Kamis, 10 November 2011

CERPEN KORAN TEMPO



Ulat Bulu
Oleh
Romi Zarman


 
 
 

BEGITU keluar dari gedung Perwakilan Rakyat ini, aku langsung teringat pada Tigris. Gadis kecil dengan seraut senyum akan menyambutku di depan pintu. “Ayah pulang, Bu. Ayah pulang.”
Suara itu begitu dekat di telinga, tapi sesungguhnya amat jauh. Masih sepuluh kilometer lagi, baru akan kudengar suara gadis kecilku itu. Oh, anakku. Gadis kecil berponi. Matanya, sungguh, sayu seperti mataku. Hidungnya, oh….

Tanganku membuka tas. Waktu itu, kuberikan beberapa lembar uang. Gadis kecilku menyambutnya. Seraya mengucapkan terima kasih, anakku akan membalikan badan. Masuk ke dalam kamar. Beberapa detik, gadis kecilku itu keluar sambil membawa celengan.

“Yah, Ayah,” ujarnya, “Tigris masukin,Yah?”

“Iya. Masukanlah, Nak.”

“Yah,” katanya, sehabis memasukan duit itu ke dalam celengan. Bagai ada yang hendak ia minta. Tigris anakku langsung berkata, “Hmm, lain kali duit logam ya, Yah?”

Senyumku mengambang. Aku menggangguk pelan.

“Horeeeeeeee.”

Gadis kecilku berlari, kembali masuk ke dalam kamar meletakan celengan. Betapa bahagia gadis kecilku itu. Ya, bahagia. Gadis sekecil itu, kelas satu SD, memang, harus terlihat bahagia….
 .

“AYAH pulang,” ujarku di depan pintu, sehabis memarkir mobil di garasi. Kedua bola mataku mencari-cari Tigris ke seisi rumah.

“Ssssstt….”

Istriku datang memberi isyarat agar aku memelankan suara. Gadis kecilku, ternyata sedang mengerjakan PR.

“Menggambar,” kata istriku setengah berbisik. “Tigris lagi menggambar di dalam kamar.”

“Lho?”

“Sehabis pulang sekolah tadi, Tigris langsung mengerjakan apa yang disuruh oleh Bu Guru. Sudah setengah jam dia asyik mengerjakan tugasnya. Sssstt… dia jangan sampai tahu bahwa abang sudah pulang.”

Aku paham. Kalau gadis kecilku itu tahu bahwa aku sudah pulang, tentu dia akan meninggalkan pekerjaan menggambarnya. Setelah itu, tentu, ia akan asyik bermain denganku, dan akan melupakan apa yang sedang dia kerjakan sekarang. Kubiarkan dia selesai menggambar. Akan kutunggu gadis kecilku itu.

Kuayunkan kaki menuju sofa. Kubaringkan badan di atasnya. Kupejamkan mata. Oh, anakku….
 .

TIGRIS keluar dari kamar, menuju ke arahku seraya membawa celengan.

“Yah, Tigris mau boneka. Tigris mau sepeda.Tigris mau….”Aku diberondong permintaan, seraya disodorkannya celengan, “Cukup nggak,Yah?”

“Cukup,” kataku.

“Kapan, Yah?”

“Hmm… sekarang juga boleh. Tunggu ya.”

Aku berlalu.

Satu jam kemudian aku datang dengan boneka di tangan. Kuberikan pada gadis kecilku. Akan tetapi, sungguh, diluar dugaanku. Anakku diam. Tak seperti biasanya. Kali ini tak ada senyuman. Anakku itu memeluk celengannya. Wajahnya cemberut. Aku heran.

“Kenapa, Nak?”

Kupandangi bola matanya. Katanya, “Tigris pengen beli sendiri, dengan celengan ini.”

Agak terbata gadis kecilku itu berkata. Lalu disodorkannya celengan. Kuterjemahkan sorot matanya. Oh, barulah aku paham: ternyata Tigris ingin membeli boneka dengan hasil tabungannya sendiri.

“Baiklah. Ayah mengerti sekarang.”

Ya, aku paham. Tigris ingin membeli boneka dari uang simpanannya. Bukan uang dari sakuku. Akan tetapi, apa bedanya? Bukankah tabungan Tigris itu juga berasal dari uangku? Ya, ya.

“Ayo!” Kuraih tangannya. Dan kami bermobil ke toko boneka. Begitu sampai, Tigris langsung menyerahkan celengannya padaku.

“Pecahkan saja, Yah.”

“Iya.”

Kutemani dia memilih boneka. Aku yakin, tabungan anakku ini bakal cukup. Sudah lebih lima bulan celengan ini diisi. Apalagi, setiap uang yang kuberikan lumayan besar untuk anak seusia Tigris. Pernah, sehabis Sidang Paripurna aku memberikan Tigris beberapa lembar uang seratus ribu. Pastilah cukup.

Setelah kasir menyebutkan harga boneka yang dipilih Tigris, aku lantas berkata kepada anakku itu, “Nah, sekarang kita buka.”

“Iya, Yah,” ujarnya. “Pecahkan saja.”

Sengaja celengan itu tak kupecahkan. Aku ingin anakku yang menarik uang yang ada di dalamnya, dengan cara memasukan jari mungilnya. Maka, celengan plastik itu kurobek dengan pisau. Akan tetapi, sungguh, begitu anakku memasukkan jari dan menarik beberapa lembar uang, aku bagai terpana tak percaya. Lihatlah, bukan uang yang ada di tangannya. Tapi ulat. Ulat bulu. Lihat, warnanya. Aku bagai tak percaya. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa? Bagaimana bisa celengan anakku itu berisi ulat?
 .

KUTANYAKAN pada istriku di mana celengan itu biasanya ia letakan.

“Di atas meja,” katanya, “di atas meja belajar anak kita.”

Kuperhatikan meja belajar anakku. Bersih. Beberapa buku yang ada di atasnya pun tertata dengan rapi. Kualihkan pandang ke sebelah kiri. Lemari mini, berisi pakaian anakku, tegak dengan warna hijau terang. Dinding-dinding kamar anakku pun terlihat putih-bersih.

“Lantas, dari manakah asal ulat yang kulihat di toko boneka tadi siang?”

“Ah, itu hanya perasaan abang saja.”

“Tapi….”

“Tak mungkin. Coba abang lihat,” ujar istriku seraya mempersilahkanku agar lebih memperhatikan lagi kamar anakku ini. “Bersih, kan? Nah, mana mungkin ulat itu masuk ke celengan Tigris dari sini. Kecuali, bila tadi siang abang teledor membawa celengan itu, lantas di tengah perjalanan ulat itu masuk ke celengannya.”

“Ya, ya. Bisa saja,” ucapku.

Istriku tersenyum. Ia berlalu keluar pintu, meninggalkanku di kamar ini. Kulihat Tigris anakku sedang tidur berbaring di atas ranjang. Hendak kubalikkan badan. Akan tetapi, sebelum sempat hal itu kulakukan, tiba-tiba saja aku dikejutkan oleh perubahan warna. Warna itu, warna seprei ranjang anakku. Sejak kapankah warnanya yang biru berubah jadi hitam?

Kuperhatikan lebih dekat. Astaga, benarkah apa yang kulihat? Ulat-ulat itu. Ulat-ulat bulu. Hitam tubuhnya menutupi seprei yang biru. Dan anakku, lihat, tanpa merasa terganggu tidur di dekat ulat-ulat itu. Entah ratusan entah ribuan. Kuperhatikan lebih dekat. Bukan hanya seprei ternyata. Boneka yang dibeli tadi siang pun, yang kini tergeletak tak jauh dari bantal anakku juga dikerubungi ulat. Ulat-ulat itu. Ulat-ulat bulu. Ada yang melata di tubuh anakku. Dari situ, oh….

Segera kubangunkan Tigris. Akan tetapi, sungguh, kakiku terpaku. Tak bisa aku menolongnya. Sementara, ulat-ulat itu… Bagaimana bisa? Bagaimana bisa? Kukucek-kucek mata.

Ah, ternyata aku hanya bermimpi di atas sofa. (*)
 .
Romi Zarman lahir dan menetap di Padang, Sumatera Barat.












 
 
 

Tidak ada komentar: