Magnolia de Capoterra
Oleh
Ilham Q Moehiddin
172 tahun, duduk di sebuah kursi Bar Cavallo. Bergaun mewah, dengan belahan dada rendah, memamerkan garis dada dan sebentuk kalung mutiara. Syal putih bulu Angsa tersampir di sekitar pundak. Rambutnya tergelung dengan baik. Jemari dan pergelangan tangannya, berhias emas. Bahkan telinganya, ada sepasang giwang bermata berlian kecil.
Wanita tua itu duduk tenang di sudut remang Bar Cavallo, dekat bartender biasa menyajikan minuman. Setiap kali wanita itu datang, selalu saja duduk di tempat yang sama, memesan minuman yang sama, cannonau.
Pada permulaan pagi, wanita itu pulang dalam keadaan yang sama pula—sempoyongan karena sedikit mabuk.
Aku bukan warga Kota Capoterra. Aku berasal dari kota lain, Cabras, berjarak 300 kilometer dari kota ini. Aku sangat suka Capoterra. Suka pada udara kering yang berembus dari Laut Mediterania.
Di kota ini, aku datang untuk membunuh sepi di tepian Pantai Capoterra, menghabiskan waktu bersama gadis-gadis lokal, menyantap bottarga yang gurih, ditemani anggur putih vernaccia beraroma kacang badam. Entah kenapa? Aku sendiri tak tahu. Yang jelas, aku selalu bergairah ketika membaui aroma udara pagi yang kering dan asin dari balkon kamarku saat menikmati dua tangkup roti dan pecorino.
Biasanya aku hanya menghabiskan waktu di kafe-kafe kecil di sepanjang jalan pasar ikan, di utara Kota Capoterra. Bercerita hal yang tak perlu pada gadis-gadis Sassari yang wangi dan sintal. Gadis-gadis itu akan menemaniku dengan bayaran murah setelah mendengarkan bualanku perihal kapal-kapal, samudra dan benua-benua.
Sejak kunjungan pertamaku di Bar Cavallo ini, wanita tua itu tak pernah absen dari penglihatanku. Dia selalu hadir di sana. Sambil memainkan jemarinya di bibir gelas, lamat-lamat kudengar dia menyenandungkan lagu
“Tu Per Me Canta La Voce Del Nord”. Lagu tentang hati yang patah. Senandungnya hanya berhenti saat pintu bar terbuka dan seseorang terlihat masuk. Tubuhnya akan ditegakkan, lalu matanya seperti menyala dalam rupa yang aneh.
Ya, matanya itu tak pernah luput dari pintu masuk. Setiap tamu lelaki yang melalui pintu itu, dia tatapi dengan tajam. Seolah mata itu sanggup menelanjangi setiap mereka, satu per satu. Wanita tua ini seperti sedang mencari sesuatu di wajah-wajah itu.
Aku baru menyadari sikapnya saat mata kami bersirobok pandang. Saat kami bertatapan, wanita itu bahkan tak tersenyum sama sekali. Matanya segera beralih pada wajah orang lain yang baru datang, dan begitu seterusnya.
Aku menanyakan kelakuan wanita itu pada bartender yang dengan senang hati berkisah padaku. Katanya, wanita itu bernama Magnolia. Nama panggung yang begitu dikenali setiap pria di Capoterra ini, 50 tahun silam. Namanya membuat Bar Cavallo ramai setiap malam. Tak ada malam yang dilewatkan para pria di kota ini tanpa berkerumun di dekat panggung pada pesona Magnolia saat menyanyikan “A Tenore” dengan suara soprannya yang memukau.
Kini orang-orang telah menyangka wanita tua itu sudah gila.
***
GADIS muda Magnolia, cantik seperti arti namanya. Panggung Bar Cavallo selalu semarak dengan hentakan kakinya saat bernyanyi. Magnolia saat itu berumur 22 tahun.
Sepi gadis itu sirna saat cintanya tersangkut pada Morty, seorang cellis muda yang baru setahun bekerja di Cavallo. Morty menawan hati Magnolia lewat gesekan cello yang membuat merinding.
Magnolia dan Morty, seperti kebanyakan pasangan muda yang dirundung asmara, menikmati hari-hari mereka dalam cinta yang penuh gelora. Pada malam yang berangin, saat kabut menghampar di sepanjang Pantai
Capoterra, menyusupi belulang kota itu yang sedang lelap, keduanya dimabuk gairah. Cahaya lampu minyak memantulkan bayang mereka yang berkelindan. Kemudian pecah dalam gemuruh yang tuntas.
Cinta mereka memang manis. Semua lelaki iri pada keberuntungan Morty. Namun semua wanita di Capoterra justru bersukacita. Akhirnya, ada lelaki yang akan membawa Magnolia de Capoterra itu pergi dari kota ini. Meninggalkan kota itu dengan kaum lelaki hanya untuk mereka saja.
Magnolia hamil dan begitu bahagia karenanya. Tetapi Morty lebih murung dari biasanya. Dia tak bergairah lagi mengesek cello. Gadis itu tak pernah menyangka Morty akan menyangkali kehamilannya. Mereka bertahan dalam kepura-puraan cinta di hadapan semua orang, hingga suatu malam Morty tak pernah lagi muncul di panggung Bar Cavallo.
Gadis itu hanya menemukan selembar surat yang berisi maaf Morty untuk kepergiannya yang tiba-tiba itu. Lelaki itu pergi. Meninggalkan Magnolia yang merasa sangat terkutuk telah menerima semua cinta lelaki itu.
Magnolia bertekad menunggu Morty. Walau dia harus terus menghibur dengan perut yang kian membesar.
Magnolia melahirkan anak perempuan yang cantik. Tetapi Magnolia segera kehilangan bayinya empat jam berikutnya. Bayi perempuannya itu mati karena gagal jantung. Bukan main hancur perasaan Magnolia.
Satu-satunya alasan dia terus bertahan menunggu Morty, adalah bayinya itu.
Setelah ditinggalkan oleh bayinya, kini Magnolia benar-benar berada dalam kesepian yang tak berujung. Magnolia memang tolol. Buat apa menunggu lelaki yang pergi begitu saja? Barangkali saja, lelaki itu kini sedang bersama gadis lain di Tortili. Atau, sedang menjual cintanya pada janda-janda kaya di Carbonia.
“Ah, brengsek kau Morty! Persetan dengan tubuhmu, dan cintamu. Kau menawanku dalam penjara tak bertepi ini. Aku akan memelihara parasaan ini dan menunggumu hingga kau kembali padaku,” kecam
Magnolia, sebelum memukul keras permukaan meja dan meneguk seketika wisky dari slokinya.
Hari itu, hari terakhir Magnolia menyanyi untuk Bar Cavallo.
Dia memulai penantiannya. Magnolia menolak tawaran bernyanyi dari beberapa bar dan restoran ternama lain di Capoterra. Dia juga menolak cinta seorang lelaki yang begitu gigih merebut perhatian. Namun hati Magnolia hanyalah untuk Morty.
***
BARANGKALI aku memang beruntung. Tak pernah menyangka, menyaksikan bagian akhir dari kisah Magnolia.
Saat aku sedang menikmati suasana Cavallo seperti biasa, Magnolia tiba-tiba bangkit dari duduknya dan berseru. Melihatnya berdiam di keremangan sudut Cavallo saja sudah aneh, apalagi melihatnya berdiri dan berseru seperti itu.
“Morty!” teriak Magnolia.
Seorang lelaki tua yang baru masuk dan hendak memilih meja, berpaling dengan heran. Mencoba menajamkan mata pada sosok yang menyebut namanya di keremangan Cavallo ini.
Lelaki tua itu berjalan mendekat. Saat jarak keduanya tinggal dua meter, lelaki itu terkejut. “Kaukah itu,
Magnolia? Aku kira, engkau sudah…,” katanya gugup.
Magnolia menarik segaris senyum di wajahnya yang keriput. Dia telah menyebut nama yang puluhan tahun tak bisa enyah dari kepalanya. “Inilah aku, Morty… Magnolia-mu. Cinta yang menunggumu pulang, Morty,” suara Magnolia bergetar.
Morty nanap. Sejujurnya, Morty tak berharap mengalami peristiwa ini. Dia mengira Magnolia telah lama mati. Pertemuan ini sulit membuatnya tersenyum. Tapi ada rasa aneh yang menuntunnya hendak merangkul wanita tua di depannya itu. Sedikit cinta yang tersisa mendorongnya untuk memeluk Magnolia. Tangan Morty berkembang.
“Hukkk!”
Morty langsung terbatuk. Menggeriap. Mata tuanya nanar menjelajahi wajah Magnolia. Perlahan matanya turun, melihat telapak tangan kirinya yang kini merah. Perutnya tiba-tiba terasa panas.
Sebilah pisau tipis kini menancap di perut Morty. Magnolia menghujamkan pisau itu tepat sebelum Morty memeluknya. Lelaki tua itu kaget bukan main.
Morty luruh di lantai Cavallo. Darah membanjir dari sobekan luka di perutnya.
Kepanikan lalu pecah di bar itu. Pengunjung wanita histeris. Beberapa lelaki, termasuk aku, segera mendekati Morty. Tetapi, lelaki tua itu baru saja mati.
Magnolia tersenyum. Matanya tak berkedip menatap tubuh Morty. Cavallo adalah tempat kali pertama mereka bertemu, dan di tempat itu pula Magnolia mengakhiri riwayat Morty. “Akulah saja yang mencintaimu. Jangan ke mana-mana lagi, Morty?” katanya tenang.
Air mata mengaliri pipi Magnolia. Itulah kata-kata terakhir Magnolia yang aku dengar, karena beberapa saat kemudian, polisi datang dan membawanya pergi.
Magnolia tak gila.
Selama 49 tahun, Magnolia hanya menunggu datangnya hari ini. (*)
.
.
Juni, 2011
.
Catatan:
Capoterra; salah satu kota pesisir di Pulau Sardinia (Sardegna), Italia.
Cannonau; anggur merah asal Cagliari.
Bottarga; telur ikan kering, biasa dihidangkan dengan pasta, makanan khas Costa Smeralda.
Vernaccia; anggur putih asal Oristano, umumnya beraroma kacang badam.
Pecorino; keju dari susu domba, dihasilkan banyak pertanian di Logudoro.
Cellis; istilah untuk pemusik yang memainkan cello.
Sassari, Tortili, dan Carbonia; nama kota-kota lain di Sardegna
.
.
Ilham Q Moehiddin menulis berbagai media. Ia menulis Kitab & Tafsir Perawan Nemesis (2000), Unabomber: Gadis Kecil di Elliot House (2002), dan Kabin 21 (2003). Anggota The Indonesian Freedom Writers, bermukim di Jakarta dan Kendari (Sulawesi Tenggara).
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar