapai ke arah tamu ketiga. Mulut berlumuran darah itu terus meracau. Napas tamu ketiga tersengal. Saat tangan hitam itu hampir menjangkaunya, ia tersadar, dan terburu membanting pintu itu.
Setengah berlari, tamu ketiga menuju kamarnya. Ia menghempaskan tubuh di atas ranjang dan menutup seluruh badannya. Wajah mengerikan itu masih bergentayangan dalam benaknya.
.
SEPERTI Mary dan Percy yang menginap beberapa malam di kastil Lord Byron, demikian juga tamu ketiga. Bukan lantaran ia berniat mengikuti taruhan yang diadakan Lord Byron kepada Mary dan Percy, walau sekarang ia sudah punya cerita mencekam tentang roh budak Lord Byron yang dihukum cambuk hingga mati itu. Bukan. Bukan itu alasan tamu ketiga.
Entah, mendadak saja tamu ketiga begitu penasaran dengan hantu budak itu. Terlebih, sejak mimpinya yang mengerikan itu. Sejak saat itu, setiap malam, ia selalu bermimpi buruk. Bermimpi melihat hantu budak itu mengerang-ngerang, menjerit, melolong, dan meratapi nasibnya yang malang. Lalu, di ujung mimpi itu. Hantu budak itu selalu mengatakan hal yang sama: Saya mengetahui rahasia terbesar Lord Byron di menara kastil.
Rahasia apa yang diketahuinya sehingga Lord Byron menjatuhkan hukum cambuk sampai mati kepada budaknya itu. Lalu, mengapa kabar lain yang beredar? Kabar yang tamu ketiga ketahui adalah: Lord Byron menghukum mati budaknya lantaran berniat tak senonoh hendak menyetubuhi adiknya, Augusta Leigh. Ah, kepala tamu ketika berdenyut-denyut. Sekali waktu, terbersit niatnya untuk menanyakan hal itu secara langsung kepada Lord Byron. Perihal mimpi buruknya itu. Tapi, tamu ketiga mengurungkan niatnya. Tentu Lord Byron akan mengisahkan cerita yang sama, seperti yang telah beredar.
Semakin tamu ketiga memikirkan mimpi buruknya yang begitu nyata itu, semakin besar hasratnya mengetahui rahasia terbesar Lord Byron di menara kastil itu. Tapi, ia seolah tak berani menguaknya. Bukan pula lantaran ia merasa takut akan Lord Byron. Ada sebab lain, ia tidak ingin mengusik Lord Byron. Dan mati-matian tamu ketiga menikam rasa penasaran yang tumbuh kembang di dadanya.
Pada akhirnya, tamu ketiga menyerah juga. Rasa penasaran itu begitu kuat bercokol di dadanya. Terlebih dengan mimpi buruk yang semakin malam semakin nyata ia rasakan. Ia ingin menguak rahasia besar Lord Byron itu. Ia tak kuasa menahan rasa penasarannya lagi. Tapi, tamu ketiga hendak menemukan versi lain. Bukan versi yang telah diceritakan Lord Byron.
Mulanya, tamu ketiga berusaha mengorek keterangan dari budak-budak yang mengurus kastil ini. Sayangnya, tak ada yang berani membuka mulut lebih lebar. Semua terburu-buru pergi dan menghindar bila tamu ketiga menanyakan tentang budak yang dijatuhi hukuman mati itu. Dan ia berpikir untuk menyerah saja. Mengakhiri mimpi buruk itu dan tidak memperdulikannya. Hingga, di malam yang kembali berbadai itu, tamu ketiga bermimpi yang sama.
“Sekarang, Tuan. Di menara kastil. Ada rahasia besar Lord Byron.”
Tamu ketiga tercekat. Ia ngeri melihat wajah hancur itu kembali berbicara kepadanya. Keringat membasahi pelipisnya. Guntur di luar berdentam, bersahutan dengan petir. Lalu, angin bersiut keras. Hujan telah turun demikian lebat. Suara pepohonan di sekitar kastil yang dicabik-cabik badai seperti jeritan roh dari alam gaib. Mimpi menakutkan itu benar-benar telah mengganggunya.
Sejatinya, tamu ketiga tak ingin memperdulikan mimpi buruk itu lagi. Ia berniat kembali melanjutkan tidurnya, menarik selimut, dan menghabiskan malam berbadai ini dengan meringkuk di atas ranjang. Namun, matanya yang terbuka lebar melihat sesuatu di menara kastil Lord Byron. Jendela kamarnya memang menghadap ke menara kastil itu. Menara itu terlihat terang. Tak seperti malam biasanya yang gelap. Seketika, kata-kata hantu budak itu teringang di telinga tamu ketiga: Rahasia besar Lord Byron.
Tamu ketiga turun dari ranjangnya, menjangkau mantel, dan mengenakan alas kaki. Dengan degup yang tak biasa di dadanya, ia berjalan sedikit tergesa ke menara itu. Lalu, berubah pelan ketika hampir mendekatinya. Di antara salakan guntur dan petir, serta siutan angin dan tempias hujan, tamu ketiga mendengar suara orang. Jantungnya semakin berdebar. Ia menajamkan telinga. Suara-suara di menara kastil itu tak seperti percakapan biasa. Ada suara-suara yang membuat wajahnya memerah dan sesuatu bergerak di balik celana. Dan ia nyaris terpekik begitu melihat yang terjadi di sana: Lord Byron tengah bergumul dengan adiknya, Augusta Leigh!
.
SEPERTI yang tamu ketiga ceritakan padaku, malam itu juga ia mengambil seluruh barangnya dari dalam kamar, lalu membangunkan budaknya yang terlelap bersama budak-budak Lord Byron lainnya, dan menerobos hujan badai. Rahasia terbesar itu terlalu menakutkan baginya ketimbang hantu budak yang saban malam hadir di mimpinya.
Mungkin, bila tamu ketiga menuliskan cerita mencekam yang awalnya ia dapatkan juga dari mimpi serupa Mary, bisa jadi ia yang memenangkan taruhan itu. Atau bisa jadi pula, novelnya akan melegenda seperti novel Mary. Sayangnya, tamu ketiga merasa mimpi itu terlalu buruk untuk diceritakan. Dan mungkin, bila aku tidak bertemu dengan tamu ketiga di sebuah bar yang masih buka saat hujan badai malam itu di mana kami minum bersama sampai mabuk dan ia menceritakan kisah mencekamnya itu, maka tak akan ada yang tahu, kalau selain Mary dan Percy, ada tamu ketiga yang diundang Lord Byron untuk menginap di kastilnya tepi Danau Geneva pada musim panas 1816. (*)
.
.
C59, 6 Oktober 2011
Guntur Alam lahir di Tanah Abang, Muara Enim, 20 November 1986. Alumnus Teknik Sipil Universitas Islam ‘45, Bekasi, ini kini menetap di Bekasi, Jawa Barat.
Jalak di Punggung Kerbau
Oleh
Romi Zarman
SAYA tak percaya pada awalnya. Bagaimana mungkin seekor kerbau dengan tubuh yang tampak lebih besar daripada rumah tiba-tiba hadir di tengah kota? Lihatlah. Di sana, di dalam pagar itu, tubuhnya terlihat jelas. Tanduknya melengkung runcing dengan kepala menunduk ke bawah. Ia tampak begitu asyik memamah rumput untuk mengisi perut. Sampai-sampai, saya yang berdiri di dekat pagar tak terlihat olehnya. Akan tetapi, itu lebih baik. Karena kalau sampai ia menyadari kehadiran saya, tentu ia akan melangkah keluar pagar. Sungguh tak terbayangkan bila kerbau sebesar itu menerpa tubuh saya.
Segera saya gegaskan langkah. Cepat-cepat saya menuju rumah. Begitu sampai, saya ceritakan kepada istri saya. “Akan tetapi,” kata istri saya, “bagaimana bisa? Bukankah seminggu yang lalu di tanah itu masih berdiri gedung? Bagaimana mungkin secepat itu mereka menyulapnya jadi kebun binatang?”
“Bukan, bukan kebun binatang.”
“Lantas?”
“Hanya seekor. Ya, hanya seekor kerbau.”
Saya baru ingat, ternyata bukan seekor. Begitu terpana melihat besarnya itu kerbau, sampai-sampai saya jadi lupa bahwa di sebelahnya juga ada seekor yang lain. Lebih kecil. Barangkali kerbau itu anaknya. Akan tetapi, bukan itu saja. Saya baru ingat, benar-benar ingat. Di dekat pagar, masih ada dua ekor lagi. Memang lebih kecil daripada induknya.
“Bukan, bukan,” kata saya.
“Abang ni, bukan-bukan terus,” kata istri saya ketus. “Abang mau merayu Sufi, ya?” Nada suara istri saya seketika berubah, menjelma begitu lunak.
“Sudah, sudah,” kata saya.
Saya tinggalkan ia sendirian. Saya kembali ke kebiasaan.
SAYA kembali ke kebiasaan. Secepat saya kembali, secepat itu pula saya lupa. Mungkin karena kesibukan saya, apa yang saya lihat itu jadi teralihkan, dan lambatlaun akhirnya jadi terlupakan. Ya, begitulah saya. Hal-hal yang menakjubkan (bahkan menakutkan) begitu mudah saya dapatkan. Akan tetapi, secepat itu ia datang, secepat itu pula ia bisa pergi. Kadang istri saya berkata, “Abang ni sering membuang waktu untuk pembicaraan yang tak ada sambungannya. Hari ini bicara ini, besok bicara lain lagi.”
Sering istri saya merajuk. Kadang pembicaraan kami sering terputus di tengah jalan. Kadang buntu karena tak berkejelasan.
“Mestinya kita bisa bertukar pendapat,” kata istri saya.
Ya, ya. Saya sadar, hampir tak bisa saya giring pembicaraan ke arah tukar pendapat. Akan tetapi, istri saya selalu mencoba memahami. Seperti hari ini, saya tak pulang ke rumah. Istri saya akhirnya paham bahwa malam ini saya bakal lembur. Maklum, sebagai kepala mandor di pelabuhan ini, saya harus memastikan jumlah barang yang masuk dengan menunggu kapal pengangkutnya. Kabarnya, kapal itu bakal berlabuh tengah malam ini. Artinya, saya mungkin baru bisa pulang di kala subuh. Istri saya setuju.
Saya tunggu. Kapal itu masuk. Lembur saya mulai. Begitu selesai, saya langsung pulang. Setibanya di rumah, saya langsung rebah tidur. Siangnya saya bangun, dan saya harus ke pasar. Maklum, istri saya sedang hamil lima bulan. Tak baik ia ke pasar, kata mertua saya. Maka, sayalah yang berangkat. Akan tetapi, begitu saya lewat di tempat kemarin, saya kembali melihat kerbau besar itu. Lihatlah, tubuhnya yang tampak lebih besar daripada rumah, dan tanduknya yang melengkung runcing. Kerbau raksasa. Dari seberang jalan saya perhatikan. Ternyata benar. Kerbau itu tak hanya seekor. Ada empat semuanya. Dua di dekat pagar. Dua di tengah-tengah. Entah kenapa, kali ini tak ada rasa takut. Saya begitu ingin mendekat. Saya begitu ingin menyentuh si kerbau raksasa.
SAYA ingin menyentuhnya. Bagaimanakah rasanya? Adakah sama rasanya dengan menyentuh kerbau peliharaan saya dulu? Atau, jangan-jangan, saya akan mendapatkan pengalaman baru? Keinginan itu begitu menggebu. Begitu saja ia datang. Tak ada rasa takut. Seperti yang saya bilang, secepat rasa takut itu datang, secepat itu pula rasa itu bisa hilang. Bisa amat cepat. Secepat apakah? Ah, entahlah.
Dulu, dulu sekali, sewaktu saya masih bersekolah, saya punya kerbau peliharaan. Kerbau pemberian Ibu. Saya pelihara. Saya beri makan. Tentu, dengan rumput sabitan. Sesekali, bila musim tanam hendak datang, Ayah akan meminjam kerbau peliharaan saya. Untuk membajak sawah, katanya.
Akan tetapi, entah kenapa, kerbau saya itu tak pernah mau dipasangi bajak. Cukup sayalah yang menemaninya ke petak sawah. Tanpa bajak ia mengacak-acak tanah, melunakkannya dengan pijakan kakinya yang begitu kuat. Maka, perlahan-lahan, tanah yang sudah diairi itu menjadi lunak, siap ditanami padi. Kerbau itu bakal berjalan seharian, bolak-balik, di atas petak sawah. Dan saya duduk di punggungnya. Sampai matahari naik sepenggalah. Sampai matahari tegak di atas kepala kami. Lalu kami beristirahat sejenak. Setelah makan siang, kembali kami lanjutkan kerja kami. Sampai sore. Sampai kerbau itu keluar dari sawah. Sebelum pulang, saya bawa ia ke tempat yang penuh rumput. Supaya ia makan sampai kenyang.
Dan suatu hari, di tempat yang penuh rumput itulah, saat kerbau saya asyik mengisi perut, datang seekor jalak. Tentu, saya langsung mengusirnya. Jalak itu pergi. Tapi hanya sebentar, untuk kemudian kembali, dan hinggap di tubuh kerbau itu lagi. Saya biarkan untuk sementara. Saya lihat. Jalak itu mematuk tubuh kerbau saya. Kata Ayah, “Biarkan saja. Jalak itu bakal mengobati gatal-gatal sang kerbau dengan mematuk kutu-kutunya.”
Saya turuti perkataan Ayah. Akan tetapi, tanpa saya sangka, jalak itu mematuk tahi lalat di paha saya. Saya hilang keseimbangan. Seketika saya jatuh dari punggung kerbau. Saya tak bisa menerimanya. Saya usir itu jalak. Besoknya, burung itu kembali datang. Ah, saya tak tahu persis apa itu jalak yang sama. Yang jelas, paruh dan kakinya sama-sama kuning. Mirip dengan jalak sebelumnya. Saya usir. Akan tetapi, jalak itu balas mematuk saya. Saya tak terima. Bagaimana mungkin burung itu mempertahankan diri, sedangkan kerbau itu milik saya? Maka, saya usir lagi. Tapi, di lain hari, masih saja ada jalak yang datang. Tak henti. Sampai di suatu hari, kerbau itu tak lagi saya miliki. Kata Ibu, kerbau itu dijual untuk biaya masuk kuliah saya. Sejak itu saya tak pernah lagi menyentuh seekor kerbau.
Hari ini keinginan itu datang lagi. Saya ingin menyentuhnya. Bagaimanakah rasanya? Akan saya sentuh itu kerbau yang ada di dalam sana. Akan saya lompati pagar. Akan tetapi, baru selangkah saya mengayunkan kaki, telepon genggam saya tiba-tiba berdering. Saya angkat, dan saya suara istri saya, “Abang ke kebun binatang lagi, ya? Kok belum juga pulang?”
SESAMPAINYA di rumah, saya ceritakan kepada istri saya, bahwa saya tadi memang ke “kebun binatang” itu. Istri saya lalu menjawab asal-asalan, “Lain kali jangan lama-lama, Bang. Bisa-bisa Abang ditendang oleh itu kerbau.”
Saya diam. Saya ke sana bukannya sengaja. Tapi jalur dari rumah saya ke pasar raya melewati “kebun binatang” itu. Bagaimana tak akan lewat di sana? Lagi pula, jalan raya di depan “kebun binatang” itu lumayan berarus lancar. Maka saya senang lewat di sana.
Besoknya, sewaktu pulang kerja, saya kembali melintas di sana. Saya lihat itu kerbau. Empat ekor. Akan tetapi, mata saya tetap saja terpaku pada yang paling besar. Kerbau itu, oh, sedang memamah rumput yang ada di hadapannya. Saya lihat tanduknya yang melengkung runcing. Saya lihat punggungnya. Kosong. Oh, tiba-tiba saya ingat jalak. Kenapa tak ada jalak di punggungnya? Kerbau itu, pastilah punya banyak kutu di tubuhnya. Saya bayangkan ia menderita gatal yang tak terkira. Kasihan. Tak ada jalak.
Eh, kasihan?
Tiba-tiba saja, seperti biasanya, ada rasa yang datang. Saya ingin ada jalak. Saya ingin ada jalak. Begitu saja keinginan itu datang.
Malamnya, entah kenapa, tiba-tiba saja saya rasakan ada perubahan pada diri saya. Mula-mula, saya rasakan tubuh saya panas. Lalu saya rasakan ada yang tumbuh. Pun ada yang menyusut. Sampai tengah malam. Sampai dinihari. Saya dapati diri saya telah ditumbuhi bulu. Lihat, bukan hanya itu. Di tubuh saya, juga tumbuh sayap. Di depan cermin, saya saksikan semuanya. Lihatlah, kaki saya berubah kuning. Juga lingkar mata saya.
Saya kepak-kepakkan sayap. Oh, jalak. Saya berubah jadi jalak. Ingatan saya langsung kepada kerbau itu. Tanpa mengulur waktu, saya langsung terbang ke situ.
Di punggung kerbau itulah akhirnya saya tiba. Lihatlah, betapa besar ini kerbau. Saya hendak mematuk, hendak mencari kutu. Saya tahu, pastilah di tubuh kerbau ini banyak kutu. Sampai pagi datang. Sampai matahari menampakkan diri. Ah, saya kepak-kepakkan sayap. Akan tetapi, saya terkejut menyaksikan pemandangan di bawah sana. Lihat, kutu-kutu itu bukan di punggung kerbau, tapi di bawah. Nun di bawah sana kutu-kutu itu, betapa mereka bagai serentak terus mendongak ke arah saya.
Kutu-kutu itu, oh, alangkah gaduh. Semakin lama semakin banyak jumlahnya. Pastilah karena mereka yang membuat kerbau ini sering merasa gatal-gatal, menghisap darah ini kerbau. Tak bisa saya biarkan. Harus saya patuk mereka. Saya bersiap-siap, hendak terbang ke bawah sana. Berapakah tingginya? Ah, saya perhatikan lagi. Akan tetapi, mata saya yang tajam tertahan di satu titik. Saya seperti mengenali dua ekor kutu itu.
Lihatlah, dua ekor di bawah tiang bendera itu. Saya mengenalinya. Saya mengenalinya.
Yang pertama, istri saya. Yang kedua, oh, psikiater saya.
Tiba-tiba, saya ingin turun. Turun dari atap gubernuran ini. (*)
.
.
Padang, 5 September 2011
Romi Zarman, alumnus Fakultas Sastra Universitas Andalas. Lahir dan menetap di Padang.
5 Mei 2005
Oleh
Zaim Rofiqi
One of those many dates
That no longer ring a bell—W. S.
IA selesai membaca puisi terakhir di buku kumpulan puisi yang beberapa waktu yang lalu dibelinya itu, dan entah mengapa merasa terusik, dan untuk beberapa saat tercenung, melihat titimangsa yang tertera di bawahnya: 05-05-2005. Tanggal lima bulan Mei tahun dua ribu lima. Sebuah tanggal, sebuah bulan, dan sebuah tahun. Seperti biasa. Seperti lazimnya sebuah titimangsa.
Beberapa saat ia mencermati titimangsa itu, dan merasa tak ada yang istimewa dengan tanggal, bulan, dan tahun yang tertera di situ. Hanya, kebetulan tanggal, bulan, tahun dalam titimangsa pada puisi terakhir itu semuanya menggunakan angka lima; selain hal itu, tak ada yang aneh pada titimangsa itu. Sebagaimana umumnya sebuah tulisan, entah itu puisi, cerpen, esai, atau bentuk-bentuk tulisan yang lain, pada bagian akhir karya, si penulis umumnya memang membubuhkan sebuah titimangsa. Mungkin untuk memberi tahu pembaca bahwa tulisan itu dibuat pada tanggal, bulan, dan tahun itu, atau mungkin juga sebagai pengingat bagi si penulis itu sendiri bahwa tulisan itu selesai pada tanggal, bulan, dan tahun yang tertera di bagian akhir karyanya itu, atau mungkin ada alasan-alasan lain dari si penulis yang tak ia ketahui. Namun mengapa sekarang ini ia merasa terusik dengan titimangsa itu?
Biasanya, ketika membaca sebuah puisi, atau cerpen, atau karya-karya yang lain, ia hanya terserap dan berusaha mencermati isi dan bentuk puisi, cerpen, atau karya-karya lain yang ia baca, dan selalu abai terhadap titimangsa yang tertera di bawahnya, atau tak peduli apakah karya yang dibacanya menerakan titimangsa atau tidak. Namun tak seperti biasanya, kali ini, entah mengapa, apa yang justru mengusik dan kemudian seperti terus terpikirkan olehnya adalah titimangsa itu.
Tanggal lima, bulan Mei, tahun dua ribu lima. Beberapa kali ia menggumamkan titimangsa di akhir puisi itu, seperti ingin memastikan atau mengingat sesuatu. Ia mencoba menghitung dalam kepalanya: jika sekarang adalah 12 September 2011, berarti 5 Mei 2005 adalah enam tahun yang lalu. Tepatnya: enam tahun, delapan bulan, dua belas hari yang lalu. Setelah berhasil menghitung jarak antara masa kini dan 5 Mei 2005 itu, tanpa disadarinya, muncul sebuah pertanyaan dalam kepalanya: hari apa tanggal lima, bulan Mei, tahun dua ribu lima itu? Ia mencoba mengingat-ingat, namun gagal. Ia meletakkan buku kumpulan puisi itu di samping komputernya, mengucek kedua matanya, menaruh kedua tangannya di bawah kepala, menyelonjorkan kakinya ke atas meja kerjanya, lalu menerawang ke langit-langit kamarnya. Sekilas ia menoleh pada jam dinding yang menempel di atas pintu ruang kerjanya. Pukul setengah dua dinihari. Dari jendela, ia lihat hujan yang sejak menjelang tengah malam tadi turun begitu deras kini telah berhenti, meski sesekali petir masih tampak berpijar di langit dinihari.
Tanggal lima, bulan Mei, tahun dua ribu lima. Titimangsa itu kembali melintas dalam kepalanya. Sebuah tanggal, sebuah bulan, sebuah tahun sebagaimana berbagai tanggal, bulan, dan tahun yang lainnya, namun yang kini tiba-tiba saja terbaca, lalu merasuk ke dalam, dan terus-menerus mengusik, pikirannya. Sebuah pertanyaan kembali menyergap otaknya: jika bagi si penulis puisi itu 5 Mei 2005 berarti selesainya sebuah puisi dan bertambahnya sebuah karya, apa arti titimangsa itu bagi dirinya? Ia terus menerawang ke langit-langit kamarnya. Sesekali ia alihkan pandangan ke luar jendela, pada kelam langit dinihari yang kadang dibelah oleh seleret kilat. Sekali lagi ia mencoba mengingat hari apa tanggal 5 bulan Mei tahun 2005 itu, apa saja yang mungkin dilakukannya pada hari itu. Namun ia kembali gagal, dan yang ia dapatkan dalam tempurung kepalanya hanyalah gebalau yang tak jelas, suatu bentangan yang begitu kelam, mungkin lebih kelam dari langit dinihari sehabis hujan yang terhampar di luar jendelanya.
Sejurus kemudian, seperti mendapatkan wangsit, atau ide, atau ilham, tiba-tiba ia melonjak dari kursinya, dan langsung menghadap ke layar komputernya. Dengan agak tergesa ia menerakan tanggal, bulan, dan tahun titimangsa puisi itu ke kotak pencarian Google. Dari mesin pencari di dunia maya itu ia tahu bahwa 05 Mei 2005 adalah hari Kamis. Hari Kamis enam tahun, delapan bulan, dua belas hari yang lalu. Dari dunia maya ia juga tahu bahwa 5 Mei 2005 merupakan salah satu hari bersejarah dalam sejarah Kekristenan di Indonesia dan di dunia, karena pada hari dan tanggal ini diselenggarakan National Prayer Conference, yang bertemakan “Indonesia bagi Bangsa-Bangsa”, di stadion Gelora Bung Karno. Lebih dari seratus ribu anak Tuhan berkumpul di stadion itu, belum lagi ratusan ribu anak Tuhan yang lainnya yang juga berkumpul di 77 kota lain di seluruh Nusantara. Dari sebuah link di mesin pencari itu ia juga mendapatkan informasi bahwa pada tanggal, bulan dan tahun itu di Slawi berdiri sebuah Akademi Kebidanan Siti Fatimah, yang memiliki visi mendidik mahasiswa/i menjadi tenaga profesional dalam sebuah Akademi Kebidanan yang berjiwa Pancasila dan mampu memenuhi standar kualitas dalam negeri dan internasional. Hari Kamis 5 Mei 2005 itu juga merupakan hari keberangkatan Menteri Luar Negeri RI, Nur Hassan Wirayuda, ke Kyoto, Jepang dalam rangka menghadiri Konferensi Tingkat Menteri (KTM) Asia-Europe Meeting (ASEM) ke-7. Ia juga tahu bahwa pada hari Kamis pada tanggal, bulan, dan tahun itu berlangsung pernikahan antara Arif dan Yani, dua orang yang sama sekali tak dikenalnya. Pada tanggal, bulan, dan tahun ini di Kebun Raya Bedugul juga dilangsungkan sebuah Bali Gathering, yang dihadiri oleh Papo, Widi, Adi, Indra Praja,Yz, Bedoe, Ayu, Dewik, Oming, Indra Jegeg, Iin dan Michiko, orang-orang yang hanya ia ketahui namanya dari dunia maya. Ia juga tahu bahwa pada Kamis 5 Mei 2005 itu Suud dan Syam menggegerkan jagad hukum lantaran berhasil membobol rumah tahanan militer yang dikenal “angker”dan berpenjagaan ketat: Rumah Tahanan Militer (RTM) Cibinong. Suud kemudian tertangkap kembali di Malang dan “dihadiahi” dua pelor di kakinya.
.
IA terus membuka satu per satu berbagai link yang menerakan titimangsa itu, dan mendapati berbagai macam peristiwa, beragam momen, beraneka acara, berjenis-jenis kejadian yang kadang terasa lucu, kadang menyedihkan, kadang menjengkelkan, kadang memunculkan amarah, dan kadang menimbulkan rasa iba dan belas kasihan. Ia melihat ke sudut kiri mesin pencari di dunia maya itu, dan mendapatkan informasi bahwa ada sekitar 2 juta lebih peristiwa, momen, acara, yang terjadi atau berlangsung pada titimangsa itu. Untuk beberapa saat ia terus meng-klik berbagai tautan yang menyertakan angka tanggal, bulan, dan tahun itu, dan mendapatkan peristiwa, momen, kejadian, dan acara yang semakin beraneka. Namun beberapa saat kemudian beberapa pertanyaan melintas dalam kepalanya: apa guna semua itu bagi dirinya? Apa kaitan semua itu dengan dirinya?
Ia melepaskan mouse yang dari tadi dipegangnya dan kembali menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi kerjanya, menyelonjorkan kaki ke atas meja kerjanya, lalu kembali memandangi langit-langit kamar, sambil sesekali memandang ke luar jendela, pada keheningan dinihari sehabis hujan yang terasa begitu menekan, namun juga terasa begitu menenangkan.
Tanggal lima, bulan Mei, tahun dua ribu lima. Titimangsa itu terus mengiang-ngiang dalam tempurung kepalanya. Ia merasa sangat yakin bahwa ia telah melalui, melewati, mengalami, titimangsa itu enam tahun, delapan bulan, dua belas hari yang lalu, namun kini ia merasa seperti tak pernah mengalaminya, atau merasa gamang, merasa tak pasti, merasa tak yakin, tentang apa saja yang telah dialaminya pada titimangsa itu. Begitu banyak hal yang terjadi pada tanggal, bulan, dan tahun itu, dan salah satunya adalah terciptanya puisi yang baru saja dibacanya itu, namun ia seperti sama sekali lupa pada apa yang terjadi pada dirinya sendiri: ke mana ia pergi pada titimangsa itu? Apa saja yang ia lakukan? Siapa saja yang ia temui? Apa saja yang ia bicarakan dengan mereka? Bagaimana cuaca pada hari itu? Apakah ia bahagia, sedih, gembira, atau murung pada titimangsa itu? Apakah ia baik-baik saja, sehat-sehat saja, pada tanggal, bulan dan tahun itu?
Ia mencoba mengingat: hari Kamis. Ya, dari informasi yang ia dapat di dunia maya itu, ia tahu bahwa 5 Mei 2005 itu adalah hari Kamis. Dan hari Kamis adalah hari kerja, pikirnya. Pada hari kerja, sangat mungkin ia bangun pagi seperti biasa, sekitar pukul 06.00 atau 06.30, lalu mencuci muka, menggosok gigi, menyeduh kopi, memutar lagu-lagu kesukaannya, menghisap satu dua batang rokok, mencek email, menelepon kekasihnya dan menanyakan kabarnya, mempersiapkan berbagai hal yang mungkin ia perlukan di tempat kerjanya, mandi, lalu berangkat kerja pukul 09.00.
Di jalan, ia mungkin bertemu beberapa tetangga atau kenalan, menyapa mereka dengan “hai” atau “halo”, menanyakan kabar mereka, lalu melempar basa-basi sekenanya, dan kemudian meluncur ke kantor. Di tempat kerjanya, sangat mungkin yang ia kerjakan adalah rutinitas seperti biasa: memesan kopi, membaca berita-berita hari itu, mendaftar pekerjaan apa saja yang harus ia selesaikan hari itu, melaporkan pekerjaan yang telah ia selesaikan kemarin, makan siang, bergurau dengan rekan-rekan kantornya, kembali bekerja, lalu pulang pada pukul 17.00 atau 17.30 atau 18.00.
Malamnya mungkin ia berkunjung ke rumah kekasihnya, atau membuat janji dengannya untuk bertemu di suatu tempat untuk makam malam bersama. Setelah makan malam, ia dan kekasihnya mungkin kemudian mengunjungi sebuah kafe atau menonton bioskop untuk menghabiskan malam. Setelah itu ia mungkin mengantarkan kekasihnya pulang, lalu kembali ke rumah dan tidur.
Tapi mungkin pada Kamis 5 Mei 2005 itu hari hujan, dan udara jadi dingin, dan ia terus tidur hingga sebuah telepon dari kekasihnya atau rekan kantornya membangunkannya, dan hari telah pukul 11.00 siang atau lebih. Kekasihnya mungkin bertanya padanya mengapa, tak seperti biasanya, ia tak meneleponnya, dan dengan suara yang dibuat-buat ia akan menjawab bahwa ia sedang tak enak badan, kepalanya pusing, dan badannya agak meriang. Rekan kantornya itu mungkin bertanya mengapa ia tak masuk kantor hari itu, dan dengan intonasi suara yang juga dibuat-buat ia memberikan jawaban yang sama seperti yang ia berikan kepada kekasihnya itu.
Sore atau malam harinya kekasihnya mungkin menjenguknya sambil membawakannya makanan, dan dia mendapati dirinya sedang asyik mendengarkan musik sambil membaca sebuah buku, atau menonton TV atau film sambil menikmati secangkir kopi atau segelas teh. Melihat dirinya yang segar bugar, kekasihnya mungkin sedikit marah dan berkata, “Huh! Bo’ong lagi, bo’ong lagi. Capek aku terus-menerus kamu bo’ongin!” Dan ia hanya tersenyum, lalu merengkuh pinggang kekasihnya, lalu mencium pipi dan keningnya sambil menghujaninya dengan bisikan kata-kata pujian dan rayuan di telinganya, kata-kata seperti, “Hari ini kamu tampak anggun sekali, Sayang”; “Kamu selalu indah, selalu terlihat cantik tiap kali kutatap. Aku selalu mencintaimu, Yang”;
“Aku kangen, Sayang, kangen banget sama kamu”, hingga hati kekasihnya luluh dan melunak kembali, lalu ia dan kekasihnya menghabiskan malam itu dengan bercumbu dan bercinta, bercumbu dan bercinta, hingga ia dan kekasihnya lelah dan tertidur.
Tapi barangkali kejadian-kejadian berikut inilah yang terjadi pada 5 Mei 2005 itu:
Kamis 5 Mei 2005 dinihari, mungkin sekitar pukul 00.30 atau 01.00, ia mendapatkan semacam ilham, atau wangsit, atau ide untuk membuat sebuah tulisan: mungkin sebuah cerpen, sebuah novelet, atau sebuah novel. Tulisan itu mungkin adalah tentang sebuah kisah cinta segitiga yang muram, yang berakhir dengan bunuh diri bersama ketiga tokoh yang terlibat dalam cinta segitiga itu; atau mungkin tulisan itu adalah cerita tentang seorang tokoh yang memiliki begitu banyak kepribadian, dan masing-masing kepribadian memiliki pandangan sendiri-sendiri terhadap segala sesuatu yang dialami oleh si tokoh itu; atau mungkin juga tulisan itu adalah kisah tentang seorang tokoh yang merupakan gabungan dari berbagai tokoh ternama yang pernah ada, baik itu tokoh di dunia nyata maupun tokoh fiksional, dan sejarah hidup tokoh itu tidak lain adalah gabungan dari berbagai potongan sejarah hidup tokoh-tokoh ternama itu. Setelah mendapatkan ilham, atau wangsit, atau ide itu, ia mungkin seperti “kesurupan”, dan apa yang ia lakukan setelah itu adalah mencari dan mengumpulkan berbagai bahan yang mungkin ia perlukan untuk membuat tulisan itu.
.
PADA titimangsa itu ia mungkin tak berangkat kerja karena ia tak tidur hingga pagi hari untuk mencari bahan-bahan tulisannya itu. Ia mungkin hanya tidur satu dua jam di siang hari, mungkin dari pukul 11.00 hingga pukul 01.00 atau 01.30, lalu kembali terbangun untuk membaca bahan-bahan yang telah ia kumpulkan atau untuk membuat sketsa atau garis besar cerita yang akan ia tuliskan.
Selama seharian penuh ia mungkin mematikan telepon selulernya karena tak ingin ada seorang pun yang mengganggunya mempersiapkan karyanya itu, hingga kekasihnya mungkin kelabakan dan akhirnya, pada sore atau malam hari, dia datang ke tempat tinggalnya dan mendapati ia sedang terkapar tidur di kamarnya atau sedang tercenung di depan komputernya. Kekasihnya mungkin marah-marah karena seharian tak mendapat kabar darinya atau karena merasa diabaikan, dan melampiaskan kemarahannya itu dengan kata-kata seperti, “Bosan aku dengan kelakuanmu! Aku lelah berpacaran dengan seorang seniman! Aku capek punya kekasih seorang penulis!” Dan seperti biasa, ia mungkin hanya tersenyum, meminta maaf dan menjelaskan apa yang terjadi, lalu merengkuh pinggang kekasihnya, lalu mencium pipi dan keningnya sambil menghujaninya dengan bisikan kata-kata pujian dan rayuan di telinganya, kata-kata seperti, “Hari ini kamu tampak anggun sekali, Sayang“; atau“Kamu selalu indah, selalu terlihat cantik tiap kali kutatap. Aku akan selalu mencintaimu, Yang“; dan seperti biasa, hati kekasihnya akan luluh dan melunak kembali, lalu ia dan kekasihnya menghabiskan malam itu dengan bercumbu dan bercinta, bercumbu dan bercinta, hingga ia dan kekasihnya lelah lalu tertidur dan bermimpi indah.
Tapi mungkin peristiwa-peristiwa yang terjadi pada titimangsa itu adalah seperti ini:
Ia mabuk berat pada Rabu sore atau malam karena bertengkar hebat dengan kekasihnya. Dan apa yang ia lakukan setelah itu adalah pergi ke sebuah kafe atau bar atau klab malam bersama teman-temannya dan menghabiskan malam hingga pagi di sana. Ia mungkin pulang pada pukul 04.00 atau 04.30 dinihari, dan sesampainya di kamar langsung tidur. Selama seharian penuh pada 5 Mei 2005 itu ia mungkin hanya tidur seperti orang mati, dan terbangun karena gemuruh hujan deras yang menampar-nampar kaca jendela kamarnya, atau karena gelegar geledek yang menggetarkan atap dan kaca jendela kamarnya. Saat itu mungkin pukul 09.00 atau 09.45 malam, dan ia merasa kepalanya begitu pening dan pikirannya kacau. Dan apa yang terus-menerus terpikir olehnya adalah kekasihnya, dan kekasihnya. Ia mungkin berusaha menelepon kekasihnya untuk meminta maaf, namun sama sekali tidak diangkat atau bahkan tak tersambung. Apa yang kemudian ia lakukan mungkin adalah berusaha kembali tidur namun tak juga bisa tidur.
Akhirnya ia mungkin menghabiskan malam pada titimangsa itu dengan menonton film atau main game atau membaca buku atau menonton TV, namun bayangan kekasihnya dan pertengkaran itu terus-menerus muncul dan seperti tak mau hilang, hingga kemudian yang bisa ia lakukan hanyalah melamun dan melamun. Atau mungkin yang ia lakukan adalah berusaha membuat sebuah puisi cinta yang sangat murung dan sedih, namun tak juga bisa menuliskan apa-apa karena tiap kali pikirannya bergemuruh karena cinta atau asmara, apa yang muncul dalam otaknya adalah larik-larik puisi “Senja di Pelabuhan Kecil” karya Chairil Anwar: Ini kali tidak ada yang mencari cinta / di antara gudang, rumah tua, pada cerita / tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut / menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut // Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang / menyinggung muram, desir hari lari berenang / menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak / dan kini tanah dan air tidur hilang ombak. // Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan / menyisir semenanjung, masih pengap harap / sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan / dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap.
Dan akhirnya, karena tak juga bisa menulis apa-apa, ketika subuh menjelang, ia mungkin merasa begitu lelah, hingga tanpa disadarinya, ia jatuh tertidur.
Tapi barangkali bukan itu semua yang terjadi, pikirnya. Ia masih terus menyelonjorkan kakinya ke atas meja kerjanya, membenarkan posisi punggungnya dalam menyandar agar terasa lebih nyaman, lalu memejamkan mata, seolah-olah sedang mengerahkan seluruh tenaga untuk mengingat-ingat kembali apa saja yang sebenarnya terjadi pada dirinya pada titimangsa itu. Namun sejurus kemudian rasa kantuk menyergap dirinya, dan ia tiba-tiba merasa begitu lelah.
Ia bangkit dari kursi itu, mematikan komputernya, memandang sebentar ke luar jendela, menutup horden, mematikan lampu kamarnya, lalu bersiap untuk tidur. (*)
.
.
Jakarta, 12 September 2011
Zaim Rofiqi tinggal di Jakarta. Buku kumpulan puisinya, Lagu Cinta Para Pendosa (Pustaka Alvabet, 2009); dan buku kumpulan cerita pendeknya, Matinya Seorang Atheis (Penerbit Koekoesan, 2011).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar