Ular Randu Alas
Oleh
S Prasetyo Utomo
Tersembunyi kisah rahasia pada sebatang pohon randu alas tua. Tak seorang pun berani menebangnya. Seabad sudah pohon randu alas itu berumur. Aku menduga, pohon randu alas yang menjulang kokoh di tepi jalan pertigaan menuju perumahan tempat tinggalku berumur lebih dari seabad.
Sejak aku kecil, pohon randu alas itu telah tumbuh sebesar sekarang—empat rentangan tangan orang dewasa—rindang dan menggugurkan daun-daun kering kekuningan pada musim kemarau. Umurku kini enam puluh dua, sudah beberapa tahun pensiun, menjadi saksi pohon randu alas yang berdiri tegak, rimbun dedaunan, dan dianggap angker.
Seekor ular bersarang di rongga lapuk pangkal pohon randu alas yang menganga serupa gua. Bila diintip ke dalam gelap rongga pangkal pohon itu, tampak sepasang mata ular berkilau mengancam. Sepasang mata seekor ular yang siap mematukku, suatu saat bila aku terlena.
Sebatang pohon jambu biji tumbuh liar di bawah pohon randu alas—mungkin sisa hutan jambu yang ditebang habis untuk lahan perumahan. Dari dua cabang pohon jambu terjulur beberapa ranting dan bergelantungan buah-buah yang selalu ranum. Tak jauh dari pohon jambu, tumbuh pohon melati liar, bermekaran bunga-bunga putih mungil. Tercium lembut wangi tiap pagi.
Untuk cucu kesayanganku, Aini, kupetik buah-buah jambu ranum kesukaannya dan bunga-bunga melati yang dijadikannya sebagai mainan. Menjelang siang ia pulang sekolah taman kanak-kanak bersama teman-temannya, beramai-ramai makan buah jambu, dan bermain-main kembang-kembang melati yang kupetik.
Berada di bawah pohon randu alas, aku kadang merasa cemas. Dalam mimpiku enam tahun silam, seorang nenek keriput dengan tongkat kepala ular, mengutukku, ”Kau tega melukai ular penunggu randu alas. Tiba waktunya nanti, pada umurmu yang ke-62, ular itu akan mematukmu!”
***
Gairah untuk memetiki buah-buah jambu yang ranum, dengan merenggut ujung ranting dan menjulurkan tangan meraih buah-buah itu, menggetarkan tubuhku. Kutukan perempuan tua penunggu randu alas itu, yang datang dalam mimpi, sudah saatnya terjadi. Aku mesti menjemput takdirku. Bila memang harus mati dipatuk ular, biarlah aku merasakan sakit patukan ular yang dulu pernah kucederai, dan melata ke arah rongga pangkal randu alas, dengan ceceran darah di rerumputan.
Aku tak sengaja melukai ular itu. Cangkul yang kuayunkan untuk membersihkan rerumputan di bawah pohon randu alas dan meratakan tanah tak kusadari merobek daging seekor ular. Ular itu melata ke arah rongga pangkal pohon randu alas. Aku merasa tak bersalah. Kuteruskan mengayunkan cangkul, membersihkan rerumputan dan meratakan tanah.
Pohon jambu biji kubiarkan tumbuh di bawah pohon randu alas. Ada pula pohon melati yang masih kecil, yang tak kucabut. Kubiarkan tumbuh liar. Kuratakan tanah dan terus kutimbuni agar lebih tinggi. Akan kuundang tukang batu untuk mendirikan sebuah kios sederhana. Di kios itu aku akan menjual barang-barang kelontong dan kebutuhan sehari-hari.
Malam harinya aku bermimpi, nenek bertongkat kepala ular, menatapku dengan murka. Wajahnya bengis, sepasang matanya mengancam. Ia mengutukku. Ular penunggu pohon randu itu bakal mematukku pada ulang tahun ke-62. Begitu tegas kutukan nenek bertongkat kepala ular, seperti hadir dalam kehidupan sehari-hari dan bukan terjadi dalam mimpi.
Mimpi burukku tak menghentikan pembuatan kios kelontong. Tiap pagi aku membuka kios, melayani pembeli, hingga malam larut. Mula-mula jarang orang berbelanja ke kiosku. Tapi lama-kelamaan, berdatangan pula orang-orang berbelanja.
”Kau tak takut akan digigit ular penunggu pohon randu?” tanya Lik Man, lelaki setengah baya, pencari rumput untuk kambing-kambingnya. Ia dulu menjual ladang jambu miliknya, yang didirikan perumahan, dan memilih pindah ke daerah perkampungan, dengan tanah yang luas. Di rumah baru, ia masih bisa bercocok tanam dan memelihara kambing. Ia paling sering mencari rumput di bawah pohon randu alas. Di sini rerumputan tumbuh subur, dan dalam waktu sebentar, ia sudah memanggul segulung rumput, yang diikat erat, diletakkan di bawah pohon jambu. Ia meneguk kopi di warung Yu Warso dan membeli rokok di kiosku. Di warung Yu Warso itu ia biasa ngobrol dan baru pulang menjelang siang.
”Kau selalu merumput di bawah pohon randu. Tak takut digigit ular?”
”Sejak muda dulu aku selalu mencari rumput di sini. Tak pernah kulihat ular itu. Yang selalu kutemukan cuma kulit ular, menjalar di rerumputan. Kau pernah melihat ular itu?”
”Aku pernah melukainya dengan cangkulku.”
”Hati-hatilah!” Lik Man meninggalkanku.
***
Tak seorang pun melihat Lik Man. Menjelang siang ia membawa sabit ke bawah pohon randu dengan rokok mengepul di bibirnya. Matahari sudah bergeser dari puncak pohon randu alas. Biasanya Lik Man meninggalkan bawah pohon randu alas, memanggul gulungan rumputnya pulang, setelah minum kopi dan makan pisang goreng di warung Yu Warso. Anak lelaki Lik Man mulai mencari ayahnya. Ia sempat menyapaku, sebelum menyusup ke dalam semak-semak.
Dari bawah pohon randu alas, kudengar ia memekik, ”Ayah meninggal!”
Kudapati Lik Man terbujur kaku, masih menggenggam sabit. Mulutnya berbusa. Kaki kirinya melepuh biru kehitaman darah beku. Terlihat dua titik bekas patukan ular. Darah ular berceceran di rerumputan, lenyap di rongga keropos pangkal pohon randu alas. Sabit Lik Man, secara tak sengaja, mungkin telah melukai ular penunggu pohon randu alas dan ular itu menggigitnya.
***
Melintasi pertokoan senja hari, di trotoar, sepulang dari belanja untuk keperluan kios kelontong, kulewati seorang penjual obat oles yang menggelar tikar, dengan ular dalam kotak kayu. Sama sekali orang lalu lalang tak menghiraukannya. Ia menawarkan obat oles untuk menyembuhkan penyakit kulit. Tak seorang pun datang mendekat. Lelaki setengah baya bersorban putih, berjenggot, masih duduk dengan tenang. Aku sempat memandanginya, sambil menanti bus kota di halte.
Lelaki setengah baya bersorban itu melambai ke arahku.
”Kemarilah!” panggilnya.
Aku bimbang untuk mendekat. Sepasang matanya seperti menuntunku untuk menghampiri dan berjongkok di depannya. Dia memintaku untuk menjulurkan tangan kiri dan membuka telapak tangan. Ia baca garis telapak tangan itu.
”Kau perlu kekebalan,” kata lelaki penjual obat bersorban, sambil mengelus jenggotnya. ”Suatu hari kelak kau akan dipatuk ular.”
Teringat ular penunggu randu alas yang pernah kulukai, kutukan perempuan tua bertongkat ular dalam mimpi, dan kematian Lik Man yang dipatuk ular, aku merasakan degup dada yang mengencang.
”Kau dapat memberiku kekebalan?”
”Kalau kau yakin, insya Allah, tubuhmu akan kebal dipatuk ular,” lelaki setengah baya berjenggot itu meyakinkan. Aku mengangguk. Meminum segelas air putih darinya. Pergelangan kaki kananku diolesi minyak dan seekor ular dari dalam kotak kayu dikeluarkannya. Aku memejamkan mata. Begitu cepat terasa patukan dua gigi ular pada pergelangan kaki.
”Kau akan berkunang-kunang sebentar. Kaki kananmu mengejang, sulit digerakkan. Tak lama. Kau akan segera pulih seperti sediakala.”
***
Berjingkat-jingkat aku meraih buah-buah jambu. Masih kuingat kutukan perempuan tua bertongkat kepala ular. Pada hari kelahiranku yang ke-62, seekor ular akan mematukku. Aku sama sekali tak takut dengan patukan ular itu. Mungkin aku akan benar-benar dipatuk ular, sebagaimana enam tahun silam perempuan tua berambut memutih dengan mata murka itu mengutukiku dalam mimpi. Aku tak perlu ragu memetiki buah jambu yang ranum. Juga nanti akan kupetiki kembang-kembang melati untuk Aini.
Kalaupun seekor ular mematukku, tukang obat di trotoar pertokoan itu telah memberiku kekebalan. Gigitan ular tukang obat yang tak kukenal itu memang menyebabkan pandanganku berkunang-kunang, kaki kanan mengejang kaku. Darah seperti membeku. Tapi tak lama. Pandanganku kembali terang dan kaki kananku segera dapat kugerakkan. Kuberikan selembar uang dari dompetku, yang diterimanya dengan ucapan terima kasih berkali-kali. Tiap kali aku berbelanja untuk keperluan kios kelontongku, selalu kucari dia. Tapi tempat ia menggelar tikar, obat-obat oles, dan kotak ular selalu kosong.
Harus kusambut hari ini, pagi ke-62 umurku, saat kutukan perempuan tua dalam mimpi itu akan terjadi. Kalau benar seekor ular itu mematukku pagi ini, mungkin seperti kata lelaki setengah baya bersorban penjual obat, aku akan kebal. Tubuhku hanya merasakan sengatan patukan ular itu, mata berkunang-kunang, bagian yang dipatuk akan terasa mengejang. Tak lama. Setelah itu aku akan leluasa bergerak seperti sediakala. Tapi kalau penjual obat itu berdusta, ketika ular penunggu pohon randu alas mematukku, tubuhku akan segera kaku seperti Lik Man.
Buah-buah jambu yang ranum terus kupetiki. Teringat aku pada cucuku, Aini, yang tinggal serumah denganku, akan pulang sekolah, aku bergairah memetiki buah-buah jambu. Ia suka membagi-bagikan buah jambu pada teman-temannya dan bahagia dipuji sebagai putri yang baik hati.
Aku meraih ujung ranting pohon jambu, meloncat, agar dapat menarik ranting itu dan memetik beberapa buah jambu ranum. Kakiku menginjak seekor ular. Ular itu menggeliat, mematuk kaki kananku. Aku tak sempat memekik. Terjatuh. Merasakan patukan ular yang menyengat. Mataku berkunang-kunang. Kaki kananku mengejang.
Mungkin aku akan segera bangkit dengan tubuh segar bugar seperti sediakala, tanpa luka dan rasa sakit. Mungkin tubuhku akan segera terbujur kaku, tergeletak di rerumputan, di bawah pohon randu alas, pohon jambu, dan bunga melati. Tapi, aneh, dalam pandanganku yang berkunang-kunang, kulihat Lik Man sedang merumput. Wajahnya bahagia sekali. Di seberangnya kulihat lelaki setengah baya bersorban penjual obat. Wajahnya tenang, penuh keyakinan, dan sepasang matanya teduh.
Dari jauh, samar-samar kudengar suara Aini memanggil-manggilku dengan suara yang riang, penuh harapan,
”Kakek, mana buah-buah jambuku? Petikkan juga bunga-bunga melati untukku!”
Pandana Merdeka, April 2011
Kunang-kunang di Langit Jakarta
Oleh
Agus Noor
Ia kembali ke kota ini karena kunang-kunang dan kenangan. Padahal, ia berharap menghabiskan liburan musim panas di Pulau Galapagos—meski ia tahu, kekasihnya selalu mengunjungi pulau itu bukan karena alasan romantis, tapi karena kura-kura. Kura-kura itu bernama George.
Mata Peter akan berbinar setiap menceritakannya. Ia termasuk keturunan langsung spesies kura-kura yang diamati Charles Darwin ketika merumuskan teori evolusinya pada abad ke-19. Berapa kali ia sudah mendengar Peter mengatakan itu? Kau harus melihat sendiri, betapa cakepnya kura-kura itu. Ia botak dan bermata besar. Ia tua dan kesepian memang. Namun, sebentar lagi ia akan punya keturunan.
Ada benarnya juga kelakar teman- temannya. ”Kau tahu, Jane, itulah risiko punya pacar zoologist. Kamu harus lebih dulu menjadi primata yang menarik untuk membuatnya tertarik bercinta denganmu.”
”Justru itulah untungnya. Aku tak perlu cemas. Karena Peter lebih tertarik memperhatikan binatang langka ketimbang perempuan berambut pirang.” Dan ia tertawa walau sebenarnya merasa konyol bila menyadari: betapa ia mesti berebut perhatian kekasihnya, justru dengan binatang-binatang langka seperti itu.
Peter pernah cerita perihal burung bulbul langka yang berhasil ditemukannya bersama rombongan peneliti Worldwide Conservation Society di perbukitan kapur dataran rendah Laos; penemuan yang menurut Peter begitu menakjubkan, karena belum pernah dalam 100 tahun terakhir ditemukan spesies baru di Asia. Kau tahu, kicau burung bulbul itu jauh lebih merdu dari burung bulbul dalam dongeng HC Andersen. Bulu-bulunya hijau mengilap. Peter pernah pula bercerita tentang kucing emas yang misterius dan tak mungkin dijumpai, tapi ia berhasil melihatnya di pegunungan Tibet, sedang melesat memanjat pepohonan dengan gerakan yang bagai terbang.
Setiap saat ada kesempatan mereka bertemu—saat mereka seharusnya menghabiskan setiap menit dengan bercinta—kekasihnya justru sibuk bicara soal katak berwarna ungu yang ditemukannya di Suriname, kumbang tahi, kadal tanpa kaki, duiker merah, galago kerdil, mokole mbembe di Sungai Zambeze, sejenis tikus bermoncong panjang yang disebutnya Zanzibar, burung Akalat Ukwiva—dan entah nama-nama aneh apa lagi—sampai obsesinya menemukan spesies putri duyung yang diyakininya masih hidup di perairan Kiryat Yam, Israel. Aku akan menjadi orang kedua setelah Richard Whitbourne, kapten kapal yang pada tahun 1610 pernah melihat putri duyung di pelabuhan Newfoundland St James….
Langit mulai menggelap dan keriuhan kendaraan yang memadati Horrison Street menyelusup masuk Café Gratitude. Jane Jeniffer ingat, tujuh tahun lalu, saat ia menikmati house lemonade di kafe ini, ia bertemu dengan Peter Bekoff, yang muncul dengan seekor iguana di pundaknya. Karena nyaris tak ada kursi kosong, laki-laki itu mendekati mejanya.
”Kau tahu, kenapa aku ke sini membawa iguana? Karena kalau aku datang bersama Jennifer Lopez pasti kafe ini seketika dipenuhi paparazi, dan kau tak bisa dengan tenang menikmati house lemonade-mu itu…”
Entahlah, kenapa saat itu, ia menganggap lucu kata-kata itu. Mungkin itulah sebabnya, sering kita kangen pada saat-saat pertemuan pertama. Kita memang ingin selalu mengulang kenangan.
***
”Bukankah kau ingin melihat kunang-kunang?”
Dulu, semasa kanak, ia memang pernah terpesona dengan makhluk yang bagai hanya ada dalam buku-buku dongeng. Di San Francisco yang hiruk pikuk, tempat ia tinggal sejak kanak-kanak, ia tak pernah melihat kunang-kunang secara langsung. Ia melirik Peter yang begitu asyik memandangi kunang-kunang yang disimpannya dalam stoples. Cahaya kuning kehijauannya membias pucat.
”Ini kunang-kunang istimewa, bukan golongan Lampyridae pada umumnya. Para penduduk setempat percaya, kunang-kunang ini berasal dari roh penasaran. Roh para perempuan yang diperkosa….”
Saat menyadari Jane tak terlalu memperhatikan kunang-kunang itu dan lebih sering memandangi langit muram San Francisco yang membayang di jendela, Peter menyentuh lengannya. ”Percayalah, di sana, nanti kau akan menjumpai langit yang megah dipenuhi jutaan kunang-kunang.” Lalu suaranya nyaris lembut, ”Dan kita bercinta di bawahnya….”
Tapi ia tak merasa kunang-kunang itu istimewa, seperti dikatakan Peter. Mungkin karena saat itu, ia memendam kekecewaan, sebab tahu bahwa pada akhirnya Peter tak akan mengajaknya menikmati kehangatan Pulau Galapagos, tetapi ke kota yang panas dan bising ini.
Ini jelas bukan kota yang ada dalam daftar yang ingin dikunjunginya pada musim libur. Peter membawanya ke permukiman padat kota tua tak terawat. Banyak toko kosong terbengkalai, dan rumah-rumah gosong bekas terbakar yang dibiarkan nyaris runtuh. ”Di gedung-gedung gosong itulah para kunang-kunang itu berkembang biak,” ujar Peter. Padahal, sebelumnya ia membayangkan hutan tropis eksotis, atau hamparan persawahan, di mana ribuan kunang-kunang beterbangan. Peter seperti abai pada kedongkolannya, sibuk mengeluarkan kamera, fotograf dan beberapa peralatan lain dari ranselnya.
Ia menunggu tak jenak. Ketika senja yang muram makin menggelap, dalam pandangannya gedung-gedung yang gosong itu seperti makhluk-makhluk ganjil yang rongsok dan bongkok, menanggung kepedihan. Dan dari ceruk gelap gedung-gedung itu seperti ada puluhan mata yang diam-diam manatapnya. Seperti ada yang hidup dan berdiam dalam gedung-gedung kelam itu. Lalu ia melihat kerlip lembut kekuningan, terbang melayang-layang.
”Lihat,” Peter menepuk pundaknya. ”Mereka mulai muncul. Kunang-kunang itu….”
Itulah detik-detik yang kemudian tak akan pernah ia lupakan dalam hidupnya. Ia menyaksikan puluhan kunang-kunang menghambur keluar dari dalam gedung-gedung gosong itu. Mereka melayang-layang rendah, seakan ada langkah-langkah gaib yang berjalan meniti udara. Puluhan kunang-kunang kemudian berhamburan seperti gaun yang berkibaran begitu anggun. Beberapa kunang-kunang terbang berkitaran mendekatinya.
”Pejamkan matamu, dan dengarkan,” bisik Peter. ”Kunang-kunang itu akan menceritakan kisahnya padamu….”
Ia merasakan keheningan yang membuatnya pelan-pelan memejamkan mata, sementara Peter dengan hati-hati menyiapkan micro-mic, yang sensor lembutnya mampu merekam gelombang suara paling rendah—menurut Peter alat itu bisa menangkap suara-suara roh, biasa digunakan para pemburu hantu. Keheningan itu seperti genangan udara dingin, yang berlahan mendesir. Pendengarannya seperti kelopak bunga yang merekah terbuka; geletar sayap kunang-kunang itu, melintas begitu dekat di telinganya, seperti sebuah bisikan yang menuntunnya memasuki dunia mereka. Ia terus memejam, mendengarkan kudang-kunang itu bercerita.
”Lihatlah api yang berkobar itu. Setelah api itu padam, orang-orang menemukan tubuhku hangus tertimbun reruntuhan….”
Suara itu, suara itu menyelusup lembut dalam telinganya. Dan ia seperti menyaksikan api yang melahap pusat perbelanjaan itu. Menyaksikan orang- orang yang berteriak-teriak marah dan menjarah. Ia menyaksikan seorang perempuan berkulit langsat diseret beberapa lelaki kekar bertopeng. Asap hitam membubung. Beberapa orang melempar bom molotov ke sebuah toko, kemudian kabur mengendarai sepeda motor. Api makin berkobar. Perempuan itu menjerit dan meronta, diseret masuk ke dalam toko yang sudah ditinggalkan penghuninya.
”Lihatlah gedung yang gosong itu. Di situlah mereka memerkosa saya….”
”Mereka begitu beringas!”
”Mayat saya sampai sekarang tak pernah ditemukan.”
”Roh kami kemudian menjelma kunang-kunang….”
”Lihatlah… lihatlah….”
Ia melihat puluhan kunang-kunang terbang bergerombol, seperti rimbun cahaya yang mengapung di kehampaan kegelapan. Puluhan suara yang lirih terus menyelesup ke dalam telinganya. Ia merasakan tubuhnya perlahan mengapung, seperti hanyut terseret suara-suara itu.
”Ayo, ikutlah denganku. Ayolah, biar kau pahami seluruh duka kami….”
”Jane!!”
Ia dengar teriakan cemas.
”Jane!!”
Ada tangan menariknya, membuatnya tergeragap. Peter mengguncang bahunya, ”Jane! Kamu tak apa-apa?!” Suara-suara itu, perlahan melenyap. Tapi bagai ada yang tak akan pernah lenyap dalam hidupnya. Ia menatap kosong, seakan ada sebagian dirinya yang masih ada di sana. Seakan sebagian jiwanya telah dibawa dan terikat dengan kunang-kunang itu. Lalu ia lebih banyak diam, memandang takjub pada ribuan kunang-kunang yang muncul berhamburan dari gedung-gedung yang gosong, seperti muncul dari mulut goa. Semakin malam semakin bertambah banyak kunang-kunang memenuhi langit kota. Jutaan kunang-kunang melayang, seperti sungai cahaya yang perlahan mengalir dan menggenangi langit. Langit kota dipenuhi pijar cahaya hijau kekuningan yang berdenyut lembut; seperti kerlip bintang-bintang yang begitu rendah, dan kau bisa menyentuhnya.
Malam itu ia merasakan sentuhan dan pelukan Peter meresap begitu dalam. Ciuman-ciuman yang tak akan terlupakan. Ciuman-ciuman yang paling mengesankan di bawah hamparan cahaya kunang-kunang. Ciuman-ciuman yang selalu membawanya kembali ke kota ini dan kenangan.
***
Pertama kali, kunang-kunang itu terlihat muncul pertengahan tahun 2002, empat tahun setelah kerusuhan. Seorang penduduk melihatnya muncul dari salah satu gedung gosong itu. Makin lama, kunang-kunang itu makin bertambah banyak, terus berbiak, dan selalu muncul pertengahan tahun. Para penduduk kemudian percaya, kunang-kunang itu adalah jelmaan roh korban kerusuhan. Roh perempuan yang disiksa dan diperkosa. Orang-orang di sini memang masih banyak yang percaya, kalau kunang-kunang berasal dari kuku orang yang mati. Dari kuku orang mati itulah muncul kunang-kunang itu. Sering, orang-orang mendengar suara tangis muncul dari gedung-gedung gosong yang terbengkalai itu. Gedung-gedung itu seperti monumen kesedihan yang tak terawat.
Peter menceritakan semua itu, seolah-olah ia bukan zoologist. ”Sering kali ilmu pengetahuan tak mampu menjelaskan semua rahasia,” kata Peter, bisa menebak keraguannya. ”Bisakah kau menjelaskan apa yang barusan kau alami hanya dengan logika?”
Memang, ia hanya bisa merasakan, seperti ada yang ingin diceritakan oleh kunang-kunang itu padanya. Suara-suara gaib yang didengarnya itu seperti gema yang tak bisa begitu saja dihapuskan dari ingatannya. Ia percaya, segala peristiwa di dunia ini selalu meninggalkan gema. Seperti gema, mereka akan selalu kembali. Karena itulah ia pun kemudian selalu kembali ke kota ini. Untuk kunang-kunang dan kenangan.
Ia selalu terpesona menyaksikan jutaan kunang-kunang memenuhi langit kota. Langit menjelma hamparan cahaya kekuningan. Itulah satu-satunya pemandangan termegah yang selalu ingin ia nikmati kembali. Ia dan Peter suka sekali berbaring di atap gedung, menyaksikan berjuta-juta kunang-kunang itu memenuhi langit kota. Pada saat-saat seperti itu, sungguh, kau tak akan mungkin menemukan panorama langit yang begitu menakjubkan di belahan dunia mana pun, selain di kota ini.
”Kelak, bila aku mati, aku akan moksa menjelma kunang-kunang. Aku akan hidup dalam koloni kunang-kunang itu. Dan kau bisa selalu memandangiku ada di antara kunang-kunang itu….”
Saat itu, ia hanya tertawa mendengar omongan Peter. Semua menjadi berbeda ketika telah menjadi kenangan.
***
Ia tengah dalam perjalanan bisnis ke Louisville ketika menerima telepon itu: Peter meninggal dunia. Tepatnya lenyap. Beberapa orang bercerita menyaksikan tubuh Peter terjun dari puncak ketinggian gedung. Mungkin ia meloncat. Mungkin seseorang mendorongnya. Tubuh Peter yang meluncur itu mendadak menyala, bercahaya, kemudian pecah menjadi ribuan kunang-kunang. Penggambaran kematian yang terlalu dramatis, atau mungkin malah melankolis! Mungkin memang benar seperti itu. Tapi mungkin benar juga desas-desus itu: Peter dilenyapkan karena berusaha menghubung-hubungkan fenomena kunang-kunang itu dengan kerusuhan yang bertahun-tahun lalu terjadi di kota ini.
Dari tahun ke tahun populasi kunang-kunang itu memang makin meningkat. Kemunculan kunang-kunang yang memenuhi langit kota Jakarta menjadi fenomena yang luar biasa. Banyak yang kemudian menyebut sebagai salah satu keajaiban dunia. Menjadi daya tarik wisata. Setiap pertengahan Mei, saat jutaan kunang-kunang itu muncul dari reruntuhan gedung-gedung gosong—pemerintah daerah kemudian menetapkan gedung-gedung gosong itu menjadi cagar budaya dan wisata—banyak sekali turis yang datang menyaksikan. Para penduduk lokal bahkan telah menjadikannya sebagai acara tahunan. Mereka duduk menggelar tikar, mengadakan beberapa atraksi hiburan di sepanjang jalan, sembari menunggu malam ketika kunang-kunang itu memenuhi langit kota. Para pengunjung akan bersorak gembira ketika serombongan kunang-kunang muncul, terbang meliuk-liuk melintasi langit kota, dan berhamburan bagai ledakan kembang api. Betapa megah. Betapa indah.
Mata Jane selalu berkaca-kaca setiap kali menyaksikan itu; membayangkan Peter ada di antara jutaan kunang-kunang yang memenuhi langit Jakarta itu. Itulah sebabnya kunang-kunang dan kenangan selalu membuatnya kembali ke kota ini.
Ia tengah memandangi langit yang penuh kenang-kunang itu dengan mata berkaca-kaca, ketika seorang pengunjung di sampingnya berkata, ”Keindahan memang sering membuat kita sedih….”
Jane tersenyum. ”Saya tiba-tiba ingat peristiwa yang menyebabkan kunang-kunang itu muncul. Apakah Anda ingat peristiwa itu?”
Orang itu menggeleng. Jane tak terlalu kaget. Orang-orang di kota ini memang tak lagi mengingat peristiwa kerusuhan itu.
Jakarta, 2010-2011
Cas Cis Cus
Oleh
Aba Mardjani
Rapat dibuka bakda Isya ketika gerimis tiris dan langit malam menghamparkan warna abu-abu pucat. Sekitar 15 kepala keluarga Cibaresah berkumpul di rumah Munar. Mereka mau memenuhi undangan lantaran pengundangnya sesepuh desa. Sebagian dengan perasaan terpaksa dan masygul. Sebagian lagi cari angin. Sebagian karena ingin ngerumpi. Cuma Casmidi yang tidak hadir. Karena dia tidak diundang. Karena dialah yang membuat sesepuh desa bernama Munar menggelar rapat pada hari itu. Tapi, istri dan anaknya ada di sana.
Munar, sang sesepuh desa, berusia hampir 70-an. Meskipun kulit tubuhnya dipenuhi keriput sekujurnya, kegesitannya belum banyak tergerus. Meskipun juga tidak jelas apa mata pencahariannya, Munar mampu memberi makan empat istri dengan masing-masingnya memiliki tiga hingga lima anak. Cucunya belasan.
Namun, ini memang bukan cerita tentang Munar yang—meskipun sepuh tapi—matanya masih selalu menyemburkan api bila melihat wanita muda dan cantik. Ini soal Casmidi semata. Laki-laki yang sudah memberi Cisminah seorang anak laki-laki yang diberinya nama Cusd’amato.
Munar sangat disegani karenanya. Karena pertama, dia tertua di dusun itu. Karena kedua, dia dianggap bijak bestari. Karena ketiga, dia berilmu lahir dan batin. Setelah itu, orang lain suka atau tidak, bininya empat dan akur satu sama lain. Tak ada laki-laki senekat Munar. Karenanya, begitu dia melangkah mantap menaiki podium, semua mulut hadirin terkatup rapat. Diam menunggu. Cuma gesekan dedaunan rumpun bambu yang terdengar karena embusan angin.
Sebelum membuka mulutnya, Munar menandai penghargaannya atas kehadiran warga dengan menyapukan pandangan kepada seluruh tamunya dengan senyumnya. Tak lupa anggukan-anggukan takzimnya.
Sesaat kemudian, setelah membuka acara dengan sejumlah kalimat dan bacaan-bacaan sebagaimana mestinya, Munar menyilakan Cisminah naik ke podium untuk mengurai persoalan hidup yang tengah dihadapinya—meskipun dia tahu Cis pasti kian tersiksa karenanya.
”Cis yang sangat memahami persoalan hidup yang tengah membelit hidup dan rumah tangganya,” Munar berucap seraya menancapkan pandang matanya kepada perempuan 40-an tahun yang duduk dengan kepala tertunduk. ”Ayo, Cis, silakan.” Munar melangkah mundur dari podium.
Para undangan menunggu. Seluruh pandang mata tertuju kepada Cisminah. Perempuan itu duduk sambil terus menggenggam tangan Cusd’amato. Para undangan menakar-nakar dan menduga-duga keberanian Cis untuk maju dan berdiri di podium, membuka katup mulutnya, menceritakan laku suaminya belakangan. Cis memandang Cus. Seperti meminta dukungan. Cus menunduk tanpa reaksi. Membiarkan waktu merambat dan rambut jojosnya digoyang embusan angin yang menelusup dari sela-sela rumpun bambu.
”Cis,” suara Munar memecah sepi, setengah berbisik.
Tanpa perlu diingatkan kedua kalinya, Cis mengangkat pantatnya. Para undangan berdebar menunggu sambil terus mengikuti langkah satu-dua Cis menuju podium.
Hening lagi. Cis berdiri bagai onggok kayu. Membiarkan kepalanya merunduk dan waktu terus mengalir.
”Cis,” Munar mengingatkan.
Cis bergeming. Dua tiga kali tetap begitu.
Munar membawa langkahnya mendekati Cis. Menyisi. Cis jadi tampak imut karena ujung rambut bagian atas kepalanya tak lebih tinggi dari punggung Munar. Dia mendehem, seolah membuang sumbat dalam lubang rongga kerongkongannya.
”Baiklah,” Munar memulai. ”Izinkan aku yang bicara, Cis.” Memutar leher ke Cis yang masih merunduk. Lalu, beralih menebar pandang kepada tamu-tamu yang masih duduk diam di hadapannya.
”Cas,” kata Munar menyebut nama Casmidi, ”Sikapnya aneh, benar-benar aneh, tidak kita bisa mengerti, semenjak seminggu yang lalu.” Berhenti sesaat oleh suara batuk tertahan salah satu undangan. Pada kepala orang-orang itu berseliweran sosok Cas. Tinggi sekitar 170 cm. Kepala agak lonjong. Bibir kebiruan. Mata cekung dengan alis hitam pekat. Dahinya lebar. Sebagian rambut memutih. Warna kulit putih pucat.
Munar kemudian mengurai keanehan-keanehan Cas seperti yang sebagian besar sebenarnya juga sudah diketahui warga.
”…dua minggu lalu Cas menguras tabungannya. Membagi-bagikannya kepada orang-orang yang dia anggap sangat membutuhkan bantuan dan hanya menyisakan sedikit untuk kebutuhan keluarganya untuk sekali makan…”
Diam sejenak. Berdehem satu kali. Lalu melanjutkan:
”…Cas sekarang selalu keluar dari rumahnya pada pagi hari. Menjelang siang dia pulang dan memberi uang atau apa pun yang didapatkannya untuk makan keluarganya siang itu. Untuk makan keluarganya di sore hari, Cas berangkat lagi dari rumahnya entah ke mana dan baru kembali menjelang sore untuk memberikan pendapatannya kepada keluarganya…”
Munar mengatur sengalnya.
”…seminggu lalu, Cas menjual barang-barang di rumahnya. Televisi, radio, sepeda… Cas melepas lima burung perkututnya, melepasnya begitu saja. Burung-burung klangenan itu beterbangan tak karuan. Ada yang kembali ditangkap tetangga. Cas diam saja. Membiarkan. Seperti tidak tahu…”
Munar kembali mengatur napas. Cis terduduk serupa patung. Cus di kursinya menatap ruang kosong. Tanpa reaksi.
”…Cas juga membagi-bagikan pakaian-pakaiannya dan pakaian-pakaian anak dan istrinya yang masih layak pakai. Menyisakan satu dua potong belaka. Isi rumahnya hampir melompong…”
Munar mendongak seperti memikirkan sesuatu. Lalu katanya lagi:
”…Cis kemarin mendatangi saya. Menangis terisak. Katanya Cas sudah menjual sepetak sawahnya. Uangnya tidak dibawa pulang. Diserahkan kepada amil masjid. Amal jariah katanya. Selain tanah dan rumah yang kini ditempati, Cas tak punya apa-apa lagi.”
”…itu mungkin baru sebagian yang kita sama-sama tahu. Kita belum tahu apa saja yang sudah dilakukan Cas, laku aneh yang tidak kita mengerti…”
Munar terdiam sesaat. Seperti menunggu reaksi 15-an orang yang duduk di hadapannya tanpa suara. Karena tidak ada yang berani membuka suara, Munar melanjutkan:
”…ada yang bertanya?” dia bertanya. ”Ada yang bertanya mengapa Cas melakukan hal itu? Tidak ada. Kalau begitu, baiklah saya jelaskan saja garis besarnya.”
”Bagi Cas,” Munar memulai lagi, ”Manusia bisa mati kapan saja. Bisa sekarang, satu menit kemudian, satu jam kemudian, satu hari kemudian, satu minggu, satu bulan, satu tahun… kapan saja. Karena itu, Cas merasa ndak perlu punya tabungan atau simpanan makanan atau uang bahkan untuk besok pagi, untuk sore hari, untuk besok, minggu depan, bulan depan, atau tahun depan. Semua simpanan kita, uang, makanan, pakaian, kendaraan, rumah, tanah, tidak ada artinya bila kita tiba-tiba semaput dan mati. Semuanya akan kita tinggalkan. Yang kita bawa cuma raga kita dan amal kita…”
Mulai terdengar bisik-bisik. Seperti suara lalat. Munar membiarkan.
”Coba tenang,” Munar memulai lagi. ”Cis menangis kepada saya, meminta saya mencarikannya jalan keluar. Apa sebaiknya yang harus dia lakukan? Saya memberinya beberapa pilihan. Pertama ikut saja apa kata dan laku Cas yang penting setiap hari bisa makan, bisa pakai baju, tidak kelaparan, ndak kedinginan karena Cis mengaku masih cinta sama Cas. Yang kedua, ini bukan anjuran, ini cuma pilihan jalan keluar, yaitu bercerai saja dari Cas. Berpisah. Memilih jalan hidup masing-masing. Sudah tentu pilihan itu ditolak Cis karena Cis masih cintrong sama Cas. Cas, kata Cis, hebat di…” Munar menahan senyum.
Para undangan pun senyum-senyum sembari bersidakep. Malam terus merayap. Bulan mulai ngintip dari langit pucat. Gerimis menyisakan dingin.
”Sudara-sudara karenanya saya minta berkumpul di sini. Untuk membantu Cis mencari jalan keluar. Makin banyak kepala makin banyak ide. Juga pikiran. Siapa tahu di antara kita yang ternyata sangat pintar sehingga punyalah pilihan jalan keluar.”
Munar berhenti. Menunggu.
”Coba, siapa yang mungkin bisa membantu? Angkat tangan,” kata Munar karena tak ada yang berani angkat suara.
”Mungkin Tasmin,” Munar menatap Tasmin, ”Atau Amri, Nazar, Suyag, Tanta, Fudin, Haripur, Amsai, Zali, Bidin, Zubir, Akhyar, Dayus, Hayat, Anas…” Munar menyebut semua nama tamunya. Lalu tersenyum. ”Siapa saja boleh membantu. Membantu orang yang dalam kesulitan itu berpahala…”
Zubir mengangkat tangan. Wajah Munar sumringah. ”Nah, lihat, Zubir mengangkat tangannya. Mari kita dengar apa bentuk sarannya. Mudah-mudahan sesuatu yang cerdas. Silakan, Bir.”
Zubir berdiri. Tanpa memandang ke kiri dan kanan, dia memulai. ”Maaf, menurut saya, ternyata tidak ada gunanya kita berkumpul di sini. Apa yang dilakukan Cas itu benar. Benar sebenar-benarnya. Bahwa tidak ada gunanya kita memenuhi lemari dengan pakaian yang belum tentu kita pakai semuanya. Tidak ada gunanya kita menumpuk harta, uang, makanan, yang belum tentu bisa kita belanjakan, belum tentu kita makan. Jadi, Cas, sekali lagi, benar sebenar-benarnya…”
”Cukup, Bir,” Munar coba memotong.
Zubir menutup mulutnya. Duduk. Namun, sejurus kemudian, suasananya jadi riuh. Oleh bisik-bisik. Kian lama kian keras. Tak bisa dikendalikan.
”Diam! Diam!” Munar berteriak nyaring.
Namun, tak ada yang peduli. Satu per satu tamu-tamunya bangkit. Meninggalkan tempat itu.
”Hei! Tunggu! Tunggu! Pertemuan belum ditutup!” Munar terus berteriak. Lalu menyambar tangan Akhyar.
”Pada mau ke mana kalian?”
”Ke rumah Cas,” Akhyar menjawab. Mantap. ”Kami ingin seperti dia. Dia benar sebenar-benarnya.”
Bidin mendekati Munar. Mulutnya menempel ke kuping Munar. Lalu berbisik. ”Cas itu…wali.”
Cis menyorotkan tajam matanya kepada Munar. Juga Cus. Munar gelagapan.*
* Tn Kusir, Juni 2011
T U N G G U
Oleh
Djenar Maesa Ayu
Waktu menunjuk pukul tujuh. Di sudut kafe ketiak saya berpeluh. Namun tak bisa mengeluh. Kecuali pada ponsel yang suaranya tak juga melenguh.
Dua belas jam yang lalu ada yang mengaku akan datang. Yang saya harapkan selalu di kafe itu senyumnya akan mengembang. Ketika melihat saya. Karena berdekatan dengan pujaan hati, katanya. Biasanya kami akan menghabiskan waktu dengan percakapan. Saling bertatapan. Saling bertukar harapan. Harapan untuk bisa merapat dan berdekapan. Di suatu tempat yang jauh dari kegaduhan.
Namun, sebenarnya, hati saya selalu gaduh. Ketika di atas tubuhnya saya mengaduh. Karena setelahnya saya akan mengeluh. Bertanya, ke manakah hubungan ini akan berlabuh?
”Kenapa perlu dipertanyakan, Sayang. Kita sedang berlabuh ke sebuah ketidak-tahuan yang memabukkan.”
”Hah?!”
Saya bukan orang yang mengerti bahasa isyarat. Apalagi kalau itu mengandung makna filosofis berat. Saya cuma tahu karena saya merasa. Bukan karena teori-teori yang tercantum dalam buku-buku yang pemikir sepertinya biasa baca. Saya hanya mau mencinta. Apakah lewat buku-buku bermartabat itu baru cinta bisa dicerna?
Ia selalu menyebutkan nama-nama terkenal yang saya tidak kenal. Ia selalu menyebutkan nama-nama yang bahkan di dalam kepala saya pun tak akan lama mengental. Badiout? Platoy? Badut yang letoi, begitu yang selalu ada di dalam kepala saya tercantol. Bukan karena pemikiran mereka tentang kebenaran yang tidak saya pahami. Tapi lebih karena setiap kali melihat badut yang letoi, saya merasa tak sampai hati.
Saya tidak pernah habis pikir mengapa ada karakter semacam badut di sirkus. Rata-rata mereka sebenarnya berbadan kurus. Bermuka tirus. Hanya kosmetik di mukanya memberangus. Dan buntalan di perutnya yang besar membungkus. Sehingga ia kelihatan lucu dan mungkin bagus. Bagi mata orang-orang tua yang membawa anak-anaknya hanya untuk sejenak melupakan haus. Haus hiburan. Haus kebersamaan. Haus tertawa bersama dalam suasana kekeluargaan. Padahal mata anak-anak itu mungkin bisa melihat apa yang ada di balik mata badut-badut. Mata yang bersungut. Dan mulut yang merengut di balik riasan begitu lebar dan memerah di mulut.
Salah satu mata anak-anak itu, adalah mata saya. Mungkin di antara banyaknya anak-anak itu, hanya saya satu-satunya. Melihat badut yang itu-itu saja di setiap pertunjukan sirkus apa pun dan di mana pun juga. Badut yang letoi. Letoi yang adalah seperti tak bersendi dalam bahasa asli Jakarta. Dan selalu ada garis merah di bawah mata mereka seperti air mata. Jadi saya tidak pernah mengerti mengapa mereka menertawakannya. Bahkan sampai sekarang, ketika usia saya menginjak dewasa.
Menertawakan kesedihan. Menertawakan kebersamaan. Menertawakan keadaan merekakah yang terpaksa datang bersama sanak keluarga hanya atas nama kekeluargaan? Menertawakan diri mereka sendiri. Dan untuk itu ada harga yang harus mereka beli?
”Hahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahhahahahahahahaha.”
Akhirnya saya tertawa lepas sebelum ia menjawab reaksi saya. Sangat lepas melebihi tawa saya melihat badut-badut letoi di sirkus. Berikut binatang-binatang yang tidak seharusnya diberangus. Sangat sangat lepas melebihi tawa-tawa dengannya yang sudah hangus.
”Kenapa kamu ketawa, Sayang? Saya kan udah bilang, kalau kamu mau jadikan anak kita, sekarang saatnya. Saya tidak akan bisa kasih anak ke kamu lagi mengingat umur saya sudah lima puluh tahun sekarang. Tapi, saya tidak bisa jamin apakah saya bisa tanggung jawab secara material.”
Kupu-kupu melebarkan sayapnya tepat di depan bebungaan di mana kami duduk. Ia pun melebarkan jangkauan tangannya di mana tangan saya sedang diam merunduk. Mencoba meredam tawa saya yang sudah terdengar seperti orang mabuk. Tenang gerakannya sangat saya tahu sebenarnya memendam rasa amuk. Karena itu segera saya kibaskan tangan itu berpura-pura menghalau nyamuk.
”Kamu…”
”Hah?!”
Saya memotong kalimatnya. Persis seperti apa yang dilakukan badut-badut ketika berada di atas arena. Berteriak ketika ada yang mengolok-oloknya. Terjatuh. Mengaduh. Berlari. Tanpa berani memaki. Menghilang ke balik panggung. Disertai dengan sorak-sorai dan tawa menggunung.
Sorak-sorai itu yang mengingatkan saya atas kutipan-kutipan yang disebutkan ia dari nama-nama pemikir. Membuat saya mencibir. Karena ada letupan kembang api di kepalanya. Dan warna-warni serpihan kembang api itu jatuh ke bahunya. Ia tidak pernah mengetahuinya. Maka, ia tak merasakannya. Ketika serpihan kembang api itu melumatnya. Bahkan ketika ia berkata,
”Kenapa perlu dipertanyakan, Sayang. Kita sedang berlabuh ke sebuah ketidak-tahuan yang memabukkan.”
Tapi di manakah sekarang ia?
”Hah?!”
Terkejut saya ketika bahu ditepuk seseorang.
”Boleh saya ambil bangku yang tak terpakai?”
”Hah?!”
Saya tidak bisa menentukan. Saya sudah menunggu dua jam dengan perut kram akibat pengguguran. Namun ia tak juga datang. Tapi apakah saya harus menyerahkan bangku kosong di sebelah saya ke seseorang?
Seseorang yang membutuhkan bangku tambahan di mejanya karena ia bersama banyak teman tak terkecuali perempuan?
”Boleh saya pakai bangkunya, Mbak?”
Saya menatapnya.
”Maaf, ada yang saya tunggu.”
”Waktu?”
Waktu menunjuk pukul tujuh.
Jakarta, 19 Agustus 2011 10:14 AM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar