Kamis, 10 November 2011

CERPEN SUARA MERDEKA





Getir Pesisir
Oleh
Indah Darmastuti




ANDAI aku Nabi Musa yang memiliki tongkat terberkati dengan kuasa, aku akan mengacungkan tongkat ini membelah laut itu hingga kering barang empat depa dari ujung dermaga sini sampai ujung daratan sana. Ombak pecah, gulungannya akan menyibak ketika angin yang didatangkan dari acungan tongkatku mengiris triliunan kubik air, bagai membelah agar-agar. Angin itu menyerbu laksana serdadu.

Kuda laut serta ikan-ikan yang tak tanggap pada sesuatu yang sedang terjadi, akan menggelepar-gelepar dalam pasir kering lautan yang pecah. Lalu hiu-hiu tercengang. Kura-kura gelagapan. Cumi, pari, dan si kecil Nemo pasti tercengang-cengang menyaksikan bagaimana dunianya terbelah—menyisih oleh tongkat saktiku. Terumbu karang tersentak dan lantak. Kapal-kapal terjungkal, polisi-polisi laut akan pontang-panting dengan napas tersengal menyaksikan peristiwa dahsyat itu.

Lalu kuperintahkan segera para perempuan yang pernah digiring di pesisir ini, untuk lekas angkat kaki. Berlari, meninggalkan tempat-tempat pembusukan. Tempat darah dan nanah berada dalam satu mangkuk ketakberdayaan.

Lalu aku akan mengangkang, mengadang penyusul yang berani menggagalkan setiap selinap para perempuan itu. Tongkatku yang ajaib akan menahan air supaya tetap menyingkir hingga pelarian para pemegang hak merdeka itu berakhir. Di sana, di daratan seberang sana.

Tetapi nyatanya justru aku atau mereka yang lari tunggang-langgang ketika tongkat Mong teracung menghalau kami. Tentang laki-laki itu, nama sebenarnya Winarto atau Witarto, aku kurang tahu. Tetapi kami yang ada di tempat ini memanggilnya Mong. Maksudnya bukan tukang momong walau sebenarnya dia yang ditugaskan entah oleh siapa untuk menggembalakan kami.

Barangkali kata menggembalakan kurang tepat, karena terkesan anggun dan damai. Karena gembala yang aku tahu, ia akan membawa sekumpulan gembalaannya untuk menuju ke tempat yang melimpah makanan dan kemerdekaan.

Tetapi menggembalakan bisa jadi tepat karena kata itu memang pantas untuk hewan. Dan di sini kami telah dihewankan. Tugas Mong adalah mengawasi kami. Menghalau kami jika membangkang atau tertalu menuntut. Menghardik kami, persis menghardik hewan. Atau mungkin “Mong” yang dimaksud oleh pemberi nama kali pertama itu adalah macan. Kalau sebutan yang ini aku rasa cocok untuk dia. Karena dia menggeram, mengancam dan menakut-nakuti kami dengan bermacam hukuman untuk bermacam pelanggaran.

Tongkat Mong sudah memakan korban. Ketika Nia, bukan nama sebenarnya, nama sebenarnya adalah Ainun, tetapi ia merasa kalau nama Ainun terlalu indah untuk dianiaya di tempat ini. Nah, si Nia menolak untuk diperiksa dokter. Alasannya jelas, meski kurang masuk akal: ia bertekad untuk mempertahankan penyakit kelaminnya.

Mong mengancam akan membuangnya ke laut, tetapi Nia tidak takut. Tak takut kalau tubuhnya akan menjadi santapan hiu atau ubur-ubur gendut, itu jauh lebih menyenangkan daripada pukulan tongkat Mong yang lebih berarti sebagai penghinaan. Ia tak takut mati. Karena bagi Nia hidup sudah tak lagi layak untuk dijalani. Tetapi bunuh diri baginya adalah tindakan pengecut. Sementara ia sesumbar tak pernah mau menyerah pada apa pun yang terjadi dalam hidupnya. Ketika dia didakwa bahwa penolakannya untuk diperiksa dokter adalah tindakan bunuh diri, ia menolak. Sebab yang ia lakukan adalah menamengi diri agar ia tak lagi ditugaskan untuk digumuli laki-laki, yang merupakan tugas utama perempuan yang digelapkan di sini.
Tongkat Mong bukan gertak sambal. Sebab Nia nyatanya babak belur.

Juga Gita. Ia melakukan mogok makan berhari-hari. Tak pelak tubuhnya lemah dan membuat Mong susah. Gita tahu Nia lumat oleh tongkat Mong, tetapi ia juga tak takut tongkat Mong akan membabakbelurkan sekujur tubuh. Yang ia takutkan adalah malam. Kendati taburan bintang telah menumbuhkan rindu pada para sanak di kampung, ia hanya sanggup mencuri-curi lihat. Bukan benda-benda itu yang ia takutkan, tetapi malam. Ketika matahari terpanah lalu rubuh rebah di laut yang selalu gundah. Lalu bulan muncul. Hati Gita menggigil. Sebab sebentar lagi ia akan dibuat pasang naik oleh nasib.

Pasang naik. Persis seperti yang diakibatkan oleh bulan yang setiap malam terus berdebat dengan bumi hingga mengguruhkan gelombang pasang. Gelora, menggelora yang akan membawa nelayan-nelayan pada situasi antara hidup dan mati. Dan pelaut-pelaut pengecut akan bergetar lutut.

Gita benci malam. Ketika matahari rubuh rebah dan bulan mengejarnya tanpa lelah. Ketika terus menerus gelombang pasang menuliskan sejarah perempuan yang telah digiring di tempat ini.
Jika kau melihat apa yang telah dicacat oleh gelombang dalam buku kunonya tentang sejarah perempuan-perempuan itu, yang bisa kaubaca adalah sejarah penyesalan dan ketidakberdayaan.

Dan kisah Gitalah yang paling panjang mengisi halaman-halaman buku gelombang. Gita juga bukan nama sebenarnya. Nama sebenarnya adalah Widuri. Jika ditanya mengapa ia mengganti namanya dengan Gita, ia menjawab: “Adalah nama orang yang telah menyebabkan aku berada di sini.”

Kututurkan kisahku ini berdasarkan yang ditulis gelombang tentangnya. Bahwa ia berasal dari sebuah kampung kecil di Jawa. Ketika perekrutan tenaga kerja wanita sedang marak di negeri ini, adalah Sagita, sahabat yang telah dulu tinggal di Jakarta menawarinya untuk bekerja. Macam-macam yang ditawarkan padanya dari kerja di pabrik sepatu, penjaga toko, kapster salon, garmen juga di restauran.

Maka berangkatlah Gita, maksudku Widuri, ke Jakarta bersama Sagita sang sahabat terpercaya, dengan kereta penuh desak dan derak. Di dalam tasnya hanya ada beberapa potong pakaian dan roti merk kelas menengah ke bawah itu. Oleh sang sahabat ia dicium dengan tatapan penuh arti lalu dikenalkan pada orang-orang yang sudah terbiasa mengurus dan menyalurkan tenaga kerja. Ke Hong Kong, Emirat, Malaysia atau mana saja yang tahu pasti bahwa di sini harga manusia amatlah murah.

Ia ditampung bersama puluhan perempuan di sebuah tempat. Dan mulailah Gita alias Widuri menjalani hari-hari mengagetkan. Kadang seperti bermain kartu, kadang seperti bermain congklak atau petak umpet. Yang pasti semua adalah permainan. Macam-macam permainan yang mesti dengan bagus dimainkan.
Perempuan menumpuk, seperti barang over produksi. Dipaksa menjadi petarung bukan hanya dengan diri dan nasibnya, tetapi juga dengan sesamanya. Tahulah ia bahwa keberadaannya di tempat itu tak ubah ternak yang menunggu giliran untuk dibawa ke tempat jagal.

Ia akhirnya tahu bahwa dirinya adalah calon babu. Tak kunjung mendapat kerja, ia memprotes sahabatnya, hingga akhirnya dikirim di sini, di tempat ‘kering’ yang didindingi lautan. Di pesisir yang namanya disebut oleh penduduk setempat dengan nada nyinyir.

Di sini, di tempat ini tak terlalu jauh dari pelabuhan. Para awak kapal akan turun setelah melewati banyak malam bertarung dengan gelombang. Menyisir lautan pasir dan menuju tempat ketegangan akan terusir.

Rok, rokok, hingga ayam berkokok, mereka masih menimang-nimang borok. Widuri salah satunya sejak sang sahabat mengirimnya ke tempat ini. Jadi kurasa pantaslah ia merasakan sesal dan pedih tetapi tak bisa ia melupakan begitu tikaman sahabatnya yang telah membuat ia tercacah setiap hari, maka ia memakai nama Gita sebagai prasasti kehancuran sejarah hidupnya.

Silakan tanya pada gelombang laut Sulawesi yang telah mencatat gelak tawa nihil yang terburai dari bibir mungil sang Gita. Maka ia akan menjawabmu dengan igauan sawah sepetak dan rumah kecil di antara rumpun-rumpun bambu. Sejumlah uang untuk menebus otak para guru yang menjadi hak adik-adiknya. Sejumlah uang untuk menebus lapar, yang lupa bagaimana rasa segenggam beras kemerdekaan.

Gita benci malam. Saat cawan-cawan menunggu anggukannya sebelum berlalu. Cawan yang terisi dengus mampus dari paru-paru yang aus. Lalu merenda waktu menunggu fajar yang terlalu payah untuk meluruhkan setiap borok, untuk dilabuhtitipkan pada gelombang biar mengantam kapal-kapal yang membawa awak, yang hanya memiliki moncong pistol tanpa tawaran pengharapan, apalagi cinta.

Mengemas bau malam yang berceceran di kolong ranjang, lalu menebarkannya di sepanjang jalan pulang di tempat mana ia harus melaporkan berapa takar keringat yang keluar. Berapa janji yang akan terulang dan diulangi. Laki-laki dan para lelaki. Pelaut-pelaut sepi yang mentah menghadapi hari-hari.

Gita benci malam. Gelombang sungguh tahu itu. Ia satu di antara puluhan bahkan ratusan mimpi yang tergadai. Menjadi babu di luar negeri barangkali akan sama resah dengan menjadi babu di negeri sendiri. Mencoba menegakkan diri berdiri di atas kehormatan yang terlanjur disangsikan betapa tak mudahnya.

Takut mendamba cinta yang akan membuat hatinya berdesir seperti pasir-pasir di pesisir.

“Kau hanya pemain cadangan. Dan hanya mukjizat yang sanggup mengubahmu menjadi pemain inti. Lupakanlah!”

“Tetapi aku telanjur mencintai kamu, dan amat menyintaimu,” tegasnya pada pada para lelaki.

“Apa pun yang kauminta akan kuberi. Tentu selain pernikahan.”

Tak ada benang waktu yang harus ia pintal seperti Penelope menenun harapan menunggu kepulangan Odysseus. Tak ada yang harus diulur, ditarik, sebab semua akan menjadi sia-sia. Karena setiap saat tongkat Mong akan mengadang, mendobrak kamar dan menggeledah siapa tahu menemukan cinta yang ia sembunyikan di kolong atau di bawah bantal.

Aku pernah mengalami yang dirasakan Gita. Tetapi aku sudah bersekongkol dengan gelombang yang telah mencatat sejarahku, agar ia sembunyikan tentang siapa aku. Tetapi baiklah aku beri tahu sedikit kalimat, sedikit saja, lalu silakan kaucemooh jika memang aku pantas mendapatkan. Bahwa aku tak pernah pintar bermain di kamar. Para lelaki yang pernah menyewaku akan berakhir uring-uringan dan protes pada Mong. 

Tak ada lagi pemesan sehingga pantasku adalah menjadi tukang sapu dan tukang cuci baju. Selanjutnya sepiku akan kupenggal dengan menyantap majalah-majalah usang atau buku-buku yang ditinggalkan pelanggan.

Dengan gagang sapu yang panjang aku mencoba bersihkan setiap lelehan duka dan pedih perih para perempuan itu. Banyak yang mengatakan aku perempuan beruntung sementara aku menganggap diriku buntung. Dengan keranjang sampah kutampung air mata mereka, yang semoga bisa berubah menjadi permata.

Nia dan Gita, yang baru saja kutampung air matanya. Kuusap wajahnya dengan sabut sapu ijuk yang ungu. Seperti warna jubah Isa ketika bersimpuh di antara popok-pokok zaitun dalam gigil yang dilalui sekali dalam hidup-Nya. Tetapi kurasa Nia dan Gita lebih gigil. Manakala harus berjalan getir di atas pasir pesisir. Melewati malam-malam Getsemani setiap hari, dan esoknya adalah pembantaian.

Mereka tahu, andai kuangkat tongkat sapu yang kugenggam ini, tak akan membelah lautan sehingga tak akan menjadikannya pelarian. Tetapi tongkat ini akan membuat mereka menjadi kunang-kunang, meski pucat dan patah sayap. Terjaga mimpikan merdeka. (*)
 .
.

Indah Darmastuti, tinggal di Solo. Pemenang dua Sayembara Novelet Majalah Femina dan Tabloid Nyata.
.
 

Tidak ada komentar: