Minggu, 27 November 2011

CERPEN SUARA MERDEKA



Candi Asmara
Oleh
Amir Machmud NS










BIARKANLAH pucuk-pucuk cecandian itu bergumul dengan hitam malam. Biarkanlah, di bawah siraman cahaya bulan ia menjadi kegagahan yang menggetarkan. Raksasa hitam yang menguasai kegelapan….

Gemeremang kidung doa para pendeta memantul-mantul dari dinding ke dinding candi, melilit kesunyian. Cericit burung malam memahat gelap tanpa prasangka. Kota candi sejatinya tak pernah tertidur.

Alas doa, kidung pemujaan, harum asap dupa persembahan, dan helaan napas teratur para murid di bilik-bilik asrama di berbagai koridor candi utama menjadi denyut gairah yang menghidupkan. Cahaya obor di sejumlah titik menebarkan terang yang karib bermain-main dengan terpaan dengus napas angin. Api obor dan lelampu di hamparan bambu yang dijadikan mrutu sewu sesekali meredup bergantian dengan nyala yang genit meliuk, menari-nari gembira seperti canda anak-anak yang berlarian di atas sabana luas.

Kota Angkor tak sepenuhnya terlelap. Dan, aku tak pernah puas memandangi pucuk cecandian yang menjulang menghitam seperti tangan raksasa menggapai penuh keyakinan menuju nirwana.

Ah, yang sebenarnya adalah, aku tak pernah berhenti mencari. Akan datang lagikah Indraswara? Dari khayal keyakinanku, ia menemui, dan suatu saat yang tepat akan menjemputku untuk mengikutinya ke alam ke kemoksaan, ke keabadian. Aku, Sri Jayawarman, ingin menyempurnakan moksa dengan bimbingan tangannya, karena dengan cara itulah aku meyakini bisa menuju ke keabadian dengan dan bersama cinta Sri Indraswara….

Angkor Wat telah berdiri gagah menjadi pusat pemerintahan dan peribadatan di bumi Khmer, pusar dari cecandian yang dikelilingi hamparan hutan bodhi. Ia dikawal candi pemujaan Bayon yang tak kalah berwibawa, serta sebaran candi-candi kecil untuk meneguhkan gaung Kerajaan Khmer Yang Agung.
Gemanya menyebar ke dunia yang mengagumi, mengakui karya agung bangsaku untuk menyandingi mahakarya serupa di Javadwipa dan Svarnadwipa yang pahatkan di dinding hati lewat perjalanan panjang ke Sriwijaya dan tanah Jawa. Namun sebagai angan-angan monumen persembahan seorang Raja kepada permaisurinya, aku, Jayawarman bukan lelaki yang berhasil. Angkor Wat adalah candi yang justru membenamkan perwujudan daya asmara.

***

ENTAH dari lorong yang mana, ia tiba, dan wangi perempuannya menindas sengatan bau dupa. Kidung asmara menggelora. Kamu tiba, Indraswara, perwujudan anganku pada malam-malam puncak purnama.
Inilah antara ada dan ketiadaan, antara khayal dan kenyataan, pada usia ketika tak sepatutnya lagi hati dan dada mengembang didegupkan oleh angan-angan remaja yang penuh bara.

“Kakanda harus percaya, asmara takkan tertindih oleh masa, cinta tak pernah memilih-milih usia. Bahkan dalam moksa pun, badan cinta itu tetap bisa dipersatukan oleh rasa. Jika dewa berkehendak….”

Sukmaku bagai melambung ke langit lapis ketujuh. Rintihan pengharapan sejak aku membangun candi, dan Indraswara terbelenggu dalam penantian tak berkeputusan sampai ia berangkat menuju ke keabadian, bagai membanting kesadaranku. Semangat untuk berpikir hanya menyelesaikan dan mempersembahkan keagungan sebagai pembuktian cinta malah memotong penyatuan yang kami angankan sedari muda.

Hari-hariku adalah penantian dalam kerinduan yang menyiksa.

Tetapi, inikah siksa yang membahagiakan, ketika di puncak galau di pendaran cahaya bulan penuh, ia benar-benar datang?

Indraswara, Sri Indraswara….

Ia seperti apsari yang dengan kebijaksanaannya bisa membaca bahasa hati. Ia tahu aku ada di sini, di salah satu sudut pelataran candi tempat aku menunggu dan melihat purnama membulat pada tiap pertengahan bulan sejak ia menghilang meninggalkan Jayawarman, apsaranya yang tenggelam dalam gejolak tekad membangun monumen persembahan.

Kerinduan itu terbahasakan oleh mata, dan kami tahu geletar perasaan yang tak cukup bermakna hanya disampaikan dengan kata-kata.

Benar-benar datang dan bangkitkah ia dari moksanya?

Seperti tiba-tiba Indraswara ada di pelataran candi, bersama angin yang berdesahan di rerimbun pohon bodhi. Dalam keserbaputihan, ia lebih menyerupai seorang bhiksuni, dengan wajah welas asih dan mata yang bening membimbing. Rambutnya berjuntai menyiratkan sinar perak yang tak mengurangi keindahannya.

“Adinda datang juga….” Ah, suaraku pasti bergetar. Seperti anak muda saja. Indraswara tahu rambutku telah menipis dan memutih, isyarat alam menanti panggilan kemoksaan.

“Kakanda Jayawarman tak pernah lelah menungguku, maka aku juga tak lelah menanti Kakanda memanggil suksmaku datang.” Suaranya tenang, jernih, namun tetap memantulkan daya asmara yang hanya aku yang bisa merasakan maknanya.

“Hanya sukmamukah yang datang menemuiku, Adinda?”

“Semoga pertanyaan itu bukan guratan kekecewaanmu, Kakanda. Sukma atau raga, sama saja. Puluhan warsa kematian menjauhkan kita, dari sejak Kanda memulai impian persembahan pembuktian cinta itu, sampai Angkor Wat menjulang menaklukkan dunia. Sampai bangsa Khmer menggaungkan harga diri ke seluruh marcapada lewat Kerajaan Angkor yang menapakkan jejak keagungan mahakaryanya….”

“Jayawarman hanya raga, dan Dinda Indraswara telah mencapai kesempurnaan sukma, begitukah?”

“Bukan kesempurnaan, Kanda. Tak ada yang sempurna kecuali Sang Hyang Penguasa Mayapada. Bukankah aku masih tergoda untuk menemuimu, memenuhi panggilan kerinduanmu. Kalau bukan karena kerinduanku pula, akankah aku korbankan ketenangan perjalanan sukmaku ke nirwana dengan membentuk raga yang menyapamu, menemuimu… saat ini….”

Tanpa sadar kupandangi Indraswara. Bukan raga, itu sukma, dan perempuan yang telah merampas seluruh hidupku itu seperti ada di batas antara ada dan tiada….

“Kakanda….”

Kali ini suaranya terdengar berat.

“Candi telah menjulang, Angkor menjadi tlatah kebudayaan tak tertandingkan, nama Jayawarman akan dikenang, apakah lantaran pengorbanannya membangun kota candi ini, atau karena kekuatan cintanya untuk mempersembahkan pembuktian tak ternilai untuk kekasihnya; namun masih ada satu yang kurang….”

Aku tak kuasa berkata-kata, tetapi terkejut mendengar kalimatnya itu.

“Putra Mahkota, pangeran yang akan meneruskan kebesaran Angkor di tahta Khmer Yang Agung.” Tandas sekali suara dan penekanan kalimatnya.

Aku terhenyak, tapi bisa segera mengerti arah kalimat itu. Ada kepedihan di hati, maka kemudian aku segera menyahut, “Hanya karena urusan Putra Mahkota-kah, maka Adinda bersedia datang menemuiku, dan bukan karena ungkapan kerinduan yang sama?”

“Kanda, itu sama-sama pentingnya. Kalau bukan karena kerinduan, untuk apa aku mengorbankan bagian perjalanan moksaku ke nirwana? Kalau bukan karena daya asmara, untuk apa aku mengingatkanmu tentang Putra Mahkota?”

“Kalau kau tahu, Dinda, tak ada siapa pun perempuan selepas kepergianmu….”

“Aku tahu dan percaya, tetapi tak seharusnya Kanda mementingkan perasaan sendiri, karena Kanda adalah seorang Raja.”

“Tidak penting bagiku, apakah akan ada Jayawarman yang kesekian, setelah Ayahanda Jayawarman Sepuh, dan sekarang aku duduk di takhta Khmer yang Agung, lalu harus diartikan penerus takhta itu adalah keturunanku.”

Mata Indraswara tajam menatapku.

“Adinda tahu banyak kekuatan politik di sekeliling Istana yang menanti kesempatan untuk membangun dinasti baru….”

“Apakah Dinda mengira aku tidak tahu? Ah, biarlah hukum alam yang mengatur takhta. Aku sudah merasa cukup memberikan kebanggaan kepada rakyat Khmer, beberapa onggok cecandian, walau kerja keras itu patah berkeping karena kepergianmu….”

“Kanda seorang Raja. Jangan mementingkan diri sendiri.”

“Tidak akan ada perempuan lain sepeninggalmu. Tak harus Jayawarman kesekian itu putra mahkota keturunanku.”

“Kanda, aku tidak bahagia walaupun kalimat itu menunjukkan kesetiaanmu yang tanpa batas kepadaku. Aku datang untuk mengingatkanmu, agar tidak sia-sia pengorbananmu untuk membangun kota candi yang besar ini….”

“Tidakkah kita bisa berbicara yang lain, Adinda?”

Angin seolah-olah berhenti bertiup. Cahaya bulan meredup. Hatiku menjeritkan seluruh ungkapan perasaan ketika bayangan Indraswara tak berjejak lagi di pelataran candi ini. Ia membiarkanku dalam ketermanguan dan debar jantung yang tak beraturan. Ia meninggalkan pikiran yang tak mudah dilaksanakan meskipun sepenuhnya aku pahami, walaupun seharusnya aku bisa bertindak atas nama sikapku sebagai seorang Raja.

***

DI puncak-puncak purnama berikutnya, sukma Indraswara tak pernah datang lagi. Aku masih setia menanti, namun sekeliling pekataran candi hanya memantulkan kegelisahan tentang permintaan terakhirnya: seorang Putra Mahkota.

Sampai rambut makin menipis, dan raga tak lagi menyisakan cukup kekuatan, aku membiarkan semua berjalan dalam kodrat waktu. Tak ada yang berani menyinggung-nyinggung tentang penerusku, tentang masa depan kepemimpinan Khmer yang Agung.

Akan ada yang mengaturnya. Apakah keyakinan ini karena aku lebih memenangkan kesetiaan tentang makna keberadaan seorang Indraswara di hampir keseluruhan hidupku, atau keikhlasan menjalani hukum alam, atau ungkapan keputusasaan, raga tuaku tak mampu mengurai jawaban yang jernih.

Dan, pada hitungan warsa yang kesekian, ketika purnama menguasai penuh keelokan kota candi, di tengah para pejabat kerajaan yang mengelilingi peraduanku, Indraswara datang lagi seperti di batas ada dan ketiadaan. Wajahnya muram, tetapi memancarkan kebeningan yang menenteramkan.

“Kalau ini pilihanmu, Kakanda, aku tak berhak memaksa. Aku harus merasa tersanjung, Kanda memahkotakan kekuatan cinta menjadi lebih berharga dari urusan takhta….”

Senyum Indraswara terlihat lebih indah. Aku masih menghirup wangi dupa di antara lantunan doa dan mantra para pendeta yang menggeremang menaburkan aroma pemujaan membubung ke langit, mengiring perjalanan yang serasa senyap, senyap, dan makin senyap. Selanjutnya sunyi.
Tangan Indraswara menggapai, membimbingku, mengikutinya…. (*)
 .
.

Semarang, Oktober 2011

Cerpen ini merupakan seri keempat dari “Senyum Khmer” (24 September 2007), “Bulan di Atas Angkor” (10 Maret 2008), dan “Purnama Setia di Atas Angkor” (31 Juli 2011).










Bulan Pesisir
Oleh
Mawaidi D Mas









BILA laut pasang, aku akan mengejarnya hingga buih-buih itu seakan mendesis. Bila laut pasang itulah aku akan setia menunggu denyar pagi hingga matahari tenggelam menanggalkan kenangan. Aku seharian di pantai. Tak peduli terik matahari yang membakar kulitku. Di pantai adalah sebagian dari kegemaranku untuk sekadar beriang di sana.

Di bibir pantai, kerap kali aku menyaksikan sebuah perahu cadik yang terapung di atas pintalan air. Perahu cadik itu sering oleng ke kanan-ke kiri ketika ombak datang. Ah, perahu cadik itu, bukan badai atau angin yang mengempas sehingga ia kupantau selalu, tapi keinginan dan kebiasaan pemuda itu untuk bermain angin. Katanya, seorang lelaki yang ingin memancing ikan, kalau tidak bersahabat dengan angin maka ia akan nahas. Artinya, ia tak kan mendapatkan apa-apa.

Pemuda itu mempunyai pendirian sekokoh karang. Di matanya ia tak kenal lelah, apalagi putus harapan untuk menangkap ribuan ikan. Ia sudah terlanjur mencintai pendayung. Tak sia-sia bila pemuda itu seharian di sana, menemani anak-anak ikan sambil dipungut melalui kail pancingnya. Bila pulang pemuda itu akan membawa serajut atau dua rajut ikan yang beragam, mulai dari belena’, mellang, resore dan sebagian cumi-cumi yang didapatkannya.

Bibirnya akan bersyukur kepada Yang Mahapemilik Laut. Keningnya bersinar menyiratkan tanda kebahagiaan. Buru-buru ia menepi dan menambatkan perahu cadiknya. Pemuda itu tak bodoh, ia tak menambatkan perahu cadiknya di dekat pregi, karena ia khawatir ombak malam akan mengamuk lalu menerjang dan membenturkan ke batu-batu.

Aku melempar pandang ke tengah laut, menyaksikan bangau-bangau yang berebutan anak ikan. Nasib sungguh bangau itu, tak bisa menikmati santapan lezatnya. Bila anak ikan berada di paruhnya, ia harus kabur demi menyelamatkan mangsanya. Lalu bangau itu hinggap di pregi. Dipatuk-patuk anak ikan itu sampai remuk. Ditelan dagingnya. Perutnya kembung sedikit-sedikit. Tanpa ia sadar si teman rakusnya sedang menghampiri untuk merebut.

Oh, indahnya panorama laut.

Ibu sering melarang kalau aku seharian berada di pantai.

“Tidak baik perempuan sendirian jauh-jauh dari rumah,” kata Ibu.

Sebenarnya rumahku tak jauh dengan tempat permainanku, tapi perkataan Ibu merupakan sebuah kekhawatiran untukku.

Akhir-akhir ini banyak pemuda yang datang ke rumah untuk mempersuntingku, tapi aku menolak. Pemuda-pemuda itu sama sekali tak cocok bagiku. Sesungguhnya, mereka bukan tidak gagah, tampan dan kaya raya, tapi hati ini tak pernah terketuk sama sekali untuk suka.

Entah, aku tidak mengerti gerangan apa yang ada dalam kalbuku. Aku sangat berterima kasih atas kekhawatiran Ibu. Kekekhawatirannya menunjukkan bahwa ia adalah orang satu-satunya yang tak ingin kehilangan aku. Ibu, Ibu….

“Jika kau berkehendak menjadi istriku, aku yang akan menjagamu dari gombalan laki-laki, aku akan membuat perhitungan dengan mereka kalau perlu, jika benar-benar mengusikmu. Akan kuasah celuritku ini untuk menebas leher mereka.”

“Aduh, semua yang kau tawarkan terlalu baik untukku, tapi aku tidak ingin semua itu. Aku rasa semua pemuda bisa berbuat demikian,” timpalku.

Dahinya berkerut. Sedikit ia menatapku lurus. Kudongakkan kepala sembari kuadukan mataku pada sepasang matanya. Pemuda ini benar-benar bermata celurit. Tatapannya tajam membuat aku enggan.

“Kau meremehkan aku?” ia berkata kemudian. Nafasnya naik turun.

“Aku hanya ingin pemuda yang dapat membahagiakan Ayah dan Ibuku, bukan hanya aku,” jelasku kemudian.

“Oh, hanya itu, toh! Kalau itu keinginanmu mengapa tak bilang sejak kemarin? Baiklah, akan kubuatkan kau perahu yang banyak dan besar, agar kita dapat menjelajahi samudera. Setelah itu, akan kutaklukkan makhluk-makhluk laut untuk tunduk kepadamu, juga keluargamu. Bagaimana cantik?” gombalnya.

Begitulah pemuda desa yang datang kepadaku, di kepalanya berikatkan kain merah, rambutnya yang panjang menutupi alisnya. Di tangannya ia membawa sebilah celurit. Ketika berbicara, pemuda desa itu berteriak-teriak sambil mengangkat celuritnya tinggi-tinggi. Tapi aku tetap bersikap seperti biasa. Kedatangannya tidak membuat aku membungahkan hatiku, melainkan menjadi tamu yang datang hanya untuk pergi.

“Kamu ingin laki-laki yang bagaimana, Bulan? Kau sudah dewasa, kau layak berkeluarga.”

Ibu menanyaiku. Diamlah aku sebatas menyunggingkan senyum. Ibu mengerti terhadap tingkahku. Diam untuk sesuatu, tersenyum untuk sesuatu, hal itu merupakan karakter gadis desa yang sedang jatuh cinta, begitu kata adat.

“Ibu tidak tahu harus menolak dengan cara apa lagi, Bulan. Alasannya Ibu tak bisa. Cukup kamu saja yang menemui, Ibu nurut padamu.” Keluh Ibu.

“Kenapa Ibu menyerah begitu saja?”

“Entahlah, Bulan.”

“Ah, Ibu. Seperti tak pernah punya suami saja,” rayuku.

“Ya, Ibu akui. Tapi pemuda satu-satunya yang melamar Ibu cuma ayahmu,” jawab Ibu sambil menatap lekat mataku.

“Ibu suka?” pancingku.

“Mula-mula tidak. Tapi ayahmu sangat perhatian pada Ibu. Akhirnya, cinta tidak membawa jodoh, tapi jodoh yang membawa cinta….”

“Jadi Ibu tak pernah cinta pada Ayah?”

“Nah, ketika Ibu dijodohkan dengan ayahmu, baru saat itu Ibu merasakan apa itu cinta.”

“Cinta?”

“Ya. Sebenarnya cinta itu mustahil adanya.”

“O, ya?” heranku.

“Kecuali ia punya perasaan.”

Kami tertawa.

Ibu bertutur banyak tentang masa lalunya bersama Ayah. Tapi aku tidak bisa seperti Ibu. Menjelma karakternya sulit bagiku. Sikap perbedaan yang kutingkahkan membuat Ibu mengatakan aku aneh. Dari keanehan itulah banyak orang yang kagum dengan aku. Entahlah, ada apa dengan diriku?

***

SUATU hari, datang ke rumah seorang pemuda dengan mobil hitam pekat mengilat. Postur tubuhnya yang tak terlalu tinggi dan kemeja yang di pakainya akur dengan celana hitamnya, membuat aku memandang dia lebih hati-hati.

Pada Ibu, pemuda itu menanyaiku. Tutur sapanya yang lembut sekilas mengingatkan aku pada mendiang Ayah.

“Bolehkah aku bertemu dengan Bulan?” tanyanya.

“Jika ada perlu silakan katakan pada Ibu,” sanggah Ibu. Ia sungguh tak mendustai janjinya.

“Aku ingin menemuinya langsung.” Pemuda itu memaksa.

“Maaf, Bulan tidak mau kalau bukan kehendaknya sendiri, mengertilah.”

“Ayolah, Bu! Saya ingin membayarnya kalau perlu. Asalkan Ibu mengizinkan saya bertemu dengan anakmu.”

Pemuda itu terus memaksa hingga Ibu bosan untuk mencegahnya. Oh, Ibu! Tidak biasanya pada hari itu datang pemuda yang memaksakan diri untuk bertemu dengan aku. Hari itulah pemuda berkaca mata itu mengutarakan niat baiknya. Segala kekayaan yang dimilikinya ia tawarkan. Mengagumkan!

“Atau aku akan memindahkan rumahmu di pesisir ini ke kota, agar kamu lebih leluasa membeli segala kesukaanmu: mahkota, berlian atau cincin zaitun….”

“Aku tidak menyukai itu semua, aku ingin bersama pantai ini.”

“Apa? Gila! Baiklah, aku akan merubah pantai ini menjadi pantai wisata, seperti Lombang. Di sekeliling rumahmu akan banyak cemara dan kamu akan menjadi seorang ratu di pesisir ini.”

Aku tetap pada prinsipku. Entah mengapa, pemuda yang datang untuk mempersuntingku ini bagaikan anak belut. Licin. Tak mudah singgah di palung hatiku. Rintihnya, hati ini masih suka menyaksikan laut. Duduk di atas batu yang terkubur separuh makin menemani kesendirianku bersama kesiur angin. Aku dengan puas menemani ombak yang berkejaran, lalu ombak itu akan saling tubruk-menubruk bila hingga di tepian.

Seperantauan Ayah ke dalam tanah menuntutku untuk mencintai laut, pun juga ombak. Aku ingin mengenang Ayah di pantai ini. Seperti pemuda yang tengah sibuk dengan kemudinya itu. Ayah adalah sosok pemabuk laut. Perahu-perahu hasil tangannya kini banyak digemari penduduk pesisir. Jala yang dipakai Ayah ketika senja tiba untuk menangkap resore masih utuh menggantung di dinding rumah. Tak ada yang berani menyentuhnya, sekalipun Ibu. Sepewasiat Ayah, ia menyuruhku untuk mewariskan jalanya kepada suamiku.

“Bulan, ke mana Ibumu?” tanya Ayah di pembaringan nya. Sewaktu Ayah sakit, ia selalu menyuruhku tak jauh di dekatnya. Batuk berat di dadanya ia tahan dalam-dalam.

“Ibu tidak ada, mungkin ke Langitan jual ikan,” jawabku. Tak terasa air mataku jatuh kala itu.

“Bulan, Ayah ingin menitipkan jala itu padamu.” Kudengar kalimat itu semakin lirih.

“Maksud Ayah?” tanyaku tak kalah lirihnya.

“Sebelum Ayah pergi, Ayah titipkan jala itu untuk kau berikan pada suamimu kelak, jangan biarkan ikan-ikan itu dikuasai oleh orang asing yang kemudian penduduk pesisir ini akan tiada penghasilan.” Begitu kalimat yang terlontar di bibir Ayah untuk yang terakhir kalinya. Aku sedih. Aku tahu maksud Ayah, ia mengharapkan seorang pemuda di keluarga ini, tak lain adalah suamiku.

Aku merasa bersalah ketika mengingat semua itu. Sebenarnya aku mempunyai saudara laki-laki, Bintang namanya, adikku. Tapi ia sudah meninggal lantaran tenggelam dibawa arus yang sangat dahsyat sepuluh tahun yang silam.

Ibu histeris kala itu. Perlahan mataku menjatuhkan ombak, ombak yang kuakrabi semenjak aku lahir di pantai ini.

Anehnya, Ayah hanya mewasiatkan padaku. Ibu tak tahu tentang wasiat jala itu. Seandainya saja Ibu tahu, tidak akan ada pemuda yang berlomba-berlomba memburuku untuk dijadikan permaisurinya. Pernah, aku ingin mengutarakan wasiat jala itu pada Ibu, tapi aku takut berdosa. Jadi wajar, kerap bila Ibu sibuk sendiri mengumpulkan beberapa alasan kepada orang-orang yang ingin memperisteriku. Semuanya karena aku.
Seperti jala itu, Ibu tidak akan pernah melarangku mengapa aku suka pada laut dan menyaksikan pemuda di perahu cadik itu.

***

(dikisahkan….)

IBU, lihatlah di sana. Aku suka keindahan itu. Aku ingin memilikinya untuk kuhadiahkan kepadamu. Di sana ada ikan-ikan, perahu cadik, dan pemuda itu, Bu! Engkau jangan khawatir bila aku menyendiri menepi di sini. Engkau jangan khawatir bila aku ada merenung di sini. Sebab, di sanalah Ibu, telunjukku akan melukis sebuah perahu dan pemuda di perahu cadik itu. (*)
 .
.

Yogyakarta/Rumah Diva, 2011

Mawaidi D Mas, mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta. Cerpennya terkumpul dalam antologi Kembala Air Mata (Komunitas PERSI, 2011).


 

 

Tidak ada komentar: