Senin, 14 November 2011

CERPEN SUARA MERDEKA



Lembaran dari Kendeng
Oleh
Sarjoko







AKU menemukan lembaran-lembaran ini di wilayah Pegunungan Kendeng yang membentang di wilayah Kayen Kabupaten Pati, tepatnya di sebuah gua yang baru saja aku temukan bersama kawan-kawan petualang. Lembaran-lembaran kertas ini sudah melapuk dan menguning, namun tulisan berbahasa Jawa kuna itu masih bisa dibaca.

Memang di beberapa bagian tulisan itu tidak terlalu jelas, namun aku akan menyempurnakan naskah yang belum lengkap dengan menanyakannya kepada ahli sejarah yang mengaku lebih tahu. Jangan khawatir, aku tidak akan melencengkan satu kata pun dari apa yang tertulis. Kebetulan, walau sudah beberapa tahun belakangan aku mengabdikan diri pada alam dengan menemukan beberapa gua baru, aku tetaplah seorang ahli bahasa kuna termasuk bahasa Sanskerta sekalipun.

Akan aku coba mengalihbahasakan lembaran-lembaran yang tersimpan di dalam sebuah peti ini untuk aku sampaikan kepada pembaca yang mungkin tidak sengaja membaca hasil terjemahanku ini, sebaik dan sejelas mungkin. Jika ada pembaca yang menemukan kejanggalan atas tulisanku, sebagai manusia yang dipenuhi keluputan aku memohon maaf yang sebesar-besarnya. Tentu saja setelah aku terjemahkan tak banyak kosakata Jawa yang kupertahankan. Hal ini semata-mata agar pembaca mudah memahaminya.

Mengenai kebenaran kisah ini, sekali lagi, aku hanya menerjemahkan apa yang aku temukan! Apakah lembaran ini benar-benar ditulis pada masa Kesultanan Islam pada abad kelimabelas dahulu? Aku tak tahu!

***

Keluh Kesah sang Adipati Jipang
Tulislah apa-apa yang aku katakan karena aku ingin mencurahkan segala keluh kesahku selama ini. Terutama sejak Ayahanda dibunuh oleh Sunan Prawata. Jelas sekali aroma politik menyelubungi Kesultanan Demak Bintara saat ini. Aku tak tahu apakah sudah waktunya Kesultanan Demak Bintara runtuh? Para Dewan Wali Sanga pun seakan-akan tak lagi menghiraukan apa-apa yang terjadi di pusat Kesultanan Jawadwipa itu. Entahlah….

Aku teringat peristiwa silam di mana ayahandaku, Pangeran Seda Lapen ditusuk keris oleh Sunan Prawata, saudara sepupuku. Peristiwa itu tak jauh dari kematian Uwak Sultan Pati Unus yang tidak meninggalkan putra. Seharusnya Ayahanda menjadi sultan jika si jahanam Prawata itu tidak membunuhnya! Dan aku sudah barang tentu menjadi putra mahkotanya. Oh, Bapa. Ada apa sebenarnya ini?

Aku sangat terkejut mendengar kabar bahwa si Jaka Tingkir itu naik takhta menjadi Sultan Tunggal Jawadwipa hanya beberapa saat setelah Pak Lek Trenggana wafat. Lebih parahnya lagi dia memindahkan ibukota ke Kadipaten Pajang. Ah, Siapa dia yang berani-beraninya menggantikan Pak Lek Sultan 

Trenggana? Bukankah dia hanya seorang menantu Sultan yang menikahi Den Ayu Putri Cempaka, putri kelima Sultan? Sementara Sunan Prawata kabarnya dijadikan adipati di daerah Demak Bintara.

Tapi kini setelah Pak Lek Trenggana wafat aku harus bisa merebut hak milik kami serta menggulingkan kesultanan ilegal Jaka Tingkir. Aku tak mengakui adanya Kesultanan Pajang! Aku tak menghiraukan adanya restu dari Sunan Giri. Nyawa pun aku pertaruhkan demi memperebutkan apa yang seharusnya aku miliki, terlebih kepada Sunan Prawata. Utang pati dibayar pati! Aku akan segera njaluk pituduh kepada Kanjeng Sunan Kudus. Semoga yang kulakukan kelak bukanlah sebuah dosa besar karena aku mengambil apa yang seharusnya menjadi milikku. Ampuni aku, ya Allah.

***

Harapan Kanjeng Adipati
Kanjeng Sunan benar-benar orang yang terbuka mata batinnya. Baru saja aku menghaturkan salam, beliau sudah mengetahui maksud dan tujuanku berkunjung ke Kudus. Beliau menyambutku dengan halus dan yang lebih melegakan serta menggembirakan hatiku adalah Kanjeng Sunan mendukung rencanaku!

Kau tahu? Satu bulan yang akan datang merupakan saat-saat yang menentukan bagi kehidupanku sebagai calon sultan yang didukung Kanjeng Sunan. Beliau sama-sama berpendapat seharusnya akulah pewaris Kesultanan Demak Bintara. Selain Ayahanda adalah putra ketiga yang semestinya mewarisi takhta pasca-wafatnya Uwak Sultan Pati Yunus, ajaran yang kuanut pun sesuai dengan ahlussunah wal jama’ah. Berbeda dengan Hadiwijaya yang berpedoman manunggaling kawula-gusti. Dan musibah terbesar bernama Sunan Prawata harus segera disingkirkan, sebelum Hadiwijaya berikutnya!

Malam ini juga aku akan mendiskusikan rencana ini kepada Ki Matahun dan pembesar Kadipaten Jipang lainnya. Aku akan membagi tugas agar bisa terlaksana sesuai rencana. Dan tentu saja si Prawata menjadi target terdekatku!

***

Sepucuk Kisah Penggembira
Rangkud, pengikut setiaku tak sulit untuk mengakhiri nyawa Sunan Prawata yang tak memiliki ilmu kanuragan yang tinggi. Aku teramat girang mendengar cerita dari Ki Matahun mengenai kematian pembunuh ayahandaku walau Rangkud sendiri akhirnya terbunuh. Aku tak mendapat informasi yang lebih mendetail mengenai bagaimana pengikut setiaku yang masih kerabat dengan Sunan Prawata itu mati.

Lalu aku memerintahkan beberapa pengawal setiaku mengawasi gerak-gerik kerabat pengikut Sunan Prawata. Bagaimana pun pasti banyak yang terpukul atas kematiannya. Yang menjadi perhatian utama tentu saja Ratu Kalinyamat. Dia pasti tidak terima dengan ulahku yang telah membunuh kakangnya.

Aku menutup malam penuh bintang ini dengan hati gembira. Dendam kesumatku terhadap putra Trenggana itu terbalaskan sudah. Tinggal satu nama yang harus kusingkirkan sebelum mahkota Sultan Tunggal Jawadwipa benar-benar kukenakan di kepalaku. Hadiwijaya!

***

Siasat Kanjeng Sunan
Kanjeng Sunan melarangku untuk gegabah menyerang Pajang. Padahal seperti yang kau ketahui darah semangatku sudah memuncak hingga ubun-ubun saking bernapsunya aku menghunuskan Brongot Setan Kober ke dada Hadiwijaya. Prajurit Jipang pun sudah aku persiapkan sejak lama. Aku tak peduli banyak yang bercerita bahwa Sultan Pajang itu tidak mempan ditebas senjata apa pun. Aku yakin dengan kesaktian kerisku.

Sepuluh pesuruhku membawa berita baik untukku sore tadi. Ya, apalagi kalau bukan berita mengenai matinya Pangeran Kalinyamat, suami Ratu Kalinyamat. Mereka berhasil menghabisi ipar Sunan Prawata itu saat Pangeran dan Ratu berada dalam perjalanan pulang dari Kudus. Kabarnya mereka mengadukan perbuatanku membunuh kakangnya. Apakah dia lupa bahwa kakangnya itu membunuh ayahandaku?

Aku kembali teringat rencana pembunuhan dan kudeta terhadap Kesultanan Pajang. Aku terus membayangkan Brongot Setan Kober menancap di dada Jaka Tingkir dan aku menyaksikan Sultan tak tahu diri itu menghembuskan napas terakhirnya. Setelah dia mati tentu segalanya semakin mudah. Rakyat Pajang dan kadipaten-kadipaten se-Jawadwipa pasti tunduk padaku. Akulah orang hebat yang mampu membunuh Hadiwijaya. Akulah orang yang paling pantas menjadi sultan di tanah Jawa ini!

Satu minggu lagi aku berkesempatan bertatap muka dengan Hadiwijaya. Itu dikarenakan Kanjeng Sunan menyelenggarakan pengkajian ilmu-ilmu yang diikuti oleh beberapa murid beliau. Mungkin itu termasuk siasat Kanjeng Sunan dalam usaha membantuku merebut takhta Hadiwijaya.
Aku ingin secepatnya hari itu akan hadir.

***

Kesempatan yang Hilang
Ah, betapa bodohnya aku. Di saat aku sudah berhadap-hadapan dengan Jaka Tingkir aku menyia-nyiakan kesempatan menusukkan pusaka yang sudah aku pegang. Kesempatan itu amatlah langka. Padahal aku yakin ilmu tedhas si Jaka Tingkir tak akan mampu menahan kesaktian keris pusakanya.

Aku tak menghiraukan apa yang kami kaji hari itu. Fokusku hanya satu, membunuh Hadiwijaya. Sebenarnya aku sudah mempunyai siasat untuk menghabisinya dalam perjalanan pulang ke Pajang. Tapi ternyata dia sudah bersiap siaga. Dia membawa dua ratus prajurit tamtama pilih tanding untuk mengantisipasi hal-hal terburuk. Ternyata dia banyak belajar dari kematian Pangeran Kalinyamat. Aku pun harus bersabar sejenak untuk mewujudkan mimpiku.

Namun aku bisa tertawa sekencang-kencangnya saat mendengar kabar yang beredar di masyarakat Kadipaten Kalinyamat. Setelah sang Pangeran terbunuh, sang Ratu bersama tujuh dayang mereka pergi ke arah Bukit Danaraja untuk bertapa dan melakukan ritual satya tanpa busana. Ya, ratu ayu itu melepaskan semua pakaiannya dalam pertapaan dan bersumpah tidak akan berpakaian sebelum aku terbunuh! Kasihan sekali si janda itu.

Malam ini aku harus memikir ulang siasat untuk mengudeta Kesultanan Pajang. Kanjeng Sunan selalu mengatakan aku harus bersabar. Namun aku sudah bernapsu ingin segera mengakhiri masa kejayaan Pajang di bawah pimpinan sultan yang sama sekali tak memiliki trah sultan. Hanya saja dia tiba-tiba menyatakan diri sebagai sultan setelah Pak Lek meninggal.

***

Firasat sang Adipati
Hadiwijaya ternyata ingin membunuhku. Menurut penuturan seorang mata-mata, dia menjanjikan tanah Pati dan Mentaok sebagai imbalan bagi siapa saja yang mampu membunuhku. Hadiwijaya juga akan mendapatkan seluruh kekayaan Kadipaten Kalinyamat andai bisa membalaskan dendam kematian Pangeran Kalinyamat. Ratu Kalinyamat yang menjanjikan itu semua. Rupanya kematianku pun begitu penting dan berharga baginya.
Oh, Mentaok atau Mataram yang diramalkan akan melahirkan sultan-sultan besar di Jawa itu? Bukankah daerah itu masih berupa alas?

Aku sudah memperbincangkan segala hal bersama senapatiku, Ki Matahun. Kami harus bergerak lebih cepat sebelum Pajang menyerang Jipang Panolan. Sampai kapan pun Jipang tak akan sudi menjadi bagian dari Kesultanan Pajang selama aku hidup!

***

Kegegabahan Adipati
Biadab si Jaka Tingkir itu! Dia benar-benar meremehkanku! Dia menantangku untuk bertanding satu lawan satu. Siapa yang takut?! Aku, Arya Penangsang sang Adipati Jipang pasti akan memenggal kepalanya! Apa yang dia andalkan? Keris Kyai Cerubuk pemberian Sunan Kalijaga itu? Atau tombak Kyai Plered? Aku tak gentar sedikit pun! Aku memiliki Brongot Setan Kober yang tak tertandingi!
Siapkan Gagak Rimang!!! [*]
***
………..

***

Prajurit Pajang berdatangan ke wilayah Jipang dan mengumumkan kematian Den Bagus Arya Penangsang beserta senapatinya, Ki Matahun. Kami sebagai orang dalam keraton teramat terpukul atas kematian adipati kami yang sebenarnya lebih layak menjadi Sultan Tunggal di Jawadwipa dilihat dari trahnya. Terlebih kematian Den Bagus bukan karena pertarungan satu lawan satu dengan Hadiwijaya melainkan dia dijebak oleh sultan Pajang itu. Den Bagus dikeroyok!

Den Bagus adalah putra Pangeran Seda Lapen, putra ketiga Sultan Patah. Setelah Sultan Patah wafat, Raden Pati Unus menjadi sultan. Karena Pati Unus tidak meninggalkan keturunan sewaktu dia wafat, seharusnya ayah Arya Penangsang menjadi sultan. Namun Sunan Prawata, putra Trenggana, membunuhnya sehingga Trenggana sebagai putra keempat menjadi sultan.

Namaku Ki Suwiryo. Aku yang selalu mencatat apa-apa yang dikatakan Den Bagus. Aku pula yang biasa dijadikan tempat melampiaskan segala keluh kesahnya. Hanya beberapa lembar kertas ini yang bisa aku selamatkan, aku bawa karena buku-buku yang sudah kutulis dibakar para prajurit Pajang. Padahal banyak rahasia yang pernah Den Bagus ceritakan.

Umur Pajang tak begitu lama. Setelah Sultan Hadiwijaya wafat, sultan penerusnya tak sekuat Jaka Tingkir. Ramalan itu benar! Setelah berpuluh-puluh tahun Mataram kini benar-benar menjadi sebuah kesultanan Islam yang besar. Panembahan Senapati yang bernama asli Danang Sutawijaya, putra Ki Pemanahan yang juga sebagai anak angkat Jaka Tingkir berhasil mbalela dan menaklukkan Pajang. Beginilah, takhta sering membuat sedulur menjadi propadu.

Semoga suatu saat ada orang yang bisa menemukan lembaran-lembaran ini. Entah di masa pemerintahan siapa dan di kesultanan mana.(*)
 .
.
Penjara Suci, Kajen, 16 Agustus 2011
 .
Catatan:
[*] Gagak Rimang nama kuda perang kesukaan Arya Penangsang
 .
Sarjoko, lahir di Kebumen, 10 Februari 1993. Masih bersekolah di Perguruan Islam Mathali’ul Falah Kajen Kecamatan Margoyoso Kabupaten Pati sekaligus nyantri di PMH Al Kautsar Kajen. Aktif di berbagai organisasi kesiswaan di antaranya menjadi pegiat dunia baca di Perpustakaan PIM. Bergelut di dunia jurnalis sejak MTs dan menjadi Pemimpin Redaksi buletin tahunan Mihrob Cordova PMH Al Kautsar 2010/2011 dan 2011/2012. Karyanya pernah diterbitkan dalam kumpulan cerpen Surat Cinta untuk Bapak Presidenku (Divapress, 2011).










Rumah yang Menggigil
Oleh 
Mashdar Zainal











RUMAH itu menggigil. Perempuan tua itu tinggal dan tersesat di dalamnya. Jika malam tiba, rumah itu tampak seperti gadis kecil yang terkurung dalam kamar mandi, dengan keran air yang terus menyala, mengguyur kepala. Konon, dalam rumah itu, musim hujan memang tak pernah berhenti. Siutan angin menyambar-nyambar. Petir dan kilat bersahut-sahutan. Jika tengah malam tiba, suara-suara gemuruh dari dalam rumah itu kian menjadi. Konon lagi, hujan itu bermula pada sebuah malam celaka. Malam selepas pemakaman suaminya.

***

DIA hartaku satu-satunya, bagaimana aku tidak gila kehilangannya. Selepas anak semata wayang kami pergi ke luar negeri, mencari kerja katanya, dan puluhan tahun tidak kembali, aku tak punya apa-apa lagi kecuali dia. Barangkali dia tampak menyusahkan dan tidak istimewa sama sekali. Namun, dialah bejana emas yang selama ini menampung curah hujan yang terus menderas dalam kepalaku, mengguyur mataku, menguyupkan hatiku.

Semenjak divonis stroke, dia telah menjelma bayi. Setiap hari hanya terbaring di ranjang tidur yang kasurnya kian hari kian lepek dan menggumpal. Makan harus aku yang menyuapinya. Mandi harus aku yang memandikannya. Bahkan, buang air pun harus aku yang menimpal dan mencebokinya. Barangkali memang di situ mukimnya cinta. Tak ada keluh. Tak ada kesah. Semua kujalani dengan debaran yang masih sama. 

Debaran ketika pertama kali bertemu dengannya. Debaran ketika ia mendatangi abak-emakku untuk memintaku. Debaran ketika dia mulai mengenakanku menjadi pakaiannya. Semua masih sama. Hingga detik ini. Detik ketika dia terlihat sangat bodoh dan tidak berdaya.

***

SUAMINYA meninggal tepat ketika azan subuh berhenti. Pagi hari rumahnya ramai oleh handai tolan yang melawat dan mengikrarkan bela sungkawa. Menjelang siang, jenazah dimandikan dan dikafani, menjelang sore pemakaman baru usai. Petang merembang. Satu per satu tetangga dan handai tolan berpamitan dan pulang ke rumah masing-masing. Petang itu mereka sempat menyaksikan mendung hitam yang sangat tebal, bergulung-gulung di pelupuk mata perempuan itu. Mendung hitam yang mereka yakini akan menjadi pertanda musim hujan yang panjang.

Tepat selepas isya para tetangga dikagetkan oleh raungan panjang dari dalam rumah itu. Raungan panjang yang sesekali diikuti geletar seperti suara petir. Juga desah napas yang terdengar seperti angin yang marah. Dari celah-celah pintu para tetangga juga sempat menilik lampu neon yang nyala-mati, yang mereka yakini sebagai kilat yang berkedip-kedip. Beberapa saat kemudian, orang-orang mulai mendengar titik gerimis yang bergemeletak menikam lantai, meja, dan kursi. Semakin lama titik gerimis itu bergemericik dan menderas. 

Beberapa orang yang penasaran, berjingkat mendekati rumah itu. Dan dari balik pintu yang terkunci, mereka bersumpah, bahwa mereka mendengar gemericik air yang sangat nyata. Seperti ricik hujan yang sangat deras. Sejak saat itu, rumah limas itu tampak muram. Pintunya tak pernah lagi terbuka.

***

AKU percaya, bahwa kehilangan adalah ibu dari semua duka. Bahkan aku tak bisa melukiskan bagaimana perasaanku ketika dia benar-benar pergi dan tak akan pernah kembali. Sungguh, ditinggalkan selalu lebih miris daripada meninggalkan.

Malam itu, dia mengeluhkan udara yang sangat dingin. Dia mengatakan bahwa tulang-tulangnya seperti membeku dan diremukkan. Jahe hangat kuseduhkan, berlapis-lapis selimut kubalutkan. Dia masih saja menggigil. Matanya mendelik. Tubuhnya gemetar. Bibirnya yang kering mengelupas lapis demi lapis. Semalam suntuk aku mencari sesuatu yang bisa menghangatkannya. Di sebelahnya, kubuatkan perapian kecil dari kayu-kayu yang kucabut satu persatu dari papan dinding. Dia masih saja menggigil.

Kutanyakan padanya, apa yang sekarang dia rasakan? Dia tak menjawab. Tubuhnya masih gemetaran. Tiba-tiba aku sangat takut. Sangat khawatir. Maka, aku tak perlu melakukan yang lain. Kehangatan yang masih tersisa di tubuhku pun kuberikan. Aku memeluknya erat-erat. Seolah dia akan hilang. Malam terus merangkak. Sangat pelan. Sangat pekat. Sangat dingin.

Di akhir sepertiga malam, suara tartil memenuhi udara di luar sana. Dia masih menggigil. Diikuti suara tarhim yang melengking seperti tangisan yang sangat syahdu. Ia masih gemetar. Azan subuh pun memulai kalimat pertamanya. Ketika itu gemetar badanya sedikit sudah berkurang. Namun dari matanya, air terus mengucur seperti hujan. Tepat ketika azan subuh berhenti. Dia tidak menggigil lagi. Tidak gemetar. Tidak bergerak. Tubuhnya sangat dingin. Sedingin besi terendam hujan.

Aku turut kaku. Menatap lelehan yang masih tampak hangat di matanya. Menatap kedua matanya yang mendelik dan penuh kabut. Menatap mulutnya yang menganga, seperti ingin mengatakan sesuatu namun tak pernah sampai. Kurasakan, mendung hitam mulai berarak menutupi penglihatanku. Dari subuh hingga magrib. 

Menjelang isya mendung hitam itu kian merajalela, membutakan mataku. Aku tak bisa melihat kecuali dunia yang remang, dingin, dan sangat tidak ramah. Detik itu desah napasku gusar. Aku meraung panjang. Sekeras-kerasnya. Setelah itu, hujan mulai turun berdebam dalam kepalaku. Mengguyur hatiku. Mengguyur mataku. Mengguyur rumahku.

***

SETIAP kali menatap rumah itu, kami selalu merasa iba. Membayangkan perempuan tua itu duduk sendiri di sudut kamar. Memeluk lutut. Menggigil kedinginan. Perempuan tua itu memang terlampau larut dalam kesedihan. Tak pelak sesuatu dalam kepalanya rusak, terendam kesedihan yang sangat hitam dan kental. Kami tak pernah bisa menyelami kesedihan yang berkedung dalam kepalanya itu. Bagaimana mungkin kami bisa. Ia sendiri tak mau membagi kesedihan itu pada kami. Ia tak pernah mengizinkan kami masuk ke dalam rumahnya, ke dalam dunianya, lubuk kesedihannya.

Semenjak malam itu… malam ketika hujan pertama turun dalam rumah itu… pada malam selepas pemakaman suaminya. Perempuan tua itu memang tak pernah lagi keluar rumah, kecuali membuang sampah. Kami tak pernah tahu apa yang kemudian ia makan. Tubuhnya kian susut. Ia telah menyerahkan dirinya dalam kesedihan yang paripurna, hingga ia bagai tak punya waktu untuk memikirkan dirinya. Musabab itulah, sebagai tetangga, kami merasa perlu untuk pura-pura bertamu ke rumahnya, entah untuk mengantarkan sedikit makanan, entah bertanya keadaan. Kami rasa, sebagai tetangga, kami pantas melakukan itu. Ketika itu, kami berharap, ia mau membuka diri dan membagikan sedikit kesedihannya pada kami. Namun sungguh di luar dugaan, perempuan tua itu malah melempar kami dengan sandal sambil berteriak-teriak mengusir kami pergi.
Perempuan tua itu telah sempurna menjadi hantu. Rambutnya yang pecah memutih tak lagi ia gelung… ia urai seperti rambut nenek Lampir. Pakaian yang melekat di tubuhnya adalah pakaian terakhir yang ia kenakan, yang kami lihat ketika jenazah suaminya dikebumikan. Sangat kumal dan bau. Kami tahu, kami sudah tak bisa berbuat banyak. Perempuan tua itu telah menyerahkan dirinya pada kesedihan yang tak beranah tepi. Hingga ia tersesat di sana dan tak pernah bisa kembali.

***

HUJAN terus mengamuk dalam kepalaku. Tak kenal jeda. Tak kenal reda. Berkali-kali airnya merembes melalui sudut mataku. Terkadang meleleh dari lubang hidungku. Aku menggigil karena hujan itu. Hujan kelam yang terus menerus mengguyurku. Mengguyur hatiku. Mengguyur mataku. Mengguyur rumahku. Aku sendiri tak tahu bagaimana cara menghentikan hujan itu. Hujan itu hanya akan sejenak reda bilamana aku tertidur. Bilamana dunia kasat mata lenyap dari pandanganku. Dan digantikan mimpi-mimpi yang hangat dan beraneka rasa.

Tubuhku gemetar. Aku menggigil. Aku takkan mampu bertahan jika hujan ini terus mengamukku, mengguyurku sedemikian rupa. Tanpa jeda. Tanpa reda. Aku harus segera tidur. Tidur. Supaya hujan ini berhenti. Tidak membasahi hatiku. Tidak membecekkan mataku. Tidak menguyupkan rumahku. Ya, aku harus segera tidur. Tidur yang panjang. Meski dengan cara paling mengerikan.

***

PADA sebuah malam, kami terheran-heran ketika mendapati rumah itu tiba-tiba sunyi. Tidak ada raungan panjang seperti geletar suara petir. Tidak ada kilat yang berkedip-kedip. Tidak ada pula suara gemericik yang menikam lantai, meja, dan kursi. Kata para tukang ronda, suara gemuruh itu telah reda sejak malam lalu.

Maka, seperti kali pertama kami mengintip bagaimana hujan itu bermula, kami pun ingin tahu bagimana hujan itu reda. Kami berjingkat mendekati rumah itu. Rumah yang tidak lagi menggigil namun tampak lebih muram dan menyedihkan. Rumah itu hening. Sangat hening. Seperti penyusup, kami mengintai dari luar pintu yang bergeming dan kusam. Kami mencari celah lubang pintu untuk mengetahui rahasia rumah itu.

Kami mulai mengintip satu persatu. Dan kami tak mendapati apa-apa selain keheningan. Keheningan yang menyelimuti seonggok tubuh kaku yang berayun-ayun di balik pintu. Di antara mata yang mendelik dan lidah yang menjulur, kami masih melihat sisa-sisa hujan itu. Dan ketika kami menatap mata itu, tiba-tiba mendung hitam bergulung-gulung mendatangi kepala kami. (*)
 .
.

Malang, Mei 2011

Mashdar Zainal, lahir di Madiun 5 Juni 1984. Menulis puisi, cerpen, dan novel. Saat ini bergiat Komunitas Sastra Budaya Lembah Ibarat.









 
 .


 

Tidak ada komentar: