Kamis, 10 November 2011

CERPEN KORAN TEMPO



Kamus Cerita Abdul Muin
Oleh
Raudal Tanjung Banua



 
 
 
ABDUL Muin, mahasiswa semester keenam sebuah perguruan tinggi, ditemukan mati pagi itu di kamar kosnya di bilangan Jalan Papringan, Yogyakarta. Tak seorang pun tahu penyebab kematiannya. Setahu kawan-kawan kosnya, Abdul Muin masih segar-bugar pada malam sebelumnya, bahkan ia tetap melaksanakan kegiatannya keluyuran keliling kota dengan sepeda ontel tua.
Muncul desas-desus apakah ia bunuh diri dengan menelan pil tidur mengingat ada bekas muntahnya di atas bantal? Tapi untuk apa pula ia bunuh diri. Anak itu dikenal penuh harapan, dan sedikit keras kepala. Ia misalnya tak pernah mau mengikuti jejak kawan-kawan sekosnya jadi penulis buku-buku how to, meskipun ia harus bertaruh lapar, menunggak sewa kamar. Padahal, kalau mau, ia bisa mengikuti si Ruhut menulis buku kiat yang sangat laku di pasaran semacam Jadi Politikus Itu Gampang, Biarkan Uang Bekerja untuk Anda, Cara Cepat Jadi Manajer, atau Kiat Sukses Dunia-Akhirat. Ia bisa menjualnya ke sebuah penerbit yang biasa membayar tunai untuk itu. Berkat cara praktis itulah, bukan hanya si Ruhut yang berkantong tebal dan bisa membeli motor baru, juga si Thamrin, Baidur, Marzuki, Sulaiman, Bahar, dan banyak yang lain. Abdul Muin bertekad menulis dengan keringat sendiri, bukan sekadar melakukan copy-paste dengan mengandalkan internet, meskipun mungkin hanya sebuah buku itulah yang dihasilkannya seumur hidup.
Apakah mungkin seorang optimis seperti dia bunuh diri? Tapi tunggu dulu, pikir yang lain. Jangan-jangan justru itu yang membuat Abdul Muin putus asa, terlalu muluk di tengah hidup yang kian praktis. Entahlah. Tak ada yang tahu persis. Sampai jenazahnya dikirim ke kampungnya di Sumatra, semua menerima sebagai kematian biasa. Kawan-kawan sekosnya mengadakan tahlil kecil-kecilan. Sebelum bubar, beberapa orang iseng membolak-balik barang Abdul Muin yang teronggok di sudut gudang. Barang tak seberapa itu berupa tumpukan buku dan kertas. Namun, ada seberkas kertas yang menarik perhatian kawan-kawannya, yaitu semacam naskah buku yang tengah ia persiapkan. Judulnya “Kamus Gaul Istimewa”, meski di lembaran lain ia menulis “Kamus Gaul Sebuah Kota”. Meski tampaknya judul sementara, draft itu memuat perihal pergaulan di kota tempatnya kuliah, yang ia kumpulkan langsung dari waktu ke waktu.
Setelah dicek, keterangannya ganjil semata, atau malah janggal: setiap entri dijadikan pintu masuk untuk bercerita. Mungkin bisa disebut kamus bercerita, untuk menggenapkan kamus bergambar. Tapi, menurut beberapa orang yang hadir, ini justru unik, dan menurut mereka belum pernah dicoba di dunia! Aha, boleh jadi mereka terpengaruh endorsement seorang profesor di sebuah buku pemasaran laris terbitan Ibukota. Memang, kamus cerita susunan Abdul Muin cukup unik dan asyik. Meski belum diatur alfabetis. Masih campur-aduk. Ah, maklumlah bahan yang belum selesai, terbengkalai.
Untuk mengenang kepergian Abdul Muin yang mendadak, sengaja saya selundupkan beberapa entri yang sekiranya dapat mewakili dunia kecil almarhum, sekadar menemani Anda minum kopi. Jika Anda berkenan.
 .
Sekolah.
Jangan berpatokan hanya pada studi. Lihat kemungkinan lain, meskipun tetap berhubungan dengan upaya menyelamatkan studi. Jika ada yang bertanya, “Mana tivimu?” dan jawabannya adalah “Lagi sekolah”, maka artinya benda ajaib itu sedang berpindah dari kamar kos ke rumah gadai. Jika dipikir, istilah ini sama-sama tepat dikenakan untuk benda dan manusia. Benda “sekolah” ke pegadaian, dan manusia yang bersekolah bukankah juga tergadai? Hari-harinya habis di balik tembok madrasah dan kampus yang makin kokoh-tebal saja di kota ini.
 .
Burjo.
Bukan sekadar bubur kacang ijo, Bung! Warung penjualnya adalah lumbung pangan empat sehat lima sempurna. Lihat saja spanduknya, bertulisan aneka menu tetap sepanjang tahun, meski lusuh, sukar terbaca, maklum kerap jadi lap tangan pengunjung. Anak kos pengunjung setia tempat ini, diladeni si akang yang adem. Sesekali ada si neng dari kampung. Suasananya bakal gayeng, dengan dua risbang mengitari meja kayu dan daftar menu. Mie instan, rebus atau goreng, pakai sayur sawi, cukup mengganjal perutmu seharian. Tentu tempe goreng yang lebar tapi tipis, biasanya segitiga meski tak simetris dan jika kau pandang baik-baik tampak seperti Pulau Jawa. Minuman teh panas, es teh, sampai air tape, ada. Jangan lupa telur separoh matang. Taburi merica, itu jika uang kirimanmu tak habis bayar utang. Supaya kuat begadang atau sehabis nonton film “Om Takur” bolehlah STMJ! Susu, telur, madu, jahe—komplit. Dijamin, si neng dari kampung tampak cantik abis!
 .
Bangjo.
Sama seperti burjo, bangjo bukan sebatas abang-ijo atau merah-hijau—kotamu menyebutnya lampu merah—namun juga tempat nongkrong anak-anak punk, tempat mencari sekadar kepingan bagi pengamen dan anak jalanan. Pula, ada pemain reog dan kuda lumping. Begitu lampu merah menyala, seseorang bertopeng Rahwana melecutkan cambuknya ke aspal yang panas. Ces! Lalu kendang dan gamelan mengiringinya menari: pecut di tangan kanan, kaleng di tangan kiri. Bedanya dengan burjo, tak ada makanan di sini, kecuali tempe goreng dan teh panas dibungkus plastik, selebihnya debu jalanan dikibaskan kendaraan, berhenti, jalan, lalu-lalang. Sesekali enak nongkrong di sini, melihat berbagai body di atas jetmatic. Asyik!
 .
Alkid, Monjali, Bonbin.
Nama-nama tempat murah-meriah. Piknik? Nongkrong? Pacaran? Monggo! Artinya, dari kiri ke kanan: Alun-alun Kidul, Monumen Jogja Kembali, Kebun Binatang Gembiraloka. Sungguh tak pelit menerima kegembiraan warga kota. Di Alkid, kau bisa pesan wedang ronde dan jagung bakar. Menuntun anak-anak nonton gajah, sambil menutup hidung menahan pesing kencing gajah campur kencing manusia yang apalah bedanya. Bila anakmu haus, belikan ia air perasan tebu. Konon, baik untuk mengatasi kencing bau. Jika sesekali kedatangan kawan dari luar kota, ajaklah ia berpetualang dengan rasa baru meski agak sedikit dungu. (Lihat Masangin.)
Di Monjali, mungkin kau tak menemukan gajah atau binatang raksasa lainnya, tapi kau bisa rasakan hakikat raksasa yang sebenarnya di balik relief dan keperkasaan monumen: Jenderal Besar dan Bapak Pembangunan. Raksasa itu menggelembung seperti balon di kepalamu. Tak mungkin kau ceritakan soal raksasa semacam ini kepada anak-anakmu yang sehijau melon, sebaiknya ajak saja mereka berfoto dengan latar senyum sang Jenderal.
Kalau ingin melihat gajah, singa, harimau, sekalian hewan, ya, Bonbin tempatnya. Meski tak ada jaminan kau dan keluarga akan terhibur di tengah wajah-wajah binatang yang kuyu. Bahkan jika anakmu yang terkecil mengulurkan tangannya ke balik jeruji besi karatan, seekor harimau hanya akan melongos tanpa minat. Tumpukkan pakan, rumput dan sayur layu, membuatmu ikut lesu. Daging segar? Sstt, dengar-dengar, penjaganya ikut makan! Kalau sudah begitu, terasa seolah bumi diciptakan Tuhan dengan malas. Hanya istri yang selalu tersenyum dan teriak anak-anak di komedi putar yang bakal membuat dunia sekitarmu hidup. Sesekali terdengar lenguh gorila minta kawin, dan kau teringat “monyet” cantik tetanggamu. Ketika komedi putar berhenti, istrimu menyambut anak-anak, dan berkata, “Lihat, abahmu bengong seperti gorila!” Anak-anak tertawa. “Tidak, Mak, abah seperti buaya tua!”
 .
Jakal, Paris, Jokteng.
Nama-nama jalan terluar dan tempat paling pojok. Kita tahu, kota ini punya garis imajiner Merapi-Laut Selatan. Penandanya Tugu di utara, Panggung Krapyak di selatan, Kraton di tengah-tengah. Namun kehidupan selalu mencoba melongok ke luar dari tembok dan garis lurus. Maka, dalam kehidupan kota yang hibuk, utara ditandai sebuah jalan paling padat: Jalan Kaliurang alias Jakal. Ini tak hanya membawa anda ke tempat wisata yang adem di kaki Merapi dan Bukit Turgo, dengan telaga putri dan wisma yang disewakan. Lebih dari itu, jalan itu membawamu ke bagian kota yang sibuk dengan segala laku kehidupan. Restoran, kafe, toko buku, perumahan dan kampus besar berjejer di sini, sekilas mungkin mengingatkan anda kota tersibuk di Eropa. Setidaknya dari papan namanya yang ke barat-baratan. Tapi nama sebuah kota Eropa baru akan benar-benar terucap jika anda menuju selatan, yang sebenarnya justru lebih sepi. Paris. Hmm, apakah lantaran selatan bersahaja berkat para senimannya, juga kampus seninya yang kemayu? Itukah mengingatkan orang pada Paris? Boleh juga. Tapi ketahuilah, itu sebutan Jalan Parangtritis yang akan membawa anda ke laut. Kalau naik kendaraan umum, anda bisa menunggu tumpangan di sekitar Jokteng, artinya Pojok Beteng. Ah, mereka yang menunggu memang harus siap terpojok, setidaknya oleh waktu. Ada Pojok Beteng Wetan, ada Pojok Beteng Kulon. Kalau mau ke Paris, tunggulah bis di Jokteng Wetan (timur), sebab Jokteng Kulon (barat) akan membawa anda ke Bantul dan pantai Samas. Jangan bergelantungan di bis yang salah.
 .
Jamu.
Ini bukan sembarang jamu, Bro, tapi gule dari daging khusus, daging yang semasa hidupnya bisa menyalak. Tengkleng-nya konon paling enak. Anda bisa mendapatkannya di beberapa gang, di warung-warung sederhana. Biarlah orang kaya menyantap empedu dan daging kobra di restoran mewah. Bagi yang punya duit sedikit tak akan menyesal menikmati jamunya sendiri, paling mantap di dunia, dibanding restoran kobra dekat stasiun sekalipun.
 .
Sate Nol Dua (02).
Masih terkait dengan makanan nyeleneh. Jika anda mantan agen lotre atau penebak Porkas atawa SDSB, pasti akan menemukan di buku 1000 Tafsir Mimpi kode 02 untuk bekicot. Tapi kalau direka ulang, mungkin namanya berasal dari angka nol yang bulat seperti cangkang bekicot, dan angka dua adalah sepasang sungut lunaknya. Entah. Yang pasti, dagingnya enak, gurih. Sekali mencoba, anda akan datang untuk yang kedua.
.
Cinta, Abidin, Amir.
Jenis minuman oplosan, tapi tak bakal membuat penikmatnya mati massal, seperti yang pernah terjadi dalam ritual kaum pemuja hari kiamat itu. Meski memang dunia dekat kiamat, hadapilah dengan tenang. Tak usah panik, bahkan tak perlu kelewat mabuk, kecuali mabuk laut dan mabuk Facebook. Untuk menghadapi kiamatlah tampaknya minuman kita ini diciptakan: Ciu + fanta (cinta), anggur + bir dingin (abidin) dan anggur merah darah (amir). Minum pelan-pelan, nikmati warna, aroma dan sensasinya. Antara pejam dan terjaga, kau akan menemukan semua wanita bernama Cinta, setiap laki-laki bernama Amir, dan campuran laki-laki dan wanita bernama Abidin. (Selanjutnya, lihat Plat AB.)
 .
Plat AB, Plat L, Plat H.
Selalu ada isu sporadis di sebuah kota; disimpan jika ada gawean, dibuka jika adem, atau sebaliknya. Seolah serangan gerilya di masa agresi militer Belanda dulu. Penataan Malioboro. Parkir bawah tanah. Dan plat kendaraan. Khusus yang terakhir berhasrat membalik-namakan semua plat kendaraan bermotor menjadi AB. Pajak akan meningkat, kata petinggi pajak. “Kenapa kendaraan mereka memenuhi jalan dan bikin polusi di sini, tapi pajaknya masuk kas daerah masing-masing,” kata seorang ibu rumah tangga. Kota ini memang tempat bertemu semua plat kendaraan, bukan hanya antarkota bahkan antarpulau. Jika proses ini dipaksakan, maukah kelompok lawak Plat AB membuatkan dagelannya? Ya, Plat AB adalah kelompok lawak paling gres di kota ini: muda, ndeso, cerdas, kritis. Mereka tentu bisa bikin ketoprak atau dagelan, tentang efek buruk pemaksaan. Misal, plat yang bermacam-macam itu akan seragam. Ini sama saja memaksa orang berplat Suroboyoan menaiki kendaraan milik Amir. Atau, orang berplat Semarangan dipaksa mengutak-atik jetmatic milik Cinta. Kecuali kalau A + B = Abidin!
 .
Aku bocahmu.
Jangan kaget mendengar ini di jalan atau di alun-alun. Jangan berpikir bahwa anak yang dulu kau tinggalkan berpoligami datang mencarimu menuntut warisan. Atau bahwa anak yang dulu dikandung pacar gelapmu sudah besar, mencegatmu untuk sebuah pengakuan. Itu hanya teriakan yang menunjukkan bahwa aku geng atau kelompokmu. Jadi, justru pertanda aman. Kau bisa melanjutkan petualanganmu, dikawal bocah-bocah brandalmu yang setia dan manis itu.
 .
Bajiran ngangsu.
Setiap daerah, setiap kota, punya umpatan kunonya sendiri. “Diancuk”, “sontoloyo”, “khalera”, “asu”, “naskleng,” sudah sering kita dengar, campur-aduk, mulai di kaki lima sampai kantor pemerintah. Kadang menyatakan kegembiraan, kadang keakraban, kadang kegeraman. Tampaknya perlu juga pembaruan dalam umpatan semacam ini. Di kotamu “kurang ajar” menjadi “kurang asem”, “bajingan” jadi “bajigur”, maka di kota ini ada umpatan baru, “Bajiran ngangsu!” Artinya? Ah, semua juga tahu!
 .
Masangin, Mas Kribo, Mas Jokpin.
Ada hal-hal tertentu di kota ini yang sekilas tampak dungu tapi mengasyikkan, ganjil tapi berani, lucu dan main-main tapi lucunya tidak main-main. Kita ambil tiga sebagai wakil. Masangin (lihat Alkid), memaksamu menyewa kain penutup mata—rasanya kurang afdol dengan jaket atau selendang sendiri—lalu kau dilepas berjalan ke arah dua batang beringin di tengah alun-alun. Kau harus berjuang melangkah lurus supaya bisa lewat di antara kedua pohon itu. Tapi kebanyakkan mereka, terutama anak-anak muda, selalu melenceng bahkan sampai 90 derajat. Apakah pertanda generasi kita nanti kian sedikit dapat petunjuk jalan yang lurus? Entah. Yang jelas, permainan ini asyik, dan menjadi penyelamat malam Minggu banyak pasangan kencan.
Mas Kribo adalah nama sejumlah kedai bakso di kawasan selatan Alkid, ada di jalan Paris, Krapyak dan Jokteng Kulon. Perhatikan namanya, ganjil, bukan? Apanya yang kribo? Bukankah bakso bulat mulus bola pingpong? Tapi itulah, pemiliknya berani nekad, dan ternyata berhasil. Kedainya selalu ramai. Terakhir, kedai ini meluncurkan bakso aneka nama segala rasa. Bakso rudal, bakso bom, bakso balok, bakso torpedo, bakso urat berpilin dan lain-lain. Rasanya? Ada rasa mangga, coklat, keju, nanas, dan anggur. Jangan sekali-kali iseng bertanya, “Ada rasa lilin, Mas?” Sebab ketahuilah, butir bakso boleh unik tapi terukur.
Mas Jokpin, mungkin karena ia berada dekat Jokteng, sebutannya agak mirip. Tempat tinggal maupun pekerjaannya memang sama-sama di pojok. Maklum, kerjanya nulis puisi yang kian tersisih di kota ini. Jokpin itu akronim nama, sama seperti Hamka. Bedanya, Hamka menulis prosa dalam puisi, Jokpin menulis puisi dalam prosa. Kalau Hamka membuat orang menangis sedih dan tersenyum oleh happy ending, Jokpin bikin orang tertawa riang tapi meraung di akhir kalimat. Seolah digulung tubuh krempengnya yang lucu nyelekit.
 .
Ijab-qobul.
Bukan semata urusan penghulu dan negara, Mas, Dab. Juga urusan rakyat. Tentu saja, karena negara bukan pemerintah, ada rakyat di dalamnya. Kalau pemerintah bisa masuk ke urusan ijab-qobul sepasang pengantin, kenapa rakyat tak bisa masuk ke ijab-qobul sepasang istana? Jika ijab-qobul yang dicatat KUA menjadi istimewa—setidaknya membedakanmu dengan kawin siri—kenapa ijab-qobul yang dicatat Maklumat Sultan dan sejarah dianggap tak istimewa? Karena ini semualah, anda bertemu banyak spanduk di tiap penjuru, mengingatkan ijab-qobul Sultan HB IX dan Presiden RI pertama. Bulan madu Republik-Kesultanan. Apakah ini mesti dipisahkan, seperti memisahkan pasangan beda agama?
 .
SST, TSS.
Kalau anda ingin tahu kabar hari ini tanpa merasa sakit jantung, jangan baca berita-berita headline surat kabar tertua di kota ini. Baca saja pojok kiri bawahnya, ada secuil kolom bertajuk Sungguh-Sungguh Terjadi (SST), dan pada hari Minggu kolomnya bersambung ke halaman belakang. Semacam SST Jumbo yang memuat SST dalam Sepekan. Berbagai kejadian lucu, unik, sesekali datar dan biasa saja, terpampang. Misal, tentang Jumin tetangga si pengirim yang menelan gigi palsu waktu tidur dan ketika bangun tak bisa menemukannya. Tahu-tahu gigi itu melenting di kakus. Dijamin, anda tak perlu pusing memikirkan rencana wakil rakyat membangun tiang gawang raksasa di Senayan, mungkin sebagai persiapan Piala Dunia Bola Panas. Sukses SST, diikuti rubrik serupa di Merapi Pembaruan, anak koran tertua itu. Judulnya tinggal dibalik: TSS. (NB: Tak mau jadi epigon, kamus yang sedang saya susun ini baiknya dijuduli “Kamus Gaul Sebuah Kota.”)
 .
DEMIKIANLAH kutipan beberapa entri peninggalan Abdul Muin. Jadi, jika sekarang Anda membacanya, itu karena saya sengaja mengetik ulang, dan jelas tak semuanya. Hormatilah hak cipta, sekalipun milik yang sudah mati!
Saya menerbitkan sebagian kecil dengan beberapa maksud, hmm… sebenarnya tak sekadar menemani Anda minum kopi! Jika Anda berkenan.
Satu, untuk mengenang Abdul Muin, anak perantauan dari Sumantrah yang dengan caranya sendiri mencintai kota ini. Dua, honornya akan kupakai untuk melunasi hutangnya di warung Mbok Siti, perempuan baik yang selalu menyebut pulau kami dengan Sumantrah.
Terakhir, saya—sahabatnya, yang sama-sama tak mau menulis buku yang membuat orang sekejap kaya-raya atau terjun bulat-bulat masuk sorga—sengaja menerbitkan rancangan kamus ini dengan misi khusus: menyelamatkan koleksi dan proyek rintisan Abdul Muin dari para “pendekar copy-paste”! Sebab, di ujung gema tahlil malam itu, kulihat mata-mata kelereng kawan sekosnya saling bergulir liar, seperti hendak menerkam kamus segar di hadapan mereka! Setidaknya lewat sedikit publikasi ini, jika kelak salah seorang di antara “pendekar” itu menulis kamus serupa bahkan mungkin dengan judul lebih dahsyat, toh Anda semua sudah tahu bahwa Abdul Muin telah lebih dulu memulainya. Itu saja. (*)
 .
.
Rumahlebah Yogyakarta, April 2011

Raudal Tanjung Banua mengelola Komunitas Rumahlebah dan Jurnal Cerpen Indonesia di Yogyakar ta. Buku cerita pendeknya adalah Parang tak Berulu (GPU, 2005).
 
 
 

Tidak ada komentar: