Kamis, 10 November 2011

CERPEN KORAN TEMPO


You Xi Sudah Menunggu
Oleh
Clara Ng


 

BERTAHUN-TAHUN lamanya aku begitu percaya pada Cai Shen, Dewa Pemberi Rezeki, yang mendengarkan permohonan manusia. Di antara asap hio yang melenggang tipis-tipis selayaknya tirai halus, aku berdoa dengan tulus di hadapannya. Tidak ada lagi yang kuinginkan selain mendengarnya berbisik “ya” di tiap mimpi-mimpiku. Aku meronce benang-benang puja-puji surgawi agar naga merah bersisik logam yang jahat bergemerincing tak bisa muncul dan menyemburkan api di altar persembahan ini.

Aku mulai menghitung umurku ketika dentum tambur tetabuhan layaknya iring-iringan barongsai membahana di kepala. Sudah berapa lama kalender usang luruh dari tempatnya menggantung? Semua bayangan menjadi rata bumi. Hilang dalam merah cairan arak bagai darah. Aku mengabaikan retakan-retakan sakit di ujung dada, berusaha berkonsentrasi pada sembahyang.

“Duhai Tuhan, berikan aku rezeki yang makmur sentosa.”

Telepon tua di atas bufet berdering. Rasa dingin tiba-tiba membakar seluruh ruangan yang tadinya hangat. Tanpa mendekat, aku ingat bagaimana telepon itu berdering di malam-malam buta seperti ini. Tanganku gemetar memegang gagangnya. Suara cempreng perempuan bercengkok Cina mengabarkan: You Xi sudah menunggu, ada lelaki yang terpikat.


AKU tidak pernah kenal subuh. Dia selalu lewat begitu saja di atas kepalaku. Sudah lama sekali subuh kalah pamor dengan senja. Setiap subuh kamu mengenakan daster hijau dengan rambut yang digelung tinggi-tinggi dengan gelang karet. Kamu bangun sejam sesudahku, dengan mata mengantuk dan bibir terkunci rapat. Suara ceburan air dari gayung plastik di kamar mandi menandai kehadiranmu di ujung subuh yang masih hening. Aku tidak pernah melupakan wangimu yang segar. Tengkukmu yang putih. Anak-anak rambut yang menggerayangimu, seperti rumput-rumput basah yang menumbuhi ceruk kebun.

Kita adalah sepasang di antara ratusan yang tergeletak di dapur. Kue mangkuk. Kue cucur. Kue serabi. Semuanya serba hangat. Kita biakkan rasa hangat pada langit yang masih separuh dingin. Kita selalu bekerja dengan cekatan dalam diam. Jam enam, kamu akan berangkat ke pasar bersama tumpukan kue-kue untuk mengantarkannya kepada tante pemilik toko yang judes, katamu.

Rumah ini hanya petakan kecil berukuran 3×7 meter, selalu kebanjiran dan dindingnya lembab. Kita hanya sepasang tikus tinggal di lubang, berjuang melawan kematian yang muram. Namun aku tidak mau mati dengan kemiskinan yang bertahun-tahun melilitiku seperti ular. Mari, tulikan perasaan sakit, pintal sulur-sulur kesempatan. Sebulan lalu telah kuperkenalkan padamu seorang lelaki bermata sayu tapi memiliki keteguhan berbisnis. Lelaki bercodet di pipi kiri tapi menyetir sedan besar. Lelaki sedikit juling, tapi apalah artinya mata kalau tangan tidak menggenggam dompet yang gemuk?

Kalau aku bercerita tentang lelaki itu, kamu membanting-banting barang. Tanganmu terlalu kuat mencengkram kue-kue, sampai aku membayangkan tangan yang sama sedang menekan leherku karena jengkel. Tidak, aku tidak takut padamu. Memangnya kita bisa apa? Uang tidak pernah datang untuk pagi yang tidak pernah biru. Kita harus melawan kepapaan ini sebelum dia mencampakkan kita, seperti penderitaan mencampakkan ayah dan ibuku dulu.

Kamu tahu bagaimana cerita ayah dan ibuku? Kamu mengangkat bahu sambil tersenyum tawar. Padahal cerita itu sudah kuulang berkali-kali. Apa kamu sudah bosan? Mungkin tidak tertarik lagi. Mungkin kamu menumpulkan perasaan dan pikiranmu. Tapi seperti lingkaran setan yang tak berujung, aku bercerita kepadamu pada tiap kesempatan asing yang kita miliki. Tentang kisah kakek dan nenekmu yang kurus ditelan kekosongan. Tentang kisah kepapaan yang mengenaskan.

Bertahun-tahun lamanya, sama seperti aku yang tanpa lelah memohon doa kepada Cai Shen, mereka juga selalu mengimpikanku memiliki suami yang kaya raya agar kemelaratan kami tertolong. Agar adik-adikku yang berjumlah delapan bisa berpakaian bersih dan pergi ke sekolah. Aku jatuh cinta dengan seorang lelaki berkulit hitam, tapi mereka menjodohkanku dengan lelaki tua berperut buncit. Aku ingin lari. Tapi orangtuaku bilang hanya ini satu-satunya jalan untuk memiliki uang. Semalam sebelum perkawinan, aku menyilet nadiku. Jelas aku bakal mati, tapi aku heran ketika aku selamat. Berarti aku memang harus menerima takdirku yang bertahun-tahun kubenci setengah mati.

Oktober itu, sembilan belas tahun lalu, aku menemukan diriku hamil setelah si babi busuk memperkosa dan memukulku berkali-kali di ranjang. Aku ketakutan setengah mati, aku ingin lari lagi. Dia menemukanku, lalu memukuliku habis-habisan sampai aku mengalami pendarahan. Aku tidak kuat. Sungguh-sungguh tidak kuat. Tubuhku lebam biru setiap hari. Bibirku pecah. Rambutku rontok. Dibalaskah luka-luka ini dengan segepok uang? O, tidak. Dia hanya memberiku sesendok pahit kemiskinan yang setiap hari harus aku telan bersamanya.

Sebulan kemudian, si babi busuk mati. Aku tidak ingat persisnya bagaimana dia mati. Aku sudah mengosongkan kenanganku tentangnya. Pokoknya dia mati. Mati dibunuh, mati terbunuh, mati ditelan setan, apa bedanya. Tidak ada makanan di atas meja sejak dia dikremasi. Aku tak sudi jadi perempuan setengah gila tanpa suami. Ekorku tumbuh dengan cepat. Telingaku juga. Aku mulai mencicit. Aku bertahan hidup, menjadi tikus sinting dengan bayi kecil di gendongan. Itu kamu.


SUBUH tidak pernah datang kepada kita. Subuh melewati kita. Konon katanya, subuh adalah janji atau harapan atau entah apa yang disampaikan langit kepada bumi. Langit menghendakiku untuk terus berjuang, tidak putus asa. Aku masih percaya pada Cai Shen, bahwa dia akan selalu mengingatku waktu aku didera berbagai kemalangan.

Datang berita itu di telingaku, tentang orang-orang yang mengadu nasib di Taiwan. Bukan orang-orang tua seperti aku yang sudah renta, tapi para perempuan Cina yang memiliki wajah jelita dan tubuh ranum. Dijual, dijadikan kekasih pengusir sepi, atau gundik pelepas lelah, sebelum akhirnya hidup makmur selama-lamanya. Siapa yang bisa mengabaikan mimpi muluk seperti itu di bayangan orang-orang miskin macam kita? Sudah pasti aku langsung menyukainya.

Hujan di jendela. Kusampaikan berita ini kepadamu sambil memandangi sepasang mata hitam yang memantulkan potret-potret suram. Aku tidak berani mendekatimu walaupun jarak hanya sekitar satu guling di ranjang tipis kita. Baiklah, lelaki dengan dompet gendut itu sudah pasti tidak kamu inginkan. Sekarang bagaimana dengan kehidupan baru di Taiwan, menjadi nyonya-nyonya mewah dengan sopir dan pembantu yang bisa kamu perintah-perintah? Aku mendesakmu, mendesakmu dengan keras.

Lalu malam itu, saat makan malam dengan tahu dan kacang panjang, kusampaikan lagi permintaanku. Lagi dan lagi. Di setiap tempo. Di atas meja. Di lantai. Di jendela. Di kamar mandi. Sebelum kamu tidur. Sesudah kamu bangun. Sampai kamu harus menyerah. Sampai gerimis tidak mampu turun di pematang mata kita yang kering kerontang.

Dua bulan kemudian telepon berdering di tengah malam. Kamu sudah berangkat ke negeri impian Taiwan, dengan tante-tante yang menjanjikan matahari subuh. Ada banyak lelaki Taiwan yang akan kamu temui di sana. Baru pertama kali kurasakan Cai Shen mendengar permohonanku. Berita tiba dengan sangat cepat: You Xi sudah menunggu, ada lelaki yang terpikat. Itu kamu. Itu namamu. Kamu sedang menunggu lelaki yang memberimu kekayaan.


SEJAK hari itu, aku tidur sendirian, tapi tidak apa karena kamu pasti sedang bersuka-suka ria di sana. Sejujurnya aku tidak suka kamu berada begitu jauh daripadaku, tapi tidak pernah kukatakan padamu. Untuk apa banyak berkata-kata? Seperti ibuku ketika dia tahu aku tersiksa oleh si babi busuk. Tidak ada penyesalan, tidak ada ucapan dramatis antara ibu-anak. Apalagi air mata.

Aku membayangkan dirimu seperti para artis di televisi. Cantik, sempurna. Gadis-gadis yang memakai baju warna warni, dengan kulit bening berkilau. Apartemen di atas langit. Mobil-mobil gagah perkasa. Makanan yang lengkap di meja, sehari tiga kali. Tidak perlu bangun ketika semua terlelap. Tidak perlu menyesal dilewati subuh. Tidak perlu dibodohi riwayat kemiskinan.

Kamu mungkin sudah melupakanku, ibumu yang menyusui dan membesarkanmu. Tidak apa-apa, cukuplah kamu mengirimkan sedikit uang kepada ibumu untuk sekadar menyambung hidup. Aku ingin lupa aku memiliki seorang anak. Aku ingin melenyapkan bulan April yang pernah melahirkanmu. Sebab telah hilang surga di kakiku, menjadi lautan lumpur, sejak aku menjualmu. Semoga malaikat menabuh kendang di sarang malammu agar secuil saja ia membisikkan bahwa cintaku abadi seperti cinta seorang ibu pada hakekatnya.

Aku selalu mengingat kata-katamu yang terakhir, walaupun aku tidak yakin aku bisa mengingatnya dengan tepat. Sepertinya kamu mengigau ketika kamu mengatakan itu. Tapi mungkin aku yang mengigau, bukan? Bagaimana aku bisa percaya pada pikiranku sendiri yang semakin lama semakin tidak jelas ini? Sejak kamu pergi, aku tetap menjadi tikus kecil yang kesepian. Tak ada yang menjilati tubuku yang biasanya dipenuhi nanah akibat luka-luka di sepanjang gorong-gorong. Hanya kamu yang ikhlas melakukannya, tapi itu dulu. Di zaman pembantaian yang berbeda.

Antara cepat atau lamban, waktu berputar tergantung bagaimana kita menyikapinya. Kamu pasti tidak tahu apa yang terjadi di kota ini. Naga merah bersisik logam yang hidup di altar sembahyang kita benar-benar terbangun. Dia bergerak, berkeliaran di sepanjang rumah kecil ini, menciptakan tragedi darah di mana-mana. Jangankan tikus kecil macam aku, anjing-anjing yang berbulu cantik pun menjadi korban kemarahan naga merah. Ya, kamu harusnya tahu dari Taiwan negeri seribu teratai, tempat tinggalmu yang aman tentram. Tanggal itu. Hari ini. Ketika matahari terjagal dan berlalu ke negeri api. Tanggal 13 Mei 1998.


AKU sudah menebus berbagai kesalahanku pada wajahmu yang purnama dan jelita. Jangan kamu kalap pada mereka yang mengerat kulitku sehelai demi sehelai. Lupakan cerita-cerita kelabu yang mengepulkan asap panas. Tutuplah telingamu atas bisikan balas dendam yang menghardikmu berulang-ulang. Aku tak pernah ingin bercakap tentang apa yang terjadi, tapi leluhur-leluhur memohonku.

Lampion sudah lupa pada terangnya sebab terang sudah menyala. Tak ada hujan, tak ada keselamatan.Yang ada hanya seringai dan olok-olok. Mereka leluasa menyelusuri lekuk gubuk pengap kita, memutar-balikkan meja persembahan, membongkar laci-laci bufet, memusnahkan foto-foto keturunan kita, dan melepaskan ribuan kelelawar lewat lubang vaginaku yang kecil. Inilah persetubuhan kesetanan kepada yang bermata sipit dan berkulit putih kemilau. Padahal aku bukan jenis yang sama dengan yang mereka cari. Kulit putih? Kemilau? Aku hanya seekor binatang pengerat berbulu hitam yang berlari-lari di sepanjang gorong-gorong kelam.

Sejak tanggal keparat itu, aku kembali menjadi kanak-kanak lagi dan percaya bahwa kalender telah lama bunuh diri. Gubuk kita tak pernah ada, hancur berkalang tanah. Terakhir kuingat tarian api merayakan kemenangan dewa lain yang terasa asing bagiku. Aku terlempar keluar, teronggok tak berdaya di tengah hutan beton kemiskinan. Aku melihat neraka, menembusnya dari gerbang depan sampai ke pintu belakang.
Tak usah marah pada mereka sebab sudah lama aku melupakan kemolekan negeri ini. Terlalu sering tubuhku dibentur-benturkan musim kemarau yang bungkuk karena encok. Kenanganku tak lagi berisi kota-kota penuh rasa cinta. Apalah artinya seratus persetubuhan yang dipaksakan lagi? Pahamlah kamu, tak ada yang mampu menyakitiku sejak hari aku membiarkan tetekku menggelembung karena menyusuimu. Barangkali kamu takkan sampai di garis batas pembicaraan ini sampai seorang bayi mengacak-acak rahimmu yang suci.


MAKANAN pagi hanya segelas teh hangat, dan itu lebih dari cukup. Aku menyeruputnya susah payah. Beginilah subuhku selama bertahun-setahun sejak kehilanganmu. Kekosongan yang semakin menjauh. Jarak yang tak bisa dijembatani antara Taiwan dan Indonesia. Perempuan muda berpakaian daster hijau yang meneriakiku dari dapur bukan kamu, dia hanya tetangga beberapa kelokan jalan kita dulu yang rumahnya selamat dari amukan api di bulan Mei persetan itu. Dia menampungku, si gelandangan uzur, untuk sementara.
Aku senang diperbolehkan duduk di berandanya, ruko yang penuh dengan tumpukan besi karatan. Malamnya aku dipersilakan tidur di sana, beralaskan anyaman tikar. Lumayan, aku tidak kehujanan atau kepanasan. 

Hanya sedikit digigit nyamun. Aku membalas budi baik mereka dengan menyapu lantai, memasak, dan membersihkan meja sembahyang.

Pada akhirnya, aku sering membayangkan hidupmu yang bahagia di Taiwan. Kesimpulanku tentangmu tak pernah salah. Apakah kamu masih bisa mengingatku? Aku tidak bisa mengingat apa-apa lagi kecuali suara cempreng dari tante-tante yang membawamu jauh ke negeri nenek moyang kita. Tak ada lagi berita pasti yang datang setelah itu. Kata kabar burung, kamu berdandan setiap malam. Kata kabar burung, kamu sering menghadiri pesta-pesta mewah. Aku selalu bersyukur, sebab Cai Shen pasti rajin menyambangi rumahmu di sana. Tak sia-sia aku memohon padanya.

Aku mengambil ember di pojok kamar mandi, kugulung celana panjangku. Setumpuk cucian baju telah menanti. Aku menggumankan satu lagu kanak-kanak Cina yang sering kuyanyikan waktu meninabobokanmu dulu. Lalu aku mulai bekerja, menggosok baju-baju di penggilasan dengan tanganku yang belakangan ini sering gemetar karena rematik. Tidak apa-apa, jangan khawatir. Aku cukup bahagia memikirkanmu bahagia. Sebab telah kuserahkan anak perempuanku yang paling jelita di tangan lelaki Taiwan yang kaya raya. Beruntunglah kamu, jalan nasibmu sungguh rupawan. (*)


Clara Ng sudah menerbitkan banyak buku, antara lain Jampi-Jampi Varaiya (novel, 2010) dan Malaikat Jatuh dan Cerita-cerita Lainnya (kumpulan cerita pendek, 2008). Ia juga menulis cerita anak-anak.

Tidak ada komentar: