Kamis, 10 November 2011

CERPEN KORAN TEMPO



Panggil Aku Bargawa
Oleh
Saroni Asikin









AKU masih suka meniup seruling bambu dan bermain dengan sapi-sapi ketika Ayah menyuruhku menebas leher Ibu dengan pedang. Mulut Ayah berbuih-buih menderaskan makian dan kutukan pada Ibu yang kata Ayah telah berzina dengan seorang ksatria tampan. Dia terus mengutuk dan menyuruhku bersigegas mematuhi perintahnya. Sebelum kalimat api Ayah selesai, kepala Ibu telah menggelinding ke tanah. Kedua mata di kepala Ibu memandangku dengan pendar memelas. Bibirnya mengerucut biru. Di tanganku sebilah pedang tajam-bengis berlumuran darah dan ketika itu kulihat mata nyalang Ayah penuh kebanggaan.

“Mainkan busurmu, Putra Pemanah!”

Kuambil busurku dan kupasang anak panah. Kutaruh kepala Ibu di sebuah tonggak kayu. Detik berikutnya kubidik mata kiri Ibu. Sebuah anak panah sakti pemberian Jamadagni, ayahku itu, melesat, menancap di mata kiri Ibu, melesat terus, membawa kepala Ibu terbang hingga mataku pun tidak lagi melihatnya.
Itulah kali pertama aku merasa piawai memainkan busur dan anak panah.

Ayah tertawa keras-keras. Gigi-giginya yang hitam penuh noda tembakau, daun sirih, bongkahan gambir dan padas pulasari terbuka jelek. Tangan Ayah menunjuk dua ekor anak kambing bercongek di dekat tubuh tanpa kepala milik Ibu. Itu dua kakak lelakiku. Ayah yang sakti telah mengubah mereka menjadi kambing atas kepengecutan mereka tak mampu memenggal leher Ibu yang dengan penuh khianat merelakan rahim brahmananya direndami cairan mani seorang ksatria. Ayah lalu menghela kedua ternak malang itu menjauh. Aku melihat mata kambing-kambing itu menyala sebelum mereka pergi.

Sejak itu pula, kuinjak-injak seruling bambuku dan kubiarkan sapi-sapi yang telah menjadi kawanku sekian lama kini berkeliaran tanpa diriku. Sejak itu aku lebih suka menyandang busurku di bahu kiri dan membelahi bambu-bambu wulung, merautinya sebagai anak-anak panah. Bertahun-tahun, sebelum Ayah mati tua, dia mengajari aku berbagai cara memanah dengan sempurna. Dia sering menggambar dua wajah dengan sepotong kapur di batang-batang pisang sebagai sasaran anak panahku. Dia bilang itulah wajah Ibu dan ksatria itu.

“Bidiklah tepat di antara dua mata pada kepala-kepala laknat itu!” begitu perintahnya setiap kali aku mulai memanah.

Hingga Ayah mati, tak terbilang jumlahnya aku telah menancapkan anak-anak panah buatanku, tepat di antara dua mata pada wajah yang digambar Ayah dengan benci. Sebelum mati, Ayah kembali memberiku sebuah nama. Parasurama. Nama itu kusandang ketika aku mulai pergi dari rumahku dan mengembara memburu para ksatria. Dan lelaki tua yang tak lagi pernah tersenyum sejak kutebas leher Ibu memberiku testamen sebelum rohnya tersebrat: “Burulah para ksatria! Merekalah perusak darah brahmana kita!”
 .

BERABAD-ABAD berlalu sejak aku pergi dari rumahku, dari sapi-sapiku. Mengembara di hutan-hutan dan kota-kota. Menyandang selongsong yang selalu penuh anak panah, dan busur yang selalu terentang dengan sebuah anak panah terpasang. Memburu para ksatria.

Tak terbilang jumlah anak panahku yang telah menancapi kepala para ksatria yang kujumpai di jalan. Tepat di antara dua mata mereka. Selalu, kepala mereka tiba-tiba saja telah tertancap anak panahku, bahkan sebelum mereka sekadar memberiku salam atau minta ampun.

Orang di delapan penjuru angin telah mengenal namaku. Parasurama! Pemanah tanpa tandingan, pemanah yang selalu melesakkan ujung panah tepat di antara dua mata sang korban.

Kalau aku muncul di ujung sebuah perkampungan, para penduduk akan menyambutku penuh takzim dan berebutan menawariku singgah. Aku lebih sering tidak menggubris mereka. Aku akan terus berjalan ke pusat-pusat kota, mencari para ksatria, menggeledahi rumah-rumah yang menurut penciumanku menyembunyikan ksatria. (Oh ya, hidungku bertambah peka sehingga dalam jarak satu mil pun aku mampu mencium keberadaan para ksatria. Tapi, sampai sekarang pun, aku belum tahu apa kata yang tepat untuk menyebut bau darah yang mengalir di tubuh mereka. Pasti tak sewangi darah brahmanaku.) Ya, aku akan menggeledahi setiap rumah yang menurut hidungku menyembunyikan mereka. (Mereka sendiri seperti tikus-tikus malang yang akan berlari atau bersembunyi ke lubang-lubang sempit kalau mereka mendengar orang-orang mengelu-elukan kedatanganku.) Nah, begitu kutemukan mereka, anak panahku berlesatan. Tak seorang ksatria pun luput dari anak panahku. Panah itu melesat bagi kilatan cahaya dan menancap di kepala mereka. Tepat di antara dua mata. Aku tidak peduli apakah mereka kakek renta, nenek jompo, pemuda gagah, gadis molek, bayi mungil. Begitu hidungku mencium ada darah ksatria mengalir di dalam tubuh seseorang, anak panahkulah yang berbicara.

Orang di delapan penjuru angin telah mengenal namaku. Parasurama! Pemanah tanpa tandingan, pemanah yang selalu melesatkan dan melesakkan ujung panah tepat di antara dua mata sang korban.

Lebih-lebih para pemburu-penjilat itu. Mereka memburuku, dan dengan takut-takut menyembah-nyembah aku sebagai dewa. Bagi mereka, aku adalah Batara Parasu. Mereka memburuku di hutan-hutan. Dan setiap kali berjumpa denganku, serentak mereka menyungsepkan dahi ke tanah, menghaturkan sembah ke kakiku. Aku akan beringsut menjauh sambil melepaskan sebuah anak panah ke udara hingga karena takut akan kemarahanku, dahi mereka seperti sangat lekat pada tanah. Kalau kebetulan aku tengah tidur di dedahanan pohon, mereka bersimpuh di bawah pohon itu dalam diam menanti Sang Dewa Pemanah ini bangun. Sering sekali di antara rombongan pemburu itu ada yang memiliki darah ksatria. Orang seperti dia berpikir akan mampu mengelabui aku dengan menyamar sebagai pemburu yang memujaku.

Tidak, tidak akan pernah bisa! Telah berabad-abad lamanya aku memburu para ksatria. Hidungku sudah begitu tajam hingga dengan sekali mendengus saja aku akan tahu manakah orang yang teraliri darah ksatria.
Menjumpai orang yang berusaha mengelabuiku, biasanya aku akan mengajaknya bersenda-gurau sebentar. Aku ingin memberinya sedikit hiburan supaya dia benar-benar puas karena berpikir aku telah bisa dikibulinya. Dan pada saat dia tertawa oleh gurauanku, biasanya deraian tawa yang dibuat-buat, ujung panahku dalam sekejap kilat telah menancap di kepalanya, tepat di antara dua mata. Bahkan dia tak pernah tahu kapan aku menarik tali busur dan melesatkan senjata yang mengirimnya pada Batara Yamadipati, sang pencabut nyawa. Saat dia terkapar, aku akan menggeram pada pemburu lainnya untuk segera membuang jauh-jauh mayat ksatria malang itu. “Jauhkan dariku ksatria sialan ini! Aku tak ingin melihat darah nistanya di depan mataku. Umpankan bangkainya jadi santapan anjing hutan!”

Parasurama namaku!

Saat-saat seorang diri di tengah kesunyian hutan, aku selalu berkata pada diriku sendiri, “Tidak, Bargawa! Kamu bukan makhluk keji. Kamu hanya ingin menuntaskan dendammu, dendam darah brahmana yang mengalir di urat tubuhmu.” Tapi, aku akui, aku bukan pula orang yang berbahagia. Aku sering merasa kesepian. Aku rindukan suara seruling yang dulu sering kutiup seorang diri di tepi ladang bersama sapi-sapiku. Aku rindukan suasana padepokan bersama kedua kakakku (kambing jelmaan mereka entah ada di mana kini). Aku rindukan padepokan yang damai, penuh canda. Aku rindu saat-saat Ayah melabrakku karena kemalasanku membaca pupuh di rontal, lalu Ibu datang mengusap-usap rambutku.

Ya! Parasurama ini sebenarnya hanya Bargawa, si bungsu dari sebuah dusun di tepi hutan, anak Jamadagni. Anak yang telah dengan jantan memenggal kepala ibunya sendiri. Jantan? Ah, pada kenyataannya aku hanya Bargawa, si anak kecil yang merindukan buah dada ibunya. Saat-saat seperti itu, aku sangat ingin menghapus nama Parasurama yang begitu bengis dengan panahnya. Ya, aku hanya Bargawa dan mengakui: aku sering rindu pada Ibu. Ibuku, sebelum kedatangan ksatria keparat itu. Ibu yang menuntunku mengeja gurat demi gurat aksara di rontal.

Kalau sudah begitu, aku menangis tanpa air mata tanpa bunyi. Lalu aku mengejek diriku sendiri, “Lihat, Si Parasurama yang dipuja bagai dewa! Lihat si Pemanah yang tepat membidik titik di antara dua mata itu! Nyatanya dia tak lebih dari seorang anak kecil yang meraba-raba dada ibunya untuk menyusu.”

Pada puncak dari tangis tanpa air mata tanpa suara itu, aku memasang sebuah anak panah pada busur dan melesatkannya ke udara. Bersamaan dengan lesatan anak panah, selalu, entah iblis mana yang membuat darahku kembali terbakar dendam. Aku lupa kesepianku dan bersicepat meninggalkan hutan untuk pergi ke perkampungan, ke kota, ke mana saja. Memburu para ksatria.
 .

SUATU hari, tepat di saat aku tengah menarik tali busur pada puncak tangisanku yang tak berair mata dan tak bersuara, seorang perempuan meneriakkan nama, “Bargawa!” Aku urung melesatkan anak panah. Kutatap perempuan itu dengan buncahan badai kemarahan. Perempuan itu telah dengan kurang ajar memanggil nama lamaku. Selama perburuan para ksatria, tak pernah ada yang tahu nama sebelum Ayah memberiku nama Parasurama itu. Lebih-lebih lagi, selama ini tak pernah ada orang yang berani mengganggu apa yang sedang kulakukan.

Aku menatap matanya dengan tatapan mirip ujung anak panahku saat membidik kepala para ksatria, tepat di antara dua mata. Tapi aku terkesiap. Wajah itu, mata itu, suara itu, ah sepertinya aku telah sangat mengenalnya. Ibu. Ibu. Ibu. Ah, setan! Ibuku telah kupenggal kepalanya dan kini menghuni neraka bersama ksatria keparat itu. Tidak, tidak!

Tanpa dosa perempuan itu malah tersenyum padaku. Iblis! Itu senyum Ibu. Dan seperti mengacuhkan aku, dia sibuk memetiki dedaunan dan mengumpulkannya pada sebuah keranjang. Aku memasang anak panah pada busur. Biar kulesatkan saja dan mengirim perempuan sialan itu ke neraka.

Sejenak aku tertegun dan, serupa anjing pelacak, kubaui darahnya. Siapa tahu dia berdarah ksatria sehingga aku tak perlu berlarut-larut dengan wajah itu, senyum itu. Jagad Dewa Batara! Kenapa tiba-tiba hidungku kehilangan cara mengendus?

Perempuan itu berlalu serupa angin. Aku memburunya, masih dengan busur dan sebuah anak panah yang terpasang. Aku merasakan sesuatu yang lain dalam diriku. Amarah yang memuncak bersipongang dengan perasaan takut. Aku mengutuk-ngutuk diriku sambil terus berlari memburunya. Ada apa dengan si Parasurama ini?

Perempuan itu masuk ke sebuah gubuk. Tapi aku tertegun di depan pintu yang terbuka. Di dalam gubuk, seorang lelaki tua terbaring dan perempuan yang kuburu itu tengah menumbuk dedaunan yang ia ambil dari keranjangnya. Aku lunglai di depan pintu sebelum perempuan itu memintaku masuk, masih dengan menyebut nama Bargawa.
 .

BEGITULAH, sejak itu aku melupakan busur dan kepiawaianku memanah. Aku juga melupakan pengembaraanku berabad-abad. Dari rahim perempuan itu telah lahir seorang anak lelaki dari benih yang kusemaikan. Dan aku telah menanggalkan nama Parasurama.

Panggil aku Bargawa, si anak ibu. Si anak kecil yang rindu akan air susu Ibu. Ibu yang wajahnya melapisi muka perempuan yang telah melahirkan anakku, si Bargawa kecil.

Hingga suatu hari, suatu percakapan membuatku terjaga dari tidur. Bulu-kudukku meremang oleh amarah mendengar percakapan perempuan yang telah melahirkan Bargawa kecil itu dengan ayahnya. Percakapan yang akhirnya membuka kedok: selama ini perempuan yang kutiduri dan telah memberiku seorang anak itu berdarah ksatria. Dan lelaki tua itu adalah seorang raja yang diambil tahtanya oleh adiknya sendiri dan kini anakku akan dibawa ke ibu kota kerajaan. Percakapan yang membuatku menjadi orang paling dungu, orang yang begitu saja bertekuk-lutut hanya karena sebuah wajah dan senyuman. Wajah dan senyuman Ibu. Iblis! 

Parasurama yang beringas ini ternyata juga lelap dalam tipu daya daging tubuh perempuan ksatria itu.

“Pamanmu tak berketurunan. Siapa tahu dia mau menerima anakmu untuk menggantikannya,” begitu kalimat terakhir ksatria tua itu.

Kalimat itu bagai mantra sakti yang membuatku bangkit dari tempat tidur. Dalam satu gerakan kutemukan busur dan anak panah yang kusimpan selama ini. Mendadak pula hidungku kembali mampu mengendusi darah ksatria dalam tubuh mereka. Maka, sebelum ayah-anak ksatria itu tertegun melihatku mendadak terbangun, dua buah anak panah telah menembusi wajah mereka, tepat di antara dua mata. Tak ada teriakan. Sebelum tubuh keduanya terjerembab ke tanah, satu anak panah lagi telah melesak di antara dua mata Bargawa kecil yang tengah tidur.

Kalap aku keluar rumah laknat itu dan dengan kutuk pastu Jamadagni, beribu-ribu anak panah kulesatkan ke udara. Ribuan anak panah yang melesat ke angkasa itu menjadi tengara: Parasurama telah kembali dengan amarah yang lebih besar. Ya, Si Bengis Pemanah yang tepat membidik titik di antara dua mata telah kembali menyandang busur sebelum nantinya seorang titisan Wisnu datang menatapkan mata beningnya untuk melampuskan nyawaku. (*)
 .
.
Saroni Asikin tinggal dan bekerja di Semarang.








Mawar yang Ia Ingin Lupa
Oleh
Gus tf Sakai








ENTAH kapan. Ia tak sengaja memandang jendela kaca yang menghubungkan terasnya dengan teras sebelah, dan melihat mawar itu. Hanya setangkai, pekat merah, rekah, mendongak bagai tengadah. Tanpa cabang, tanpa ranting, tegak lurus bagai mencuat dari pot kecil ramping. Kemudian ia lupa.

Entah kapan. Ia kembali melihat mawar itu, juga tak sengaja, dan heran ketika sadar kakinya telah begitu saja melangkah mendekat ke jendela kaca. Ia berpikir, mencari alasan. Kesendirian, gumamnya. Mawar itu jadi menonjol karena hanya sekuntum, membuat keindahan tampak kentara. Lalu ia kembali lupa.
Entah kapan. Ia ingat mawar itu tiba-tiba, membuka pintu, melangkah ke teras, melayangkan pandang ke sana. Dan di sana, di balik jendela kaca, dalam pot kecil ramping di atas meja, mawar itu masih pekat merah, masih rekah, masih mendongak bagai tengadah. Hanya saja, saat itu, ada seraut wajah, sesosok lelaki yang tak lagi bisa dikatakan muda, setengah menunduk bagai menjenguk ke rekah bunga.

Tidak. Bukan menjenguk. Tepatnya, bukan hanya menjenguk. Lelaki itu bagai habis mencium, menghirup sesuatu dari kelopaknya. Dan tiba-tiba, ia merasa risi, merasa jengah, seolah menyaksikan sesuatu yang tak boleh dilihatnya. Tetapi, kenapa? Bukankah wajar, bukankah biasa, seseorang mencium, menghirup mereguk wangi bunga?

Sejak itu, entah kenapa, ia gelisah.

Sejak itu, ia betul-betul ingin lupa.
 .

IA ingin lupa, tetapi yang kemudian terjadi justru sebaliknya. Semakin keras ia berusaha melupakan, semakin kuat bayangan mawar itu melekap di kepalanya. Aneh, kenapa bisa? Bukankah itu cuma mawar? Dan bukankah pernah juga ia melihat mawar entah di mana?

Bahwa mawar itu hanya sekuntum, dan karenanya keindahan jadi kentara, ia bisa mafhum. Tetapi, ini, sampai membuatnya gelisah dan tak lupa-lupa? Sungguh ia tak mengerti. Tak habis pikir. Eh, sekuntum. Kenapa mawar itu hanya sekuntum, selalu saja hanya sekuntum, sejak pertama ia lihat? Mustahil, mustahil mawar itu tak gugur-gugur atau tak bertambah.

Kecurigaan bahwa mawar itu palsu, atau mungkin cuma bunga plastik, memaksa ia suatu pagi kembali mendekat ke jendela kaca. Ia tahan hatinya yang gelisah. Ia tahan dadanya yang gemuruh. Dan di sana, di atas meja kaca, seperti hari-hari lalu, mawar itu masih pekat merah, masih rekah, masih mendongak bagai tengadah. Dan di bawah, tak jauh dari kaki pot kecil ramping, tiga kelopak tergeletak bagai terhampar.
Itu… kelopak mawar. Guguran kelopak mawar.

Mawar itu asli, tak ia ragukan lagi.
 .

IA tak ragu lagi, dan gelisahnya tak terbendung lagi. Sungguh, betapa ia tak mengerti. Berhari-hari. Berminggu-minggu. Dirinya hilang arah pikirannya tak tentu. Tugas-tugasnya jadi terlantar pekerjaannya terganggu. Mawar. Mawar… pekat merah, rekah, mendongak bagai tengadah. Hanya sekuntum, sendiri, kelopaknya gugur tumbuh lagi tumbuh lagi… tak mati-mati. Apakah memang ada mawar seperti itu?

“Tidak,” jawab setiap penjual mawar di setiap toko mawar saat ia tak lagi tahan lalu mencari tahu tentang mawar itu. “Hanya sekuntum dan tak mati-mati? Mustahil!” jawab setiap kenalan di setiap pertemuan saat ia tak lagi tahan mengatasi hasrat, melawan gelora, perasaan ingin punya. Eh, perasaan ingin punya? Ia terkejut menyadari itu, tetapi juga tak ingin membantahnya.

Ah, kenapa lelaki itu bisa memiliki mawar seperti itu?
 .

MEMANG, entah kapan, ada terlintas keinginan dalam kepalanya untuk menanyakan langsung kepada si lelaki. Tetapi, entah kenapa, ia tak berani. Sebenarnya ia heran kenapa tak berani. Tetapi, entah kenapa, ingatan saat lelaki itu menunduk, mencium, mereguk wangi dari sang mawar, membuncah seperti menghalangi. Ah, kenapa mesti menghalangi? Ia buang perasaan aneh itu, perasaan tak wajar itu, dengan lebih meyakini alasan ini: tak biasa mereka bertegur-sapa, menanyakan hal tak penting ini-itu, kepada tetangga.

Memang, seperti juga penghuni lain, ia hanya mengangguk, tersenyum tipis saat berpapasan. Kecuali kepada dua orang satpam yang tugas bergiliran di lantai dasar, tak seorang pun menyapa nama di apartemen ini. Itu pun, tentu saja, karena nama tertera di seragam si satpam. Selebihnya hanya “Eh,” atau “Maaf,” atau gumam sesal semacamnya bila tak sengaja bersentuhan di sesak lift atau bila kadang, karena terburu, nyaris bertubrukan di kelok koridor.

Memang, hanya di koridor atau di lift, atau di lantai dasar, mereka bisa bertemu. Teras mereka, seperti hal terasnya dengan si tetangga, dibatasi oleh tembok dengan jendela kaca sebagai ‘penghubung’-nya. Maka begitulah mereka jadi saling tak kenal dengan penghuni sebelah. Maka begitu pulalah ia merasa tak pantas menanyakan langsung kepada si lelaki, mengetuk pintu si lelaki hanya untuk menanyakan hal tak penting semacam mawar. Hal tak penting?

Hal tak penting… yang membuat hari-harinya tak lagi seperti biasa.

Hal tak penting yang, kemudian, membuatnya setiap hari ia lakukan browsing hanya untuk satu kata: mawar.
 .

TETAPI, walau sudah setiap hari ia lakukan browsing, hasilnya sama saja. Sama sekali tak, tak ada mawar seperti itu.Yang ia cuma ketemu, dan membuatnya makin tahu, bahwa mawar telah ada sejak tiga puluh lima juta tahun lalu, memiliki silsilah keluarga paling rumit dibanding spesies bunga apa pun, dan bahwa, sampai kini, varietasnya telah mencapai lebih tiga puluh ribu.

Tentu pula ia juga bertemu dengan semacam asal-usul dan mitologi. Bahwa mawar diciptakan Chloris si dewi bunga, lalu Aphrodite, si dewi cinta, memberinya nama. Bahwa Dionysus si dewa anggur memberinya nektar; lalu Zephyr, si dewa angin barat, meniup awan sehingga Apollo si dewa matahari bisa menyinarinya. Maka mekarlah ia, mawar. Mawar yang dalam legenda Hindu kuno berwujud Laksmi, istri yang dipersembahkan Brahma bagi Wisnu. Mmm, bagaimana Laksmi bisa menjelma dari seratus delapan kelopak mawar besar dan seribu delapan kelopak mawar kecil?

Hanya hal-hal seperti itu yang ia temukan. Hal-hal yang sebenarnya juga membuatnya merasa takjub, tercengang, terkagum-kagum, tetapi yang ia butuhkan saat ini adalah ketakjuban yang nyata, sesuatu yang benar-benar ada. Mawar yang… ya, pekat merah, rekah, mendongak bagai tengadah. Hanya sekuntum, sendiri, kelopaknya gugur tumbuh lagi tumbuh lagi, tak mati-mati. Mawar yang… ya, dimiliki oleh lelaki itu. Ah betapa, betapa ia tak lagi bisa mengingkari bahwa ia memang ingin memiliki.
 .

INGIN memiliki tetapi tak bisa, apa yang kemudian muncul adalah mimpi. Mulanya ia tak percaya bahwa itu mimpi. Semuanya sangat nyata, seolah benar-benar ada, bahkan saat ia sudah terjaga. Mawar itu datang kepadanya, berupa kelopak demi kelopak. Kelopak-kelopak itu mengambang, bagai berkumpul dua-tiga jengkal di depan wajahnya, sejenak, lalu melayang ke pintu, terus ke teras dan… astaga, satu demi satu, kelopak demi kelopak, menyusun diri jadi sekuntum mawar di ujung tangkai yang bagai telah lama ada, di sana, dalam pot kecil ramping di atas meja. Pot kecil ramping yang sudah sangat dikenalnya. Meja kaca yang juga sudah sangat dikenalnya.

Ajaib. Tetapi, dalam mimpi itu, semua seperti biasa. Keajaiban itu seolah wajar belaka. Dan semua kewajaran itu menjelma dalam wujud yang benar-benar nyata. Sampai saat ia terjaga. Sampai saat ia berdiri dan melangkah. Sampai saat ia berada di teras dan… mawar itu masih di sana: di balik jendela kaca, dalam pot kecil ramping di atas meja, di teras tetangga.

Ia telah bermimpi?

Ahh… ia telah bermimpi.
 .

IA telah bermimpi, dan mimpi itu datang berulang. Mimpi yang selalu sama: kelopak-kelopak mengambang, sejenak berkumpul di depannya lalu melayang, menyusun diri menjelma mawar. Bagaimanapun, ia senang. Karena mimpi itu sangat nyata. Karena menjelma mawar yang sama: pekat merah, rekah, mendongak bagai tengadah. Sampai suatu kali, tiba-tiba, mimpi itu berubah.

Kelopak-kelopak itu tetap datang, tetap mengambang dua-tiga jengkal di depan wajahnya. Tetapi kelopak-kelopak itu tak lagi melayang menyusun diri menjelma mawar, melainkan membesar, melebar, terus melebar, dan kemudian jatuh menyungkupnya.Tidak. Bukan jatuh. Kelopak-kelopak yang terus melebar (sampai seluas kamar?) itu memang sengaja menyungkup, sengaja menyergap. Satu kelopak, dua kelopak, tiga… napasnya sesak.

Empat kelopak, lima kelopak, enam… situasinya kini berbeda. Ia kini tahu ia bermimpi, tetapi ia tak mampu menggerakkan tubuhnya. Tujuh kelopak, delapan kelopak… ia tak bisa bernapas lagi. Paru-parunya serasa pecah.Tubuhnya serasa meledak. Dan seiring dengan hunjaman nyeri dan rasa sakit luar biasa, ia akhirnya lalu terlepas, dengan peluh yang merembes hebat dari pori-porinya.

Begitulah semua berawal. Dan begitulah hidupnya lalu berubah.
 .

MULANYA, tentu, seperti mimpi lalu, ia menyangka mimpi itu akan berakhir dan berganti dengan mimpi lain. Tetapi ternyata tidak, ia keliru. Berhari-hari. Berminggu-minggu. Suatu pagi, saat ia meyakinkan diri bahwa segalanya pasti berlalu, apartemennya diketuk, dan ia terkejut mendapati sosok yang berdiri di balik pintu.
Lelaki itu. Si pemilik mawar itu.

Ia masih terpana ketika lelaki itu berkata, “Anda telah mengambil mawar saya.”

Mengambil? Ia masih mencerna ketika lelaki itu melanjutkan, “Anda tahu? Lama sekali saya menunggu.”
Lama? Menunggu? Ia masih tak mengerti, dan tambah tak mengerti ekspresi wajah si lelaki. Bibir itu. Tersenyum. Seperti lega.

“Sa-saya… tak mengambil,” ucapnya terbata.

“Saya tahu Anda bakal menyangkal. Tetapi lihatlah teras Anda.”

Teras? Tanpa sadar ia membalikkan tubuh dan melangkah.

“Tunggu.”

Ia terhenti. Berbalik. Kembali menatap lelaki itu.

“Terima kasih. Saya sungguh berterima kasih.”

Terima kasih? Ia makin tak mengerti, tambah tak mengerti saat lelaki itu menjulurkan tangan menyalami. Ia masih tegak di pintu, masih bingung akan apa yang sebenarnya terjadi. Saat punggung lelaki itu lenyap ditelan pintunya sendiri, saat lorong koridor kembali menjelma sepi, barulah ia tersadar dan buru-buru menutup pintu, berbalik, dan bergegas melangkah ke teras.

Dan, begitulah semua berawal. Dan begitulah hidupnya berubah. Di teras itu, di lantai terasnya, kelopak-kelopak mawar tergeletak bagai terhampar, berbaris, dari mulut pintu sampai ke jendela kaca.
Ia menggigil, gemetar, ingat tiba-tiba mimpi celaka.

Ia tiba-tiba tahu, dan sadar, kenapa si lelaki tersenyum lega. (*)
 .
.
Payakumbuh, 1 September 2011

Gus tf Sakai lahir 13 Agustus 1965 di Payakumbuh, Sumatera Barat, menetap di kota kelahirannya. Kumpulan cerita pendeknya yang terakhir adalah Perantau (Gramedia Pustaka Utama, 2007).

 
.
 

Tidak ada komentar: