Kamis, 10 November 2011

CERPEN KORAN TEMPO



Musim Gugur Ketiga
Oleh
Wendoko









Emma

KAMAR itu buram. Ada cahaya lampu berwarna jingga yang buram. Dinding-dinding kuning-cokelatnya juga buram. Lalu langit-langit yang hitam.

Tapi perempuan itu sudah terbaring di ranjang. Kepalanya mendongak. Blus sutra yang dikenakannya terbuka pada dada, sementara ia terus menciumi perut perempuan itu. Di samping kepalanya, kaki perempuan itu terangkat, menekuk dan menjejak ke tepi ranjang. Kaki yang mengilat, hampir seperti porselen. Dan perempuan itu tersengal. Selama beberapa saat ia merasakan sensasi yang aneh di punggungnya. Seperti ada kaki-kaki serangga merayap, dan terus menggelitik sampai tengkuk. Tenggorokannya lalu menguarkan bunyi halus, seperti gumam.

Samar-samar ia menangkap suara dengung, seperti filamen mendengung pada lampu neon.

Lalu di kamar itu hanya pecahan-pecahan warna. Kuning. Kuning-cokelat. Jingga, mungkin merah. Lalu cokelat-merah, hijau-pudar, dan hitam yang pecah. Warna-warna yang melingkar, terpilin dan berputar. Terpilin dan berputar. Lalu ia seakan terperangkap, sewaktu keempat bidang kamar perlahan mengerut.
Tapi ia tak ingat kapan mereka di kamar itu. Di ranjang itu. Ia hanya tahu ketika bersama perempuan itu ia seolah dibuntuti warna dan cahaya. Komposisi warna dan gradasi cahaya. Baru beberapa menit lalu mereka berdansa di karpet merah-tua di ruang duduk apartemen itu. Ia memutar Thelonious Monk. Awalnya mereka bergerak agak ragu. Maju, tapi tak teratur. Lalu ketika melodi mengacak, dan muncul nada yang seolah gemerlap di dinding kaca, mereka bergerak ke kiri-kanan, merapat dan meregang. Ketika nada di tengah mengayun dan terjerembab pada bilah-bilah hitam piano, mereka melakukan pirouette atau arabesque

Perempuan itu menaruh tangan di pinggangnya, lalu menjatuhkan diri dengan mengait kaki dan meraih lengan. Dan ia melihat bayang-bayang mereka di dinding kaca, berputar memenuhi ruang dalam bias cahaya, dalam gradasi yang berubah-ubah.

Mungkin perempuan itu berpikir ia tak romantis, karena ia memutar Thelonious Monk.

Tetapi selalu ada komposisi warna dan gradasi cahaya. Seperti ketika mereka bertemu di teras kafe, malam itu. Mereka duduk di bawah payung terpal, di dua meja yang terpisah. Waktu itu hujan baru reda, tapi ada rintik-rintik cahaya yang mengaburkan mata. Gelap melunak sehabis hujan, dan gedung-gedung mematung dalam petak-petak cahaya. Sosok-sosok kelihatan merambat di trotoar. Sosok-sosok dalam bias warna di bawah menara jam, di seberang jalan.

Waktu itu perempuan itu berka ta, ia menggunakan sedotan yang salah. Tapi ia bersikukuh sudah menggunakan sedotan yang benar.

“Kau tahu,” katanya, “ada dua macam sedotan. Sedotan pendek dan pipih untuk kopi panas, dan untuk kopi dingin dipakai yang lebih panjang. Dan aku memesan vanilla latte, decaf dan tanpa es.”

Lalu mereka duduk di satu meja. Lalu ketika malam merambat, di dalam Porsche barunya yang melaju di lengang jalan, ia melihat lampu-lampu dalam gelinjang warna yang mengurai kota. Malam itu kota adalah coretan dan sapuan grafis pada beton dan kaca, tapi kabut halus menghadang, meredupkan lampu di tepi trotoar, di jendela gedung bertingkat, garis lampu di atap, atau menara-menara.

Atau, ketika mereka memandang ke belantara kota sehabis berdansa. Ketika perempuan itu dengan segelas sherry di tangan, dan mengamati bintik-bintik lampu yang berkelok dan terserak. Mirip sirkuit chip komputer, katanya. Dan ia melihat warna-warna teraduk pada dinding kaca yang basah, karena sisa gerimis yang ditanggalkan hujan.

Kesadarannya kembali ke kamar yang buram. Pada perempuan yang tersengal dan suara serak seperti erangan. Pada warna kuning. Kuning-cokelat. Jingga, mungkin merah. Cokelat-merah. Hijau-pudar, dan hitam yang pecah. Warna-warna yang melingkar, terpilin dan berputar. Terpilin dan berputar. Kamar itu terus mengerut, lalu melepas…. Ia mulai mencium aroma basah.

Perempuan itu bernama Emma.
 .

Sheila

LEWAT sudut matanya ia memandang perempuan itu: tubuh yang ramping, kulit yang sangat bening, mata yang agak redup, dan bibir yang lembab pada wajah berbentuk bulat. Dan ia mengamati setiap gerak. Perempuan itu mengenakan blus tipis warna delima, rok pendek cokelat, dan rambutnya yang mungkin sebahu diikat ke belakang.

Ketika itu mereka duduk di meja yang sama. Perempuan itu di depannya, dan sedang menatap ke luar jendela. Lewat jendela, kelihatan awan memecah menjadi serpihan-serpihan. Langit begitu birunya, sebiru laut dengan gelombang-gelombang kecil mengempas pantai. Pantai itu lengang. Tak kelihatan matahari, tapi laut adalah lempeng kaca yang berkilau.

Dan senja itu adalah pertemuan mereka yang pertama, sejak ia datang ke resor itu. Waktu ia masuk ke kafe di tepi pantai, hampir setengah jam yang lalu, perempuan itu sudah duduk di dekat jendela dan menatap ke luar. Di depan perempuan itu seorang lelaki yang terus merokok. Keduanya terdiam, kelihatan habis bertengkar.
Di kafe ada tiga perempuan dan dua lelaki paruh baya berceloteh ribut di sudut dekat partisi kayu. Di sudut lain, perempuan berkaos longgar dengan tali bra tersampir ke bahu. Ia kelihatan merajuk. Di depannya perempuan lain yang terus menggerakkan lidah di bawah mulut. Lamat-lamat ada jazz yang lembut, mengayun dengan melankoli dari sisi ke sisi.

Lalu ia melihat gelas yang terguling. Lalu sebuah jeda, dan lelaki itu menghilang dari kafe.
“Kau menjatuhkan gelas,” katanya. Ia lalu memungut gelas dari lantai.

Tetapi ia pernah melihat perempuan itu sebelumnya. Setidaknya dua kali, sampai senja itu. Kali pertama ia melihat perempuan itu adalah di vila di lereng bukit. Waktu itu ia baru tiba di resor, setelah melewati jalan sempit yang cukup untuk dua mobil dengan pemandangan ke arah pantai dan mercusuar. Ia melihat lelaki yang baru saja pergi dan perempuan itu di halaman vila, yang bertaman kaktus. Keduanya bertengkar.

Lalu kali kedua ia melihat lagi perempuan itu adalah di tepi telaga. Ada sebuah telaga di lereng bukit. Airnya biru-kehijauan, dan diapit gundukan-gundukan batu. Ia bertemu lelaki dan perempuan itu pada suatu senja ketika mereka tengah menyimak suara nyanyian, yang seolah menyeruak dari dasar telaga.

Ketika itu kuning matahari menyurut. Tapi ada alur miring cahaya menerobos awan, dan bercak-bercak merah menumpuk di sisi langit yang putih-abu. Ketika itu angin menggeriapkan daun-daun yang lepas dengan patuh.

“Dengar, ia menyanyi….”

Ia tak tahu siapa yang berbicara, tapi nyanyian itu serupa gaung yang menyelusup di udara berbau daun kering.

Dan sekarang perempuan itu di depannya.

“Kau masih ingat suara nyanyian waktu di telaga?”

Kali ini perempuan itu menatap ke arahnya.

“Karena legenda itulah aku singgah ke lereng bukit. Kabarnya ada peri di telaga itu, yang menyanyi tiap kali ada pasangan lelaki dan perempuan yang singgah. Kabarnya, waktu malam peri itu kadang duduk di batu-batu sambil mengurai rambutnya yang pirang. Atau, peri itu kadang menyanyi dan berenang di telaga. 
Kata legenda, kekasihnya mati di telaga. Karena itu pada malam-malam tertentu ada yang ditunggunya di tengah telaga….”

Perempuan itu mengulum senyum di sudut bibirnya. Senyum yang muncul sekilas, tapi kemudian lenyap. 

Beberapa saat ia menangkap sesuatu yang hampir glamor. Bayangkan, seperti perempuan yang menjentikkan abu rokok, lalu menatap dengan pandangan sebentar menyala dan seketika padam.
“Aku ingin tahu seperti apa peri yang mengurai rambut, atau peri yang menyanyi dan mandi di telaga.”

Suara perempuan itu serak.
 
“Kau terdengar sedih….”

Tetapi detik-detik berjalan lambat di kafe itu. Waktu seperti terperangkap pada keempat sisi dinding, atau jam bandul dengan tiga jarum keperakan yang berdetik dalam sentakan-sentakan kecil. Ketika itu matahari menahan senja. Langit menampakkan galur-galur hitam. Ombak bergulung lebih keras. Camar-camar melintas, berputar, melingkar, dan berputar rendah.

Dari jendela terbuka ada deru ombak atau angin.

“Aku tinggal di vila,” kata perempuan itu, “dengan banyak barang tua. Satu-satunya vila dengan taman kaktus. 
Singgahlah kalau kau punya waktu.” Setelah perempuan itu pergi, ia melihat matahari menyepuhkan warna emas pudar ke muka laut.

Ia baru datang ke vila dua hari kemudian.

Tapi tak ada barang tua di vila itu. Mereka lalu bergelut di ranjang. Perempuan itu menggeliat dan tersengal. Menggeliat dan tersengal. Dan ia serasa berenang di telaga, dan mencumbu peri di dasar telaga. Mereka bercumbu, dan rambut peri yang pirang melilit tubuhnya. Mereka berputar, dan berputar. Tapi ia selalu ingin di atas, di tengah-tengah air telaga yang kebiruan. Bukan hijau seperti yang tampak di permukaan.

Lalu ada yang terlecuti dari hati, dan menyisakan kejernihan sebening pagi.

“Ada dua merpati di kafe, hari itu….”

“Tak mungkin ada merpati di pantai.”
 
Ia menyangkal. Tetapi ia akan mengingat meja dari kayu ek, dan setangkai aster kuning dalam vas. 

Kelopaknya berjatuhan di meja. Sinar matahari yang menyorot dari tirai, dan membentuk cahaya prisma di teko kaca. Dua pot pakis yang menggantung di samping tirai, lalu rak kayu di sisi kanan ruangan, berisi buku-buku yang dijejer menurut ukuran.

“Ada dua merpati di kafe. Salah satunya mengikutiku ke vila.”

“Aku tak melihat merpati.”

“Lalu kau datang….”

Perempuan itu bernama Sheila.
 .

Naomi

MULA-MULA ia teringat koridor yang lengang dengan dinding-dinding lengkung dan pilar. Dinding-dinding 
yang mengusam, dengan warna seperti sisa nikotin di lekukan gigi. Lalu sebuah stasiun, yang juga lengang. Senja itu berkabut, dan ia baru saja turun dari kereta.

Lalu ia teringat trotoar yang kosong. Lampu lalu lintas yang menyala bergantian, dan sebuah Ford melaju pelan, membelah kabut dengan lampu menyala dan jendela terbuka. Saat itulah ia melihat perempuan itu untuk pertama kali.

“Ada hotel di sekitar sini?” tanyanya.

“Satu blok dari stasiun, ke arah kanan.” Hotel itu, sebuah bangunan kolonial yang terpelihara, beratap tropis dengan banyak ornamen kotak di bawahnya. Dindingnya bercat krem muda, dengan jendela-jendela tegak-memanjang. Tapi lobi dan koridor hotel agak remang.

Ia baru melihat lagi perempuan itu waktu sarapan.

“Hei, kita pernah bertemu. Sungguh mengesankan!”

“Kenapa mengesankan?”

“Karena kita di hotel yang sama. Karena aku bisa saja ke hotel lain. Tapi aku memilih ke mari, sebab ada pemandangan ke danau.”

Ia menunjuk ke jendela, ke arah danau di belakang hotel.

“Aku tak bisa terus ke kota,” kata perempuan itu. “Mungkin akan ada badai kabut.”

Pagi itu mereka sarapan di meja yang sama. Ia memesan beef burger di atas selada. Perempuan itu roti dan chicken salad. Baru saat itu ia menyadari, perempuan itu bertubuh ramping. Tubuh dengan kulit sangat bening, mata agak sipit, hidung lancip dan wajah oval.

Tetapi setelah itu, selama tiga hari mereka terkurung. Tengah hari badai kabut turun menutup area hotel. Juga jalan-jalan dan pemandangan ke danau. Lewat jendela tegak-memanjang ia melihat danau dengan pepohonan yang buram, seolah terbalut warna putih keruh dan bayang-bayang mengapung.

Senja itu mereka di lounge hotel, yang juga bercahaya remang. Ada perempuan bermata besar dan berambut jerami di ruang itu. Lalu anak perempuan dengan rok pendek dan jaket kotak-kotak. Lelaki kurus berambut cokelat kusut di dekat jendela, yang mengunyah tusuk gigi di sudut mulut. Di sampingnya perempuan dengan syal dan blus abu-abu dan kacamata baca yang kelihatan berembun.

“Kau tahu,” katanya, “sekarang tak banyak orang peduli pada matahari terbenam. Tapi aku menyinggahi kota-kota, banyak kota, hanya untuk memotret matahari terbenam.”

“Kenapa?”

“Karena aku mencari matahari terbenam. Tepatnya panorama matahari terbenam yang paling indah. Seperti ketika langit adalah layar dalam pijar-pijar warna. Atau ketika senja memecah, matahari retak-retak, dan ada cahaya redup di sekitar matahari.”

Hari kedua, di lounge yang sama….

“…. Tapi aku tak bisa mengabaikan warna dan rupa. Tidak seperti suara. Aku bisa tak peduli atau tak menyimak bunyi-bunyian laut waktu di pantai. Atau suara-suara ketika malam. Tapi warna dan rupa, aku tak bisa menolaknya.”

Ketika itu dari jendela kelihatan kabut membuncah, menutup langit dan menelan cahaya. Ada bayang-bayang, yang menggeletar. Gerimis memukuli kaca, dan perlahan ia mulai meresapi keheningan. Di lounge itu jam bandul berdetak-detak. Lidah api mengayun-ayun di pemanas, dengan bunyi gerit seolah kristal yang pecah. 

Lalu sebuah bossa, dan suara perempuan berceloteh di latar belakang.

Lalu hari ketiga….

“Aku suka matamu,” katanya, “karena menyiratkan kekosongan. Juga kejernihan. Ada yang membuatku terperangah. Contohnya sekarang. Aku terpesona pada keheningan.”

Ia tak tahu, kenapa malam itu ia mulai bicara tentang hal-hal yang mengandung melankoli. Malam itu ia meninggalkan cangkirnya setengah isi di meja. Ia mengantar perempuan itu sampai ke pintu kamar. Tetapi di kamarnya sendiri, ia menutup dan membuka pintu. Lalu berulang kali mematikan dan menyalakan lampu. Ia berbaring menengadah, pada keempat sudut di langit-langit atau detail cornice di tepi dinding. Akhirnya ia terlelap. Dan terbangun ketika matahari menerobos bingkai jendela.

Di luar badai kabut mereda. Ia membuka jendela, dan mencium aroma angin bercampur bunga lemon. Embun tampak memercik ke pepucuk daun, pohon kurus tak berdaun dengan lumut di lengan-lengan pohon, lalu rumput-rumput. Pagi seperti diurapi matahari. Ada juga bau kambium, yang meruap bersama sisa kabut. Kelihatan danau yang bening, sewaktu cahaya menjelma kilau di muka air.

Rupanya ia lupa menutup gorden semalam, dan tidur dengan memakai jins dan sweater hitam.

Di lobi hotel ia memesan buket bunga.

“Tapi perempuan itu sudah check out, tadi jam delapan,” kata lelaki paruh baya di belakang meja resepsionis.
Lalu ia tinggal merasakan kekosongan untuk waktu yang lama. Mungkin kekosongan yang menyiratkan kejernihan. Atau keheningan, seperti mata perempuan itu. Ia masih singgah ke kota-kota, banyak kota, dan memotret matahari terbenam. Sampai empat bulan kemudian. Sampai ia melihat lagi perempuan itu di sebuah pedestrian. Di suatu kota pada suatu senja, ketika langit masih menyisakan warna jingga.

Waktu itu pertengahan musim gugur.

“Hei, kebetulan sekali!”

“Kau percaya pada kebetulan, rupanya,” kata perempuan itu.

“Senang bertemu lagi.”

“Kau masih mencari matahari terbenam?”

“Ya. Tapi aku terus bertanya-tanya. Kenapa kau pergi pagi itu, bahkan tak mengucapkan selamat tinggal?”

“Aku menunggumu sepanjang malam itu….”

Dan ia memandang ke wajah itu. Ke mata yang agak sipit, kulit yang sangat bening, dan hidung lancip pada wajah yang oval. Lalu ia tahu, senja dengan perempuan itu adalah panorama senja yang paling indah.
Perempuan itu Naomi. (*)
 .
.
Wendoko telah menerbitkan buku-buku puisi Oratorio (2011), Sajak-sajak Menjelang Tidur (2008), Partitur, Sketsa, Potret dan Prosa (2009) dan Selected Poems (terjemahan Inggris puisinya, 2010).

 

Tidak ada komentar: