Negeri Penidur
Oleh
Toni Lesmana
LELAP sekali dirimu terbaring di lantai. Tak ada yang bergerak selain isyarat lemah napasmu. Mimpi apa yang tumbuh dalam tidurmu? Aku hanya bisa memandangmu. Tubuhmu nyaris telanjang. Aku terus memandangimu sambil perlahan merayap di tembok, memanjat kaca jendela dan meloloskan diri pada lubang angin.
Tak tahan melihatmu terus tertidur, aku ingin pergi sebentar melihat negerimu. Barangkali aku akan menemukan sesuatu yang dapat membunuh seluruh rinduku padamu. Atau mungkin pergi darimu selamanya. Tidak, aku tak mungkin sanggup. Tapi aku harus lepas dan bertualang. Masih sempat kulirik tumpukan buku dan kertas yang berserak di lantai. Tulisan yang belum tamat di layar komputer. Sama seperti dirimu, mereka juga pulas dan lelap. Dari kamarmu, kutangkap tubuh istrimu yang meringkuk, seperti memeluk. Ada gerak-gerik di sana. Namun aku tak tahan lagi. Betapa aku sakit menatapmu terus tertidur.
Pekarangan yang dingin, kabut merubung lampu-lampu. Aku menyusupinya. Rumah-rumah kelabu. Gang yang lembab. Ada suara yang cukup nyaring di ujung gang. Aku melayang perlahan di tanah basah. Dan melesat menuju suara itu. Seorang pedagang nasi goreng nampak sedang sibuk mendorong gerobak sambil memukul-mukul wajannya. Dua orang pemuda mabuk menghampirinya, tawar-menawar. Akhirnya dengan muka sedikit marah penjual nasi goreng itu meluluskan keinginan sang pembeli. Kedua pemuda itu duduk di trotoar. Meracau tak tentu. Mata mereka rapat terpejam. Begitu pula mata sang pedagang. Bagaimana mereka bisa mabuk dan berdagang dalam keadaan tertidur? Keparat. Aku teringat dirimu. Dirimu yang melulu tidur. Dirimu yang sering kukutuk karena tak juga membuka mata barang sekejap. Ternyata tak hanya dirimu. Negeri apa sebenarnya yang kau tinggali dan tak pernah usai kau cintai ini?
Lepas dari mulut gang, aku cepat-cepat meninggalkan pemandangan suram yang tadi kukejar dengan penuh pengharapan. Berlari dalam kabut menuju pusat kota. Orang gila berteriak-teriak di jembatan. Gelandangan memeluk kardus di trotoar. Sepasang manusia berciuman di bawah lampu jalan. Seorang fotografer asyik memotret sebuah bangunan kuno. Serombongan anak punk bernyanyi-nyanyi sambil berjalan. Satpam sebuah rumah repot mengejar pencuri. Tapi mata mereka semuanya terpejam. Mereka semua tidur. Itulah kehidupan dalam tidur. Aku terus berlari. Berlari dalam penasaran. Kususuri seluruh pelosok kota. Memasuki gedung demi gedung. Melewati perempatan demi perempatan. Melesat ke alun-alun. Berdiam di terminal.
Menyaksikan pasar. Mengaduh di stasiun. Apa yang kudapati adalah orang-orang yang tertidur. Semuanya berjalan sambil tidur. Tak ada mata yang terbuka. Tak seorang pun terjaga. Tubuh-tubuh itu bergerak dengan mata tertutup.
Malam sebentar lagi usai. Orang-orang dan kendaraan mulai memenuhi jalanan. Lampu-lampu mati dan kabut menyusut entah ke mana. Aku menyaksikan matahari pagi terbit di sebuah pelataran gedung pemerintahan. Orang-orang dengan pakaian rapih dan berseragam nampak mulai sibuk menyiapkan segala sesuatu.
Sepertinya bakal ada acara. Ada panggung lumayan besar dengan peralatan band dan tata suara lengkap. Kursi-kursi tertata rapih. Hajatan di gedung yang paling besar dan megah. Perlahan semakin banyak yang datang. Para pejabat, pengisi acara, juga masyarakat, datang sebagai penonton. Puluhan bahkan ribuan orang mulai memadati pelataran gedung yang luas. Acara yang meriah. Pidato-pidato dengan suara yang lantang dan bersemangat, tangan yang terkepal, dan riuh sorak masyarakat. Doa-doa dipanjatkan. Puisi, lagu, dan tarian dipentaskan. Mereka mengerjakan itu dengan mata terpejam. Padahal matahari nyaris mencapai puncak ketinggian di langit.
Aku pun mengikuti anak-anak sekolah yang berjalan riang menuju sekolah mereka. Tak berapa lama kemudian di dalam kelas kulihat guru mengajar sambil tidur dan anak-anak sekolah belajar sambil bermimpi. Dan kecewa membawaku melayang dari satu kantor ke kantor yang lain. Tak berbeda adanya. Orang-orang bekerja sambil tidur. Mereka mengerjakan dan menyaksikan korupsi tanpa membuka mata. Di pengadilan, hakim menjatuhkan vonis dengan mata tertutup. Sipir penjara menjaga narapidana juga tanpa membuka mata. Semua berjalan dengan tenang tanpa gejolak. Dan aku berlari lagi ke pabrik-pabrik yang riuh dan gaduh. Para buruh berpeluh dalam tidurnya. Sang majikan menghitung uang sambil tidur pulas.
Aku ingin pergi sejauh-jauhnya, barangkali masih ada kehidupan yang terjaga dan waspada. Sepasang mata yang terbuka. Namun, di jalanan aku menemukan sekelompok demonstran yang meneriak yel-yel berani juga dengan mata yang tidur. Beberapa melakukan perusakan dan terjadi bentrokan sambil bermimpi. Dengan sedikit malu-malu aku singgah di beberapa rumah ibadat, mengikuti sejumlah ritual yang khusyuk. Hanya seperti khusyuk, nyatanya mereka juga beribadah dalam tidur.
.
PERJALANAN segera saja membosankan. Siang hari saja sudah begini. Apalagi malam hari. Tak ada seorang pun yang membuka mata. Semuanya hidup dalam tidur. Kesadaran seperti sebuah kondisi yang tak lagi diperlukan. Sementara ketidaksadaran menjadi sebuah kehidupan. Barangkali aku sedikit bisa memahami apa yang terjadi pada dirimu, setelah selama ini aku menganggap dirimu gila. Kini tak dapat disangkal, bahwa kau adalah bagian dari sebuah negeri yang memang lelap dan tak pernah bangun. Sepanjang perjalanan pulang aku mulai belajar menutup mata sambil melayang. Namun berkali-kali aku tersesat. Dan semakin jauh dari rumahmu, dari dirimu. Alih-alih semakin dekat, ini malah semakin menjauh. Aku muncul di pasar yang terbakar, di samping sebuah bom yang meledak, di sekolah yang runtuh, juga di sebuah rumah ibadat yang dilempari batu. Betapa susah menggenapi perjalanan sambil menutup mata.
Tiba-tiba aku berada di perempatan bersama pengamen dan anak-anak kecil penjual cobek batu, malah tak sengaja masuk ke kamar hotel dan menyaksikan seorang pejabat memeluk tubuh perempuan muda yang pasti bukan istrinya. Aku melayang-layang tak tentu arah. Heran sungguh aku, bagaimana dirimu dan penghuni negeri ini bisa melakukan semuanya dengan kelopak mata yang terkunci. Akhirnya kubuka kembali mataku lebar-lebar, lantas melayang cepat di atas kota. Senja hampir habis. Dan aku ingin segera kembali ke rumahmu. Ke tubuhmu. Cukup sudah perjalanan ini. Setidaknya dapat kupahami apa yang terjadi pada dirimu.
Hinggap di atap rumahmu, aku memasuki celah-celah genting. Meluncur turun ke lubang di langit-langit rumahmu. Aku melihat dirimu masih terbaring di lantai. Sementara istrimu seperti sedang menyusui.
Kau tertidur dengan telentang. Wajahmu begitu damai. Dadamu bergerak halus. Napasmu lemah. Tubuh yang sering kucaci kini nampak sangat indah. Indah dalam tidurnya yang lelap. Tubuhmu. Aku cepat meluncur kembali. Namun aku tak dapat menjejak lantai. Aku hanya melayang-layang mengitari tubuhmu. Tanganku menggapai-gapai namun tak dapat menyentuh. Tanganku tak dapat menyentuh apa pun. Semuanya.
Rambutmu. Hidungmu. Bibirmu. Tanganmu. Dadamu. Kakimu. Semuanya tak dapat kusentuh. Tanganku hanya menembus semuanya.
.
TIBA-TIBA aku menjadi begitu takut. Aku lupa bagaimana aku meninggalkanmu. Meninggalkan tubuhmu. Aku lupa. Kini aku begitu merindukan memasuki kembali tubuhmu. Tubuhku. Namun aku tak tahu bagimana caranya. Aku mulai berteriak-teriak. Namun tentu kau tak akan mendengarku. Tak akan ada yang mendengarku. Aku melayang-layang dalam rumah. Aku tabrak semua barang. Namun tak satu pun yang bergerak.
Tubuhmu nampak semakin indah.
Tubuhmu. Tapi kini tubuhmu tak lagi telanjang, tapi mengenakan kemeja dan celana jeans. Berarti tubuhmu telah bergerak selama aku pergi. Bagaimana mungkin? Bagaimana kau bergerak sementara aku pergi meninggalkanmu. Tubuhmu adalah tubuhku.
Itu tubuhku! Aku berteriak tiba-tiba entah pada siapa. Ketakutan semakin merajalela. Aku tak dapat memasuki tubuhku sendiri. Aku hanya melayang berputar-putar seperti layangan putus. Ketika aku melihatmu terbangun. Berdiri. Berjalan menuju kamar. Lantas berbalik, mengarah ke dapur. Memanaskan air. Menyeduh teh. Dan membawanya ke ruang tengah. Tubuhmu menyalakan komputer. Menyalakan sebatang rokok. Aku menghalang-halangi. Namun aku, tubuhku, kau tembus begitu saja. Ah, matamu yang terus terpejam itu, membuatku seperti gila.
Itu tubuhku! Aku berteriak berulangkali. Kini dengan tangisan dan jeritan.
Tubuhmu mulai menulis di komputer. Asyik sendiri.
Aku melihatmu. Hanya dapat melihatmu. Aku ingin memasukimu. Tubuhmu adalah tubuhku. Tubuhku. Aku melayang kesepian di sudut ruangan. Tak tahu hendak bagaimana. Sungguh, mulai dapat kupahami kau hidup sambil tertidur. Namun kini, aku tak dapat mengerti bagaimana dapat kau hidup tanpa nurani, tanpa hati. Barangkali seluruh penghuni negeri penidur ini tak hanya hidup dalam tidur, barangkali mereka juga hidup tanpa hati, tanpa ruh. Seperti jarum detik. Seperti mesin. Seperti robot. Seperti tubuhmu kini. Tubuhku, tubuhku. Alangkah malang tubuhku.
Aku terus mengingat cara untuk dapat memasukimu. Aku ingin menceritakan perjalananku. Aku ingin mengajakmu untuk menulis dengan mata terbuka. Namun aku hanya dapat melayang-layang. Tersesat sendiri tanpa tubuh. (*)
.
.
Kedungpanjang, 2011
Toni Lesmana lahir di Sumedang 25 November 1976. Menetap di Ciamis, Jawa Barat. Ia juga menulis puisi dan cerita dalam bahasa Sunda.
Teknik Mendapatkan Cinta sejati
Oleh
A.S. Laksana
JIKA harus membenci orang yang sangat kaucintai, apa yang akan kaulakukan? Pertanyaan itu datang Senin pagi ketika Seto baru bangun tidur. Masih samar benda-benda, masih remang pikirannya, dan tampang dungu adiknya sudah bercokol di depan mata. Seto tahu bahwa adiknya akan tampak seperti itu kapan saja, dan mungkin selamanya. Ibunya salah dalam hal ini. Pada umur dua tahun, adiknya memungut konde palsu ibunya yang, entah bagaimana, jatuh ke lantai dan memasukkannya ke mulut. Lalu ia jalan sempoyongan ke teras rumah sambil menggigit konde. “Papa, lihat dia!” kata ibunya. “Dia makan konde. Lucu sekali.”
Seto berumur enam belas tahun saat itu. Menurutnya makan konde, meski itu dilakukan oleh anak dua tahun, bukanlah tindakan lucu. Itu dungu. Selamanya dungu. Dan anak itu bahkan tak pernah memanggil Seto dengan sebutan kak atau mas.
Sekarang si kerbau, yang kini 19 tahun, duduk di tepi tempat tidurnya, dekat kaki. Anak itu terlihat lebih dungu dari biasanya dan situasi di rumah agak mencemaskan. Ayah dan ibunya sedang pulang kampung sampai minggu depan untuk mengurus tanah warisan. Artinya, dalam seminggu si kerbau akan sepenuhnya menjadi urusan Seto.
Kalau saja adiknya sedikit berakal, Seto merasa akan gampang menjawab pertanyaan yang diajukannya pagi itu. Ia akan bilang, “Pindah agama saja.”
Itu bukan jawaban main-main. Seto pernah berpindah agama tiga kali sejak berhenti kuliah: semua agama baik, kautahu. Dengan berpindah agama, kau sekadar berpindah dari satu kebaikan ke kebaikan lain. Lagipula semua agama bisa dijalankan begitu-begitu saja. Ia tidak pernah ke masjid ketika memeluk Islam, tidak pernah ke gereja ketika memeluk Kristen, tidak pernah bertapa ketika menganut kepercayaan.
Memang akan ada sedikit persoalan jika kau bolak-balik pindah agama. Tapi itu bisa diatasi dengan siasat. Di kartu tanda penduduk Seto selalu mencantumkan agama yang sama, seolah-olah ia memeluk agama itu secara kukuh. Itu demi kemudahan administrasi, karena Seto tidak mengurus sendiri pembuatan KTP-nya. Ia membayar orang kelurahan dan tinggal tunggu beres dalam dua-tiga minggu dan ia tidak ingin ada pembicaraan panjang dengan orang itu soal agama.
Setengah tahun terakhir, karena ilham dari sebuah novel, dan karena semua agama adalah baik, Seto memeluk tiga agama sekaligus—Islam, Kristen, Yahudi—dan ia merasa lebih tenteram. Ketika para pemeluk Islam dan
Kristen saling bunuh di beberapa tempat, kedua agama itu tetap damai di dalam dirinya. Ia tidak harus membela yang satu dan mengalahkan yang lain. Ia juga tidak perlu mengutuk Yahudi. Justru dengan memeluk Yahudi, Seto bisa menikmati dirinya sebagai bagian dari suatu kaum yang meyakini diri sebagai pilihan Tuhan, yang hidup menyebar di mana-mana sembari terus-menerus merindukan tanah yang dijanjikan.
Kautahu, dengan memeluk tiga agama sekaligus (dan sekarang ia juga sedang menekuni Buddhisme dan Hindu), Seto merasa Tuhan sangat mengasihinya. Memang ia tak bisa mencantumkan ketiganya secara bersamaan dalam KTP, tetapi Tuhan mahatahu. Dia tahu apa yang ada dalam hati dan Dia pasti paham juga urusan administrasi kelurahan.
Dan sesungguhnya urusan dengan Tuhan tak pernah terlalu rumit. Beda ketika kau berurusan dengan si kerbau. Ia berkebalikan dari Tuhan. Si kerbau maha-tidak tahu dan ia pemburu yang pantang menyerah. Dan itulah ujian yang nyata bagi Seto. Maksudku, anak itu terlalu dungu untuk diladeni, tetapi ia akan terus mengejarmu sampai mendapatkan jawaban.
.
SETO membalikkan tubuh membelakangi adiknya. Ia kembali memejamkan mata dan tertidur lagi tak lama kemudian. Ketika bangun untuk kali kedua, dilihatnya si kerbau masih duduk seperti semula, seperti batu tua, seperti kutukan dari masa prasejarah. Ia katupkan lagi kelopak matanya yang tiga hari belakangan memang terasa layu dan berat. Seto yakin tensinya sedang merosot saat itu. Sehari sebelumnya ia seperti hidup tanpa tulang. Pada Sabtu pagi, ketika ia kencing, ia merasa lantai kamar mandinya goyah dan debur jantungnya meracau dan kepalanya seperti kesemutan.
Situasi begini tak bisa kauanggap remeh. Kautahu, sering ada kabar orang terjengkang di kamar mandi dan harus dirawat di rumah sakit karena kepalanya bocor menghantam sudut bak mandi atau bibir kloset. Pasti karena tensi yang rendah. Sudah beberapa kali Seto mengalami keadaan seperti itu. Namun ia selalu baik-baik saja. Ia tahu cara kencing yang aman di saat tekanan darahnya sedang rendah.
Mula-mula ia akan melakukan hal yang biasa dilakukan oleh lelaki dewasa, yakni menyemburkan air kencingnya ke dinding bak mandi. Jika ia merasa limbung, segera ia akan menyandarkan tubuh pada dinding kamar mandi sampai debur jantungnya kembali beres dan rasa kesemutan di kepalanya hilang. Selesai kencing ia kandangkan kembali burungnya. Biasanya ada satu tetesan sisa yang masih keluar setelah burung itu masuk kandang. Selalu begitu. Selalu ada tetes kencing terakhir yang keluar saat burung itu sudah dikandangkan.
“Jadi apa yang akan kaulakukan?” tanya adiknya sekali lagi.
Seto menggeliat dan bangkit dengan gerak malas dan kemudian melangkah keluar dari kamarnya. Di pintu kamar, tanpa berhenti dan tanpa menoleh, akhirnya ia menjawab juga sambil lalu, “Pindah agama.” Dan begitulah ia masuk perangkap.
Si kerbau tercenung beberapa waktu. Mungkin ia memang selalu tampak tercenung. Kemudian ia mengikuti langkah Seto menuju kamar mandi, menunggui kakaknya di depan pintu. “Kau sungguh-sungguh?” tanyanya saat Seto membuka pintu kamar mandi sehabis kencing.
Dari arah jalanan, suara penjual sapu terdengar panjang dan sedih menawarkan dagangannya. Seto tidak menjawab. Ia sudah memutuskan tidak akan meladeni adiknya lebih panjang. Tetapi, seperti pertanyaan pertama, pertanyaan susulan itu rupanya sangat serius. Melalui telepon siang harinya, ketika Seto sedang di kantor menyiapkan draf makalah untuk disampaikan di depan guru-guru bimbingan dan penyuluhan, si kerbau mengejarnya dengan pertanyaan yang kini lebih panjang, “Jadi kau sungguh-sungguh akan pindah agama jika kau harus membenci orang yang sangat kaucintai?”
Demi Tuhan yang mahatahu akan isi hati dan urusan administrasi, itu bukan pertanyaan. Itu keruwetan.
Membenci orang yang sangat dicintai adalah keruwetan. Lebih parah lagi, itu abnormal. Sudah beberapa waktu Seto menyadari bahwa hidup membutuhkan kewarasan dan aturan yang jelas. Jika seseorang sepatutnya dibenci, bencilah ia sebaik-baiknya. Jika seseorang sepatutnya dicintai, cintailah ia sebaik-baiknya.
Ini sama dengan hal-hal umum yang lain: jika kau lapar, makanlah. Orang tidak harus berlari maraton pada saat ia lapar. Ibumu tak akan menyuruhmu minum saat kau mengantuk.
Mungkin para pertapa akan menyarankan, “Cintailah musuh-musuhmu!” tetapi kurasa mereka tak akan menyalahkanmu seandainya kau tidak sanggup mencintai orang yang sangat kaubenci, atau membenci orang yang sangat kaucintai.
Jauh sebelum si kerbau mengajukan pertanyaan pagi itu, Seto bahkan sudah pernah menulis makalah untuk sebuah diskusi tentang hidup waras dan alasan-alasan pendukungnya. Ringkasan presentasinya begini: Sekarang bayangkan seseorang menanyaimu, “Kenapa kau menyayangi orang itu?” dan kau menjawab,
“Karena aku membencinya.” Oh, kau pasti dianggap tidak genap karena jawaban itu. Sebaliknya, kenapa kau membenci orang itu? Kaujawab, “Karena aku menyayanginya.” Ini juga jawaban yang membuatmu perlu dibawa ke Puskesmas.
.
BAGI Seto, pertanyaan si kerbau sebetulnya memberi ke sempatan untuk mengulang diskusi beberapa tahun lalu. Sayangnya si kerbau tidak memadai untuk sebuah diskusi dan anak itu memiliki prinsipnya sendiri, yakni menagih jawaban. Ia kembali muncul pada malam hari ketika Seto sedang mulai membaca Quantum Teaching. Dan itu membuat Seto gagal membaca dan tak bisa tidur hingga setengah empat dinihari.
Besoknya hampir saja ia terjengkang di kamar mandi.
Itu terjadi hari Selasa, tetapi seperti hari Senin. Si kerbau masih berdiri di muka pintu kamar mandi dan mengajukan pertanyaan, “Jadi kau sungguh-sungguh?”
“Kenapa kau ruwet sekali?” bentak Seto.
“Karena aku sangat menyayanginya,” kata adiknya.
“Dan kau membencinya karena kau sangat menyayanginya?”
“Jadi menurutmu aku harus pindah agama?”
“Mestinya kau ikut pulang kampung saja.”
Si kerbau diam. Seto melenggang ke rak jemuran, mengambil handuk, menyampirkannya ke pundak, dan masuk lagi ke kamar mandi. Si kerbau tetap berdiri di depan pintu kamar mandi, lalu melanjutkan pembicaraan, atau tepatnya bermonolog karena Seto hanya mandi selama adiknya bicara.
“Kautahu, Seto, dia memang beragama lain,” kata si kerbau. “Dan sekarang aku betul-betul membencinya karena dia beragama lain. Dan apakah kau sungguh-sungguh? Aku harus pindah agama? Oh, itu tidak mungkin…. Aku akan semakin membencinya jika rasa sayangku padanya membuatku sampai harus bertukar keyakinan. Dan pasti ayah dan ibu akan sangat terpukul jika aku pindah agama. Lagi pula menurut mereka, orang yang sangat kusayangi itu bukanlah lelaki yang baik. Ia sudah punya istri….”
Jeda beberapa saat. Seto selesai mandi.
“Jadi apa sebetulnya maumu?” tanya Seto.
“Aku sangat menyayanginya,” kata adiknya.
Lihatlah, ia balik ke kalimat semula. Seekor kerbau memang akan berkubang di situ-situ juga. Ada setengah keyakinan pada Seto bahwa otak adiknya tertinggal di rahim ibu pada hari ia dilahirkan dan kemudian ikut ditanam di pekarangan depan rumah bersama ari-ari, diterangi nyala lampu minyak setiap malam. Karena itulah ia tumbuh menjadi hewan. Benar-benar hewan dalam pengertian yang agak harfiah. Jelasnya begini, jika kau membenarkan definisi bahwa manusia adalah hewan berpikir, maka ia benar-benar hewan ketika tidak sanggup berpikir.
“Jadi kau benar-benar akan pindah agama jika kau menjadi aku?”
“Untuk apa aku berandai-andai menjadi kamu?”
“Maksudku, jika kau menjadi aku….”
“Ya, ampun! Kenapa aku harus berandai-andai menjadi dungu?”
“Kau kakakku, kan? Aku hanya ingin tahu apa yang akan kaulakukan seandainya kau menjadi aku.”
Seto agak terpukul.
Si kerbau melanjutkan, “Sebenarnya aku sendiri sudah tahu apa yang harus kulakukan. Tapi kau kakakku, aku ingin tahu pendapatmu. Ayah bilang ia orang yang tidak baik. Apakah aku keliru mencintai orang yang tidak baik?”
“Lakukan saja yang harus kaulakukan,” kata Seto, sedikit melunak.
“Sebenarnya aku rela menjadi istri kedua,” kata adiknya, “tetapi agamanya tidak membolehkan ia beristri dua.”
Kurasa di sinilah letak persoalannya. Seto kembali mengeras. Baru saja si kerbau membuatnya bungkam dan agak terharu ketika mengatakan, “Kau kakakku, kan?” Tetapi sebentar kemudian anak itu sudah mengeluarkan pernyataan yang terdengar bebal.
“Oh, adikku yang mahacerdas,” kata Seto. “Kau tak pantas bilang begitu.Yang harus rela mestinya istri bajingan itu.”
“Kau kakakku, kenapa selalu menyalahkan aku?”
Kali ini Seto tahu tak ada gunanya meluruskan orang yang tidak paham salah-benar. Ia bahkan menyesali jawaban pindah agama yang kemarin ia sampaikan sambil lalu. Sekarang si kerbau terus mencecar apakah ia perlu pindah agama.
Kalau saja ia tidak bebal….
.
MESTINYA urusan itu bisa menjadi diskusi yang menarik. Seto bisa menjelaskan dengan amat jernih mengenai pindah agama dan alasan-alasan pendukungnya. Ia akan memberikan alasan yang kuat dan realistis, di luar kenyataan bahwa semua agama baik, dengan contoh kasus dirinya sendiri. Memang harus diakui bahwa keputusan Seto untuk berpindah-pindah agama mulanya didasari oleh peristiwa yang sangat remeh. Itu gejala yang lazim dalam munculnya berbagai bentuk pencerahan. Kautahu, Newton terilhami oleh apel yang jatuh dari pohon dan Pythagoras oleh air yang meluap di bak mandinya.
Dalam pengalaman Seto, peristiwa remeh itu adalah rasa cintanya pada gadis penjual tiket di gedung bioskop Cilandak. Sejak itu secara sungguh-sungguh ia melatih diri di depan cermin, beberapa kali sehari, untuk menyampaikan kalimat-kalimat. Namun, Seto merasa makin hari situasinya makin sulit. Setiap kali berada di depan loket (Seto memilih film-film yang tidak diminati penonton sehingga loket itu sepi antrian), ia merasa kalimat-kalimatnya selalu tidak tepat. Akhirnya ia menyimpulkan bahwa gadis itu bukan ditakdirkan untuknya.
Lalu, demi mempertegas takdir itu, ia memutuskan berpindah agama sehingga kini agama mereka berbeda.
Dan, ajaib, keputusan ini justru membuatnya lebih santai dan lebih fasih ketika suatu malam ia berdiri di depan loket pada jam pertunjukan terakhir.
“Hai,” katanya.
“Selamat malam,” jawab gadis itu dalam nada resmi dan profesional. Lalu ia menunjukkan denah tempat duduk dan Seto memilih sembarang tempat duduk. Ketika para penonton lain sudah memasuki gedung pertunjukan, Seto kembali ke loket.
“Sebenarnya ada yang mau saya sampaikan,”katanya.
“Silakan,” kata gadis itu.
“Boleh saya berterus terang?”
“Silakan.”
“Anda cantik sekali. Sayang agama kita berbeda. Jika kita seiman, saya pasti sudah melamar Anda dari dulu-dulu.”
Urusan beres malam itu. Si gadis tersenyum, tidak menerima, tidak menolak. Hanya tersenyum, resmi dan profesional.
Pada kesempatan-kesempatan berikutnya, Seto melakukan hal serupa dengan gadis lain yang menurut ia sama cantiknya dengan gadis penjual tiket itu. Tiga kali Seto berpindah agama karena perempuan: untuk membuktikan bahwa cintanya ditolak karena mereka berbeda agama, dan bukan oleh sebab-sebab lain. Kurang tampan, misalnya.
Jika kau ingin menirukan caranya, lakukanlah. Teknik Seto akan membuatmu terhindar dari penderitaan akibat penolakan. Maksudku, jika seorang gadis menolakmu padahal agama kalian sama, itu bisa seperti kiamat bagimu. Kenapa seorang gadis menolakmu padahal kalian seagama? Ia akan bilang kau bukan tipenya. Atau,
“Kita temenan saja, deh?” Atau, “Aku belum kepikiran untuk serius.”Atau, “Maaf, ya, aku masih ingin sendiri.” Apa pun jawabannya, yakinlah itu sama belaka dengan fakta bahwa kau tidak menarik baginya.
Maka tirulah Seto agar kepalamu bisa tetap tegak dan gadis itu tak perlu berbelit-belit. Di luar itu, jika ia benar-benar mencintaimu, ia akan mengorbankan dirinya dengan berpindah agama mengikuti agamamu dan kalian akan menjadi pasangan yang berbahagia selama-lamanya, dengan agama baru.
“Jadi orang bisa menyelesaikan masalah dengan cara pindah agama?” tanya adiknya.
“Kau bahkan tidak perlu beragama,” kata Seto. Dalam hati ia melanjutkan, “Apa gunanya agama bagi seekor kerbau?”
Sasi, si kerbau, tersenyum. Usianya 19 menurut Seto, tetapi 22 menurut akte kelahiran. Seharusnya ia berangkat ke Austria bulan lalu, bersama tiga kawannya, untuk menempuh tahun terakhir kuliahnya. Itu program kerjasama antara kampusnya dengan kampus di sana. Tetapi ia membatalkannya. Situasi kakaknya terus memburuk sejak kedua orang tua mereka meninggal tiga tahun lalu. Mereka mengalami kecelakaan di Tegal dalam perjalanan ke Semarang. Sasi tak pernah sampai hati meninggalkan kakaknya sendirian—beberapa kali Seto pingsan di kamar mandi. Karena itulah setiap kali kakaknya ke kamar mandi ia selalu menungguinya di depan pintu.
Kau bisa mengatakan bahwa Sasi kini menjalani hidup serupa perawan suci, dengan satu-satunya anak lelaki yang usianya 14 tahun lebih tua darinya. Bedanya, Seto bukan juru selamat. (*)
.
.
A.S. Laksana tinggal di Jakarta. Buku kumpulan cerita pendeknya adalah Bidadari yang Mengembara (KataKita, 2004).
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar