Kamis, 17 November 2011

CERPEN SUARA MERDEKA



Tebarkan Abu Jenasahku ke Telaga
Oleh
S Prasetyo Utomo




Cerpen S Prasetyo Utomo (Suara Merdeka, 11 September 2011)



BAGAIMANA caraku menebar abu jenazah Steven ke telaga? Ia berwasiat, jauh sebelum buta matanya dan meninggal dunia, menghendaki abu jenazahnya ditaburkan ke telaga yang tak jauh dari rumahnya. Tapi bagaimana aku bisa melakukannya? Telaga itu telah beberapa tahun ini dikeringkan. Telaga, yang diyakini orang-orang sekitar, tempat bidadari mandi, berubah menjadi hamparan lahan dipetak-petak. Selalu dikisahkan Steven saat mengail di telaga: bidadari turun dari lengkung pelangi untuk berendam dan bersenda gurau, saat dilihatnya gadis-gadis desa menceburkan diri dalam bening air, membasuh tubuhnya sehabis mencuci pakaian.

Hampir sepuluh tahun Steven tinggal di desa sunyi di tepi telaga. Ia mengikuti Karti, pembantu rumah tangganya yang kembali ke desa, ketika ia pensiun dari Kedutaan Besar Inggris di Ibu Kota. Lelaki yang aneh. Dia membeli rumah kayu di dekat telaga, tidak jauh dari rumah Karti. Hidup menyepi. Tinggal sendirian. Melukis dan mengail ke telaga.

Kukenal Steven ketika aku tengah mancing di tepi telaga. Lambat dan tanpa disadari, kabut memudar di bawah pohon joho tua. Kami duduk di atas akar yang melata. Lelaki bule itu mengail dengan tenang, suntuk, hampir tanpa gerak.

Ketika hangat cahaya matahari mulai memantul di atas permukaan telaga, Steven beranjak pulang, mengangguk ke arahku. Menenteng ikan-ikan menggelepar hasil pancingannya. Langkah kakinya ringan.

Suatu pagi, Steven mengundangku ke rumahnya. Kami minum teh di ruang tamunya yang luas. Lukisannya tentang ikan-ikan, bangau, pohon joho, dan ratu siluman penunggu telaga, dipamerkannya padaku. “Aku mencintai kesunyian desa ini. Ketika Karti bercerita tentang desanya di tepi telaga, aku ingin mengikutinya tinggal di sini. Ini desa yang menenteramkan. Kubeli rumah kayu ini, dan aku mulai terbiasa dengan suasana ketenteraman yang melingkupinya. Aku bisa melukis dan mancing dengan bergairah.”

Aku tak berani bertanya tentang keluarganya, sampai ia sendiri yang berkisah. “Istriku sudah meninggal. Dua anakku bekerja di Inggris sana. Aku ingin mati di sini. Aku ingin menjadi bagian dari ketenangan desa ini.”

***

BERHARI-HARI aku tak bersua Steven. Tiap pagi aku mengail sendirian, dan berharap lelaki bule itu akan menyusulku duduk di atas akar pohon joho tua. Meski kami tak berbincang-bincang, kehadirannya menenteramkan hatiku. Setidaknya aku, yang menikmati masa pensiun, dan kembali ke kampung halamanku, hidup berdua dengan istri yang sudah renta, menemukan pertautan rasa dengannya. Di desa ini ia tak memiliki kerabat dan keluarga. Atau baginya, tak diperlukan lagi kerabat dan keluarga?

Aku berangkat ke surau, melintasi jalan di depan rumah Steven, dengan rasa ingin mengetahui keadaannya. Mobilnya berada dalam garasi. Setangkup pintu kayu di pendapa rumahnya dibiarkan terbentang. Kesunyian menganga di dalamnya. Usai shalat subuh di surau, kembali melintasi depan rumah Steven, aku disambut Karti.

“Mampirlah ke rumah Tuan Steven,” pinta Karti, santun dan memohon. “Tuan dalam keadaan sakit.”
Duduk di ruang tamu, sendirian, dengan secangkir teh mengepul, sebatang rokok yang menyala di jari tangan kiri, Steven kelihatan layu. Aku mengulurkan tangan untuk menyalaminya. Tapi ia tak menyambut uluran tanganku.

“Tuan terserang diabetes. Matanya hampir buta,” kata Karti.

“Apa yang bisa kubantu untukmu?” desakku.

“Bawa aku ke tepi telaga. Kita mancing bersama!”

Kutuntun Steven ke tepi telaga. Kududukkan ia di akar pohon joho melata tempat kesukaannya. Kupasangkan umpan pada mata kail. Kulempar ke dalam air. Wajahnya memantulkan kesegaran air telaga. 

Sungguh aneh, tiap kali Steven melempar kail ke telaga, segera disambar ikan. Ia tertawa-tawa, mengangkat kail ikan yang menggelepar-gelepar, dan memintaku untuk memasang umpan baru. Ia memintaku untuk menemaninya makan siang dengan ikan bakar masakan Karti, yang katanya tiada tara. Dan kubawa pulang ikan bakar yang masih utuh.

Steven tak pernah mengeluh, dan tak menampakkan wajah yang murung. Ia berhenti melukis dan mengail di bawah pohon joho tua. Hingga suatu pagi, sepulang dari surau, dia sudah menantiku di pintu gerbang.

“Kau punya waktu mengantarku ke telaga?”

Tentu aku tak menolak permintaan Steven. Kuantar dia ke tepi telaga, di bawah pohon joho tua. Kutuntun ia sampai pohon joho, dan seperti mencari kenangan di antara akar yang melata dan bening air yang menggenang sebagaimana kebiasaan Steven. Aku mancing. Steven berdiam diri, merenung dalam ketenangan dan kesunyian telaga. Sepulang dari telaga, Steven merasa sangat berhutang budi padaku.

Steven tetap tampak bahagia. Meski tak bisa lagi melihat telaga. Tubuhnya memang kian lemah. Hingga aku tak pernah melihatnya di pintu gerbang rumahnya. Karti yang berkisah, Steven hanya terbaring di ranjangnya. 

Terkulai. Tak pernah lagi meninggalkan rumah. Ia telah melupakan kegemarannya pergi ke telaga untuk mengail ikan pada pagi berkabut.

Tiap subuh dini hari, sepulang dari surau, aku melihat Steven duduk di kursi rodanya di beranda. Menghadap pintu pagar rumahnya. Aku tak pernah bisa menduga, siapa yang dinantinya.

***

PERMUKAAN air telaga kian hari kian surut. Tanggul sungai telah dibobol orang-orang suruhan Lurah Ngarso. Air mengalir ke sungai kecil, dan membawa ikan-ikan di dalamnya. Kian surut telaga, kian kelihatan lumpur, katak, ular, dan ikan lele yang mencari genangan air. Mata air telaga ditimbuni dengan bebatuan. Tiap hari selalu datang orang-orang kekar suruhan Lurah Ngarso, yang menimbuni mata air telaga dengan batu-batu.

Mata air telaga masih mengucurkan air bening. Lurah Ngarso memerintahkan membuat parit kecil, yang mengalirkan air bening dari mata air ke sungai kecil yang gemericik airnya. Lumpur lembek kehitaman di dasar telaga dikeringkan terik kemarau, kini menghampar sebagai lahan, luas dan mulai diratakan. Tanah itu diukur, dipetak-petak, dan orang-orang dari perkotaan datang untuk memilikinya.

Usai shalat subuh di surau, ketika melewati rumah Steven, aku sudah dihadang Karti. Perempuan setengah baya itu memintaku untuk menemui Steven. “Kesehatannya memburuk, dan memerlukan teman bicara.”

Terbaring dengan tubuh lemah, Steven masih menampakkan wajah yang tenang. Tangannya dingin dan lunglai. 

“Aku harus berwasiat padamu. Bila aku mati, tebarkan abu jenazahku ke telaga.”

Aku tak bisa berkata tidak. Tapi bagaimana mungkin memperturutkan wasiat Steven? Telaga itu telah menjelma lahan-lahan kering, yang terpetak-petak, yang dimiliki juragan-juragan dari kota. Di tengah-tengah lahan itu dibuat taman, dengan batu besar yang dipahat serupa ikan gabus, dengan air mancur di sekelilingnya. Rumah-rumah baru mulai didirikan, jalan beraspal, kantor-kantor, toko, dan mobil-mobil mewah memasuki kawasan bekas telaga. Burung-burung yang dulu berkeliaran di atas telaga kini masih beterbangan di atas lahan, rumah, gedung, patung ikan gabus, dan pohon joho tua.

***

ABU jenazah Steven teronggok dalam guci terbungkus mori. Karti yang membawanya padaku. Diletakkan di atas meja. Tanpa berkata apa pun, aku sudah memahami kehendak Karti: memenuhi wasiat Steven, menebar abu jenazahnya ke telaga. Tapi mana mungkin?

“Kita tebar abu jenazah ini ke laut,” kataku. Sepasang mata Karti berbinar. Bersama beberapa orang yang mengenal Steven, kami berangkat ke pantai. Menyewa sebuah kapal. Berlayar ke laut. Ombak tenang. Laut tanpa pergolakan. Kapal berhenti di tengah laut. Aku memasukkan tangan ke dalam guci. Meraih abu jenazah Steven. Menaburkan ke laut. Abu jenazah tertebar dengan warna putih tulang. Karti menaburkan abu jenazah tuannya, dengan dada terguncang menahan sesak.

Terasa tiada habis-habis abu jenazah Steven ditaburkan ke laut. Tiap kali aku menggenggam abu warna putih tulang dan menebarkannya ke laut, kian memperpekat sosok lelaki sepi itu dalam pantulan gelombang. Kapal segera berputar mengitari kawasan taburan abu jenazah. Kami menebar kembang. Wajah Karti membeku. Ia tak lepas memandangi abu dan kelopak-kelopak bunga yang segera lenyap terhanyut gelombang kecil laut.

Karti menenteng guci abu jenazah Steven. Tidak diceburkannya ke dalam gelombang laut. “Biar guci ini kubawa pulang. Aku ingin memiliki kenangan tentang tuan.”

***

MASIH remang pagi ketika aku pulang shalat subuh dari surau, bersua Karti membawa guci tanah mendekati mata air telaga. Apa yang dilakukannya? Gerak-geriknya canggung. Ia seperti ingin menghindar dariku. Aku memilih diam, tak menegur, dan berjalan di belakangnya. Ia berhenti di bawah pohon joho, yang dari celah akarnya mengalir bening mata air.

“Masih kusisakan abu jenazah Tuan Steven. Akan kubuang ke mata air telaga,” kata Karti. Ia menghampiri mata air telaga yang bening. Menyingkap kain mori penutup guci. Menggenggam abu di dasar guci. 

Menebarkankannya. Larut dalam gemericik air, terhanyut ke parit dan mengucur ke sungai kecil. Wajahnya tampak bercahaya sewaktu mengosongkan isi guci tanah itu.

Tapi abu itu tidak keputihan. Abu hitam pekat. Tangan Karti berjelaga. Kemarin ketika kutaburkan abu jenazah Steven, terasa lembut keputihan.

Sepasang mataku menyelidik. “Ini bukan abu jenazah Steven!”

Tergagap, menunduk, Karti menghindari tatapanku. “Memang bukan. Ini abu lukisan tuan.”

“Kenapa kaubakar?”

“Aku malu. Ini lukisan tuan tentang aku yang mandi di telaga, di bawah pohon joho ini. Lukisan ini disimpannya dalam gudang, dan tak pernah diceritakan pada siapa pun.”

Tangan Karti yang berjelaga dibasuhnya ke dalam mata air yang mengalir. Ia menghanyutkan guci itu ke parit. Senyum perempuan itu rekah, seperti telah melepaskan beban batin yang dipendamnya.

Karti menjauh dari mata air. Abu yang dihanyutkannya tak selembut abu jenazah Steven yang keputihan. Kali ini yang ditebarkan ke aliran mata air tampak kehitaman, berjelaga, serupa abu kertas yang dibakar. Di bebatuan parit tersangkut serpihan kertas terbakar. Masih terbaca sebagian tulisan tangan Steven yang tak terbakar, kurangkai susah payah: kuwariskan seluruh kekayaanku pada warga desa….

Inikah surat wasiat Steven yang dibakar Karti? (*)
 .
.


Pandana Merdeka, Januari 2011








Anak Pesisir
Oleh
Mahwi Air Tawar










PERAHU-perahu terkapar, membujur seurut laut; bendera merah putih lusuh terpancang miring dekat anjungan. Terkadang tiang bendera itu bergerak ke kanan ke kiri mendesirkan bau anyir ikan kering, apek, ngengat. Dengung lalat mengerubungi bagian geladak penuh bercak, jala kumal, temali jangkar, patahan ranting bergelantungan pada bentangan bambu penggulung layar.

Sebuah gubuk tanpa sekat menghadap ke laut, beralas pasir putih, beratap anyaman daun lontar. Di gubuk itulah, setiap hari orang-orang kampung nelayan tak pernah bosan duduk-duduk, entah untuk kepentingan apa saja, lebih-lebih bagi nelayan sebelum berangkat maupun sepulang dari melaut. Biasanya, nelayan yang baru saja datang dan hendak masuk, berkumpul dengan para nelayan lainnya, akan mengeringkan tubuhnya, berguling-guling di atas pasir, kemudian setelah cukup kering barulah ia turut serta dalam percakapan.

Ya, biasanya, mereka yang baru tiba dari melaut akan bercerita tentang cuaca di tengah laut, ombak, angin, jaring dan hasil tangkapan ikan yang tak menguntungkan. Jauh dari harapan. “Ah, coma lima ekor. Bayar solar tak kelar.” Keluhan yang tak pernah jemu mereka lontarkan dan acap berujung dengan harapan. 

“Semoga besok pendapatan dapat melunasi utang tempo hari,” harapnya sembari meletakkan bungkusan tembakau yang di dalamnya dilapisi kulit jagung kering.

Bagi mereka, gubuk itu tidak hanya menjadi tempat paling nyaman melepas penat, menikmati silir angin pantai meski amis ikan kering, bau gundukan berak di sepanjang tepi pantai, sampah atau mengubur separuh tubuhnya pada pasir, tetapi gubuk itu juga menjadi tempat pertemuan para nelayan; berurun rembuk perihal acara-acara rokat tasek, tatenggun, ludruk.

Di luar gubuk, sebelah tiang penyangga kiri dan kanan, istri para nelayan tak mau ketinggalan, bergunjing. Ada yang duduk bersimpuh, rebahan, posisi tubuh sedikit miring. Ada pula yang duduk memanjang ke belakang, menisik rambut, mencari kutu.

Tak jauh dari tempat mereka berkumpul, persisnya di tepi pantai, ada laki-laki dan perempuan duduk berjongkok berjejer menghadap laut sedang berak sambil bercakap-cakap dengan seseorang di sampingnya yang juga berak, sementara yang laki-laki menelungkupkan telapak tangan kirinya pada penisnya sedang yang perempuan cukup melilitkan ujung sarungnya hingga menyentuh tanah. Anak-anak seusia belasan tahun asyik bermain. Ada yang saling berkejaran sambil sesekali menceburkan tubuhnya ke hulu. Salah seorang di antara anak-anak itu adalah Julantip, berikut ceritanya:

Julantip, sebagaimana juga anak-anak seusianya, menjelang siang selalu berada di hulu, mencari tiram. Terkadang, dengan riang menyelam hingga tubuhnya tak tertangkap pandang, bila buih membuncah ia dengan sigap segera menyelam, berenang, sepasang kakinya berkelepak hingga menimbulkan kecipak menanggalkan gelembung-gelembung kecil di permukaan ombak, beberapa saat berselang ia melompat dengan mata terpejam, dikibaskannya kepalanya ke kanan-ke kiri sembari mengacungkan kepalan tangan, memperlihatkan tiram yang didapat lalu melemparnya ke atas sampan.

“Yang dapat paling banyak boleh ikut aku.” Julantip menantang teman-temannya.

“Dua puluh?” teriak Mahbi dari atas sampan setelah menghitung tiram. “Ya, hanya dua puluh,” imbuhnya setelah berdekatan dengan Julantip. “Enam tiram lagi. Kamu dua, Sukri dua, aku dua. Masing-masing akan kubeli.”

***

JULANTIP menyelinap dan bersembunyi di balik gundukan pasir, menghindari teman-temannya yang masih asyik bermain. Tidak, tidak, mereka bukannya tidak tahu apa yang akan dilakukannya di balik gundukan pasir dan membawa sekarung kecil tiram. Ya, mereka tahu, pastilah ia akan membuat ulah sebagaimana sering dilakukan pada hari-hari sebelumnya atau kalau tidak, menunggu Munati, gadis kecil yang sering ikut serta ibunya, Markoya, menyunggi tapih dari anyaman kulit bambu, menjajakan nasinya secara berkeliling.

Lihatlah, dari kejauhan Munati menjinjing keranjang berjalan beriring di belakang ibunya. Caranya berjalan sepadan penari tandak, berlenggang. Terkadang, langkah kedua perempuan itu lebih cepat, ujung jemarinya menjinjing ujung sarung lorek hingga di atas lutut. Bau asin tubuh dua perempuan itu bercampur semerbak siwalan, menyeruak, tingkah genitnya membuat mata orang-orang kampung bersegera melayangkan pandang, lebih-lebih saat keduanya istirahat dan menceburkan diri di hulu dengan tubuh hanya terbalut kain sarung.

Oh. Lihatlah, lihat wajah sumringah itu, rambut bergerai, lekuk-lekuk tubuh. Ikh, bau asin garam bercampur lelehan keringat setelah menempuh perjalanan jauh sebagai penjual nasi keliling tetap saja tak membuat orang-orang yang duduk membujur seurut laut memalingkan pandang. Demikian juga dengan Markoya yang membiarkan tubuhnya ditatap lekat para lelaki. Sebaliknya, sambil berendam ia menembang.

***

DI balik gundukan pasir, Julantip menyembulkan kepala, mengintip. Munati melirik. Dua mata beradu pandang. Ketika gadis kecil itu berpaling, melangkah, buru-buru ia melempar tiram, dan tiram tersebut menggelinding setelah tersentuh lengan gadis anak penjual nasi keliling. Sontak Munati menoleh sebelum akhirnya kembali melangkah, angin menyingkap roknya hingga di atas lutut. Tetapi kemerisik langkah dan sebentuk bayang rentangan tangan seperti hendak menghalang, menghentikannya berjalan.

“Untukmu,” kata Julantip memberikan sekarung tiram.

“Simpan dan jaga, di sini, di balik gundukan pasir itu,” bisik Munati sambil melekatkan bibirnya. “Puah! 

Kulitmu asin,” meludah, “Tunggu aku. Selepas mengantar ibu aku segera kembali.”
Julantip mengangguk senang. “Aku akan mengajarimu berenang,” bisik Julantip.

Munati mengangguk, melangkah pelan. Berdendang riang. Keranjang dari anyaman bambu di tangannya terayun ke kanan-ke kiri, lalu menungging, sepasang kakinya direntangkan sambil menyelundupkan kepala lewat selangkangannya, gerai rambutnya terjuntai pada rok yang tersingkap.

“Ti… Munati….”

Lekas Munati menyusul ibunya yang berdiri tak jauh di depan orang-orang kampung nelayan. “Ikh!” Markoya mendeham, geram.

Kepada laki-laki yang duduk di luar gubuk, Markoya menawarkan barang dalam bungkusan kresek kecil. 

Tidak, tidak, bukan bumbu cabe atau kunyit yang ia tawarkan melainkan remah-remah kayu, buliran bedak, obat kuat, dan laki-laki yang ia tawari itu mengangguk.

“Murah,” kata Markoya, dadanya dibusungkan.

“Bisa dicoba?” tanya laki-laki itu berkelakar. Markoya mengulum senyum. Laki-laki itu menyelipkan uang ke balik kutang Markoya. “Nanti siang di gundukan pasir itu,” imbuhnya.

***

MARKOYA mengambil jalan setapak menuju kampung nelayan. Begitu selalu, sebelum ia menjual nasinya di gubuk tepi pantai, terlebih dahulu ia berkeliling dari rumah-ke rumah kampung nelayan. Menawarkan nasi.

Rumah-rumah orang kampung nelayan rata-rata menghadap ke utara, berhalaman pasir putih dengan halaman tanpa pagar pembatas antara halaman rumah satu dengan rumah lainnya, sesanak-kerabat bersatu dalam satu rumah. Pada halaman yang panjang beralas pasir, sebelah barat ujung rumah, sebuah langgar dari anyaman bambu menghadap ke timur, samping langgar ada satu dapur menghadap ke selatan bersebelahan dengan sumur. Persis dekat undakan serentang kain dalam bingkai kayu sedang dijemur.

Ke rumah itulah kini Markoya menuju, meniti harap menyunggi tapih, menawarkan nasi, nasi yang masih utuh. Pasir-pasir beserpihan saat telapak kakinya menapak dan tumit terangkat dalam langkah. Ia akan berhenti di teras rumah atau di tengah halaman beralas pasir sambil berteriak menawarkan nasinya. Bila di rumah hanya ada seorang laki-laki, tanpa merasa segan ia akan berkata, “Sepi, Kak. Belum makan, kan? Nasi masih hangat,” membujuk dengan tingkah menggoda, “dijamin hangat.” Durakkap kala itu lagi sendiri. Tidak ada Julantip, anaknya, juga Sitti, istrinya.

“Mau kalau penjualnya,” goda Durakkap.

“Nasinya lebih enak daripada penjualnya, Kak.” Markoya berlenggang. Melirik ke beranda rumah Durakkap yang berdebu.

“Mumpung sepi.”

Markoya berpaling, langkahnya pelan, diangkatnya ujung sarung hingga betisnya terlihat jelas. “Nantilah, Kak. Beli nasi saya dulu,” ujar Markoya.

Lekas Durakkap bergegas, tetapi Markoya segera bersiasat memanggil seorang perempuan, dan seketika itu pula tawanya pecah sehingga membuat seseorang yang kebetulan lewat dalam heran berucap aneh: Senok!

***

SEUSAI berkeliling menjajakan nasinya di rumah-rumah kampung nelayan, Markoya segera pergi ke pantai menggelar jualannya di antara kerumunan para nelayan yang duduk bertekuk lutut berselempang sarung. Tak jauh dari tempatnya berjualan, persis di tepi pantai, laki-laki dan perempuan dalam posisi berjongkok berjejer sedang berak.

Belasan perahu yang tertambat di tepian berayun-ayun pelan seperti bayi-bayi dalam buaian. Ombak tak putus-putus membentur buritan dan menimbulkan suara dentaman yang terus-menerus terdengar. Angin, yang menderu kencang ke arah laut, mematahkan juga ranting-ranting cemara udang yang kemudian berguguran ke atap sebuah gubuk tempat beristirahat para nelayan. Hamparan pasir berhamburan. Melesat ke udara tanah pesisir yang gersang; rinjing tempat ikan pindang, alas tempat menjemur ikan dari rajutan janur kering berterbangan, anyir ikan yang sengaja dikeringkan menyeruak, dan sampah yang berserak melesak, tersangkut tiang bambu perahu yang terkapar di antara rindang pohon cemara udang.

Markoya tampak sibuk melayani pembeli. Ada yang dimakan langsung, ada juga minta dibungkus. Begitu selalu, bila ikan lagi musim, jualannya akan habis di tempat seketika, lalu ia akan berlenggang pulang dengan seringai senyum sebelum hari beranjak petang.

Ya, kini ia berlenggang senang menuju pulang. Ingin ia segera tiba di rumahnya. Ihk, dehamnya sambil menebarkan pandang, menoleh ke belakang. “Ti… Munati…,” teriaknya. Ya, sudah sejak di gubuk ia tak melihat anak gadisnya. Lelehan keringat tampak mengalir di sela jidatnya yang berkerut.

Dari kejauhan seorang lelaki berjalan lekas. Markoya menurunkan tapih-nya, baju dibuka, dan kini, di tubuhnya hanya tinggal sarung yang diikat persis di atas dadanya, lalu dengan agak kesal ia pergi ke tepi pantai.

Maklumlah, matahari yang kelewat terik memaksanya berendam meski sejenak, dan ini biasa ia lakukan baik sebelum mengelilingi kampung nelayan maupun ketika akan pulang.

Beberapa langkah setelah ia meletakkan pakaiannya di atas tapih, dari balik gundukan pasir terdengar suara rengek perempuan, senyum pun terkulum, ia ingat tadi dengan janji lelaki yang membeli jamunya. Markoya menghela napas, sejentik harap menguak; tempat yang dijanjikan laki-laki tadi sudah ditempati orang lain. “Ia pasti malu. Tak mungkin melakukan. Mungkin besok, saya tidak jualan,” gumamnya sambil melipat baju, kutang.

Suara laki-laki dan perempuan dari balik gundukan pasir itu semakin keras: tawa, lenguhan kesakitan. Sejenak Markoya melangkah lebih dekat. Suara itu tidak asing, bisiknya. Ia semakin mendekat, dan suara itu juga semakin jelas, dan ketika sepasang matanya menangkap dua tubuh sedang bertindihan ia tak percaya.

“Munati? Julantip?” sontak ia memanggil, geram.

Sementara dari balik pohon cemara udang seorang lelaki bersiul, memandang Markoya, penuh hasrat. (*)
 .
.
Paseser, 2010

Mahwi Air Tawar, lahir di Pesisir Sumenep, Madura. Sejumlah cerpen dan puisinya dipublikasikan di pelbagai surat kabar. Cerpen dan puisinya juga termuat di sejumlah antologi bersama. Buku kumpulan cerpennya Mata Blater (2010). Kini, di samping sebagai editor lepas, ia mengelola komunitas sastra poetika dan rumahlebah.










 .
 
 .

Tidak ada komentar: