Kamis, 10 November 2011

CERPEN KORAN TEMPO


Tuan Alu dan Nyonya Lesung
Oleh
Zelfeni Wimra



 



TUAN Alu memeriksa setiap pori-pori di kepalanya. Bagian ujung dari tubuhnya yang selalu tertumbuk ke bumi itu kini ia sebut kepala. Ini bermula sejak sebilah parang memangkas badannya. Sejak ia terpisah dari akar yang membesarkannya. Sejak ia memutuskan untuk menerima hidupnya dengan perasaan terbalik.
Dahulu, ia hanya mengenal pucuk yang setiap detik tumbuh ke atas menuju puncak. Sekalipun yang disebut puncak itu hanyalah awang-awang. Kini ia tidak lagi berpucuk. Ia kini mengenal ujung dan pangkal. Bagian pangkal ia namai saja dengan kepala. Jadi, kalau ada yang berteka-teki, siapa yang menguras hidupnya dengan kelapa di bawah dan kaki di atas? Tuan Alu akan menjawab: itulah dirinya.

Dahulu, ia mengenal akar yang setiap detik mengedap-menyusup ke perut bumi. Menyerap sari tanah untuk di kirim ke batang, ke daun hingga terbitlah buah dan bunga. Kini ia hanya tahu dengan atas dan bawah. Ke atas untuk berayun dan ke bawah untuk menumbuk.

Tuan Alu pun sudah mengganti cara ia menggunakan perasaan. Ketika pangkal batangnya di tebang parang, ia merasakan sakit. Sangat sakit.Tapi, secepat kilat ia paksa dirinya menukar perasaan sakit itu dengan perasaan yang biasa-biasa saja. Ia tekankan pada dirinya: diperlukan banyak kesakitan untuk keluar dari kesepian.
Sesungguhnya, Tuan Alu dahulunya tumbuh sebagai sebatang kopi yang ceria. Akarnya kuat. Batangnya liat. Daunnya rimbun, hijau gelap. Ulat bulu sangat senang mengakhiri petualangannya di salah satu dahan Tuan Alu. Membungkus badannya dengan serat kepompong lalu menjadi kupu-kupu. Sekawanan semut hitam juga nyaman bersarang di tampuk-tampuk daun Tuan Alu. Begitu juga dengan tupai. Sekalipun sering terjatuh ketika melompat dari ujung dahan Tuan Alu, namun tupai tak pernah bosan berayun dan meloncat di situ.
Sungguh, kehidupan yang sangat nyaman bagi Tuan Alu. Ia terbilang paling rimbun di belantara kebun tinggal itu. Akan tetapi, siapa yang tahu, ia tampak selalu bahagia, selalu riang dan rindang, rupanya sedang mangandung malang. Ia mengidap sakit sepi. Sepi. Sepi di tengah keramaian belantara. Tumbuh ceria, riang, dan rindang lalu setiap musim menerbitkan buah saja, ia rasakan tidak cukup. Selalu ada yang mengentak-entak dalam umbut batangnya.

Teman-temannya yang lain, yang sama-sama tumbuh di kebun itu banyak yang iri. Kelemahan dan kesalahannya dicari-cari. Ia dimaki sebab tumbuh susah-payah hanya untuk menerbitkan buah yang pahit. Kasihan pada manusia yang suka kopi. Ia dicerca, karena punya anak banyak. Selepas musim berbuah, anak-anak kopi akan bermunculan tidak hanya di sekitar batangnya. Buah yang keluar dari pencernaan luak pun bisa tumbuh di mana pun terserak.

Tuan Alu, di masa itu, sudah mulai berani menyimpulkan takdirnya. Hidup adalah pertumbuhan yang pahit. Buahnya juga pahit. Ketika sebilah parang berdesing, memangkas batangnya, ia berusaha cepat sadar, barangkali ada kehidupan baru yang lebih baik untuknya. Barangkali ia akan segera keluar dari kepahitan, dari kesepian. Ia ucapkan selamat tinggal kepada teman-temannya.

Benar. Ada kehidupan baru untuknya. Sisi bagian pangkal yang dulu menopang batangnya kini dibentuk sedemikian rupa yang jika diperlukan akan digunakan untuk menumbuk cekungan batu. Tuan Alu menamainya kepala sekalipun posisinya selalu di bawah. Kehidupan yang terbalik. Perubahan nasib yang terbalik. Tapi ia menemukan sesuatu yang baru. Sakit sepi yang ia kandung perlahan kikis. Apalagi sejak ia diberi seorang teman: Nyonya Lesung.

Sebenarnya tidak jelas, siapa yang dipersiapkan untuk siapa? Apakah Tuan Alu didatangkan dari belantara untuk Nyonya Lesung? Atau sebaliknya, Nyonya Lesung didatangkan dari sungai untuk Tuan Alu? Yang jelas, bagi Tuan Alu, sejak kehadiran Nyonya Lesung, hidupnya berubah sama sekali. Selain telah berhasil melepaskan diri dari kesepian, ia juga telah berhasil menukar perasaannya. Pengalaman yang dulu dirasakannya sakit seperti ketika menanggung luka akibat tebasan parang, telah ia ganti dengan rasa senang. Bersama Nyonya Lesung ia temukan keasyikan baru. Sekalipun itu, jika dinilai dengan perasaannya semasa masih berwujud sebatang kopi, sungguh menyakitkan.

Ia periksa lagi kepalanya, kini, begitu banyak luka di sana. Ia mulai melupakan sakit luka kepalanya itu sejak tangan-tangan yang setiap hari mengayunkan kepalanya menghentak ke cekungan tubuh Nyonya Lesung menghantam tumpukan biji kopi. Biasanya, ia dan Nyonya Lesung saling hentak, saling tikam, saling gesek di atas tumpukan padi yang akan dikelupas jadi beras. Atau di atas timbunan beras yang akan jadi tepung. Kini diganti dengan biji kopi yang harus dikelupaskan.

Seketika, Tuan Alu teringat masa lalunya. Mestikah kini ia menumbuk buahnya sendiri. Biji-biji kopi itu, dalam istilah manusia adalah juga darah dagingnya sendiri. Ini pilihan yang sangat berat. Tapi pada telapak tangan-tangan yang selalu mengayun tubuhnya itu, sepertinya sudah tersurat takdir Tuan Alu.

Sedikit demi sedikit, Tuan Alu kembali merasakan perasaan yang selama ini sudah ditinggalkannya. Rasa sakit luka yang sudah dilupakannya terbit lagi. Ia tidak terima ditumbukkan ke biji-biji kopi. Ia saksikan dengan jelas, biji-biji kopi itu terkelupas. Dirinya seakan dicelupkan ke dalam lendir cabai paling pedas.

Nyonya Lesung sudah membujuknya. Ia bisikkan kepada Tuan Alu, “Jangan bersedih. Sedih itu sama dengan ngarai yang akan menggelindingkan kita kembali ke jurang sepi. Jangan berpikir, bahwa kau saja yang pernah luka, Sayang.

“Aku juga sudah kembali dari sakit menanggung sakit sepi itu!”

Nyonya Lesung pun mengulang kisah hidupnya pada Tuan Alu. Tuan Alu sebenarnya sudah bosan mendengar masa lalu Nyonya Lesung yang teramat nyinyir telah diceritakan padanya. Namun, karena sadar, dirinya sedang ingin ditemani, Tuan Alu menyimaknya seperti sangat menyukai perlawanan Nyonya Lesung pada nasibnya.

Nyonya Lesung memulai kisahnya dari semenjak ia terguling-guling digusur arus deras. Hujan paling garang turun berhari-hari dari langit. Air sungai meluap. Akan tetapi, ada satu rahasia yang belum pernah diceritakan Nyonya Lesung kepada Tuan Alu. Sengaja ia tahan menceritakannya. Ia takut menyinggung perasaan Tuan Alu yang kini sangat dicintainya.

“Sayang, kau tahu, aku ini batu. Keras. Tapi, aku takut pada air. Karena aku memang telah ditakdirkan keras, kami lawan perasaan takut itu. Ketakutan kami ganti dengan cinta. Maafkan aku, Tuan, sebelum bersamamu, aku sudah pernah mencintai air.

“Setelah hujan deras berhari-hari dan aku tergusur ke tepi, aku mulai memasrahkan diri. Jika cara mengungkap perasaan air seperti itu, aku belajar memahaminya. Sekali lagi, maafkanlah aku, Tuan.

“Dahulu tubuhku tak punya lubang. Semenjak terguling ke tepi, persis di bawah akar sebatang beringin yang kokoh, ada jalan air di atasku. Ujung akar beringin yang berpilin meneteskan air itu ke tubuhku.Tubuhku ditusuk setiap hari. Akhirnya aku berlubang. Sakit, Tuan. Dilubangi itu sakit. Tapi sakit juga sudah tidak berpengaruh lagi sebab sudah kuganti menjadi cinta.

“Seperti dirimu, aku ditemukan sepasang tangan. Ia melihat lubang di tubuhku sebesar kepalannya digenangi air. Sepasang tangan itu mandi di lubangku. Kemudian aku digelandang ke luar dari sungai. Tentu saja aku terjauh dari titik-titik air kekasih pertamaku itu.

“Tahukah kau, Tuan. Seperti sering kuceritakan padamu, aku ini induk segala sakit. Lepas dari tusukan air, aku disambut tikaman pahat. Lubangku diperbesar oleh pahat. Kepadaku ditekankan keharusan bersabar dan yakin, kehidupan baru telah menungguku. Aku dipersiapkan menjadi Nyonya Lesung. Tuan Alu, kekasih pendamping hidupku juga telah dipersiapkan. Hidup bersama air tidak menghasilkan banyak perubahan. Hanya sebatas alasan, bahwa kelembutan titik air bisa melubangiku!

“Kata tangan yang memahatku, sebetulnya lebih tepat memperkosaku: hidup bersama Tuan Alu akan lebih menyenangkan. Lebih jelas hasilnya.

“Jujur, pertama kali merasakan entakanmu di lubangku, aku seketika terbayang pada kelembutan sentuhan air. Ampun, Tuan. Pada persentuhan kita yang pertama itu aku diam-diam telah membanding-bandingkanmu!”

Tuan Alu merangkul Nyonya Lesung.

“Sekarang kita lupakan masa lalu masing-masing. Kita tidak bisa hidup dengan masa lalu. Kita sudah dibentuk dan ditetapkan alam untuk bersatu. Kita tidak mungkin lagi bercerai. Di mana pun, Tuan Alu adalah pasangan Nyonya Lesung!”

Sejak itu, memang, sampai cerita ini diterbitkan, Tuan Alu dan Nyonya Lesung tidak pernah terpisahkan. Sekalipun hanya satu dua orang menumbuk padi, tepung atau kopi, Tuan Alu dan Nyonya Lesung selalu terlihat bersama.

Kecuali, barangkali, alam berkehendak lain. Misalnya, karena jarang digunakan, ujung badan Tuan Alu kembali menerbitkan tunas lalu menjadi pucuk. Akar pun tersembul dari pangkalnya, menyerap makanan dari sari pati tanah dan akhirnya Tuan Alu tumbuh lagi sebagai sebatang kopi.

Begitu juga dengan tubuh Nyonya Lesung. Lantaran jarang ditumbuki Tuan Alu, lubang di badannya kembali mengeras, kembali ke bentuk semula, seperti sebelum dilubangi air. Ia pun menggelinding lagi ke arus sungai. Berendam ke dalam sunyi abadi. Ya, jika alam berkehendak lain. (*)
 .
.
Padang, 2011
Zelfeni Wimra lahir di Sungai Naniang, Limopuluah Koto, Minangkabau, Sumatera Barat. Giat di kelompok studi Magistra Indonesia, Padang.








Tiket ke Tangier
Oleh
Avianti Armand



 
 
 
 
 
KAMU tak akan menemukannya di sana. Sembilan belas tujuh tiga bukan tahun yang baik untuk jatuh cinta. Tapi suatu hari, di tempat itu, dia mencium bibirmu. Kamu langsung yakin bahwa dia adalah cinta sejatimu.
Kafe Baba. Aku bisa melihatmu duduk di kursi yang sama, meja yang sama, di samping jendela yang sama. Biru yang melapisi bingkai kaca itu selalu baru, aku tahu. Bau samar terpentin akan berbaur dengan kopi dan kayu manis. Dan debu. Debu yang menempel pada tembok, sela-sela engsel, lipatan meja, kertas pelapis dinding bermotif sulur-suluran di belakang sana, dan lis kayu lusuh yang dengan patuh menyusuri ruang. Kita tak tahu berapa umurnya. Kafe tua ini tak pernah berubah.

Kamu akan memesan secangkir teh herbal, selalu mint. Lembar-lembar daun hijau itu akan mengendap di dasar gelas, membuat merah teh tak bisa terlalu dominan. Lalu kamu mengeluarkan sebuah buku, selalu The Sheltering Sky, dari tas selempangmu. Kamu tak akan membacanya. Hanya memegangnya terbuka, dengan sebelah tangan, persis di halaman empat puluh satu. Tahun kelahiranmu.

Kamu akan melihat keluar jendela, ke jalan yang selalu sibuk. Kamu selalu tertegun melihat begitu banyak orang asing di kota ini. “Kita juga asing,” katanya siang itu. Dua di antara ribuan. Mungkin puluhan ribu. 

“Tapi,” tambahnya, “orang asing sekedar orang yang belum kita kenal.”

Lalu dia mengulurkan tangan dan kalian berjabatan untuk pertama kali. Mimiknya begitu serius, kamu merasa seolah bersalaman dengan seorang ibu negara. Sesudahnya, kalian tergelak, seperti kanak-kanak. Itu membuat kamu dan dia tak lagi asing. Tidak di tengah kota ini. Tidak antara kalian berdua.

Lagi pula, setelah sekian lama, bukankah kamu tahu beberapa kalimat pendek dalam bahasa Darija dan Tarifit Berber? Berapa lama yang kamu butuhkan untuk menghapal kata-kata tersebut? Setahun. Mungkin dua tahun. Berapa lama waktu yang kamu butuhkan untuk mengembalikannya ke sini? Sedetik? Dua detik? Mungkin sekedipan mata. Di antara orang-orang yang berlalu-lalang, matamu tak pernah luput menangkapnya.

Dari jendela itu kamu melihatnya berjalan mendaki bukit. Jaket linen dan celana katun. Kemeja tipis dengan motif bunga-bunga kecil berwarna musim gugur. Kaca mata hitam untuk menangkis mata hari yang terlalu miring. Tas kulit coklat di tangan kiri. Dan topi jerami. Satu-satunya benda yang kini mengikatnya denganmu. Sejenak dia hilang ditelan bayangan gedung-gedung toko tua dan pohon-pohon kurma, tapi dia akan muncul lagi ke tengah cahaya, lalu hilang, dan muncul lagi, hilang dan muncul lagi. Hatimu berdebar-debar. Bagaimana bila dia hilang sebelum sampai ke mari?
 .

TAPI dia selalu sampai. Tepat di pintu itu sosoknya akan muncul. Dengan warna yang sama dan cahaya matahari di punggungnya. Medina tua ini tak pernah mengecewakanmu. Di pintu itu, kamu selalu menemukan dia. Mata kalian beradu sejenak. Kamu buru-buru menunduk malu, menyembunyikan wajah di buku yang kamu pegang dengan tegang.

“Kosong?” Dia tiba-tiba telah berdiri di samping mejamu, menunjuk ke kursi di depanmu. Seperti orang tolol, kamu celingukan ke kiri dan kanan, tak yakin dia sedang berbicara padamu. “Kosong?” ia bertanya lagi. Kali ini kamu tak bisa mengelak. Kepalamu mengangguk. Tapi bibirmu tak mengatakan apa-apa. Seorang pelayan berkepala botak berwajah ramah mendekat, dan berkata padamu, “Ahh, kekasih Anda datang juga akhir nya,” sambil mengeluarkan nota, siap mencatat pesanan.

Gelagapan, kamu hendak memprotes, mengoreksi kesalahpahaman itu, tapi hatimu menolak. Maka mulutmu hanya ternganga gagu. Lucu. Perempuan itu memandangmu geli dan tanpa sungkan tersenyum padamu. Dia memesan secangkir kopi, lalu duduk dan menyilangkan kaki. Matanya memandang ke balik jendela. Ke langit. “Tangier selalu biru,” ujarnya, seolah pada diri sendiri.

Begitu juga katanya, ketika kalian berdiri di tepi laut Mediterania. Pasir begitu lembut di bawah telapak kalian yang telanjang. Bebera pa anak bermain bola dengan seru, meninggalkan jejak acak kaki-kaki kecil. Teriakan mereka menghalau camar yang hendak singgah.

Di depan kalian, laut dan langit beradu biru. Kamu dan dia tak bisa bersepakat siapa pemenangnya. Di kota itu, laut dan langit juga beradu usia. Entah mana yang lebih tua, tapi kalian pernah melihat langit begitu keriput dan muka laut sekusut kulit pohon wilow.

“Kadangkadang Tuhan malas menyetrika,” katamu. Dia tertawa. Geligi putihnya tampil begitu rapi seperti sederet penari angsa di panggung merah muda. Kamu terpesona, dan seketika menjelma penonton fanatik di baris depan. Saat dia mengatupkan bibir, kamu nyaris bertepuk. Tanganmu sudah terangkat di depan dada ketika mata kalian saling mengaca. Kamu terpana. Biji matanya berwarna biru. Dalam. Seperti biru yang melapisi bingkai kaca itu. Dan membekukan waktu dalam gelas pasir.

Tapi di meja itu, kamu belum tahu. Kamu cuma berani mencuri-curi pandang ke wajahnya yang panjang. Wajah yang mengingatkanmu pada hari-hari hujan di negerimu. Entah mengapa. Mungkin karena melihatnya memberimu perasaan sejuk. Kamu, seorang pengembara di negeri asing, tiba-tiba merasa begitu dekat dengan rumah. Kamu bahkan berani bersumpah bahwa saat itu kamu mendengar ceriap gelatik, burung-burung kecil yang biasa hinggap di pohon ketapang depan kamarmu.

Lagilagi dia tertawa. “Tak ada gelatik di sini,” katanya, “yang ada hanyalah burung-burung merpati.” Dia benar. Sambil berjalan di antara dinding-dinding tinggi medina, matamu sering menangkap kelebat mereka, yang sekedar lewat atau mampir mematuki bijian dan remah roti di sela batu. Di sebelahmu, dia tak henti-henti menghitung langkah. “Untuk apa?” Ia mengedikkan bahu. “Tak semua hal harus berguna,” jawabnya sambil lalu. Belakangan dia mengaku, dia menyukai hal-hal yang akurat. Seperti jarak dari Kafe Baba ke Kasbah. Jarak dari pintu hotelnya ke kedai penjual mechoui. Juga waktu tempuhnya.
 .

TAPI di ganggang yang berkelok kelok ini, berhitung adalah hal yang pelik. Memang ada beberapa tanda yang kalian ingat: air mancur di tengah plaza, kebun jeruk di balik gerbang kayu, mesjid berkubah kuning, kios penjual bunga, rumah sudut berarsitektur kolonial. Namun ketika di lorong berikut, dan berikutnya lagi, setiap hal seperti mengulangi diri mereka sendiri, hingga akhirnya semua terlihat serupa, dengan segera kalian tahu bahwa kalian telah tersesat.

Sejenak kamu bimbang. Dia menggoreskan ujung sepatu di muka jalan yang berlumut. Angin dingin bertiup tiba-tiba entah dari mana, mendorong kalian saling mendekat. Hari masih siang dan matahari begitu cerah. 

Bayang-bayang kalian memanjang hingga ke satu kelokan di ujung jalan. Kamu menatapnya. Dia menatapmu. Tanpa sepatah kata pun, kalian sepakat, tersesat hanya sebuah perjalanan yang lebih panjang. Kamu menggenggam tangannya. Dia sedikit menggelayut. Bergandengan, kalian menyusuri medina tua itu.

Sebuah pasar baru saja dimulai di balik kelok pertama. Di sepanjang lorong berderet penjual sayur dan telur. Tembakau dan cerutu. Kerajinan kulit dan sepatu. Seorang lelaki dengan kostum Tsar Rusia membawa keranjang untuk berbelanja bahan makanan. “Siapa dia?” bisikmu pada seorang pedagang barang antik. 

“Tsar,” jawabnya tak sabar. Setiap orang di sini tahu itu. Tsar tinggal di lereng bukit dengan sekelompok orang cebol yang sesekali menari untuk menghibur tamu-tamu undangan makan malamnya. Ia juga punya seekor ayam jago yang diberi nama Birdie.

Kalian singgah di sebuah kios yang menjual berbagai macam busana. Dia memilihkan satu rompi berwarna coklat untukmu. “Cocok dengan kulitmu,” ujarnya, sambil menempelkan rompi itu ke lenganmu. Untuknya, kamu membelikan sebuah topi jerami berwarna terang. Dia mengenakannya dengan senang. “Aku akan memakai topi ini selama-lamanya,” katanya, dengan mata sekilap bintang. Hatimu yang melonjak tertahan sejenak di kerongkongan.

Melewati kelokan kedua, kalian berhenti, tepat di tengah Souk Dakhli. Pelataran itu nyaris kosong. Beberapa perempuan Rif berkostum warna-warni menawarkan susu dalam botol-botol kusam dan roti yang kelihatan keras. Selebihnya cuma bangunan-bangunan tua berarsitektur Maroko yang muram. Beberapa bahkan tampak sedih. Jendela-jendela usang yang lepas dari engselnya. Pintu-pintu tertutup yang telah kehilangan warna. Di sana, kehidupan seolah kadaluarsa.

“Selamat datang di pemukiman para penulis, Tuan,” satu penjaja menyapa, “sebotol susu untuk menghilangkan dahaga?” Kamu menggeleng. Terlalu kecewa untuk minum susu.

Di kantongmu tersimpan sederet nama yang ingin kau temui di sini—Paul Bowles, Mohamed Choukri, Jean Genet, dan Tennessee Williams. “Nama-nama itu cuma legenda, Tuan. Mereka tak benar-benar ada.” Perempuan-perempuan itu mengerumuni kalian sambil mendesak-desakkan jajaan mereka. Kamu cuma diam. Protesmu akan sia-sia. Waktu memang bisa mengacaukan segalanya: ingatan dan mimpi, kenyataan dan imaji. Dia segera menggeretmu, berlalu dari situ.
 .

KETIKA akhirnya kalian tiba di taman Mendoubia, semua telah berubah. Sebentar lagi, Grand Socco akan dibanjiri turis-turis dari berbagai negara yang melenggang, seperti parade karnaval di musim panas. Sebentar lagi kafe-kafe akan menebar meja dan kursi hingga ke jalan. Kamu tertegun melihat gemerlap lampu-lampu yang menyala serentak dari deretan kios rempah-rempah, buah-buahan, dan barang bekas. Tak jauh dari sana, berderet taksi biru bergaris kuning. Di jalan, mobil-mobil melintas cepat seperti waktu. Berapa lama semua sudah berlalu? Dua puluh tahun? Tiga puluh? Kamu tak peduli. Dia tak peduli.

Pohon beringin raksasa berusia delapan ratus tahun itu masih ada. Gereja Anglikan berdinding batu itu masih tegak berdiri. Senja begitu merah dan kalian tak ingin berpisah. Malam mendekat dari tepi kota dan kaki kalian telah lelah. Kamu menatap matanya yang biru. Sembilan belas tujuh tiga bukan waktu yang baik untuk jatuh cinta. Tapi suatu hari, di tempat itu, kamu mencium bibirnya. Dia langsung yakin bahwa kamu adalah cinta sejatinya. Malam itu waktu berhenti.

“Nenek?” Aku berbalik. Tanpa suara, Abe sudah berdiri di pintu kamar. Kepalanya hampir menyentuh ambang. Aku memandangnya dengan kagum. Anak itu seolah bertumbuh besar dalam semalam. Seingatku belum lama dia menangis karena kucingnya kabur. Sepertinya baru kemarin dia mengamuk ketika layangannya putus dan rusak tersangkut pohon. Bocah cengeng dan pemarah itu kini telah pergi entah ke mana. Mungkin anak-anak memang menjadi dewasa lewat kehilangan kehilangan.
“Kita pergi sekarang?” Ia mendekat. Aku mengikuti matanya yang mendarat di tanganku. Segera kubuka laci dan memasukkan lembar kertas yang kupegang ke dalamnya. Kurasa dia tahu. Dia cuma pura-pura tidak tahu. Di dunia ini, tak ada rahasia yang abadi.

Seharusnya kamu dan dia tidak berpisah. Namun dengan yakin kalian berjanji untuk bertemu lagi empat bulan kemudian. Dia pergi, dan tiga bulan sesudah malam itu, mendapati dagingmu di tubuhnya. Itu cukup untuk membuatnya tak bisa tidur empat hari penuh. Di hari kelima dia membeli tiket ke Tangier untuk menemuimu. Di hari keenam dia menemui dokter. Dia tidak ingin membuatmu takut. Tapi manusia adalah makhluk yang rapuh. Dia tak bisa melakukannya. Kamu tak pernah tahu.

Aku meraih kerudung hitam di atas tempat tidur, berkaca dan mencoba tersenyum. Suamiku takkan menyukai wajah sedihku di pemakamannya, sama seperti tiga puluh delapan tahun yang lalu, ketika ia memelukku dan berkata, “Aku mencintaimu. Aku ingin kamu bahagia.” Ia menepati janji. Mata tulusnya tak pernah keberatan dengan mataku yang sering pergi ke satu tempat di masa lalu. Laci itu menyimpan lembar-lembar yang tak membiarkanku pergi.
Kurasa, aku tak pernah bisa meng atasi kehilangan.

Di tanganku, pasir tak menetes sebutir pun, meski kamu selalu kembali untuk menemuiku. Tahun demi tahun. Tiket-tiket itu tak pernah terpakai. Tapi aku selalu datang ke Tangier untuk menemuimu. (*)
 .
Catatan
Darija dan Tarifit Berber, bahasa sehari-hari yang digunakan oleh penduduk Tangier, Maroko. The Shel tering Sky, novel Paul Bowles, penulis Amerika Serikat yang menghabiskan hidupnya di Tangier. Kasbah, sebuah tipe kota yang lebih menyerupai benteng. Mechoui, salah satu makanan khas Tangier berupa daging kambing panggang yang dibaluri paprika, jintan, dan garam. Souk Dakhli, disebut juga Petit Socco, atau plaza kecil, pusat kota tua Tangier yang telah ditinggalkan. Rif, daerah pegunungan di Tangier. Mendoubia, sebuah taman di dekat Grand Socco atau plaza besar, yang terletak di antara kota tua dan pusat kota baru di Tangier. Di Grand Socco terdapat pasar malam yang menjual barang antik, buah-buahan, dan rempah rempah.
 .
.
Avianti Armand tinggal di Jakarta. Buku-bukunya adalah Negeri Para Peri (kumpulan cerita pendek, 2009) dan Perempuan yang Dihapus Namanya (kumpulan puisi, 2010).
 
 
 

Tidak ada komentar: