Senin, 07 November 2011

CERPEN KORAN TEMPO



 

Orang Inggris
Oleh
Benny Arnas




ENTAH bagaimana harus kumukadimahi. Yang terang, tiba-tiba lelaki itu hadir saja. Ia kerap menyelinap dalam mimpiku (sebagaimana dirawikan Al Ramni, kitab perihal kepercayaan orang-orang Sumatera; adapun tanda-tanda yang menyertainya menunjukkan itu adalah mimpi yang sahih). Namanya pernah menyeruak dari mulut beberapa kakek pemakan daun—yang mengaku berusia di atas 153 tahun––di paha Gunung Jempol ketika kami bercakap-cakap. Ia juga terserlah dalam ingatan tentang kehidupanku di masa lalu. (Tentu tak perlu kutanya: apakah kalian juga meyakini adanya reinkarnasi?)


PADA tanggal 19 September, 230 tahun yang lalu, ia meninggalkan Benteng Marlborough. Di waktu yang sama, aku meninggalkan Lubuklinggau menuju Jambi dengan berkuda. Di Pargarradin, kami berpapasan di semacam simpang yang membelah rimba. Kami saling melempar senyum. Keheranan menyergap ketika kudapati ia tak menunggang kuda. Perasaanku mengatakan, ia akan melakukan perjalanan jauh. Keherananku bertambah kala kusadari bahwa rambutnya berwarna kuning rotan. Setahuku, tak pernah ada seorang berbau kompeni menyusuri hutan dengan berjalan kaki. (Kompeni? Ah, mengingat kata itu membuat jurang di dadaku makin menganga.) Ia bagai mengendus isi kepalaku. Ia mendekatiku dan berkata (bukan merayu), sudikah aku memberi tumpangan. Ah, ia terlalu percaya diri. Aku tak terlalu menyukai lagaknya. Lagi pula, tak lazim seekor kuda ditunggangi dua orang. Ia juga orang yang baru kukenal. Aku tak tahu apakah ia orang baik-baik atau sebaliknya. Dan belum tentu kami memiliki tujuan yang sama.

Baru saja hendak kutanggapi, ia mengulurkan tangan. Kami berjabat tangan. Erat. Ia menatapku hangat. Aku alihkan pandangan.Tiba-tiba aku merasa ada sesuatu yang tak biasa. Ia menyebutkan nama. Nama yang sangat tidak Melayu. Nama yang bisa kulafal namun tak yakin mampu kutuliskan. Baru saja kusebut namaku, ia langsung bertanya (bagai memastikan), apakah aku akan melewati Kalindang.

O, bagaimana ia tahu!

Aku memang akan ke Jambi. Namun, aku berencana menyambangi Kadras, Singkut, Gunung Ayu, dan Kalindang, terlebih dahulu. Jangan-jangan ia memang orang baik hingga Tuhan berkenan menjatuhkan keberuntungan atasnya; bagai mengutusku untuk memudahkan perjalanannya.

Tanpa meminta persetujuanku, ia menginjitkan sebelah kaki lalu melompat ke atas pelana. Duduk di belakangku. Sembari berteriak kuentakkan tali kekang. Seperti biasa kuda itu akan meringkik beberapa kejap sebelum mengangkat rendah kedua kaki depannya, dan melaju.

Kukatakan kepada Charles––demikian aku memanggil kawan baruku itu––tentang daerah tujuan akhirku. Entah, apakah ia memang tak menetapkan tujuan sebelumnya, atau sejatinya ia memang hendak ke Tanah Batanghari Sembilan, aku tak mengerti. Tiba-tiba saja ia memintaku membawanya ke Jambi. Lagi, aku memenuhi keinginannya. Ah, bagaimana aku sangat baik hati hari itu.

Aku tunaikan semua keperluanku di daerah-daerah yang kusinggahi. Membeli satu kantung tembakau di rumah pesirah di Kadras. Membeli setengah pikul terong panjang dari para petani di perkebunan rakyat di Singkut. Membeli dua ikat sapu lidi dari pembuat gula aren di Gunung Ayu. Di Kalindang sendiri, aku membeli sekeranjang kapulaga di perkebunan dekat perbatasan.

Ketika kutanya apa yang hendak ia lakukan di Kalindang, ia memintaku melupakan pertanyaan itu. Sebenarnya aku sedikit tersinggung oleh sikapnya, tapi aku berusaha tak mengambil hati. Aku tak ingin bertanya lebih jauh sebab aku memang bukan orang yang nyinyir. Ia hanya mengatakan bahwa, di Jambi nanti ia hendak berburu murai. Aku tergelak. Kukatakan, di rimba sepanjang anak Sungai Musi, burung itu juga banyak beterbangan. Ia terkejut. Ia tepuk bahuku bagai memastikan kesungguhan kata-kataku. Aku mengacuhkannya. Kukatakan dengan sedikit berseloroh, apakah karena kabar usang tentang burung itu, ia hendak membatalkan niat ikut denganku, apakah ia minta diantar balik ke rimba tempat kami bersua tadi, atau bahkan minta ditunjuki dusun-dusun di Musirawas yang terbentang di sepanjang tubir anak Sungai Musi. Ia setengah terkekeh. Aku tahu ia malu dan tak enak hati.

Sesampai di Jambi, aku antar apa-apa yang kubawa dari tempat-tempat yang kusinggahi tadi ke rumah-rumah penduduk yang memesannya. Ya, aku adalah pedagang sambungan. Demikian orang-orang menyebut apa yang kulakoni. Pekerjaan itu bukan untuk mencari untung, tapi untuk membuat pengembaraan memiliki sedikit alasan. Aku sendiri, sejak ditinggal kekasih yang mati ditembak kompeni, kerap menyusuri punggung Bukit Siguntang seorang diri.

Aku bertanya, mau ke mana lagi ia? Apakah perlu kubantu, paling tidak kukawani, berburu murai? Ia menepuk dahi. Ugh! Aku lupa! Kita harus membeli senapan angin, katanya seolah baru menyadari kealpaannya. Atau… apakah kau membawa panah, tanyanya sambil melihat ke barang-barang bawaanku di pelana kuda.

Aku tersenyum kecil. Kutunjukkan ketapel yang sedari tadi kukalungi. Kuambil sebiji kerikil. Kupinta ia menunjuk sembarang benda. Telunjuknya mengarah ke bawah sebatang pohon. Jaraknya empat kaki dari kami. Sebuah pauh, jenis mangga-manggaan seukuran kedondong, tergeletak. (Bila ingin merasai seasam-asamnya buah, ciciplah pauh. Serta-merta muka akan kusut seperti kain santung, kain yang sudah diseterika saja permukaannya kerut seribu.) Tampaknya pauh itu baru saja jatuh dari pohon.

Kuambil kerikil sebesar biji salak. Kumasukkan ke kantung karet ketapel. Kulepas tembakan. Das! Pauh bergerak mundur sejari kelingking. Buah itu sudah mengandung kerikil. Aku tersenyum jemawa. Charles mengangguk-angguk sebelum mengacungkan jempol kanannya ke arahku. Ia memungut kerikil-kerikil yang ada di dekatnya. Ia dapat dua genggam. Disimpannya di kedua saku celana. Kuserahkan ketapel kepadanya. Kami ikatkan kuda di sebatang pohon onlen. Kami memasuki rimba.

Seperempat perjalanan, Charles mengatakan bahwa ini adalah kali ketiga ia berburu murai di situ. 

Kata-katanya benar atau tidak, aku tak tahu. Kupikir ia sedang menyindirku yang sedari tadi berada di depannya seolah menjadi penunjuk jalan. Kupelankan langkah. Ia berjalan di depan. Ia katakan pula, ia sudah berkeliling Sumatera sejak 10 tahun yang lalu. Dan hingga kini ia benar-benar tak tahu kalau murai tak hanya terdapat di Jambi. Kutanyakan, apakah ia pernah mengunjungi Simpang Semambang, Muara Kelingi, Suro, Karangpanggung, Maur…. Ia menggeleng. Aku tersenyum miring, mengejek.

Kelak aku akan ke sana untuk melihat murai-murai itu, ujarnya datar, seolah menyangsikan kata-kataku.

Kini ia yang balik bertanya. Tentang pekerjaanku. Matanya berbinar ketika mendengar jawabanku. Kau juga pengembara, tebakku dengan raut semringah. Ia menggeleng sebelum mengangguk ragu. Aku orang yang suka bepergian demi ilmu dan kebahagiaan, katanya. Sama saja, sambarku. Tidak, jawabnya tak kalah cepat. Aku bekerja untuk perpustakaan pribadiku di Greenwich, imbuhnya.

Perpustakaan? Aku sangat tertarik dengan perpustakaan. Terdengar sangat beradab. Maukah kau mengajakku ke sana, pintaku. Ia melipat daging dahi. Kau sungguh-sungguh, tanyanya seolah tak percaya. 

Aku mengangguk yakin. Baiklah, katanya. Tapi ada syarat, lanjutnya sembari menarik kedua ujung bibir melengkung ke atas. Aku tak sabar mendengarkan syarat yang ia ajukan. Ia kembali tersenyum. Kali ini lebih lebar dan lebih lama.

Biarkan aku yang memimpin pengembaraan ini….

Satu bulan? Itu sudah paling lama.

Baiklah.

Maka, bakda mendapatkan enam ekor burung murai lalu menyimpannya dalam bakul anyaman yang kubawa, ia jelaskan jalur pengembaraan. Aku menurut saja. Kami mulai mendaki bukit-bukit yang merupakan batas kekuatan kompeni. Bukit-bukit yang ditumbuhi pohon-pohon yang tinggi.

Dusun pertama di balik bukit bernama Kalubak. Dusun ini terletak di tepi Sungai Musi. Kami kembali berburu murai di sini. Alangkah senangnya ia. Selanjutnya, kami menuju Kapiyong dan Paramu. Di kedua tempat ini, penduduknya mengirimkan hasil ladang ke Palembang melalui perahu-perahu dari Ogan Komering. 

Sebenarnya, kami ingin menumpang salah satu perahu (seperti apa nian pemandangan sepanjang anak Sungai Musi?), namun karena rasa letih mulai menyerang, kami membatalkan niatan itu.

Kami rehat di Tabat Bubut pada tanggal 10 Oktober. Ia sempat mengutarakan pendapatnya tentang daerah sekitar Sungai Musi. Dari tanahnya yang berwarna hitam malam, daerahmu benar-benar subur, ujarnya seolah-olah pakar tanah.

Pada tanggal 11 Oktober, kami hendak melintasi perbukitan dan menuju Ranna-Lebar. Tetapi kami tersesat di hutan. Perjalanan kami pun melenceng. Kami tiba di Beyol Bagus, sebuah dusun yang masih dalam kekuasaan kompeni. Kami sempat sarapan kepar—demikian penduduknya menyebut ubi jalar—yang direbus. Kemudian kami melanjutkan perjalanan ke Gunung Raja. Sebagian perjalanan dilakukan menyusuri Ayer Bagus, anak Sungai Bengkulu. Dasar sungai ini terbentuk dari batu-batu besar. Sungai ini melewati daratan yang ditutupi rimba. Di sini, Charles mengucapkan banyak terimakasih. Ia sudah puas, rupanya. Ia ingin menikmati perjalanan sendirian sebagaimana aku—yang lagi-lagi katanya—mungkin juga ingin kembali ke Lubuklinggau. Aku akan ke Bentiring, katanya. Burung-burung murai itu untukmu saja, lanjutnya sembari nyengir.

Dengan apa kau akan ke sana, tanyaku seolah-olah mencemaskannya.

Aku selalu menggunakan jalur ini, katanya sembari menunjuk sungai yang berkelok.

Aku sempat memicingkan mata—memastikan kesahihan kata-katanya—sebelum ia mengajakku masuk rimba di tepi sungai. Kami menebang bambu dan menebas akar beringin yang menjuntai. Kami mengikat bambu-bambu dengan akar beringin itu. Kami membuat rakit. Aku kagum kepadanya. Tak pernah terpikir olehku, aliran Sungai Gunung Raja akan membawanya ke Bentiring.

Matahari, angin, dan lambaian pohon-pohon, adalah kompas yang paling mujarab, katanya seolah menjawab pertanyaanku tentang penunjuk arah apa yang ia bawa.

Bambu sepanjang enam depa ia jadikan kayuhan. Setelah mengucapkan “sampai jumpa”, ia lajukan rakit meninggalkanku yang termangu. Aku tak tahu apa yang sebenarnya baru saja kualami. Siapa nian si Charles itu. Mengapa aku sangat baik hati; menemani pengembaraannya hampir satu bulan lamanya. Mengapa pula aku… o, aku baru ingat. Ya, ketika punggung Charles ditelan kelokan sungai, aku baru sadar bahwa ia belum memberitahu kapan aku akan diajak ke negerinya. Apakah ia lupa dengan kesepakatan itu? O tidak! Aku tiba-tiba merasa diperdayai. Kuputar kepala. Menoleh kudaku. Aku cemas bila perbekalanku diambilnya. Ternyata semua masih utuh. Ah, aku makin bingung!

Aku pikir Charles takkan mengingatku lagi. Namun, dua minggu kemudian, kehadiran seorang kurir di beranda rumah panggungku, membuyarkan dugaan itu. Ia menyerahkan gulungan daun lontar sebelum pergi. Kubuka lamat-lamat. Tiba-tiba jarak antardegup jantungku makin rapat. Ah, mengapa aku jadi berlebihan seperti ini. Ya,Tuhan! Dari Charles. Charles Miller, demikian tertulis di sana. Ia masih mengingatku… bagaimana bisa? O…. Minggu depan ia akan ke Lubuklinggau. Ia memintaku menunggu di dekat rumah pesirah di simpang jalan menuju kabupatenan.

Aku terpaku. Terharu. Bahagia yang sangat. Aku bukan membayangkan seperti apa perpustakaannya, atau memastikan Greenwich itu di Belanda atau di Inggris. Aku membayangkan perjalanan panjang yang membahagiakan dengan seseorang yang gagah seperti Charles. Ya, perasaanku pernah berkebat-kebit seperti ini ketika menanti saat-saat perjumpaan dengan kekasihku dahulu, Morgan Mist, sebelum kami kedapatan tengah bergumul di rimba Selangit. Kompeni tak pernah menenggang hubungan sejenis—walaupun aku pernah menangkap basah Van de Trecht, komandan di gugus Sumatera Bagian Selatan, sedang menyodomi seorang bocah pribumi di belakang pabrik gula Meneer Lock.

Waktu itu Morgan berteriak menyuruhku pergi jauh. Sendirian ia menghadapi dua kompeni bersenjata itu. Aku tahu, ia takkan menang. Ia hanya bermaksud merepotkan mereka agar jejakku tak sempat terendus. Tiba-tiba terdengar bunyi desing di udara. Ya, Morgan rela mati demi menyelamatkanku. O… waktu itu kuobrak-abrik rimba dengan airmata yang ruah di wajah.

Sejak itu aku memutuskan menjadi pengembara sembari berdoa, suatu waktu Tuhan akan mengirimkan Morgan yang baru untukku. Dan berlebihankah bila kukatakan, tampaknya Tuhan baru saja mengabulkannya?


ENTAH bagaimana harus kukhatimahi. Yang terang, ia tak pernah datang. Atau masa lalu memang enggan mengirimnya kepadaku? Aku yakin, ia pernah mati-matian merayu Izrail agar menunda tugasnya untuk beberapa waktu. Dan itu dilakukan bukan karena hidup yang terlanjur ia nikmati, namun karena belum tertunainya sebuah janji, mengajakku menyinggahi negerinya suatu hari.

O ya, aku juga sudah malas berdoa agar Tuhan mengirimkan Morgan yang baru, o, bukan, maksudku, Charles yang baru…. (*)


Benny Arnas lahir dan tinggal di Lubuklinggau, Sumatera Selatan. Meraih Anugerah Batanghari Sembilan (2009) dan Krakatau Award (2009 & 2010). Buku kumpulan cerita pendeknya adalah Bulan Celurit Api (Koekoesan, 2010).

 

Tidak ada komentar: