Kamis, 10 November 2011

CERPEN KORAN TEMPO



Dari Dapur Bu Sewon
Oleh
Yusi Avianto Pareanom




 
BU Sewon, pemilik rumah yang kukontrak di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan, senang sekali membagi masakan dari dapurnya. Ia pemurah, kirimannya selalu dalam porsi besar. Amal ini akan menjadi sesuatu yang menggembirakan semua orang sekiranya tidak ada fakta keras: masakannya tidak pernah enak.

Antaran pertama yang kuterima adalah kolak pisang yang diwadahi dalam mangkok sangat besar yang sempat kukelirukan sebagai baskom mini. Aku sebenarnya berniat mencicipinya di ruang makan. Tapi, saat itu Bu Sewon berdiri menunggu di depan pintu sehingga aku menangkapnya sebagai isyarat permintaan agar aku mencobanya langsung.

“Minta maaf ya, Mas, kalau kurang manis,” kata Bu Sewon.

 Aku mencoba sesendok. Orang satu kampung bisa kena penyakit gula semua.

Melihatku nyengir Bu Sewon melanjutkan beberapa kali minta maaf sekiranya kolaknya kurang gula sebelum akhirnya pamit. Tak mau menjadi korban tunggal, di ruang tengah aku segera meminta istriku mencicipinya. Setelah menelan sesendok ia langsung meludahkannya dan mendelik ke arahku. Lidah Manadonya tak tahan dengan kuah semanis itu.

Aku juga masih ingat betul kiriman kedua Bu Sewon. Ia menyebutnya sup daging. Tapi, kurasa masakan yang satu itu lebih pantas dinamai gerombolan rajangan kubis berendam di kuah asin panas. Aku dan istriku sudah bersungguh-sungguh bergantian mencari, tetapi yang kami temukan hanyalah tiga potong kecil daging alot di mangkok, selebihnya kubis dan kubis.

Setelah kiriman kedua itu aku dan istriku jadi terkenang-kenang bulan pertama kami tinggal di rumah kontrakan itu. Pada waktu itu dari lubang udara dapur kami sering tercium aroma harum masakan. Bu Sewon memang tinggal tepat di rumah belakang bersama suaminya, Pak Sewon, pensiunan pegawai Departemen 
Pekerjaan Umum, dan Ratih, anak angkat mereka yang masih remaja.

Sekalipun kami tahu bahwa bau sedap itu adalah bau bawang putih ditumis belaka, tetap saja cuping hidung kami melebar. Salah satu yang paling menggoda adalah ketika tercium bau ikan asin goreng, aromanya benar-benar membangkitkan lapar. Kami biasanya sikut-sikutan dan menyuruh yang lain memberanikan diri meminta belas kasih Bu Sewon. Saat itu Bu Sewon memang belum pernah membagi masakannya.

Kami berangan-angan betapa nikmatnya kalau ia sudi melakukannya. Kami berdua suka dan bisa memasak, tapi pada waktu itu kami terlalu sibuk sehingga kami lebih suka membeli makanan di luar. Aku sedang repot mengerjakan revisi rancangan interior sebuah kompleks apartemen sementara istriku sibuk mengurusi tesis masternya di bidang hubungan internasional.

Seperti bunyi pepatah lama, hati-hatilah terhadap apa yang kauminta. Aku tak tahu salahnya di mana, lidah dan hidung Bu Sewon, yang mestinya jaraknya tak lebih dari sejengkal, sepertinya tak bisa akur. Atau, mungkin lebih tepat jika kukatakan bahwa harapan kami yang sempat terbangkitkan setelah mencium bau masakannya segera saja merosot ke titik beku begitu kami akhirnya bisa mencicipinya. Mungkin bagi Bu Sewon sendiri rasa masakannya enak belaka.

Aku tak tahu persis apa yang menggerakkannya, boleh jadi campuran kebaikan hati yang melimpah ruah dan keinginan murni menjadikan kami korban eksperimen olah dapurnya—dengan yang terakhir dosisnya lebih tinggi, tampaknya—kian lama Bu Sewon kian ganas berbagi masakannya. Ada kue lapis hambar, martabak mblenyek, klepon asin, ayam goreng tepung yang tepungnya setebal bantal bayi, dan paling spektakuler adalah makanan dengan tekstur ganjil yang layak disebut sebagai anak haram hubungan gelap getuk dan tiwul.
Pada awalnya, aku dan istriku masih memaksakan diri menghabiskan setiap kiriman Bu Sewon, apa pun rasanya. Kami tumbuh dengan ajaran untuk tidak pernah menyia-nyiakan makanan. Tapi, setelah beberapa saat, kami berdua sepakat bahwa kami bukan masokis—dan tak berniat menjadi mualaf ke golongan itu—sehingga penyiksaan diri ini tak boleh dibiarkan. Tidak semua makanan adalah berkah, percayalah. Aku yang kemudian sering kebagian tugas keluar rumah, jalan sekitar satu kilometer untuk membuang makanan kiriman itu.

Sebetulnya, kami sempat berpikir memberikannya kepada gelandangan atau anak jalanan di sekitar Stasiun Duren Tiga-Kalibata. Tapi, pikiran itu dengan cepat kami hapus. Kami tak ingin menularkan penderitaan, dan lebih-lebih, kami tak ingin mendapat sambitan batu jika memberikan makanan yang rasanya ajaib. Aku beberapa kali melihat gelandangan dan anak jalanan di kawasan ini mendapat pembagian makanan dari yayasan sosial atau orang yang punya hajat. Sekalipun makanan yang dibagikan—kebanyakan dengan logo restoran waralaba cepat saji—tak bakal mendapatkan bintang Michelin, aku yakin rasanya pasti lebih beres ketimbang masakan Bu Sewon.
 .

SATU hal lagi yang menjadikan seluruh urusan antaran makanan dari rumah belakang ini makin merepotkan adalah kewajiban bagi kami membalas. Memang, tak ada aturan tertulis, dan Bu Sewon pun tak meminta, tapi tak mungkin kami berpangku tangan terus. Sekalipun tidak setiap kiriman Bu Sewon kami balas, kami menjadi cukup sering memasak dalam porsi lebih. Padahal, selama ini, sebelum kami mengontrak di Kalibata, kami terbiasa belanja dan masak untuk dua orang saja. Tambahan porsi yang harus dibikin ini kadang membuat perhitungan kami dalam memasak meleset. Kepayahan gampang menular ternyata. Celakanya, kiriman balik dari kami inilah yang tampaknya makin memicu nafsu Bu Sewon menyodorkan uji cobanya kepada kami.

“Mas, kalau kita masak steik wagyu atau angus, apa harus dibagi juga ke Bu Sewon?” tanya istriku, suatu hari.

“Aku kira giginya masih kuat.”

Ia mencubit perutku dan sepertinya masih menimbang-nimbang. Parasnya lucu sekali. Aku tahu, pada akhirnya, kalaupun kami memasak daging mahal itu, ia pasti segera mengirimkannya ke rumah belakang. Tapi, aku menikmati sifatnya yang kadang masih kekanak-kanakan ini.

“Kalau sushi atau sashimi?” tanyanya lagi.

“Ampun, jangan sekali-sekali berani.”

Aku tak membayangkan Bu Sewon memakan irisan ikan mentah. Ia Jawa tulen. Ikan laut masak pun jarang ia makan, apalagi yang mentah.
 .

LALU, datanglah bulan puasa. Kami tak mungkin lagi bisa seenaknya membuang makanan kiriman Bu Sewon. Kautahu, atau kau mungkin pernah mendengar, bahwa orang yang menyediakan buka puasa akan beroleh pahala setara dengan orang yang berpuasa. Mana mungkin kami tega menyabotase pahala Bu Sewon begitu saja?

Setelah beberapa bulan tinggal di rumah kontrakan, kami tahu bahwa sumber kebahagiaan Bu Sewon tak banyak, yaitu mengaji dan berbagi makanan. Suaminya, Pak Sewon, yang usianya sekitar 70 tahun, mungkin berselisih 20 tahun ketimbang Bu Sewon, lebih senang ngelencer sendiri atau main domino dan samgong bersama para lelaki yang tinggal di sekitar rumah kontrakan kami. Anak angkat mereka, Ratih, sering sekali membentak-bentak Bu Sewon.

Nasib buruk Bu Sewon juga tak berhenti di situ. Dua kali ia ditipu oleh dua perempuan yang pernah indekos di rumah belakang. Ia meminjamkan uang kepada mereka dan para debitur kurang ajar itu langsung kabur. Yang pertama ia kena Rp 4 juta, yang kedua lebih parah lagi, hampir Rp 30 juta. Hatinya—dan akalnya, mungkin—memang lemah terhadap akal bulus yang dibungkus kata manis dan tampang haru.

Maka, berulanglah kembali situasi Catch 22 atau maju kena mundur kena. Kalau kiriman Bu Sewon kami makan dan habiskan, acara berbuka puasa yang sebetulnya sudah kami rancang akan menjadi berantakan. Makanan kiriman Bu Sewon sering tak klop dengan makanan yang kami siapkan. Tapi, pada saat yang bersamaan, kami merasa tak tega jika pahala Bu Sewon terganjal oleh ketinggian hati kami.

“Aneh, ya, padahal kita ini ya bukan Muslim yang taat-taat amat,” kata istriku, suatu kali dengan paras putus asa.

“Itu karena kau orang baik, Sayang,” kataku.

Kami tertawa bersama. Aku lalu mengusulkan bertaruh siapa yang paling dulu berhasil menghabiskan soto tauge—Bu Sewon menyebutnya soto ayam—akan mendapat hadiah ciuman, dan yang kalah wajib mencium.

“Kalah menang Mas ya tetap enak,” kata istriku, protes. Tapi, tanpa membuang waktu ia langsung meraih sendok.

Pada hari ketujuh belas bulan puasa, aku pulang rumah pukul lima sore dan menjumpai wajah istriku yang tertekuk. Aku hapal, haidnya sudah waktunya datang, tetapi telat satu atau dua hari. Aku sebenarnya sudah memintanya tak memaksakan diri berpuasa, tapi ia ingin menemaniku.

“Itu,” katanya sambil menunjuk tudung saji di meja, “aku tak mau makan itu.”

Aku membuka tudung saji. Mau tak mau aku menyeringai. Gado-gado bukan, pecel bukan, urap bukan, asinan apalagi. Bikinan Bu Sewon, tentu saja.

“Lalu, kaumasak apa?” Ia menggeleng.

“Kau mau aku masakkan apa?” Ia menggeleng lagi.

“Baik, kau mau kubelikan apa?”

“Kalau kau benar-benar cinta padaku, kau pasti tahu apa yang kumau.“

Celaka, sungguh celaka. Tidak saja aku harus menebak-nebak selera makannya, tetapi juga harus mencari-cari jiwanya. Apa tidak gawat kalau begini? Untunglah, setelah tujuh menit sempat kebingungan di jalanan, aku menemukan jawaban: keik keju ekstra krim. Seingatku, sengambek apa pun istriku—dan juga mantan pacar-pacarku dulu—keik keju ekstra krim tak pernah gagal melunakkan hati mereka.

Benar saja, aku pulang disambut dengan senyum lebar. Aku membeli beberapa potong sehingga istriku bisa membaginya kepada Bu Sewon jika ia ingin. Tapi, tampaknya hari itu ia ingin menelan sendiri semua keik keju itu. Ia bahkan tak menawariku, si pencari jiwanya. Dengan muka kecut, dan berharap ia segera sadar—yang sayangnya tidak—aku mengunyah kiriman racikan sayur Bu Sewon yang rasanya mengingatkanku pada pertarungan Muhammad Ali melawan Joe Frazier di Manila.
Brutal.

Malam harinya, sekitar pukul sepuluh malam, terdengar teriakan dari rumah belakang. Kami segera bergegas. Ternyata, Bu Sewon terpeleset di kamar mandi. Kaki kirinya terpelicuk berat sementara tangan kanannya yang mencoba meraih gagang pintu untuk menahan jatuhnya malah mampir ke lapisan seng pintu yang sudah sobek sebagian sehingga telapak tangannya tergores cukup dalam. Darah keluar cukup banyak.

Aku segera mengeluarkan mobil dan bersama istriku serta Pak Sewon membawa Bu Sewon ke rumah sakit. Sepanjang jalan Bu Sewon menangis sementara Pak Sewon berkali-kali malah menyalahkan istrinya. Aku dan istriku berdiam diri.

Di rumah sakit, Bu Sewon segera ditangani. Dokter lalu memintanya beristirahat setidaknya semalam dua di rumah sakit sampai rasa terguncangnya hilang dan kondisinya membaik. Setelah membantu Pak Sewon mengurus administrasi dan memastikan Bu Sewon mendapatkan kamar yang pantas, aku dan istriku pamit pulang. Bu Sewon meminta maaf kepada kami karena merasa telah merepotkan. Tentu saja kami menjawab hal yang semacam itu tak perlu ia pikirkan.

“Tapi, saya benar-benar ingin minta maaf untuk yang satu ini. Besok-besok saya jadi tak bisa ngantar-ngantar lagi ke rumah depan,” kata Bu Sewon.

“Ampun, tidak apa-apa, Ibu. Bu Sewon istirahat saja yang enak di sini,” kata istriku.

Kalau tak salah, istriku menjawab sangat cepat perkataan Bu Sewon. Terlalu cepat, malah, dan samar-samar kulihat dua ujung bibirnya tertarik ke atas.
 .
INSIDEN jatuhnya Bu Sewon terjadi pada puasa tahun lalu.
Saat ini kami masih mengontrak di rumahnya. Dan, sebentar lagi bulan puasa tiba. (*)
 .
.
Yusi Avianto Pareanom, penyunting di Penerbit Banana. Novel Lenka, yang digarapnya bersama A.S. Laksana dan peserta Bengkel Penulisan Novel Dewan Kesenian Jakarta, baru saja terbit. Kumpulan cerita pendeknya, Rumah Kopi Singa Tertawa, akan segera menyusul.









Gesangsungsang
Oleh
Triyanto Triwikromo






 
Beredar kabar Zaenab akan ditembak mati oleh penembak gelap karena seluruh tubuhnya bersisik merah. Apa yang membahayakan dari sisik-sisik merah itu?

ALLAH tidak pernah mengirim bencana pada Jumat penuh bangkai ikan di kampung yang harum oleh zikir dan shalawat itu. Dalam benak Zaenab, Allah juga tidak akan mengempaskan badai pada saat nisan Syeh Muso di ujung tanjung yang senantiasa ia jaga itu menguarkan cahaya hijau, harum mawar putih, dan wangi dedaun pandan. Angin gelap bau kematian memang berembus sejak senja. Ia menghantam apa pun sehingga genting-genting berjatuhan, daun-daun bakau rontok, debu-debu dan sampah-sampah beterbangan tak keruan.

Allah juga tidak mengirimkan bencana pada Jumat penuh bangkai ular di kampung yang harum oleh doa dan sujud itu. Akan tetapi hujan turun dengan dahsyat. Langit seakan-akan menumpahkan kerikil-kerikil kecil yang melukai kepala dan siapa pun yang memandang hujan tanpa berkedip, mata bening mereka akan tertusuk tajam air yang menimbulkan rasa perih luar biasa.

Warga kampung memang tidak panik.Tetapi dengan cepat mereka berlarian ke masjid. Zaenab tahu, dalam amuk badai, masjid akan menjelma kapal Nabi Nuh yang menampung para nelayan ketakutan, perempuan-perempuan yang selalu menceracau, dan anak-anak yang justru gembira tak alang kepalang. Ia juga menjadi payung raksasa yang sangat teduh dan menenteramkan. Sangat teduh sehingga membuat orang lupa betapa pada suatu saat masjid sekokoh apa pun jika tsunami menghantam, akan rubuh, tercerabut dari tanah, dan hanyut ditelan ombak.

Zaenab juga sedikit pun tidak khawatir. Hujan sederas apa pun tidak pernah membuat kampung ini tenggelam. Seluruh daratan tergenang air asin justru saat rob menghantam. Pada saat itu ikan-ikan terbang, dan ular-ular laut yang masih kecil-kecil dan siput-siput busuk bermunculan. Karena itu Zaenab malah merasa mendapatkan berkah tidak terkira ketika hujan kian menderas. Ia ingat pada ajaran para tetua bahwa pada saat badai menghantam tanjung yang teduh malaikat akan turun ke bumi dengan mengendarai butir-butir hujan. Begitu butir-butir hujan itu menyentuh dedaunan, malaikat akan menancapkan kaki ke tanah basah dan memberkatinya. Karena itu sehabis hujan, lumpur pun bisa menjelma tanah basah nan subur.

Hanya kali ini mungkin Zaenab tidak menangkap isyarat alam. Ia tidak melihat walang kadhak terbang merendah di kampung. Kata Kiai Siti, cucu Syeh Muso terkasih yang kini menjadi sesepuh kampung, itu pertanda badai akan mengempas kampung. Zaenab juga tidak melihat siput-siput yang mulai merayap ke dinding cungkup. Andaikata ia tahu, mungkin ia akan segera meninggalkan makam, berlari sekencang mungkin ke masjid, dan bergabung dengan orang-orang yang paham betapa alam akan mengamuk dan hujan serta badai bakal mengasah kebengisan. Lebih parah lagi Zaenab juga abai pada tingkah kepiting yang mulai bergerombol di sekitar makam. Jika saja ia perhatian pada binatang menjijikkan itu, ia pasti bergeming atau malah memeluk nisan Syeh Muso. Ya, siput dan kepiting yang merayap naik ke daratan adalah isyarat alam agar mereka yang mencintai laut sementara menyingkir dulu dari amarah ombak.

Tetapi keliru kau menganggap Zaenab tidak tahu isyarat-isyarat itu. Semua tanda-tanda alam telah ia cerna dengan baik. “Tidak seorang pun tahu betapa justru saat inilah Syeh Muso akan dibangkitkan oleh Allah. Ia akan menemuiku saat badai bergulung. Mungkin Kiai Siti tahu. Tetapi ia tidak akan mengatakan rahasia Allah itu kepada siapa pun,” desis Zaenab.

Karena itu di tengah kegelapan yang kian memekat, Zaenab justru melemparkan pandangan ke arah hutan bakau yang sekali-kali didera cahaya halilintar. Ia tertawa kecil saat dalam samar menatap sepasang bangau kecil belajar hinggap di antara reranting bakau yang bergoyang-goyang diembus oleh angin dan dihajar oleh hujan yang tidak kunjung mereda.

“Syeh Muso akan mengajariku memahami Suluk Gesangsungsang. Dengan suluk itu aku akan bisa menujum hari matimu. Insya Allah aku akan ngerti sadurunge winarah.”

Rupa-rupanya tindakan Zaenab atas isyarat alam tidak bisa disamakan dengan tindakan warga kampung. Karena itu pada saat orang lain takluk, ia justru menantang badai. Pada saat warga kampung duduk bersimpuh tafakur di hadapan nisan Syeh Muso, ia justru berdiri tegak mirip Werkudara di hadapan raja.
Lama-lama orang-orang kampung tahu, dunia Zaenab adalah dunia jungkir balik. Jika pada suatu hari Zaenab meminta pisau pada penduduk, maka sebenarnya perempuan bermata pelangi itu mengharap sapu. Jika ia meminta kucing, sesungguhnya ia membutuhkan anjing. Jika ia bilang hari akan hujan, dapat dipastikan panas terik menghadang. Jika ia bilang seseorang akan hidup seribu tahun lagi, sebaiknya orang malang itu segera minta ampun pada Allah, karena tak lama lagi akan sakit keras dan akhirnya mati.

Zaenab bicara tanpa tafsir rumit hanya kepada Kiai Siti, diri sendiri, dan Kufah. Kufah, kau tahu, adalah cicit Syeh Muso yang terberkati, sehingga Zaenab tidak perlu memberikan teka-teki percakapan saat berbincang dengan perempuan kencur itu.

“Jika kau ingin mendapatkan keajaiban Syeh Muso, datanglah ke sini, Kufah. Jangan bergabung dengan para penakut di masjid,” desis Zaenab yang tentu saja tak didengar oleh Kufah.

“Dan kau, Kiai Siti, mengapa tak segera kaukabarkan kepada penduduk betapa sebentar lagi akan muncul keajaiban?”

Zaenab tahu Kiai Siti mendengar perkataannya. Zaenab paham betapa atas izin Allah Kiai Siti tahu apa yang bakal terjadi pada dirinya, pada tanjung yang menguarkan cahaya hijau, dan pada ikan-ikan terbang di sekitar makam. Zaenab sangat mengerti Kiai Siti akan memilih bungkam. Ya, Kiai Siti pasti tetap menjaga rahasia alam.
 .

RUPA-RUPANYA kali ini alam tidak ingin merahasia kan keajaiban. Mereka yang berkumpul di masjid dengan sangat jelas bisa melihat apa pun yang terjadi di makam Syeh Muso dengan sangat rinci.
Seekor binatang menyerupai hiu, menyerupai naga, menyerupai kerbau muncul dari lautan. Raksasa hitam pekat itu melompat ke udara beberapa kali, lalu menusuk ombak, menghilang, menyembul lagi dan akhirnya merapat ke makam. Tak seorang pun ingin menikam satwa yang baru muncul kali pertama dari kegelapan laut itu dengan tombak bertali. Juga Kiai Siti tak tergerak sedikit pun menjadi juru tikam yang mengerahkan seluruh tenaga dan mengayunkan tubuh ke depan agar tombak yang dilontarkan melesat cepat dan menancap kuat ke tubuh hewan yang terus-menerus menyeringai itu.

Monster air itu memang tidak memangsa Zaenab. Ia justru seperti kerbau lembut yang mengajak Zaenab bercakap-cakap, mengucapkan semacam suluk, mendesiskan semacam zikir.

Dan Zaenab memang tidak perlu takut. Ia sama sekali merasa tidak sedang berhadapan dengan ikan hiu atau hantu. Ia justru melihat lelaki tampan dua puluh tujuh tahunan turun dari langit menusuk ombak. Dalam pandangan yang samar, ia masih bisa menatap bentangan sayap yang melekat di bahu lelaki kencana itu membentur air sehingga menimbulkan bunyi gelegar menyerupai ombak menghantam karang. Sebentar kemudian sosok yang seluruh tubuhnya bersisik itu menyembul.

Tangan kokohnya berusaha menggapai sisi cungkup paling luar. Sayap besarnya lambat laun menguncup. Saat itu Zaenab menyaksikan kemegahan tubuh yang hanya bisa muncul dalam mimpi. Tak ada balutan emas, tetapi sisik merah yang membungkus seluruh tubuh itu berkilat-kilat ketika cahaya dari halilintar mendera berulang-ulang.

Esok hari ketika badai reda warga kampung memahami Zaenab dengan sudut pandang lain. Perempuan bersisik merah yang lidahnya bercabang itu dianggap sebagai hewan liar yang berbahaya. Zaenab dianggap telah bersekutu dengan setan. Ia dianggap melakukan perbuatan laknat itu, karena tubuhnya yang bersisik kian memerah dan lidahnya yang bercabang senantiasa mendesiskan kata-kata menyengat. Hanya terhadap Zaenab hati warga kampung selalu mendua: mereka ajrih sekaligus asih, mereka takut sekaligus cinta penuh seluruh pada perempuan itu. Lebih-lebih bagi Kiai Siti atau Kufah, Zaenab adalah perempuan terindah di kampung itu.
 .

SUNGGUH-SUNGGUH berbahayakah Zaenab? Sekali lagi bagi Kufah, Zaenab adalah penebar rahasia apa pun yang disembunyikan oleh orang-orang kampung. Dan setiap rahasia (tentang ikan-ikan terbang yang selalu mati pada hari Selasa dan dibangkitkan oleh Allah pada hari Sabtu, tentang bangau-bangau yang tak pernah berkurang meskipun telah ditembak oleh para pemburu, tentang kabut yang tak pernah bisa diusir, tetapi tak membuat kampung terkubur dalam amuk iblis…) selalu membuncahkan keindahan.

Tak jarang berkali-kali saat menikmati puluhan perahu berkejaran menuju cakarawala, bersama Zaenab, Kufah menemukan sampan-sampan berisi orok yang yang masih berdarah. Orok-orok yang malang karena mereka telah mati. Orok-orok yang kadang-kadang sudah dililit oleh ular laut. Jika demikian, Zaenab dan Kufah akan mencari daratan yang belum terendam. Mereka dengan diam-diam mengubur orok-orok itu agar besok ketika sinar matahari menyusup ke reranting bakau, kampung tak dikejutkan oleh peristiwa apa pun yang terjadi pada malam yang asin, pada malam penuh bangkai ikan terbang yang menyerbu daratan yang terus menghitam.

“Mengapa harus kita kuburkan orok-orok ini di sini?” tanya Kufah, polos.

“Roh orok-orok ini akan jadi malaikat, Kufah. Kita tak boleh menyia-nyiakan tubuhnya….”
Tentu Kufah tak mengerti makna perkataan Zaenab. Tetapi bocah kecil itu tetap saja membantu menggali tanah, berkali-kali, hingga kelak ketika makam orok itu ditemukan, kampung itu disebut sebagai Makam Orok Hitam.

Dalam pandangan Kufah, setiap mereka berhasil mengubur oroko-rok itu, pada malam hari ada cahaya kuning keemasan menyerupai bentuk bangau-bangau cantik menguar pelan-pelan dari gundukan lalu melesat menembus reranting bakau, dan akhirnya melesat ke langit hitam. Mungkin karena selalu memandang pemandangan yang indah itu, Kufah menganggap hari-hari bersama Zaenab bukanlah saat-saat yang membahayakan.

Akan tetapi bagi Panglima Langit Abu Jenar, pengkhotbah dari kota yang senantiasa mengaku sebagai keturunan Nabi dan ingin mengubah kampung menjadi tanjung paling suci, Zaenab adalah musuh utama yang harus dilenyapkan. Tak seorang pun di kampung penuh bangau ini yang tak patuh pada semua perintah pria yang datang bersama para pengusaha kota yang ingin membangun resor di kampung itu. Hanya Zaenab yang berani meludahi wajah Abu Jenar saat pria—yang dalam bayangannya lebih tampak sebagai Raja Firaun yang bengis—itu meminta dia meninggalkan makam.

“Jangan pernah lagi tidur di makam dan memeluk makam Syeh Muso. Pergilah dari cungkup ini. Aku akan berdoa agar Allah memberimu surga jika kau meninggalkan tempat yang membuatmu syirik ini!” dengus Abu Jenar, merayu Zaenab, suatu malam.

Zaenab membatu. Dari mulut Abu Jenar ia justru mendengar, “Aku akan membunuhmu karena segelas air yang telah kauludahi dan kaumanterai telah menyembuhkan semua penyakit warga kampung. Dan itu syirik. Segala penyembuhan harus dari Allah, bukan dari dajjal.”

Zaenab bergeming. Ini membuat Abu Jenar naik pitam. Ia merasa segala keindahan dan kesucian yang hendak ia bangun di kampung ini dirusak sangat telak oleh perempuan penunggu makam. Perempuan yang tidak mengajarkan apa pun kepada warga kampung, tetapi justru segala tingkahnya dianggap teladan yang harus dilakukan sepanjang siang sepanjang malam. Perempuan yang senantiasa membuncahkan doa qunut dalam setiap shalat ketika Abu Jenar justru melarang doa-doa yang dianggap tak mujarab untuk sebuah kampung yang diberkati oleh Allah dengan bangau-bangau manis, siput-siput jelita, dan ikan-ikan terbang yang cantik dan menawan.

Karena itu dengan bersungut-sungut, Abu Jenar bergegas meninggalkan makam. Apakah Abu Jenar menyerah? Tentu tidak. Dan Zaenab tahu dari hati Abu Jenar, ia mendengar ancaman. “Ketahuilah, Zaenab, orang-orang kampungmu sendirilah yang akan mengusirmu dari makam. Aku akan meminta mereka mengusirmu karena kau mengajarkan perilaku sesat yang menggiring siapa pun berjalan cepat ke neraka jahanam.”

Celakanya, meskipun dalam sebuah pengajian Abu Jenar melaknat Zaenab sebagai musuh Allah, tak ada seorang pun di kampung itu yang menganggap Zaenab sebagai utusan dajjal. Zaenab memang pernah bilang kepada warga yang nyekar di Makam Syeh Muso, setiap senja datang akan bergentayangan segala setan dan mambang. Akan tetapi karena terhadap setiap perkataan Zaenab ditafsir secara terbalik, warga justru menganggap setiap senja para malaikat hinggap di genting-genting rumah sambil mengibas-ngibaskan sayap yang menguncup dan mengembang.

Orang-orang kampung itu tak menganggap Zainab sebagai utusan dajjal. Jadi, meskipun setiap hari wajah Zaenab bertambah buruk, tak seorang pun merasa akan diajak oleh Zaenab berjalan cepat ke neraka jahanam. Mereka sedikit pun tak berminat mengusir perempuan itu dari kampung meskipun Abu Jenar bilang, Zaenab akan menjadi perempuan yang menebar kesialan.

Bahkan ketika pada suatu malam usai shalat isya, Zaenab meminta orang-orang yang berzikir di makam agar segera pulang dan tak melakukan shalat tahajud, orang-orang justru segera tidur di makam menunggu waktu utama untuk melakukan shalat malam.

“Jangan lakukan shalat tahajud lagi. Allah akan menenggelamkan kampung. Kita tak perlu melakukan apa-apa lagi. Allah tak cukup setia pada kita. Allah hanya memberikan neraka jahanam, buat apa lagi kita berdoa?” desis Zaenab.

Tak seorang pun bergegas meninggalkan makam. Tak seorang pun tak segera melakukan sujud paling khusyuk justru ketika Zaenab bilang, “Lihatlah ombak bergulung-gulung dan akan segera menenggelamkan makam!”

Meskipun demikian Abu Jenar tak menyerah. Akan ada cara lain yang kelak bisa membuat perempuan bersisik merah itu menghilang dari tanjung, menghilang dari makam.
 .

SEJAK itu Abu Jenar memang tak pernah lagi menyambangi makam. Jika ia berkunjung ke kampung itu, paling-paling ia mengajak Kiai Siti dan penduduk kampung bercakap-cakap di masjid. Zaenab pun tidak pernah jadi bahan pembicaraan. Percakapan mereka tentu berkisar pada keindahan dan siksa Allah. Akan tetapi tak jarang Abu Jenar meminta Kiai Siti dan penduduk segera pindah dan menyerahkan kampung itu kepada pengusaha yang akan membangun resor di tempat itu.

“Nabi pun hijrah untuk hidup yang lebih baik. Kenapa kalian begitu ngotot tinggal di tempat ini? Jangan memberhalakan tanah sekalipun ia sangat bertuah,” kata Abu Jenar.

Kiai Siti manggut-manggut. Meskipun demikian, malam itu ia sama sekali tak berminat untuk mengatakan,“Ya, kami akan hijrah demi ajaran Nabi ya Abu Jenar.”

Kiai Siti justru melemparkan pandangan ke arah makam dan berharap ada isyarat gaib yang melesat dari nisan Syeh Muso atau mata Zaenab yang senantiasa menunggu makam itu.

Dan malam itu kepada Kiai Siti, dari jauh Zaenab memang mendesiskan beberapa riwayat yang bakal terjadi, kisah-kisah busuk, dan kapan Abu Jenar akan membakar kampung yang sangat diberkahi oleh Allah ini.
Kita tentu tidak tahu apakah Kiai Siti, sesepuh kampung yang santun itu mendengarkan desisan Zaenab. Yang jelas ia manggut-manggut. Yang jelas ia seperti melihat cahaya hijau melesat dari makam ke masjid yang dipenuhi oleh ayat-ayat yang mengucur dari mulut Abu Jenar.
 .

LALU pada suatu waktu beredar kabar Zaenab akan ditembak mati oleh penembak gelap karena seluruh tubuhnya bersisik merah. Apa yang membahayakan dari sisik-sisik merah itu? Dulu, pada 1965 yang perih, warna merah memang sangat berbahaya. Siapa pun yang menyimpan bendera merah apalagi bergambar palu-arit, akan dengan gampang dibunuh oleh serdadu. Akan tetapi sekarang, bagaimana mungkin sisik merah dianggap berbahaya? Karena dianggap berbahaya, mengapa diperlukan penembak gelap untuk membunuh Zaenab?

Dan siapa yang mengirim penembak gelap itu? Abu Jenar? Atau para pengusaha yang ingin membangun resor? Siapa pun tak bisa menjawab pertanyaan itu.

“Percayalah bukan aku yang akan mengirim para penembak gelap. Kalau aku mau, aku bisa menyeret sendiri perempuan itu dari makam?” kata Abu Jenar.

Kiai Siti kali ini menggeleng-gelengkan kepala. Ia tahu Abu Jenar tak akan pernah bisa menyeret Zaenab dengan tangannya sendiri. Ia begitu jijik berdekatan dengan Zaenab, apalagi menyentuh tubuh yang setiap sisik merahnya membusuk dan hampir mengelupas itu.

Hanya pada saat sama, ia tidak ingin berburuk sangka kepada Abu Jenar. Ia hanya berdoa kelak pada saat yang tepat Allah akan memberi tahu kepadanya kapan Zaenab akan dihujani peluru oleh penembak gelap dan kapan Zaenab akan bilang, “Hidupku telah berakhir dan sebentar lagi tanjung ini akan tenggelam.”
 .

APAKAH kau pernah mendengar letusan senapan di kampung ini? Tentu pernah. Kapan pun para pemburu bisa menembak bangau-bangau sesuka hati. Kapan pun peluru-peluru melesat, menghajar kepala dan merontokkan bulu-bulu satwa-satwa indah itu ke lumpur. Akan tetapi apakah kau melihat salah satu dari sembilan pemburu yang bergegas merapatkan perahu mereka ke makam akan menembak Zaenab?
“Kalian menyangka aku akan mati hari ini? Kalian menyangka seseorang akan menembakku?”

Beberapa warga kampung yang malam itu berzikir bersama Zaenab di Makam Syeh Muso sangat bingung menafsirkan kata-kata perempuan bersisik merah itu. Kalau saja Zaenab bilang, “Aku akan mati hari ini!” atau “Seseorang akan menembakku.”, mereka akan bersorak kegirangan. Tetapi Zaenab membuncahkan kata-kata yang tak mudah ditafsirkan. Karena itu, dipikir secara terbalik pun, tetap saja ucapan Zaenab menjadi rahasia yang tak terpecahkan. Tak terpecahkan hingga sembilan perahu merapat. Tak terpecahkan hingga orang-orang mendengar beberapa senapan meletus, beberapa bangau jatuh dari ranting, beberapa bulu rontok ke lumpur yang kian malam kian menghitam. (*)
 .
.
Semarang 2010-Cirebon 2011
Triyanto Triwikromo tinggal di Semarang. Kumpulan cerita pendeknya, Ular di Mangkuk Nabi, memperoleh Penghargaan Sastra dari Pusat Bahasa. Kumpulan puisinya adalah Pertempuran Rahasia (2010).
 .
Catatan:
Walang kadhak: sejenis elang laut.
Ngerti sadurunge winarah: tahu sebelum kejadian.
Ajrih: takut.
Asih: sayang.
Qunut: doa yang kerap dianggap sebagai penolak bala.
Nyekar: berdoa dan mengirim bunga di makam.









 




 
.

Tidak ada komentar: