Kamis, 10 November 2011

CERPEN SUARA MERDEKA

Siapakah yang Menyuruh Kita Memukul Lesung
Oleh
Sunaryono Basuki Ks







SIAPAKAH yang menyuruh kita memukul lesung saat terjadi gerhana dan meneriakkan kata-kata yang tak masuk akal?

Mengapa tidak meneriakkan, “Gerhana! Gerhana!” Orang-orang malahan memukul lesung. Kata mereka, untuk mengusir raksasa agar tidak jadi menelan bulan. Berapa besarkah raksasa itu sampai mampu menelan bulan yang demikian besar? Pastilah raksasa itu lebih besar dari besar bumi ini. Alangkah banyak yang disantap sehari-hari atau kalau raksasa hanya makan sebulan sekali, alangkah banyak makanan yang harus disantap? Apa dia juga harus mengisap air sungai atau danau untuk melepaskan dahaga? Mustahil ia mau minum air laut yang pasti akan membuatnya lebih dahaga, sebagaimana para nelayan yang terayun-ayun gelombang laut berhari-hari tetap akan berupaya mencari air tawar untuk melepas dahaga. Air laut akan menambah dahaga. Tenggorokannya terasa kering.

Pasti ada yang membocorkan rahasia soal memukul lesung saat raksasa nyaris menelan bumi. Tetapi sekarang ini? Di kota tak ada lesung. Di desa pun, lesung sudah tersingkir dari rumah-rumah. Sebab padi tidak lagi ditumbuk di lesung tetapi dibawa ke penggilingan dan digiling dengan mesin slep. Apakah bila terjadi gerhana mesin slep harus dibunyikan? Apakah memang kuncinya pada padi yang harus ditumbuk? Tetapi saat membunyikan lesung, orang tidak menumbuk padi. Mereka hanya memukul dasar dan dinding lesung dengan irama tertentu. Irama itu yang akan mengusir raksasa agar batal menelan bumi. Namun, kenyataannya, biar sejuta lesung dipukul bersama-sama, gerhana tetap saja berlangsung. Bumi ditelan kegelapan dan kemudian pelahan akan dimuntahkan kembali oleh kegelapan.

Kegelapan? Apakah raksasa sama dengan kegelapan? Secara kiasan memang sifat keraksasaan disamakan dengan kegelapan. Hati yang gelap yang tak menemui sinar lilin, cahaya ilahi.

Dulu, pada masa lalu, saat masih dipakai banyak orang, lesung dibunyikan untuk memberi tahu bahwa seseorang akan menyelenggarakan upacara tertentu. Ada hajatan, apakah itu pernikahan atau khitanan. Lesung pada saat khusus ini merupakan alat komunikasi bukan alat produksi. Tetapi masih juga tersimpan rahasia, siapa yang memberi tahu raksasa takut pada bunyi lesung?

Inilah kisahnya jika kamu percaya: …Pada zaman duhulu kala, dahulu entah kapan, hiduplah raksasa sendirian di sebuah taman yang indah. [*]

Karena taman itu indah, penuh bunga dan pohon buah-buahan yang berbuah lebat, maka anak-anak pun suka berkunjung ke taman tempat tinggal raksasa itu. Raksasa itu tak tahu bahwa banyak anak-anak yang bermain di taman sebab mereka selalu bersembunyi di balik semak bilamana raksasa muncul. Lama kelamaan raksasa merasa curiga sebab buah-buahan di tamannya berkurang dan bunga-bunga pun nampaknya sudah dipetik. Anak-anak senang memetik bunga sebagai oleh-oleh untuk ibu mereka, yang selalu sangat gembira menerima hadiah bunga-bunga itu. Melihat ibu mereka gembira, maka mereka makin rajin memetik bunga untuk menyenangkan hati ibu mereka.

“Apakah yang bisa kita berikan untuk membalas kebaikan Ibu? Bukankah Ibu yang melahirkan kita, menyusui kita, mengganti popok kita, dan saat kita sudah menjadi bocah, masih juga mencuci pakaian kita, menjemurnya dan menyetrikanya agar rapi. Kukira hadiah berupa bunga tidak seberapa untuk membalas kasih Ibu.”

Tetapi tidak demikian dengan raksasa. Bunga-bunganya yang berkurang dan juga buah-buahan yang jumlahnya menyusut membuatnya heran.

“Siapakah yang berani mencuri bunga-bungaku?”

Lalu, pada suatu hari raksasa itu meneriakkan pikiran, “Siapakah yang berani mencuri bunga-bungaku?”
Suaranya bergetar, menggetarkan taman dengan luar biasa, sampai bunga-bunga dan buah-buah pun gugur ke tanah. Anak-anak yang bersembunyi di balik semak gemetar sebagaimana tanaman-tanaman itu pun bergetar. 

Mereka yakin raksasa telah mengetahui perbuatan mereka.

Dan Naila, gadis kecil yang paling elok merasa bahwa dia harus minta maaf, sebab dia yakin sejahat-jahat raksasa pasti akan memberinya maaf jika dia memang minta maaf dengan tulus. Naila bergerak hendak keluar dari persembunyian, tetapi Dedi yang paling besar memegang tangannya.

“Mau kemana kau?”

“Minta maaf,” katanya.

“Jangan! Nanti kamu dimakan.”

“Aku boleh dimakan sebab memang sudah bersalah mencuri bunga-bunga dan buah-buahan. Tetapi demi kasihku pada Ibu, aku rela.”

Walau mereka hanya berbisik ternyata sang raksasa mendengar pembicaraan mereka.

“Siapa kalian, ayo keluar!!!” teriak sang raksasa.

Dengan gemetar mereka keluar dari tempat sembunyi mereka. Mereka bersepuluh. Naila paling depan dan Dedi paling belakang.

“Hua hua huaaa!” tawa raksasa.

Daun-daun pun bergetar dan gugur berhamburan.

“Kalian anak-anak pemberani. Kenapa kamu berani mencuri bunga-bunga dan buah-buahanku?”

Tak seorang pun dari mereka berani menjawab. Hanya Naila tanpa tubuh bergetar menjawab, “Maaf, Bapak Raksasa….”

“Ha ha ha, Bapak…?”

“Atau Om Raksasa…?”

“Kamu kira aku masih muda? Umurku sudah ribuan tahun tetapi aku tak bisa mati….”

“Jadi aku panggil Kakek Kakek Kakek Raksasa saja ya?”

“Oh, kamu lucu…. Siapa namamu?”

“Naila….”

“Kenapa kau berani mencuri dari kebunku?”

“Maaf, Kakek Kakek Kakek. Aku ingin membalas budi pada ibuku. Ibu sangat menyukai bunga dan buah yang kuambil dari sini.”

“Bodoh! Membalas budi dengan mencuri.”

“Maafkan saya Kakek Kakek Kakek….”

“Kamu jujur, Naila. Kamu harus minta izin padaku.”

“Tapi kami takut kalau Kakek Kakek Kakek memakan kami….”

“Ha ha ha. Aku tidak makan daging. Aku hanya makan buah dan mencium harum bunga. Karena itu umurku panjang. Kalau mau berumur panjang tirulah diriku, jangan makan daging sebab daging membunuh tubuhmu dengan berbagai penyakit….”

“Baiklah, terima kasih….”

“Tunggu!” lalu direngkuhnya Naila di dalam tangannya yang kokoh. Ke dalam telinganya sang Raksasa membisikkann sesuatu. Teman-temannya tidak tahu apa itu, dan tidak segera diberitahu.
Sebetulnya inilah yang dikatakan raksasa itu:

Pada saat-saat tertentu tubuhku membesar dan membesar dan menjadi sangat besar sampai lebih besar dari bumi ini. Dan pada saat itu aku sangat ingin menelan bumi. Aku hanya merasa takut pada satu hal: bunyi pukulan pada lesung, sebab pukulan itu mengingatkanku pada ibuku yang suka memukulku dengan alu dan menampar-namparkan kepalaku pada lesung sebab aku sangat nakal dan tak pernah menuruti perintah Ibu dan tak pernah pula menyenangkan Ibu. Karena itu, kau Naila, yang mencintai dan menghormati ibumu, kuberikan rahasia ini. Sampaikan rahasia ini pada ibumu dan teruskanlah beritanya pada ibu-ibu yang lain.

Itulah sebabnya mengapa orang-orang memukul lesung saat gerhana bukan memukul kentongan, sebab beritanya disampaikan oleh ibu Naila, dan lesung hanya dipukul oleh perempuan, bukan laki-laki yang biasa memukul kentongan.

“Percayakah kau pada dongeng ini?” tanya lelaki tua yang dihadapi oleh sepuluh anak-anak yang setiap purnama mendongengkan kisah yang menarik pada anak itu…. (*)
 .
.


Singaraja 26 Mei 2011
.

Catatan:
[*] Dari kisah cerpen “The Selfish Giant” karya Oscar Wilde. Dalam cerpen Wilde, raksasa adalah jelmaan Nabi Isa dengan ada luka bekas dipaku pada kedua telapak tangan dan kaki.
.


 

Tidak ada komentar: