Kamis, 10 November 2011

CERPEN SUARA MERDEKA



Percakapan di Serat Lontar
Oleh
Muhammad Amin










HALIMUN menipis. Air laut menyurut memperlihatkan bebatuan karang yang mendatar di sepanjang tepian pantai. Sinar keemasan jatuh pada ujung dedaun. Berpendar pada riak-riak jernih air yang tenang.
Hijau dan biru, paduan yang menyimpan tiap yang rahasia, tiap yang misteri, seperti juga dedaun yang tersibak angin dan langit yang merentang tenang.

Embun sebentar saja habis. Jilatan lidah ombak pada pasir, memantulkan kilau keemasan, berdesir rendah sekali seperti tak ingin mengganggu tidur seorang perempuan berwajah setenang air muara yang sedang nyaman di atas dahan ketapang. Tapi sinar matahari yang menyelinap celah-celah daun ketapang telah lancang membuyarkan niat baik ombak.

Perempuan yang berambut seperti ombak, selalu dihiasi lukuk lada. Kulit kerang berjejar di antara jenjang lehernya. Warna kulitnya tak pernah melukiskannya sebagai perempuan laut. Orang-orang mungkin mengira ia perempuan istana dengan segala keindahannya.

Perempuan laut itu tercenung. Tafakur mengeja tanda-tanda. Duduk di sampingnya seekor harimau dengan nafas hangat, bulu-bulu halus yang hangat—warna lempeng emas dengan garis-garis hitam pekat yang menjalari tubuh besarnya.

Perempuan pemahat batu dan Nawa, harimau yang selalu mendampinginya, kini hanya menikmati cahaya hangat pagi. Tidak seperti hari-hari sebelumnya.

***


Serat Lontar yang Pertama
Nawa, harimauku yang setia, tak mengerti aku mengapa perasaanku sedemikian rupa. Seakan tak bisa aku menyelami palung hati sendiri. Pagi ini aku seperti kehilangan seluruh kekuatan untuk memahat dinding batu dengan kedua tanganku. Maka tolong bawalah aku dari sini.

Malam itu, Nawa, setelah kau memberitahuku bahwa ada sekelompok orang membuka tempat permukiman tak jauh dari tempat kita, tiba-tiba aku mendengarkan suara. Sebuah suara yang mengalun, bermain bersama angin. Bersidekap dengan senyap. Begitu indah melahirkan nada-nada dari rahim semesta. Kulihat pucuk-pucuk daun menggeletar.

Tubuhku terseret oleh iramanya. Pikiranku limbung dan terbang seperti kapas. Melayang-layang seperti seekor burung. Seakan pikiranku ikut mengembara ke atas awan. Berputar-putar di suatu tempat yang tak jelas di mana. Suara yang indah itu seperti rintik jarum-jarum hujan di tengah daratan yang kerontang. Tak terasa aku telah berada di tempat pemukiman baru itu. Kukira, mereka orang-orang pengembara atau mungkin sekelompok penyamun (perompak) yang sengaja singgah di pulau ini? Atau para pelaut yang terdampar akibat badai?

Tapi malam itu tak kutemukan mereka di sana, Nawa. Hanya seorang—ya, seorang saja, duduk di atas onggokan batu di depan gubuk yang baru didirikan. Jemarinya bermain-main di atas sepotong bambu kecil yang menempel di bibirnya. Dia tampak tenang sekali, seolah aku bisa merasakan nyanyian itu. Semakin meninggi semakin bergetar hati. Gurat wajahnya jelas terpantul cahaya unggunan api dan bulan sepotong di langit jernih. Angin terasa menghinggap. Senyap. Burung-burung yang bertengger di pepokok dahan pun menyimak.

Lalu suara keretak reranting dan dedaun kering yang tak sengaja terinjak olehku telah membuyarkan penghayatannya. Membuatnya tiba-tiba berhenti memainkan lagu. Dia menangkap keberadaanku. Kami bersitatap. Aku terhenyak. Mendadak aku tak dapat bergerak.

Mata itu, Nawa, mata yang berkilat kelebat menusukku. Mata itu yang telah menghilangkan seluruh kekuatanku. Karena ketakutanku, segera aku berlari untuk menghindar darinya, melesat secepat yang aku bisa. Sempat kudengar engkau mengaum keras sekali. Ada amarah yang sempat kutangkap dari aumanmu yang tak biasa itu.

Beberapa hari setelah itu, rupanya kau telah menyobek dada lelaki pemilik mata itu. Kau telah memendam dendam tak jelas. Dia terkapar di bawah pohon maja, dengan tubuh kaku tak berdaya. Aku kebingungan tak tahu harus berbuat apa.

Kukira engkau telah menghilangkan nyawanya. Tapi dadanya masih bergerak, dada koyak berlumur darah itu perlahan bergerak mengikuti irama napasnya. Segera aku mencari ramuan dari rumputan dan semak untuk menyembuhkan lukanya.

Beberapa hari ia tak sadarkan diri. Aku merawatnya hingga luka itu mengering, hingga benar-benar sembuh seperti sediakala.

Lalu bisakah kaubayangkan bagaimana hatiku saat memandang wajah penuh gurat kecemasan dengan cambang lebat itu. Dan bibir merah kecokelatan yang indah kala meniup sepotong bambu. Seperti sebuah kerinduan. Selama ini aku hanya mendengar ceritamu tentang pangeran dari negeri angin. Adakah dia pangeran yang kauceritakan itu?

Ketika mata itu mulai terbuka, kembali diriku diliputi resah. Perasaanku kalut, bercampur aduk antara senang dan takut. Seperti hujan batu.

Karena mata itu, mata yang seolah memberiku sesuatu rahasia tentang kecemasan. Aku yang seketika menjadi demikian lemah di hadapan lelaki yang tak pernah kukenal—namanya sekalipun. Dia seolah menjelma angin puyuh yang menerjang pohon-pohon kita, menggolakkan ombak yang memecahkan karang.

Aku ingin kekuatanku kembali. Aku ingin menikmati setiap lekuk batu yang kupahat dengan kedua tanganku seperti hari-hari sebelumnya. Namun, suatu waktu, terkadang aku masih saja merindukan lagu-lagu indah yang ia mainkan pada malam-malam kelam.

Nawa, mungkin hanya kau yang tahu riwayatku selama ini, kau yang telah merawatku sejak bayi. Aku terlahir oleh ombak yang berdesir tenang itu, katamu. Ombaklah ibuku. Ombak dengan segala perangai dan muslihatnya, selama beberapa kurun waktu, telah melahirkan dan mengasuhku.

Dan bapakku, batu karang yang telah kausuruh aku memahatnya dengan tanganku selama bertahun-tahun. Batu yang kokoh dan hitam menjulang itu telah menanamkan benih kehidupan kepada buih-buih Ibu.
Aku memang tak pernah mengerti semua ini. Tak pernah aku bertanya siapa dan bagaimana aku dilahirkan. Seperti burungkah? Seperti ikankah? Seperti kura-kura muara? Kau sendiri yang bercerita tanpa aku meminta.

Seperti katamu, ibuku sang ombak yang tak tertebak perangainya, kadang cemas bergelora kadang tenang menyaingi muara. Dan tubuh Bapak yang hitam menjulang itu, aku yang memahat tubuhnya sehingga tampak seperti seekor naga yang menganga.

Seluruh waktu kuhabiskan untuk memahat batu, memahat tubuh bapak, dengan tanganku. Lalu tubuh Ibu mengempas kami, menaburkan buih-buih sewarna putih awan. Lihatlah tubuh Bapak menganga, aku yang telah mengukirnya, seolah menyemburkan kepulan asap yang mengabut dan membubung ke udara saat tubuh Ibu mengempasnya. Menakjubkan. Mereka terlihat bahagia.

***


Serat Lontar yang Kedua
Sebagaimana yang telah terterakan dalam kitab, yang aku tak pernah tahu namanya, berupa kulit lontar yang tebal, berisikan empat puluh sembilan helai lontar yang bertuliskan ketetapan takdir keturunan kita, anakku, eyangmu si pertapa itu yang menyimpan kitab lontar memberikan sebuah petunjuk kepadaku. Petunjuk dari ketetapan Sang Semesta. Petunjuk yang sangat tidak aku harapkan.

Dari sana dapat kutangkap maksud pesan eyangmu bahwasanya aku akan mengandung benih calon bayi perempuan di dalam rahimku, yaitu janinmu. Demikian ketetapan yang harus kuterima. Bagaimana aku bisa mengandung janin bayi jika tak ada lelaki yang pernah menyentuhku?

Janin itu akan tetap ada di dalam rahimku, kata eyangmu, karena itu adalah keputusan Sang Semesta, yang tak bisa kita mengubahnya. Di rahimku akan tetap tertanam janin bayi perempuan meski tak ada seorang pun lelaki menyemaikan benihnya. Lalu hari demi hari yang kulalui mulai tampak berubah. Mulai muncul tanda-tanda yang menunjukkan bahwa aku benar-benar sedang mengandungmu. Dan aku, meski dengan berat hati, harus mampu menerima. Aku merawatmu dalam kandunganku hingga tiba sembilan bulan. Bertepatan saat aku akan melahirkanmu, eyangmu datang dengan wajah seperti digayuti awan mendung. Seharusnya beliau bahagia menyambut kelahiran cucu pertamanya.

Dan tak kusangka, kesedihannya itu ditanggung selama berbulan-bulan dan memendamnya sendiri. Tapi sebagai manusia biasa, beliau merasa tak kuat dan harus menyampaikannya kepadaku meski dengan sangat berat hati. Kemudian beliau menyampaikan sebuah petunjuk lagi yang tak lebih memerihkan ulu hati. Seperti luka ngaga yang tersiram racikan garam. Lagi-lagi aku harus memikul beban berat. Perasaanku tercabik-cabik. Eyangmu keluar dan menangis tersedu-sedu. Tak pernah aku melihat lelaki tegar dan kokoh itu tak mampu membendung kesedihannya. Setelah itu, beliau merasa menjadi manusia paling menyesal di dunia. Kemudian beliau pergi dan tak pernah kembali, hidup menyendiri di puncak gunung.

Aku menghanyutkanmu ke tengah samudera. Di bawah bentangan langit berbintang, tengah malam yang tenang. Kau tertidur pulas di dalam keranjang dan kuselimuti dengan daun-daun ketapang. Sementara, dalam beberapa kurun waktu, ombak akan mengasuhmu. Membuaimu dalam nyanyian angin dan gelombang. Kelak ombak akan mendamparkanmu di sebuah pulau yang nyaman untuk ditinggali. Di sana, seekor harimau yang baik hati akan mengasuhmu hingga dewasa. Ia akan menjaga dan melindungimu lebih dari dirinya sendiri.
Dua puluh tahun berlalu, kini aku terbaring dalam penantian dan penyesalan, menyimpan rindu yang tak berkesudahan. Rindu yang kuperam dan hampir matang. Rindu yang membuat dadaku ingin pecah.
Sebelum aku pergi dalam pembaringan terakhir ini, sesungguhnya ingin aku memelukmu, meski hanya sekali saja seumur hidupku, wahai anak perempuanku yang hilang. Kelak, ibu tetap akan menyimpan rindu ini hingga engkau tiba di taman surga.

***


Serat Lontar yang Ketiga
Perempuan pemahat batu, kusimpulkan begitu karena sering kulihat sosokmu memahat dinding batu di tetebing tepian pantai itu. Aku tak pernah tahu namamu.

Demikianlah malam itu. Sesungguhnya aku hanya ingin bercerita tentang keresahanku kepada malam, bulan yang lindap dan pada senyap.

Tak pernah aku bercerita meski pada kawan-kawanku sendiri, orang-orang yang sudah sejak lama mendampingiku sampai ke tempat ini. Bukannya aku tak percaya, tapi hati manusia cepat sekali berubah secepat mata mengerjap, secepat jantung berdegup. Aku hanya ingin berbagi pada malam, pada warnanya yang hitam.

Kulihat daun-daun bergoyang seakan mengerti irama. Sendu serulingku merambat ke udara, menggetarkan hati, mengingatkanku pada sosok yang terlalu kucintai: ibuku.

Suatu hari diembankannya kepadaku sebuah amanat. Amanat yang, menurutku saat itu, tak terlalu berat. Aku akan merasa sangat berdosa bila tak bisa memenuhinya. Aku harus mencari bayi perempuannya yang dulu hilang ketika baru dilahirkannya.

Ibu meyakini ia masih hidup. Ada sebuah tanda lahir seperti tulisan, menurut Ibu seperti rajah, tepat di bawah tengkuknya. Konon tanda lahir itu sengaja diberikan oleh para dewa agar pada kemudian hari mudah dikenali.
Namun akhirnya aku benar-benar merasa berdosa dan putus asa karena tak jua kutemukan adik perempuanku itu hingga kini. Hingga kudengar kabar maut telah menjemput Ibu yang terkapar dalam ranjang penantiannya. Ibuku mati dijerat rindu terhadap anak perempuannya.

Nyanyianku buyar saat suara keretak reranting patah mengusik telingaku. Kulihat kau berdiri di sudut bawah pohon, begitu ketakutan saat menatapku, seolah tak pernah kau melihat manusia sebelumnya. Sebuah tatapan dan ketakutan yang tak biasa. Dan ronamu seakan pernah kutemui dalam lagu. Ya, lagu-lagu yang kerap kulafalkan lewat sepotong bambu.

Lalu, tanpa kuduga, kau melesat pergi begitu saja. Entah karena apa. Aku ingin mengejarmu, tapi langkahku tercekat saat seekor harimau mengaum keras sekali. Aku tahu kau selalu didampingi seekor harimau yang lamat-lamat mencium keberadaanku. Dia menerjang saat aku lengah. Sekejap telah berhasil dia merobek dadaku dengan cakar emasnya. Aumannya seperti halilintar yang merobek udara. Menggelegar.
Aku tak tahu apa yang terjadi kemudian. Y ang jelas, sempat aku bertemu ibuku. Beliau tersenyum beku dan dingin seperti batu, yang membuatku selalu dihantui rasa bersalah atas ketidakberdayaan. Rasa menyesal yang tak kunjung usai.

Mataku perlahan terbuka, samar kulihat bayanganmu di sampingku, mengusap luka di dadaku yang mulai mengering dengan tangan halusmu, wahai perempuan pemahat batu. Ketulusanmu seperti ketulusan ibuku.
Sesuatu yang tak pernah pernah kuduga. Kau seolah sangat ketakutan saat aku mulai sadarkan diri. Sosokmu yang penuh rahasia dan misteri tanpa sengaja memintaku untuk menelusuri. Aku memandangmu, tatapanmu redup. Tiba-tiba kau segera berlari ke arah laut, menyatu bersama ombak. Aku tak bisa lagi membedakan. Kau menghilang dari pandangan. Menghilang dalam arti yang nyata. Badai pun datang. Suara gemuruh di langit dan keretap kilat menyambar.

Untuk kali kedua hujan mengiringi kehilangan.

Setelah itu, aku tak pernah lagi menemukan sosokmu di antara mainan ombak dan pahatan batu yang belum sempat kauselesaikan.

Aku heran, juga terpesona, batu yang telah kaupahat itu menyemburkan buih-buih yang kadang membentuk rupa harimau, kadang rupa naga yang menganga.

Suatu hari (hanya) kutemukan beberapa kelupas kulit harimau, kulit-kulit kerang, dan lukuk lada di bawah pohon ketapang. Rupanya kau telah benar-benar menghilang, perempuan pemahat batu. Adakah kau telah terbang ke kayangan?

Padahal, telah lama aku mencari….

Suatu saat akan kucuri selendang bidadari yang sedang mandi di Telaga Suci. Mungkin kau ada di antara mereka.(*)


Kotaagung, 2008-2010










Si Loak
Oleh
Budi P Hatees












KAU dipanggil si Loak dan itu artinya sangat bodoh. Keluargamu, terutama ayahmu, memanggilmu seperti itu. Kalau panggilan itu sudah diteriakkan ayahmu, kau—dalam keadaan apa pun dan sedang melakukan apa pun—mendadak pucat dan tergopoh-gopoh menghampiri ayahmu. Kau begitu ketakutan. Aku akan menghampirimu dan bertanya ada apa. Kau tidak menggubrisku dan terus berlari. Besoknya, kau tak akan ada di sekolah. Tak akan ada di mana-mana. Kau akan menghilang.

Pada saat kau tak ada, mereka—anak-anak yang selalu mengejek bekas sumbing bibirku yang sudah dijahit—akan menghampiriku. Kalau kau ada, mereka tidak akan berani mendekatiku. Bahkan, untuk menatapku saja tidak berani. Mereka tahu saat kau tidak ada, saat yang mereka tunggu-tunggu. Mereka kemudian mengejekku, mengejek sumbingku, mengejek caraku berbicara. Aku merasa sangat ketakutan. Aku seperti berada di dalam sebuah lobang yang penuh ular berbisa. Mereka juga mengatakan tak akan ada orang yang suka padaku, karena tidak ada seorang pun yang mengerti ucapanku yang sengau. Mereka juga mengatakan bahwa kau pun tidak suka padaku, makanya kau menghilang.

Aku takut omongan mereka tentang dirimu benar. Aku takut kau tak menyukaiku. Aku takut kau menghilang karena tidak suka padaku. Aku takut banyak hal. Aku takut sendirian. Aku pun mencarimu. Tapi aku tak pernah bisa menemukanmu. Ke rumahmu, aku sangat takut. Aku takut pada ayahmu. Semua orang takut pada ayahmu. Ia, ah, aku tak akan menjelek-jelekkan ayahmu. Kau tahu maksudku, karena kau pun sangat takut pada ayahmu. Rasa takut yang membuatmu pucat seketika setiap kali mendengar ayahmu meneriakkan namamu. Teriakkan yang begitu melengking, lebih nyaring dari suara apa pun.

Mula-mula aku kira kau takut hanya pada suara ayahmu. Tapi, belakangan baru aku tahu, ternyata kau takut pada kebiasaan ayahmu melampiaskan semua amarahnya kepadamu. Aku baru tahu setelah pada suatu hari, tanpa sengaja saat kehilangan dirimu, aku menemukanmu di bawah pohon beringin di pinggir sungai. Kau duduk mencangkung pada salah satu akar pohon itu, menatap kosong ke permukaan air sungai yang berwarna cokelat. Kau sangat kaget ketika aku muncul. Saat itulah aku lihat darah kering di sudut bibirmu dan matamu lembab berwarna hitam kebiru-biruan.

“Apa yang terjadi padamu? Apa kau dipukuli anak-anak itu. Siapa yang melakukan semua ini?”

Aku menyerbumu dengan sekian banyak pertanyaan. Aku khawatir sekali. Aku pegang tanganmu dan aku perhatikan seluruh tubuhmu untuk memastikan apakah kau mengalami luka lain di bagian lain.

“Sudahlah. Aku baik-baik saja,” katamu, lalu bangkit dan berdiri pada akar pohon.

“Tinggalkan aku di sini!”

“Siapa yang melakukan semua ini?”

Aku tidak peduli kau mengusirku.
 
Kau marah, lalu membentakku, “Pergi kataku!”

Suaramu begitu kencang. Aku ketakutan sekali. Aku undur lalu berlari pulang. Sepanjang perjalanan ke rumah aku menjadi yakin omongan anak-anak itu bahwa kau tidak menyukaiku lagi. Aku ketakutan. Aku takut karena kehilangan teman. Aku tidak punya siapa pun selain kau.

Setiba di rumah, aku menangis meraung-raung. Ayah dan ibuku kaget, meskipun aku biasa pulang sambil menangis. Tapi, kebiasaan itu berhenti setelah kita sering bersama. Ibu langsung mendatangiku ke kamar. Dengan lembut ibu bertanya apa yang menimpaku. Aku tidak menjawab, tetap menangis. Ibuku membujuk, “Kenapa, Sayang, mereka menjahatimu lagi ya?”

Suara Ibu berhenti, mungkin, menunggu jawabanku. Tapi aku hanya menangis, “Memang Borkat tak membela kau ya?”

Ibu menyebut namamu. Aku tetap menangis.

Seharusnya aku bilang soal dirimu. Tapi aku hanya menangis. Aku terlalu ketakutan kehilangan dirimu. Dan, inilah kesalahanku yang paling fatal. Saat ibu berusaha menenangkanku, ternyata kau sedang di halaman rumah. Entahlah, mungkin, kau merasa kasihan padaku setelah membentakku. Kau tahu aku sangat ketakutan kehilangan dirimu. Makanya, kau berusaha mengejarku untuk meminta maaf. Namun, begitu Ibu mendengar suaramu, Ibu langsung keluar untuk menemuimu. Aku masih menangis dan ketakutan kehilangan dirimu.
Ketika Ibu kembali lagi menghapiriku, Ibu bilang bahwa ia baru saja memarahimu dan menyuruhmu agar tidak menemuiku lagi. “Ibu tidak suka anak itu. Seharusnya Borkat menjagamu, tetapi ia malah ikut-ikutan menyakitimu. Ibu mengusirnya dan melarangnya menemuimu kapan pun.”

Aku bangkit dari tempat tidur dan berlari keluar untuk mengejarmu. Tapi kau tidak ada. Aku kembali meraung sambil masuk rumah. Aku tidak peduli teguran Ibu dan terus ke kamar. Aku mengunci diri di dalamnya.
Sejak itu, aku tak pernah lagi bertemu dirimu. Mereka, yang selalu mengejekku, mengatakan kau pergi karena tidak suka padaku. Pergi jauh, jauh sekali….

***

KAU dipanggil si Loak dan itu artinya sangat bodoh. Aku tak tahu kenapa. Meskipun aku ingin tahu kenapa. Aku juga ingin tahu banyak hal tentang dirimu, karena kau mengingatkanku pada kawanku pada masa lalu. Ia juga dipanggil Si Loak, terutama oleh keluarganya, meskipun ia tidak seperti namanya. Aku yakin kau pun tak seperti namamu.

Ketika kali pertama bertemu, saat kali pertama memasuki ruang kuliah, aku sudah mencurigai bahwa aku mengenalmu. Sepintas dari kejauhan, aku menangkap sosokmu, dan segera ingatanku kembali kepada kawanku pada masa lalu. Sekitar belasan tahun lalu. Dan saat kita berpapasan di pintu ruang kuliah, aku tersenyum padamu. Tapi kau tidak menggubris, bahkan tidak menganggap aku ada di hadapanmu.

Karena itu, aku menjadi paham bahwa kau bukan orang yang aku kenal. Kalian berdua hanya mirip. Hal seperti itu bisa saja terjadi. Dua orang, yang tak ada hubungan apa pun antara satu dengan lainnya, memiliki kemiripan.

Beberapa menit kemudian, setelah mengambil tempat duduk, aku dengar seseorang berteriak: “Hei, Loak!” Aku melihat kau mengangkat kepala. Orang yang berteriak itu tergelak. Kau menatapnya. Aku pernah melihat cara menatap seperti itu. Tatapan orang marah, tatapan kawanku pada masa lalu. Hanya menatap. Tapi, itu bukan akhir, karena setelah itu kawanku akan mencegat siapa pun yang memangilnya seperti itu di luar sekolah. Kalau kawanku mampu menghadapinya, ia akan menghajarnya dan tak memberi ampun. Kalau tidak mampu, ia akan melakukan apa saja untuk melampiaskan dendamnya. Dulu, kawanku itu, merubuhkan menghancurkan etalase sebuah toko kelontongan hanya karena anak pemilik toko mengeroyoknya. Seluruh etalase itu hancur, dan kawanku itu melangkah meninggalkan toko dengan santai. Pemilik toko tak berani mengejar, karena mereka tahu siapa kawanku itu; anak seseorang yang sangat ditakuti.

Aku yakin kau juga akan melakukan hal serupa. Caramu menatap orang itu sangat aku kenal. Tatapan yang penuh dendam. Aku bisa menduga, sepulang kuliah, kau pasti akan mencegat orang itu. Dan, betul, kau memang mencegatnya di gerbang kampus. Begitu melihatnya, kau tarik kerah bajunya dan kau pukuli tanpa memberi kesempatan kepada orang itu untuk melawan. Kau baru berhenti ketika orang itu terkapar berlumuran darah.

Saat itulah, ketika kau pergi dengan santai dan terlihat sangat tenang, aku memanggil namamu. Kau tidak menoleh. Aku pikir karena kau tidak mendengar, lalu kupercepat langkahku untuk menjejeri langkahmu di koridor jalan raya. “Kau pasti Borkat,” tebakku.

“Siapa Borkat?!” nada suaramu tinggi.

“Ah, maaf. Aku salah orang,” kataku.

Kau pun diam sambil menatap ke ujung jalan. Kau sedang menunggu bus. Aku memperhatikanmu begitu seksama. Sungguh, kau mirip dengan kawanku. Kawan yang tak pernah kujumpai lagi sejak belasan tahun lalu, sejak orangtuaku memutuskan meninggalkan kampung itu dan pindah ke Kota Medan ini. Aku sangat kehilangan. Sejak itu pula, aku tahu, aku membutuhkanmu. Karena itulah, aku merasa harus dekat denganmu. Aku tidak ingin kehilangan dirimu lagi.

“Mau pulang ya?” tanyaku, berusaha mengajakmu bicara.

“Apa itu penting?”

“Ketus sekali.”

“Apa itu penting.”

“Aku hanya ingin berteman.”

“Apa itu penting?”

Aku putuskan diam. Tapi, sejak itu, entah bagaimana awalnya kita pun menjadi dekat. Di ruang kuliah kita sering duduk berdekatan. Meskipun tak bertegur sapa, tapi aku senang. Dan ternyata, kau memang banyak persamaan dengan kawanku itu, bukan hanya soal nama panggilan itu. Kau pendiam dan, ini yang terpenting, kau sangat cerdas. Kau menguasai perkuliahan, acap berdebat dengan dosen. Tapi, ada satu hal yang sangat membedakanmu dari kawanku. Kau acap kulihat memegang kepalamu seperti menderita sesuatu. Tak jarang kau tiba-tiba mengeluh kesakitan. Kau tak pernah terlihat sehat. Tiap sebentar kau mengeluh sakit kepala. Secara mendadak, kau sering diserang oleh rasa sakit pada kepalamu. Kau mengibaratkan serangan itu seperti seribu jarum yang ditembakkan sekaligus ke dalam otakmu, lalu jarum-jarum itu masuk ke urat-urat darahmu, kemudian menusuki sel-sel otakmu.

Awalnya aku sangat takut ketika kali pertama melihatmu diserang oleh rasa sakit itu. Kita sedang di dalam kelas mengikuti perkuliahan. Ketika dosen yang bertubuh kecil dan terlihat tenggelam dalam stelan safari warna coklat susu yang dikenakannya itu menuliskan sesuatu di whiteboard, seluruh mahasiswa mendengarkan dengan seksama sehingga suasana kelas jadi hening. Pada saat itulah, kau yang duduk di sampingku tiba-tiba mengeluh oleh rasa sakit pada kepalamu, kemudian seluruh isi kelas riuh karena kau terjatuh dari kursimu.

Kau pingsan seketika. Aku rasa seluruh tubuhku pucat. Aku terkesiap. Aku baru tersentak setelah dosen mendekat dan memerintahkan mahasiswa lainnya untuk membaringkanmu di atas meja. Kuliah hari itu jadi kacau. Seluruh mahasiswa mengerubuki. Dosen marah-marah dan menyuruh para mahasiswa keluar. Aku diminta menunggu di dalam ruangan. Setelah tinggal aku, dosen, dan kau yang masih tergeletak, dosen itu berusaha melepas bajumu dan mengendurkan ikat pinggangmu. Aku melihat dosen sangat khawatir. Wajahnya pucat pias. Kau sendiri belum menunjukkan akan sadar. Aku bilang pada dosen agar membawamu ke rumah sakit. Dosen keluar kelas memanggil beberapa siswa. Kau pun digotong ke rumah sakit.

Sejak kejadian itu, kita jadi akrab. Sejak itu aku tahu ada sesuatu yang bersarang di otakmu. Kata dokter, ia semacam tumor, tetapi tidak terlalu membahayakan. Aku tak tahu bagaimana dokter bisa menyimpulkan

“tidak terlalu membahayakan”. Kau sendiri tidak terlalu peduli dengan perkataan dokter. Bagimu, kau baik-baik saja. Meskipun kau tidak pernah membantah ada sesuatu yang bersarang di kepalamu. “Ia sudah ada di kepalaku sejak aku kecil. Sekali-sekali ia memberitahuku bahwa ia masih setia di dalam kepalaku,” katamu.

Aku tak mengerti kenapa ada orang seperti dirimu, sama sekali tidak memiliki rasa khawatir atas penyakit yang menimpamu. Meskipun begitu, kau selalu saja mengeluh bila sakit kepala itu mulai menyerangmu. Kau memintaku menjaga agar saat pingsang kepalamu tidak membentur benda keras. Aku pun jadi waspada. Begitu kau mengeluh sakit kepala, aku langsung bersiap-siap.

Tapi tidak setiap saat serangan di kepalamu itu membuatmu pingsan. Kau akan tersenyum jika bisa mengatasi serangan itu tanpa pingsan. “Kau kawan yang baik,” katamu.

Itulah kali pertama kau memujiku. Pujian itu juga menjadi pujian terakhir yang kauberikan. Beberapa hari kemudian, kau kembali diserang oleh rasa sakit yang hebat pada kepalamu, teramat hebat. Aku tak ada di sampingmu. Serangan itu datang saat kau di dalam bus. Kau tak bisa mengendalikan diri dan terjatuh.

Sebelum menyentuh lantai bus, kepalamu membentur bangku. Besok harinya, sebuah kertas yang ditempel di papan pengumuman kampus, menyebut bahwa kau telah meninggal karena serangan tumor otak. Dan aku tak pernah lagi bertemu denganmu. Aku kembali kehilangan dirimu.

***

“ORANG memanggilku si Loak,” katamu setelah minta izin duduk di bangku kosong di depanku saat sedang menikmati menu di sebuah restoran di bilangan Jakarta Pusat. “Itu artinya sangat bodoh, tapi itu hanya nama. Sesungguhnya semua orang tahu kalau aku cerdas.”

Aku diam saja, hanya menatapmu. Nama itu, tentu, segera membawa ingatanku ke masa lalu. Si Loak, ah, apakah semua laki-laki bernama sama? Ataukah kalian memang orang yang sama. Aku yakin tidak. Secara fisik, kau lebih gemuk. Begitu percaya diri, menyunggingkan senyum sambil duduk di hadapanku. Beda betul dengan Si Loak sebelumnya. Mereka tidak perduli apa yang terjadi di lingkungannya, pendiam, dan pemurung. Sedang kau, terlihat begitu riang.

“Sejak kau masuk ke restoran ini, aku sudah curiga pernah mengenalmu,” katamu.

Kau diam sambil menatapku seolah-olah ingin memastikan dugaanmu tentang diriku tidak keliru. “Tidak salah lagi, kau pasti Berlian,” tebakmu. Kau menyebut namaku. Aku tersentak. Sungguh, ini mengejutkan. Aku tak pernah mengenalmu, kecuali nama yang kauperkenalkan. Aku menatapmu dalam-dalam. “Kau tahu namaku?” tanyaku.

Kau pun tertawa. Satu hal yang tak pernah dilakukan si Loak yang pernah aku kenal.

“Kau tidak mengenaliku lagi, Berlian?”

“Mungkin kau salah orang,” kataku. “Kebetulan saja nama kami sama.”

“Tidak. Aku tak pernah keliru. Kau….”

Kau diam. “Maaf, bekas jahitan di atas bibirmu itu, itu yang mengingatkanku padamu.”

Aku terkejut. Ia menangkap bekas itu meskipun orang lain tidak lagi melihat bekas jahitan operasi sumbingku. Selepas aku kuliah, aku bekerja di sebuah perusahaan internasional yang bergerak di bidang telekomunikasi. Aku menjabat sebagai manajer komunikasi dan public relation. Pekerjaan itu memaksaku mengubah penampilan fisik, mengoperasi ulang bekas jahitan di bawah hidungku, dan memperbaiki caraku berbicara. Semua orang bilang aku lebih cantik, dewasa, dan sangat terpelajar.

“Kau tak bisa menutupinya dariku,” katamu.

“Bagaimana kau bisa tahu.”

“Karena aku mengenalimu.”

“Aku tak mengenalimu sampai kau sebutkan namamu.”

“Kau mengenalku dengan nama si Loak, kau juga tahu namaku Borkat. Hanya kawan-kawan pada masa lalu yang memanggilku si Loak.”

Aku kaget. Jadi, sungguh, kau betul kawanku pada masa lalu. Tapi aku tidak percaya. Kau terlihat berbeda, jauh betul dari sosok si Loak yang aku kenal. Kau seolah bisa membaca pikiranku, lalu bercerita tentang anak-anak yang mengejek sumbingku. Kau bercerita semuanya. Kau bilang, mereka sering menanyaiku.

“Mereka tinggal di Jakarta ini juga. Kami sering bertemu,” katamu.

“Mereka?”

Mendadak semua kenangan itu muncul. Ceritamu betul-betul meyakinkan, karena hanya si Loak yang tahu cerita itu. “Jadi, kau benar-benar Borkat?”

“Y a, kenapa? Apa aku berubah?”

Aku mengangguk. “Sangat berubah. Apa yang terjadi padamu?”

“Setiap orang harus berubah. Kau juga berubah.”

Aku tersenyum. Kau kembali tergelak. Kita pun cepat akrab. Kau mengungkit kenangan masa kecil. Berkali-kali kita tertawa bersama. T api, ketika aku bertanya bagaimana keluargamu, mendadak kau murung.
“Kasihan ibuku,” katamu, “Ia harus kehilangan aku.”

“Apa maksudmu?”

“Sejak ibumu mengusirku dari rumahmu, aku meninggalkan kampung. Kaulah satu-satunya orang yang dekat denganku. Orangtuaku sama sekali tidak menyukaiku, apalagi ayahku. Bagi mereka aku hanya anak bodoh yang menyusahkan. Semula aku kira karena memang aku bodoh, tapi belakangan aku tahu karena mereka memang tidak menginginkan kehadiranku. Mereka tidak menginginkanku lahir, dan kelahiranku membuat hubungan kasih di antara mereka jadi renggang.”

“Apa maksudmu?”

“Ibuku mengandung aku sebelum menikah. Karena ibuku hamil, mereka dipaksa menikah. Selama pernikahan itu, mereka menjadi paham kalau mereka memang tidak cocok menjadi suami istri. Setelah aku lahir, mereka mengabaikanku dan mengurus urusan masing-masing. Kau tahu, ayahku seorang bajingan, sama seperti ibuku. Tiap hari mereka melampiaskan kemarahan masing-masing dengan cara memukulku. Aku tak tahan dan memutuskan meninggalkan mereka.”

“Kenapa kau tidak pernah memberitahu soal ini?”

“Itu masa lalu. Aku sudah melupakan mereka.”

“Melupakan orang tuamu.”

“Bukan. Mereka tidak pantas jadi orangtua.” Mendadak kau emosi, menatap tajam padaku. “Mereka tak pantas jadi orangtua.”

Tiba-tiba kau tergelak. Suaramu begitu kencang. Orang-orang yang sedang menikmati menu restoran, menatap ke arah kita. Kau tidak peduli. Lalu kau diam seketika seolah-olah kau tidak pernah tertawa. Kemudian menantap tajam padaku. “Kau tahu,” katamu seperti menyuruhku menebak apa yang akan kau ceritakan. Aku menggeleng.

“Aku membunuh mereka.”

Mendadak aku pucat. Aku sandarkan punggungku ke kursi. Kembali kau tergelak. (*)










Niat Jahat di Kepala Cheng Ho
Oleh
Sunlie Thomas Alexander










BAGAIMANA mesti aku rawikan riwayat Sam Po Thai Kam yang serupa dongeng ini? Oh, kisah-kisah liar yang tak mungkin kautemukan dalam catatan sejarah. Tapi begitulah, cerita-cerita tak jelas asal muasal ini telah kudengar di masa kanak-kanak dan lama mengendap dalam ingatan yang mirip belukar semak….


(1)

TENTU kau tahu banyak cerita tentang pelaut besar itu. Bagaimana pelayarannya yang luar biasa,—ah, 114 tahun sebelum Magellan merintis penjelajahan samudera mengelilingi bumi—mengubah peta navigasi dunia sampai abad kelima belas.

Atau, bagaimana selama 28 tahun, tak urung lebih dari 30 negeri di Asia, Timur Tengah, dan Afrika telah disinggahi dalam tujuh kali ekspedisi yang kesohor itu demi memperluas pengaruh Kaisar Ming sebagai Putra
Langit dan menjalin hubungan perniagaan dengan banyak negeri.

Kendati armadanya membentang hampir seribu meter di garis cakrawala, memanjang 1,5 kilometer di lautan, toh berbeda dari penjelajah Eropa yang rakus, tak dibawanya semangat penaklukan dan keserakahan. Bahkan, syahdan kapal-kapal itu lebih banyak membawa ragam cinderamata yang akan dipersembahkan kepada raja-raja berbagai negeri ketimbang senjata.

Ai, demikianlah sejarah lebih suka mencatat jasa, misi mulia, dan kepahlawanannya di sepanjang jalur pelayaran. Karena itu, tak kausangsikan lagi riwayat yang mengisahkan kemurahan hati orang kasim itu. Tengoklah, katamu, tatkala merapat di Tuban dan Gresik misalnya, kepada penduduk pribumi tak segan ia ajarkan beragam teknik pertanian dan peternakan, juga tata cara pertukangan dan perikanan.

Oh, tentu tak hendak kuremehkan kebesaran Sam Po Thai Kam, Kawan! Tapi percayakah dirimu, kalau kukatakan bahwa dalam pelayarannya yang panjang itu, beberapa kali sempat terlintas niat jahat di kepalanya untuk mencelakai para penduduk Nanyang [1] yang ia sambangi? Tahukah dirimu, atau pernahkah kaumendengar bahwa mulut pelaut ulung itu sesungguhnya mengandung tuah? Tak pelak apa pun yang diucapkan kerap dengan segera menjelma jadi kenyataan; hal yang tak benar pun menjadi benar. Ya, sebab itulah niat buruknya tak pernah kesampaian, Kawan.

Kau heran, kau menyangkaku berkelakar? Ai, anggap saja Tuhan selalu memberkati perjalanan muhibahnya, senantiasa menjaga keagungan namanya, karena itu tak pernah membiarkannya melakukan keculasan.

“Itu tak mungkin! Cheng Ho…,” bantahmu dengan nada tak senang, “adalah pelaut budiman. Bahkan ia lebih suka tuntaskan masalah dengan diplomasi daripada kekerasan.”

Lantas kau menunjukkan lagi padaku kisah ketika ia mengirim para utusan kehormatan kaisar ke Kerajaan Blambangan saat berlabuh di Samo Lung. [2] Lebih dari separuh utusan tak bersenjata ini tewas dibantai Majapahit yang mengira Blambangan sedang meminta bantuan Kaisar Ming.

 Terkejut oleh serangan, ia pun mengerahkan seluruh armada ke Majapahit dan arahkan semua meriam kapal perangnya ke daratan. Toh, sebelum bola-bola mesiu itu dimuntahkan, ia melakukan tindakan mengejutkan. Dengan menggunakan kapal kecil dan hanya ditemani beberapa pengawal, ia malah memutuskan menghadap Raja Majapahit untuk menanyakan kenapa utusannya diserang. Tak pelak sang raja pun menyadari kesalahpahaman dan perkara dapat diselesaikan dengan damai.

“Sungguh menakjubkan apa yang ia lakukan,” pujimu kagum. Karena itu, wajar apabila kau bersikeras menyangkal habis-habisan sejumlah kisah yang kudengar dari kakekku di masa kecil ini.

Ah, baiklah, anggap saja aku memang keliru dan hanya ngelantur. Toh, aku pun tak bisa menunjukkan kebenarannya padamu. Tak ada sepotong pun catatan sahih yang bisa kurujuk sebagai pegangan kecuali kisah-kisah ini kudengar dari mulut kakekku puluhan tahun silam. Membelukar dalam ingatan. Tak ada bukti bisa diuji layaknya lonceng raksasa Cakrado yang dihadiahkannya kepada Sultan Aceh, atau piring bertuliskan Ayat Kursi yang saat ini masih tersimpan baik di Kraton Kasepuhan Cirebon.

Namun tak ada salahnya bukan, jika cerita-cerita kecil ini aku ungkapkan kepada pembaca? Sebab bagiku, di sini persoalannya bukanlah sejauh mana kebenaran kisah-kisah itu, tapi bagaimana sesekali kita mencoba melihat sisi lain dari versi sejarah yang resmi….

Hm, beginilah cerita yang kautuduh sebagai fitnah keji itu. Cerita-cerita yang kau anggap musykil.


(2)

AH kukatakan kepadamu, sesungguhnya rumah panggung yang tegak dari Semenanjung Malaya hingga bumi Betawi tak lepas dari riwayat pelayaran laksamana agung itu. Bahwa, sejarah tiang-tiang penopang rumah itu berpangkal dari sebuah niat buruk yang tebersit di benak Cheng Ho tatkala armada rayanya—ya, sebagaimana dicatat Ma Huan dalam kitab Ying-yai Sheng-lan, terdiri atas 27.000 awak dan 307 kapal besar-kecil-menyusuri pesisir timur Sumatera.

“Dirikanlah rumah di atas pancang tiang, niscaya kalian bakal terhindar dari ancaman binatang buas,” katanya kepada orang-orang Melayu di Riau dan Malaka, “Tinggikanlah rumah agar kalian tak disapu ombak dan sungai yang meluap,” sarannya kepada penduduk yang berdiam di pesisir Jambi, bantalan Batanghari dan Musi.

Ai, kendati tak mampu kutunjukkan tanda betapa rumah-rumah panggung itu adalah jejak kepicikannya yang nyata, toh terang dapat kautangkap maksud dan tujuan nasihat itu bukan? Bahwa tak lain supaya orang-orang Melayu mengalami celaka, mati ketimpa rumah panggung mereka yang roboh apabila tiang-tiang penyanggah merapuh dan patah.

Ya, bisa saja sebaliknya kau amsal bentuk arsitektur tua itu sebagai salah satu tanda kemurahan hatinya berbagi ilmu, sebab para penduduk pribumi dengan lugunya telah bertanya, “Tak robohkah rumah kami, Tuan Nahkoda?”

“Oh, Tidak. Tidak akan roboh. Percayalah!”

Mulut bertuah, sakti ucapannya, manjur katakatanya. Sekali bilang tidak, berarti memang tidak. Akibatnya para penduduk pun selamat dari malapetaka. Karena itu sampai sekarang, masih dapat kautemukan rumah panggung tegak di mana-mana selama belum hilang Melayu di bumi….

Kau menganggapku mengarang-ngarang cerita? Silakan saja. Tapi dengarkanlah dulu ceritaku perihal pohon kelapa.

Kautahu kenapa para penduduk di pesisir suka membakar daun-daun, pelepah dan reranting kering di bawah batang-batang kelapa? Termasuk di kampungku, bahkan saban sore kakekku dulu selalu melakukan.

Biasanya dengan sapu lidi dia kumpulkan sampah daun dan ranting yang berserakan di pekarangan rumah kami yang tak jauh dari pantai, juga pelepah kelapa kering atau rumput yang habis ditebas. Lalu dia tumpukkan di bawah beberapa batang kelapa kami sebelum kemudian beliau bakar.

“Kenapa membakar di bawah batang nyiur, Kek?” tanyaku penasaran waktu itu.

“Ya tentu saja biar batangnya subur dan nanti berbuah lebat,” beliau tertawa, “Sesuai yang dianjurkan Cheng Ho. Mau kau mendengar ceritanya?”

Nah, kisah ini ada kaitannya dengan hikayat Sunda Kelapa, bagaimana pelabuhan yang pernah jaya tersebut bernama demikian syahdu. Begini kakekku dulu bercerita: Konon ketika pertama menginjakkan kaki di sana, pelaut besar itu bertanya apa nama tempat yang disinggahi kepada seorang penduduk yang kebetulan sedang memetik kelapa di pantai. Entahlah kebetulan semata atau sudah takdir, telunjuk Cheng Ho yang menunjuk tanah ternyata tepat mengarah pada sebutir kelapa. Karena mengira orang bertanya apa nama buah, penduduk itu pun serta merta menjawab: “Kelapa!”

Maka jadilah Sunda Kelapa, yang di kemudian hari kesohor sebagai pelabuhan besar nan hibuk tempat berlabuh kapal-kapal dari penjuru negeri. Bahkan sampai sekarang orang-orang Tionghoa masih sering menyebut Jakarta sebagai Pa Sang, Pa dari kata kelapa. Atau Jai Sang, yang berarti Bandar Kelapa. Begitulah.

Namun lantaran iri melihat indahnya pantai dengan nyiur hijau melambai-lambai, selanjutnya sang laksamana menganjurkan para penduduk di sana menyalakan api di bawah batang-batang kelapa mereka. Supaya terhindar dari hama dan tanahnya kian subur, demikian alasan orang kebiri itu. Padahal niat di hati sebetulnya agar batang-batang menjulang tinggi itu hangus terbakar.

Toh, lagi-lagi para penduduk dengan lugasnya bertanya, tak matikah pohon kelapa? Ya, kau pastinya sudah tahu apa jawaban Cheng Ho, sehingga tradisi ini kemudian terpelihara dari generasi ke generasi dan tersebar luas ke seantero tempat berkat para pelaut….

Apakah kau percaya jika buah duku dulunya beracun?


(3)

MUNGKIN kakekku memang cuma ngelantur karena iseng. Tak pernah kutahu dari mana ia pungut semua kisah liar ini. Apakah karangannya sendiri saat tenggelam dalam lamunan? Atau bualan yang didengarnya dari seseorang di kedai-kedai kopi? Entahlah.

Tapi ambillah sebutir duku, kupaslah kulitnya dan amati baik-baik isinya. Pasti kau mendapatkan sebekas goresan kuku di setiap keping dagingnya yang putih, bukan? Tak perlu kaget, tak perlu bertanya, aku beritahu saja padamu rahasia ini. Sesungguhnya itulah bekas kuku jempol Sam Po Thai Kam tatkala ia menghasut para penduduk sebuah desa kecil di Jawa Barat makan buah duku yang beracun!

Ah, waktu itu—ketika ia bersama serombongan kecil prajuritnya mampir ke desa tersebut dengan maksud membeli damar—memang sedang musim buah. Melihat lebatnya buah-buahan berkulit kuning yang tampak menggiurkan di hutan pinggir desa dan banyaknya buah-buah jatuh yang dibiarkan berserakan di bawah batang, Cheng Ho dengan spontan pun bertanya, “Kenapa tak ada yang memetik buah-buah ini, Kisanak?” Dan dijawab, “Buah ini tak bisa dimakan, Tuan.”

Penasaran, ia lalu memetik sebutir duku yang bergelantungan di dahan rendah dan membuka kulitnya. Dia teliti isi buah yang baru kali pertama ditemui itu, ditekan daging buah dengan kuku jempolnya hingga tergores dan berair. Saat itulah, tiba-tiba timbul lagi niat jahat dalam kepalanya.

“Siapa bilang buah ini tak boleh dimakan? Boleh kok!” katanya kepada para penduduk yang mengerumuni.

“Tidakkah beracun, Tuan?” tanya seorang lelaki separuh baya yang tampak bingung di sampingnya, “Apa tidak mati kalau dimakan?”

“Oh, tidak, tidak. Makanlah!” tersenyum diulurkannya daging duku yang terkupas di tangannya kepada penduduk itu. Mungkin terpukau oleh sosoknya yang berkharisma, mungkin juga suaranya yang lembut, ramah dan berwibawa, tanpa ragu-ragu lagi si penduduk kemudian memakan duku yang diberikan. Dan seketika, lenyaplah racun buah-buahan itu oleh kata-katanya yang bertuah. Ketika dikunyah, ternyata memang begitu manis rasa daging buah itu.

Sejak itulah, kau tahu, duku bukan lagi buah-buahan hutan yang tumbuh liar, tetapi para penduduk beramai-ramai suka menanam pohonnya yang besar dan rimbun di kebun maupun pekarangan rumah. Sejak itu pulalah, goresan kuku jempol Cheng Ho tertinggal di dagingnya yang putih, membekas untuk selamanya. Kau suka buah duku? Beruntunglah!

Ah, masih ada beberapa kisah semacam ini yang kudengar dari kakekku pada masa kanak-kanak. Tapi akan kuceritakan satu lagi untukmu. Kali ini tentang buah durian.

Kau gemar makan durian juga kan? Aku suka. Apalagi kalau dagingnya berwarna kuning dan tebal-tebal. Harum dan lezat sekali. Enak pula jika dibuat ketan durian. Pada musim buah, belum lagi bila harganya murah, setiap hari bisa lima durian besar aku habiskan sendirian. Jika orang lain tak berani makan terlalu banyak karena takut panas dalam, aku tidak. Aku punya cara mujarab menawar panas dalamnya. Waktu kecil, setiap paman dan bibiku membawa banyak durian hasil kebunnya di dusun, ibuku selalu menyuruhku minum air yang ditampung pada kulit durian sehabis kami ludes menyikat oleh-oleh itu.

“Sam Po Thai Kam-lah yang telah mengajari orang-orang di sini,” tukas ibuku. Semua orang di kampung halamanku juga melakukan hal yang sama, turun-temurun.

“Lalu apa yang salah dengan itu? Bukankah ia telah menularkan pengetahuannya yang baik tentang durian pada penduduk?” gugatmu.

Ya, tentunya kau benar jika saja memang demikian adanya. Tapi pada Ramadan bertarikh 1407 Masehi itu tatkala singgah di pantai Tanjung Ketapang, Bau Bo Li [3], Cheng Ho sama sekali tidak bermaksud mengajari penduduk di ujung selatan Pulau Bangka cara makan durian yang masih dipraktikkan hingga kini tersebut. Saat berbuka puasa di bukit yang kelak akan disebut Liu Lian Liang atau Bukit Durian, ia justru berniat mempermainkan orang-orang kampung yang lugu. Karena tahu, kulit durian sebetulnya malah lebih panas daripada isi buah berduri itu. Kau kaget lagi? Begitu pula halnya diriku waktu kecil saat mendengar cerita kakekku ini. Namun seperti yang sudah bisa kau duga, orang-orang pribumi selalu saja dengan polosnya bertanya: “Buat apa minum air kulit durian, Laksamana?”

Tak pelak dengan santai, Cheng Ho pun menjawab bahwa kulit durian berkhasiat menghilangkan panas dalam. Jawabannya itulah, kata kakekku, yang sebenarnya menjadi obat mujarab untuk mengatasi panas dalam. Berkat mulutnya yang bertuahlah, kulit durian pun akhirnya benar-benar menjadi penawar manjur seperti yang ia katakan. Ya, sampai sekarang, Kawan.


( 4 )

AI, tentu saja aku berharap kisah-kisah liar ini tidaklah mengurangi kekagumanmu pada pelaut suku Hui itu. Sebagaimana tak sedikit pun, riwayat yang sulit ditelusuri sanad-nya ini bakal mengubah rasa hormatku padanya. Demikian halnya orang-orang Tionghoa di Gedong Batu ini —terutama mereka yang masih keturunan Wang Jinghong alias Kiai Jurumudi Dampo Awang— tak sedikit pun meragukan kepahlawanan sang laksamana dan begitu setia memuja patungnya yang keramat di kelenteng Sam Po Kong.

Semua catatan sejarah yang kaubeberkan kembali itu tidaklah pernah aku ragukan, Kawan. Sama sekali tidak. Selain nahkoda yang baik, barangkali ia memang seorang muslim yang tak pernah melalaikan kemakmuran masjid sebagaimana katamu. Ingatlah, bagaimana pada 1413 ia memugar Masjid Qinging di timur laut Kabupaten Zian, juga Masjid San San di Nanjing yang rusak karena terbakar pada 1430. Tak segan pula ia menyampaikan khotbah Jumat tatkala berlabuh di Surabaya. Tapi adakah ia memang semulia yang digambarkan sejarah?

Tentu kau mafhum kalau pelaut besar itu tak sekudus Nabi bukan? Aku tahu kau memikirkan hal ini, meskipun tetap tak bakal berkenan menerima ceritaku yang mirip dongeng. Akh…
Jadi, lupakanlah! (*)


Catatan:
[1] Nanyang: Samudera Selatan, Nusantara.
[2] Samo Lung: Semarang
[3] Bau Bo Li: Toboali, sekarang ibukota kabupaten Bangka Selatan. Berasal dari kata Tobo = tebu, kepunyaan Ali. Kota penghasil nanas dan terasi











 


 

Tidak ada komentar: