Sabtu, 26 November 2011

CERPEN SUARA MERDEKA



Terserah Apa Kata Bagong
oleh
Gunawan Budi Santoso




Cerpen Gunawan Budi Susanto (Suara Merdeka, 9 Oktober 2011)






BAGONG sakit. Kabar itu cepat sekali menyebar dari mulut ke mulut, dari satu SMS berbiak jadi ribuan. Orang-orang pun geger.

“Masa sih? Kukira dia seperti Firaun, yang mengaku tak pernah sakit, tak bisa sakit, dan terus-menerus bekerja. Bahkan ketika semua orang telah terlelap tidur,” ujar Gurun.

Sungguh, Gurun tak sedang bercanda atau pura-pura tak tahu bahwa Bagong sakit. Bahkan sudah sepekan.
“Kukira seperti biasa dia berada di luar negeri. Pantas seperti ada yang kurang, seperti ada yang hilang. Entah apa. Ternyata…,” lanjut Gurun. Wajahnya mengunjukkan rasa heran.

Sebenarnya tak aneh bila salah seorang di antara kami tak muncul di kantor, entah berapa lama. Kini, karena ketersediaan sarana internet, ada kawan pilih merampungkan pekerjaan di rumah dan datang ke kantor cuma saat penataan halaman. Semua tulisan dan gambar toh bisa diakses dari dan dikirim via e-mail atau jejaring Facebook.

Ada pula kawan yang lama tak muncul ke kantor, lantaran “dirumahkan” sementara. Itulah salah satu wujud hukuman, misalnya, atas suatu tindak ketidakdisiplinan. Seorang kawan lain yang beberapa minggu menghilang, ternyata bertugas ke luar negeri, meliput sesuatu atau mengikuti program pertukaran pekerja antarmedia.

Ya, macam-macamlah. Tak selalu setiap orang tahu apa yang telah, sedang, atau bakal dikerjakan kawan sekantor. Dan, Bagong adalah salah seorang kolega kami yang acap kali menghilang. Namun, itulah hebatnya, pekerjaan yang jadi tanggung jawabnya senantiasa terkerjakan secara paripurna. Bahkan, karena dia mempunyai keluasan wawasan intelektual dan jaringan kerja sebagai wartawan sekaligus pekerja seni, halaman yang jadi tanggung jawabnya acap dipuji dan diberi penghargaan oleh berbagai kalangan. Tak terbilang anugerah telah teraih dan, antara lain, berwujud kesempatan bagi dia diundang ke berbagai perhelatan seni, festival, atau program residensi di berbagai negara.

Bukan bermaksud sombong jika saya menyatakan media kami, jurnal seni dan budaya, adalah rujukan, anutan, patron bagi kalangan pekerja, peminat, penikmat, kaum intelektual seni serta para kurator, kolektor, dan kolekdol terutama jika berkait dengan isu kesenirupaan. Itu kenyataan. Dan, kami semua mengakui, posisi sebagai acuan referensial, sebagai pencipta kecenderungan itu tak bakal teraih tanpa kontribusi Bagong. Bagong, sesungguh benar, nyaris identik dengan media kami. Tanpa Bagong, media kami bukan apa-apa. Cuma media. Titik. Tingkat keterbacaan tinggi yang berarti tiras membubung sebagian besar karena peran kontributif Bagong.

Dia redaktur biasa, seperti kebanyakan di antara kami. Ya, karena cuma ada satu pemimpin redaksi, satu wakil pemimpin redaksi, dan satu redaktur pelaksana. Sebenarnya, secara kepangkatan dan terutama prestasi kerja, Bagong setidaknya bisa menjabat kepala desk. Namun, itulah, dia tidak mau. Dia tetap ingin jadi redaktur, pemegang halaman, bahkan jika mungkin sebagai wartawan di lapangan. Karena posisi itu, menurut pendapat dia, justru lebih menantang, lebih memicu adrenalin, lebih mengunjukkan kecergasan jurnalisme sastrawi bersendi investigasi. Ketimbang, lagi-lagi kata dia, duduk manis di depan komputer sebagai penyunting naskah.

“Tipe pekerja yang acap teridap virus kesuntukan dan nggak gaul. Itulah kebanyakan kawan redaksi media kita. Dan, aku tak mau sakit, kemudian mati sia-sia sebagai redaktur majalah seni seperti itu,” ujar Bagong suatu ketika.

Saat itu, seperti kebanyakan kawan, saya mengangguk-angguk. Mengerti atau tidak, toh sama saja. Bukankah memang nyaris semua bahan, sumber, isu adalah representasi pemikiran dia? Dan kami, para redaktur, sesungguh benar jujur atau tidak cuma jadi penyunting tanpa hati, tanpa empati, terhadap segala kemungkinan yang bakal terjadi dengan pemberitaan atau aktualisasi isu yang terekspose media kami setiap kali terbit, sepekan sekali. Bekerja, jika perlu tanpa pikiran, tanpa perasaan. Itulah sikap kebanyakan di antara kami. Dan, setiap awal bulan menerima gaji dengan ucapan terima kasih dalam hati karena masih bisa memperoleh nafkah di tengah kemembeludakan penganggur yang terus bertambah.

Maka, tak terhindarkan, kami pun sepakat setiap saat untuk memercayai dan mengikuti saja apa kata Bagong. 

“Ya, terserah apa kata Bagong,” itulah sikap paling nyaman dan aman bagi kami. Ketimbang disuruh berpikir, bersusah-susah memeras otak, tetapi akhirnya toh tetap pendapat Bagong yang dijadikan pedoman? Jadi, kenapa tak menunggu Bagong datang?

Maka, ketika Bagong sakit kenyataan yang amat terlambat kami sadari: bahwa Bagong toh tetap manusia dan karena itu bisa sakit media kami terancam tidak terbit. Tak ada yang mampu menyodorkan isu untuk digarap. Tak ada yang mampu membuat outline liputan dengan angle canggih sekaligus laku, kumedol.

Tak seorang pun mampu membayangkan dari mana mesti memulai investigasi suatu kasus yang tergolong crime art konon, karena ada perupa menyayat-nyayat lukisan perupa lain yang dia tuduh acap “mencuri” karyanya dan kenapa hampir semua pemangku budaya kesenirupaan diam saja.

Saat itulah kami semua menyadari, Bagong sesungguhnya adalah otak kami. Bagong sesungguh benar adalah otak media kami. Tanpa Bagong, kami tak mampu bekerja. Tak ada Bagong, kami kehilangan kemampuan berpikir. Padahal, bukankah justru ketika Bagong ada, kami pun tak pernah berpikir? Tak perlu berpikir!

“Kenapa dia sakit? Kenapa tak bilang-bilang?” gumam Gunung.

“Pernyataan konyol dari mulut bocor,” batin saya. “Ya, apakah dia tak tahu bahwa kita tak mungkin bekerja tanpa dia?” timpal saya. Kawan-kawan mengangguk-angguk.

“Sakit apa? Dirawat di rumah sakit mana?” tiba-tiba Guruh bertanya. Kami saling pandang. Tak seorang pun menjawab. “Tak ada yang tahu?”

Kami menunduk. Malu. Ya, bagaimana mungkin kami baru tahu bahwa Bagong sakit? Dan ketika tahu dia sakit, tak seorang pun tahu di mana dia dirawat. Sakit apa? Kenapa? Berapa lama? Uuuhh….

“Siapa kali pertama tahu Bagong sakit? Siapa yang bilang Bagong sakit?” Suara Guruh meninggi. Kami tertunduk, seraya saling mencuri pandang.

“Tak ada yang tahu? Bagaimana mungkin?”

Ya, bagaimana mungkin tiba-tiba tersebar kabar Bagong sakit? Tiba-tiba muncul sejenis pengharapan samar-samar: semoga Bagong tidak sakit. Namun, jika benar tidak sakit, sekarang dia berada di mana? Kenapa pula itu jadi penting? Bukankah selama ini tanpa pernah tahu Bagong berada di mana pun, kami merasakan sesungguhnya Bagong selalu ada, selalu bersama kami. Dan, karena itulah kami selalu bisa bekerja sesuai dengan tenggat, tak pernah meleset, sesuai dengan target. Apa kata Bagong adalah pedoman kami, penunjuk arah untuk mengayun langkah, tanpa takut tersesat.

“Siapa kali pertama mendengar kabar Bagong sakit?” ujar Guntur. Kami saling pandang. Semua terdiam. Pertanyaan Guntur adalah pertanyaan saya. Saya yakin, itu pula pertanyaan semua kawan. Kami masih saling pandang, tanpa kata-kata, tanpa suara.

“Bagaimana jika kita cek ke setiap rumah sakit di kota ini?” Entah suara siapa.

“Baik!” sahut kami nyaris serentak. Kami bergantian menelepon setiap rumah sakit, klinik, dokter praktik. Jawaban yang kami terima selalu sama. “Tidak, kami tak pernah memeriksa atau merawat pasien bernama Bagong,” jawab penerima telepon kami.

“Jangan-jangan, Bagong berobat ke paranormal, orang pintar, atau dukun? Apakah kita harus mengecek pula ke semua penyembuh alternatif?” Entah suara siapa. Kami saling pandang. Musykil!

“Atau kita cek ke setiap rumah sakit di seluruh pelosok negeri ini? Seluruh dokter dan klinik?” Entah suara siapa. Kami terdiam.

“Jangan-jangan, Bagong dirawat di luar negeri? Singapura , Australia , Amerika, Jepang?” Entah suara siapa. Kami tak berminat lagi menanggapi. Makin lama kami kian tak mengerti apa yang mesti kami perbuat, bahkan apa yang mesti kami pikirkan.

“Kenapa tak kita tanyakan saja pada Bagong? Siapa tahu nomor hp-nya? Siapa tahu rumahnya?” Entah suara siapa. Kami diam.

Hah! Jadi tak ada yang punya nomor hp Bagong? Tak ada yang tahu di mana selama ini dia tinggal? Lalu, keluarganya? Siapa?

Lama kami terdiam. Semua menunduk atau pura-pura menunduk.

“Maaf,” tiba-tiba Gunawan, redaktur paling yunior, bertanya, “Bagong itu siapa sih?”

Astaga! Ternyata ada pula terselip di antara kami seseorang yang tak tahu siapa Bagong. Gila!
Namun…, ya, siapa sih Bagong? Selama ini kami cuma tahu apa kata Bagong. Sekali lagi, itulah pedoman kerja kami, itulah penunjuk arah ke mana kami mesti melangkah. Bukankah setiap kali Bagong bicara, entah lewat siapa dan memang bisa siapa saja seperti biasa, itulah perintah kerja yang harus kami tuntaskan, kami kerjakan? “Siap, Bos! Beres, Bos!”

Bagong hadir atau tidak secara fisik toh tiada beda?

Jadi, kenapa kini kami mesti merisaukan kemungkinan ketidakhadiran Bagong? Kenapa kami khawatir Bagong sakit?

Toh akhirnya, seperti biasa, dia ada atau tidak di kantor, apa kata Bagong pula yang jadi acuan?

Tanpa sepenuhnya menyadari, satu demi satu kami kembali ke meja masing-masing. Bagong tersenyum di layar monitor setiap komputer kami sebagai wallpaper. Itulah wajah yang setiap kali muncul begitu kami menyalakan komputer.

Seperti yang lain-lain, saya menatap mata Bagong dan mencari-cari kemungkinan apa yang bakal dia katakan atau lakukan menghadapi situasi seperti ini. “Apa kata Bagong?” batin saya sembari terlongong di depan layar monitor yang terus-menerus berkeredip. “Terserah apa kata Bagong? Tapi apa…?” (*)
 .
.


Catatan:
Judul cerita ini berasal dari ucapan Koesnan Hoesi, karikaturis, yang meminta saya menuliskannya menjadi apa saja—terserah saya. Dan, akhirnya jadilah cerpen ini.
 








Kisah Pemetik Dadi
Oleh
Muhammad Amin










SEOLAH bebunyian itu muncul dari segala penjuru. Menyerupai suara gaib yang mengembara di padang-padang, menguncup di pepucuk tanaman, menyeberang di kelok sungai, meningkahi ricik air yang pecah di bebatuan. Kadang terdengar bagai dendang kesunyian, nyanyian yang menggeletar di kelopak mawar yang basah dan mekar. Kadang bagai anak kijang yang melesat di tengah luas padang savana, meloncat-loncat sampai ke kejauhan. Atau bagai burung yang melayang di atas punggung bukit-bukit, lalu menukik ke ceruk lembah-lembah.

Suara yang membuat burung-burung tercenung, menyimak di pokok dedahan. Suara yang menghentikan gerak cekat para peladang menderas tubuh damar. Atau pengantar kidung gadis-gadis turun ke sungai. Kadang saling berkejaran dengan anak-anak yang riang berlarian di halaman. Dan melepas setandan lelah dari punggung para peladang.

Suara itu mengalir dibawa embusan angin. Ia berkunjung untuk menumpang singgah di telinga orang-orang yang lelah.

“Suara apakah gerangan?”

“Seperti suara dadi yang dipetik dengan segenap penghayatan.”

Tak ada yang tahu dari mana datangnya. Suara itu seolah muncul begitu saja sejak musim kemarau beranjak menghilang. Saat kaki-kaki hujan mulai menjejak tanah-tanah yang kerontang. Sejak bunga-bunga berkelopak mekar, tanah-tanah subur menyembulkan bakal-bakal tanaman. Daun-daun merimbun, buah-buah meranum. Bertunas, berumpun, berjuntai, bertandan. Ladang-ladang menghijau bagai hamparan permadani yang terbentang hingga ke lereng-lereng bukit, hingga ke kaki-kali langit.

Orang-orang lebih memilih menikmati ketimbang peduli darimana asalnya. Suara itu selalu berkunjung ke sana tiap sore hari, saat burung-burung beterbangan kembali ke sarang. Saat peladang hendak menyelesaikan pekerjaan. Saat gadis-gadis hendak turun mandi ke sungai. Saat anak-anak berlumur debu bermain-main di halaman. Demikianlah berulang-ulang, hingga mereka lupa bahwa suara itu tetap ada yang memainkan. Entah siapa.

Ia selalu berhenti di perbatasan, saat azan berkumandang, bunyi itu pun menghilang. Seperti di telan gelap malam. Atau bergegas pulang ke muasalnya di tengah padang kesunyian.

***

LELAKI-lelaki pencari damar membawa hasil getah yang telah mengering itu dikumpulkan ke bawah rumah-rumah panggung mereka untuk kemudian akan dijual kepada pengepul. Getah damar berwarna putih bening itu—dinamai damar kaca, memiliki nilai harga lebih tinggi ketimbang jenis damar yang lain. Para perempuan pencari kayu bakar mengumpulkan dan membawa pulang kayu-kayu kering dari dalam hutan untuk dijajakan ke tengah pasar keesokan paginya.

Lalu setiap kali warna senja akan menghilang, bunyi denting dadi seolah hendak mengajak sejenak orang-orang bercengkarama dalam sendu-merdunya. Bersama kesiur angin, gemerisik rumpun daun-daun bambu, dan renyah ricik air sungai melewati celah bebatuan yang jeram, melahirkan harmoni yang indah dan nikmat di pendengaran.

Hingga suatu hari, para peladang menemukan seseorang pemuda duduk di atas seonggok batu tepi kali sembari memetik senar-senar dadi yang terbuat dari tulang binatang itu. Para peladang itu menyapa si pemuda. Mereka bercakap-cakap dan mengajaknya singgah ke rumah. Meski semula pemuda itu menolak, setelah berusaha mereka membujuknya, akhirnya ia mengalah juga.

Maka dengan cepat menjalar kabar ke seluruh pelosok kampung, bahwa seorang pemetik dadi yang mereka rindui akan bertamu di kampung mereka. Ia dipersilakan tinggal bersama mereka, di mana saja tempat yang ia suka. Tak perlu sungkan, anggaplah sebagai rumah sendiri, kata mereka. Anggaplah kami sebagai saudara sendiri, sahut yang lain. Tak perlu lagi memetik dadi di tengah rimba sunyi, memetik sepi di bawah pohon-pohon besar di dalam hutan.

Orang-orang merasa senang menjamu si pemuda. Mereka menyukainya. Gadis-gadis cantik yang ranum itu bersemu merah rona mukanya bila bersitatap dengan si pemuda. Semua laki-laki merasa sempurna hidupnya apabila telah mendengarkan si pemuda memetik dadi.

Dua puluh tahun sebelumnya, suara denting petikan dadi terakhir kali terdengar. Sejak orang-orang tua yang pandai melagu dan bubiti mulai memetik dadi tiap kali panen raya tiba, seolah menjadi candu dan sihir buat mereka. Suara dadi seolah menjadi cara mereka sendiri merayakan sesuatu. Sebagai ritual menyambung doa dan syukur kepada Sang Semesta. Di tanah lapang, mereka membuat unggunan api, diiringi musik petikan dadi mereka menyanyi, ber-adi-adi, ber-segata, berpantun simbatan. Atau menari Bedana berpasangan, memutari api unggun.

Setelah orang-orang tua yang pandai memetik dadi meninggalkan dunia yang fana, perayaan panen hasil ladang tak pernah terdengar lagi suara dadi. Segalanya berjalan sebagaimana biasanya, namun terasa hambar. Tak ada yang menghibur hati yang lelah setelah susah payah mengurus ladang sejak menuai benih hingga panen tiba. Begitu lama. Begitu terasa. Kadang jemu menggumuli hati mereka.

***

“MAINKANLAH, wahai Pemuda. Mainkanlah petikan dadimu untuk kami,” kata seorang di antara mereka yang paling tua. Ia bergelar Batin Utama.

Maka si pemuda memainkannya dengan sepenuh hati. Mereka menikmatinya, seolah sambil minum anggur perasan dari taman surgawi. Mereka berbahagia. Anak-anak menari-nari. Lelaki dan perempuan tertawatawa. Gadis belia tersipu-sipu.

Apabila panen raya tiba, sebagaimana sebelumnya, mereka membuat unggunan api di tengah tanah lapang, menyelenggarakan semacam ritual, dan diiringi petikan dadi. Mereka bernyanyi, beradi-adi, bersegata, berpantun simbatan, menari Bedana berpasangan. Mereka bergembira dan bersuka-cita. Hingga puncak malam tiba.

Setelah panen raya selesai, mereka mulai merencanakan sesuatu untuk si pemuda. Mereka menawarkan dan menyilakan si pemuda memilih anak perawan mereka yang paling cantik dan paling pantas untuk dijadikan istri. Kelak diharapkan anak-anak mereka dapat menebar benih di ladang-ladang yang subur serta mewarisi kepiawaian memetik dadi. Sebuah kehormatan besar bila si pemuda dapat memenuhi permintaan ini.

Setelah mendapat hasil panen yang makin melimpah, mereka akan mengadakan sebuah pesta besar-besaran, untuk merayakan perkawinan si pemuda dengan anak gadis siapa saja yang terpilih. Maka berdebarlah setiap hati kembang perawan desa itu. Dan berharap-harap cemaslah mereka semua, memohon kepada Yang Maha Kuasa agar pilihan itu jatuh kepadanya.

Si Pemuda, dengan berat hati, menyampaikan ketakkuasaannya memenuhi permintaan yang satu ini.

“Bagaimanakah hamba akan mengawini anak perawan kalian jika sebentar lagi hamba akan mati?” kata si pemuda. Orang-orang terperangah. Hampir-hampir tak percaya dengan apa yang barusan mereka dengar.

“Apa maksudmu, wahai Anak Muda?” ujar Batin Utama.

“Maafkan jika sekarang dan kelak hamba akan merepotkan kalian semua,” katanya. “Hamba tak bisa menjelaskan ini, tapi kalian akan melihat sebentar lagi hamba akan tertidur untuk selamanya, tepat pukul sepuluh malam nanti.”

“Janganlah bergurau, Anak Muda. Kamu masih muda dan segar, mana mungkin akan mati secepat itu.” Kata seorang lelaki tua.

“Hamba tak sedang bergurau atau bermain-main, Pak Tua. Namun apa yang hamba katakan ini benar adanya.”

“Kenapa kamu ingin mati di sini?” Tiba-tiba seseorang tak tercegah dari mulutnya melontarkan pertanyaan itu.

“Sekali lagi, maaf. Hamba memilih tempat ini karena tercium aroma kedamaian yang pekat dan khusyu’ menebar ke dalam kalbu. Tak butuh lagi kesunyian untuk mendapatkan sebuah kedamaian karena hamba telah merasakannya di sini, di tengah-tengah kalian.”

“Anak Muda, kamu tidak boleh pergi. Tetaplah bersama kami. Tetaplah memetik dadi untuk menghibur kami,” pinta mereka dengan setulus hati.

“Tidak bisa, hamba tidak bisa melakukan apa pun atas takdirku. Tak ada yang mampu menghalangi kematian hamba.”

Mendadak dunia terasa gelap pekat. Tak pernah terasa semuram ini. Bumi bertudung awan mendung. Jeritan gagak-gagak merobek langit. Dan waktu seperti merangkak, seolah memperlambat diri. Seperti langkah kucing hitam yang lamban, mengendusendus sesuatu yang abadi dari kejauhan.

Kemudian Batin Utama yang lamat-lamat mulai mengerti dan seolah mencium aroma kedamaian yang pekat itu pelan-pelan mendekat, ia menyuruh istrinya menyiapkan segala sesuatunya. Tak boleh terlambat.

“Cepat siapkan perjamuan terakhir buat pemuda itu. Siapkan juga pakaiaan, kain, seprai paling baik yang pernah kita miliki. Siapkan dan rapikan tempat pembaringannya nanti.”

Meski bingung, si istri melaksanakan perintah suaminya. Setelah selesai menyiapkan segalanya, mereka menyilakan si pemuda makan malam terlebih dahulu. Si pemuda menghadapi hidangan sambil berdoa.
Lalu malam itu, menjelang detik-detik yang mendebarkan, banyak orang yang berdatangan. Mereka melayat sebelum yang dilayat menjadi sekujur mayat. Tak pernah terjadi semacam ini. Mereka menangisi orang yang sebelumnya tak pernah mereka kenali, namun amat mereka cintai.

Dan detik-detik sakral itu pun hampir tiba. Setiap orang merasakan suasana muram yang tak biasa. Terasa denyut-denyut itu menjalar dan aroma asing memenuhi ruangan. Si pemuda mulai berbaring. Waktu terasa kian melambat, seperti siput yang enggan beranjak.

Dan ketika sempurna maut menjelang nyawa si pemuda, tubuh itu seketika jadi hening. Kosong, tak ada apa-apa di sana. Hanya tubuh yang terbujur kaku, tak bergerak. Seperti batu hitam yang dingin. Angin mendesir. Aroma duka makin terasa. Makin pekat. Setiap makhluk terasa bersungkawa. Burung-burung hinggap, menunduk dan berkabung. Di langit awan berarak murung. Pepucuk tanaman menguncup, terasa takzim seluruh makhluk dalam hening-cipta. Sebuah kepergian yang tak biasa.

Dan ruangan itu sesak oleh duka dan banjir air mata. Perempuan-perempuan meraung, seolah kehilangan sesuatu yang paling berharga melebihi sanak keluarga sendiri. Gadis-gadis yang tak tahan oleh kesedihan, berlari ke rumah dan menghempaskan diri di pembaringan sambil beruraian air mata. Lelaki dan orang-orang tua pun tak kuasa membendung kesedihan. Malam itu mereka tak ada yang terpejam matanya. Hingga pagi tiba.

***

LALU siapakah yang memainkan petikan dadi yang menggeletarkan hati jika pemuda pemetik dadi telah lama mati? Begitulah pertanyaan yang ada di dalam benak orang-orang.

Mereka selalu berusaha mencari tahu. Namun misteri tentang si pemetik dadi tetap menjadi rahasia yang terkubur di selubung hutan yang terdalam, dijaga oleh sekelok sungai, akar-akar pohon yang bergerak di kedalaman tanah yang lembab, desis ular yang berdiang di ceruk jurang, para liliput dan lelembut, tersimpan di alam orang bunian.

“Jadi, kau benar-benar tak tahu siapa sebenarnya si pemuda pemetik dadi itu, Kisanak?” tanya salah seorang pengunjung kedai tuak.

Lelaki muda itu hanya tersenyum, seolah senyumannya merupakan jawaban dari pertanyaan yang barusan terlontarkan. Setelah membayar makanan dan minuman yang telah ia pesan, ia beranjak begitu saja.
Pemuda itu berjalan semakin menjauh, tanpa menoleh ke belakang sedikit pun. Ia tergesa-gesa. Samar-samar mereka seolah melihat bonggol dadi di punggung pemuda tadi. Ya, mereka melihatnya. Namun, hanya samar-samar sebelum ia menghilang di tikungan jalan. (*)
 .
.

Kotaagung, Januari-Mei 2011
.
Catatan:
Dadi: sejenis gambus kecil.
Bubiti: mengungkapkan rasa sedih
Adi-adi: pantun
Segata: nyanyian gembira
Pantun Simbatan: pantun bersahutan
Tari Bedana: tari khas Lampung yang biasa digunakan saat pesta adat.
 .
.
Muhammad Amin, lahir di Kotaagung, Lampung, 31 Juli 1990. Menulis sejak di bangku SMA dengan berapresiasi di berbagai lomba. 2008, mendapat juara Sayembara Cerpen Tingkat Nasional Festival Bulan Bahasa Indonesia (Falasido) yang ditaja oleh Universitas Indonesia (UI). 2009, mendapat juara sayembara cerpen remaja yang diselenggarakan oleh Kantor Bahasa Provinsi Lampung (KBPL). Karyanya tersebar di beberapa media massa. Puisinya dimuat dalam antologi bersama Memburu Matahari (Bisnis2030, Jakarta 2011). Kini tinggal di Tangerang.

 

Tidak ada komentar: