Kamis, 10 November 2011

CERPEN KORAN TEMPO



Pantai Cermin
Oleh
Dewi Kharisma Michellia



 
 
 
 

“PAK, sudah ketemu kuncinya?”

Saya sering mendengar orang-orang yang bersyukur atas hidupnya berkata bahwa setiap hari dalam hidup ini memberikan anugerah tersendiri.

“Nak, masukkan koper-koper ini ke dalam mobil. Aduh, kenapa mesti disuruh-suruh? Mana adikmu?”
Jika orang-orang itu mengagumi betapa misterius waktu, maka semestinya mereka juga begitu terhadap ruang.

“Kalau kita berangkat sekarang, apa masih sempat lihat matahari terbit, Pak?”

Setiap tempat pasti mempunyai sesuatu yang berharga dan hanya dapat dirasakan oleh dia yang terikat dengan tempat tersebut.

“Ah, kenapa mesti merayakannya di laut lagi, Ayah!”

Saya sendiri selalu terikat dengan hari dan tempat kelahiran saya. Saya terikat pada laut. Saya terlahir di atas kapal. Tepat hari ini, empat puluh delapan tahun lalu.

“Itu karena Ayah hobi memancing, Kak!”

Saya pernah membaca bahwa kita mencintai kehidupan, bukan sebab kita sudah biasa hidup. Namun karena kita biasa mencintai. Saya bersyukur telah diberi tempat dan waktu yang tepat, yang membuat saya betah mencintai kehidupan.

“Ih, anak kecil ingusan. Baru lahir kemarin, sudah sok tahu. Ayah lahir di atas kapal, tahu! Pasti karena alasan itu. Iya, kan, Ayah? Ah, tapi kalau ulang tahun Ayah kita rayakan di atas kapal, kan kita jadi bosan juga!”
Seperti banyak orang seusia saya, sekarang saya pun berada di puncak karir.

“Kalian ini! Kata-kata Bunda keluar-masuk telinga kanan-kiri terus, ya? Masukkan dulu barang-barang kalian ke dalam bagasi! Sudah beres-beresnya lama, masih pakai acara ribut pula! Sana, sana!”

Saya tidak tahu puncak seperti apa yang saya alami. Namun saya sadar betul betapa Tuhan telah begitu murah hati kepada saya: saya dipertemukan dengan istri yang begitu mencintai saya dan kami dititipi anak-anak yang saya yakin bisa menjadi lebih baik dari saya sekarang ini.

“Bagaimana, Pak? Sudah ketemu, kan, kuncinya?”

Selama ini saya memiliki kehidupan yang menyenangkan. Tatapan mata istri saya begitu indah. Bagaimana mungkin saya berpaling dari nikmat kehidupan ini?

“Sudah, Bu. Ayo kita berangkat. Semuanya sudah beres.”

Kalau ada hal lain yang mengisi hidup saya sekarang mungkin itu adalah petualangan yang masih saya lakukan hingga saat ini. Memancing, menghilang dalam keterasingan.
Laut adalah keterasingan itu.
 .

PANTAI dan matahari di ufuk timur. Barang-barang bawaan kami masih di dalam mobil. Kami membawa begitu banyak barang dari Jakarta. Beberapa hari belakangan kami telah singgah di sejumlah penginapan. Barang-barang itu masih di dalam mobil karena seusai berlayar saya akan melanjutkan perjalanan ke rumah keluarga.

Dan kami tiba di Pantai Cermin.

Kalau saya pikir-pikir, sebenarnya setiap saat laut selalu berwujud seperti ini. Seperti benda-benda langit yang tidak pernah hilang di atas sana. Seperti planet-planet yang mengitari matahari. Hanyalah letaknya yang berubah-ubah.

Saya selalu mengibaratkan kejadian di muka bumi ini dengan lautan. Sebenarnya semua ciptaan-Nya telah 
terasing di lautan-Nya. Semua orang tenggelam di laut semesta. Bergoncangan, beradu dengan ombak. Kita menangis saat bahagia dan kita tertawa saat bersedih. Dan pada akhirnya orang-orang yang kita cintai akan pergi. Sampai nanti kita sendiri juga pergi.

“Ah, untung kita bisa lihat matahari terbit!”

Kata paman saya, tali pusar saya dibuang di lautan ini. Ayah saya dengan cekatan membersihkannya dengan air kelapa, menaruhnya dalam wadah kemudian melemparnya ke laut.

“Kali ini aku pasti bisa menangkap ikan lebih banyak dari Kakak.”

Cakrawala membentang luas, aroma pantai yang asin tidak lagi asing.

“Ah, ngaco kamu. Mana mungkin. Setidaknya kamu mesti minta restu dulu dari tali pusar Ayah! Seperti aku nih!”

Putra sulung saya berlari ke arah ombak.

“Kenapa tidak minta restu langsung ke Ayah saja, sih? Kakak curang! Jangan mencuri start!”

Adiknya menyusul di belakangnya. Berlari tidak kalah kencang daripada kakaknya.

“Salah sendiri. Larimu lambat sekali sih, bocah!” tawa sang kakak membahana.
Beberapa jarak dari kami orang-orang yang saya kenal telah melambaikan tangan mereka ke arah saya. 

Mereka yang selalu tersenyum bukan karena bahagia tetapi karena telah terbiasa. Orang-orang pantai memang segigih itu. Seharusnya saya juga.

Kapal kecil di belakang mereka masih kapal yang tahun lalu kami gunakan berlayar. Kami selalu menggunakannya hanya untuk memancing. Anak-anak saya tidak pandai memancing. Mereka lelaki, dan saya kira lelaki harus pergi memancing.

Istri saya selalu menunggu di pantai dan berbincang-bincang dengan istri-istri para nelayan. Dia menyukai anak kecil. Dia telah terbiasa diperhatikan oleh anak-anak nelayan. Tahun ini dia pasti menyiapkan sesuatu untuk bocah-bocah itu.

“Sini! Mana umpannya? Dasar bocah! Apa-apa lambat!”

“Tunggu dulu, kenapa? Mengalah pada yang lebih kecil!”

“Mengalah? Lelaki bertarung tanpa pandang umur!”

Kedua putra saya adalah pecanda yang menyukai musik. Banyak musik yang mereka perdengarkan di acara kumpul-kumpul memang terdengar lucu di telinga saya. Saya selalu mengira musik itu meningkatkan selera humor mereka. Adu mulut mereka pernah begitu sengit tetapi saya percaya selalu ada canda di sana.

Istri saya bercakap-cakap dengan istri para nelayan itu. Saya tahu ada yang berbeda.

Ada dua bocah kecil yang kami lihat tahun lalu tidak lagi terlihat bersama sang ibu. Padahal istri saya pasti sudah membawakan sesuatu untuk mereka.

“Anak kami meninggal beberapa bulan setelah kunjungan terakhir Bapak ke sini,” kata nelayan itu.
Saya berusaha melihat raut sedih di bawah capingnya.

Padahal gadis itu, Pala, adalah gadis yang begitu lincah. Dialah yang membantu ayah-ibunya menyiapkan tempat menginap untuk kami tahun lalu. Anak-anak kami senang mengusili Pala, tetapi gadis itu selalu tersenyum.

“Meninggal? Ada apa?”

Si Sulung dan si bungsu yang sedang ribut di sekitar kami tiba-tiba terdiam. Mereka berusaha untuk menyimak. Saya merasa waktu seolah turut berhenti saat mata mereka terbuka menanti penjelasan.

“Hilang di laut ini. Dia bilang dia melihat sesuatu, ada orang yang tenggelam. Dia terjun dari sampan untuk menolong orang itu. Kami di sini tak melihat apa-apa saat itu. Namun dia terus berenang, dan akhirnya hilang dari pandangan saya.”

Saya sudah menyangka demikianlah cara Pala akan kembali ke rumah sejatinya. Saya selalu berpikir bahwa orang-orang yang baik akan mati di tempat yang paling dicintainya. Saya pun mungkin akan mati di laut ini suatu saat nanti.

Akan tetapi—hilang?

“Sampai sekarang tubuhnya belum ditemukan.”

Dan percakapan tidak diteruskan lagi.

Kemudian ayah Pala berlayar sendiri. Saya dan dua putra saya bersama dengan seorang nelayan lainnya memancing ke tengah, agak lebih jauh darinya.

Menurut nelayan yang berlayar bersama kami, ia memang biasa menyendiri. Menatap permukaan air laut dan merenung. Kalau saya tidak menduga suasana hatinya saat ini, saya tentu tak akan mengira ia sedang berkaca di perairan. Berkaca, seolah siap tenggelam.

Ayah Pala mendahului kami kembali ke pantai. Perahu kami mengikutinya di belakang. Kakinya begitu kekar memijak pasir pantai. Istrinya menyambutnya di sana. Ada seorang bocah kecil menemaninya, mungkin anak bungsu mereka.

Istri saya menyentuh bahu bocah itu.

Beberapa saat sebelum saya sampai di pantai, keluarga nelayan itu telah pulang.

“Sudah kubilang aku yang akan menang, Bunda. Anak kecil mana bisa menang dari yang lebih tua,”si sulung menunjukkan tangkapannya kepada ibundanya.

“Kau dapat ikan lebih banyak. Tapi ikanku lebih besar-besar, Bunda! Lihat ini!” si bungsu menimpali.
Ibu mereka hanya tersenyum.Wajah sendu itu sudah menjadi cerah beberapa jam belakangan ini. Wajah yang sama seperti yang kutemukan pada nelayan tadi.
 .

“PANTAS saja namanya Pantai Cermin, Pak,” istri saya berujar di dalam mobil.

“Orang-orang selalu bisa bercermin di pantai ini. Dari hasil tangkapan anak-anak kita saja sudah kelihatan. Si sulung selalu punya banyak cita-cita. Tertarik pada semua hal, tapi kurang teliti. Si bungsu memang meniru si sulung, tapi selalu mengharapkan hal-hal yang lebih besar dari kakaknya.”

Saya merenungi perkataannya sejenak. Apakah saya tadi sempat bercermin juga di laut?

“Bapak nelayan tadi tiap hari bercermin. Kata istrinya, ia mencari sosok anaknya yang hilang. Tiap hari ia bercermin di sana.”

Si sulung dan si bungsu tertidur sejak tadi di kursi belakang.

“Bapak juga selalu bercermin ke pantai itu, kan?”

Saya tidak menyangka istri saya akan melanjutkan kata-katanya.

Agaknya jika saya terlalu larut memandangi pantulan diri saya di cermin, saya tak pernah sadar bahwa saya sedang bercermin.

“Setiap tahun Bapak selalu datang ke sana untuk bercermin. Mungkin karena Bapak lahir di sana.” (*)
 .
.
Dewi Kharisma Michellia lahir di Denpasar, Bali, 13 Agustus 1991. Kini tinggal di Yogyakarta.







Setubuh Seribu Mawar
Oleh
Yanusa Nugroho




 
 
 
 

“JANGAN pernah mempercayai kata, sebelum kau mengenali maknanya. Dan jangan pernah menganggap kau bisa memaknainya, sebelum kau mampu merasakannya,” kera tua itu berkata, sambil mengerkah jambu biji merah.

Sekujur tubuhnya ditumbuhi beribu helai perak, sehingga siapa pun di rimba itu akan dengan mudah menyebutnya sebagai kera cahaya.

Sebagian hewan yang mendengar ucapannya terangguk-angguk tak paham. Sebagian yang lain hanya tersenyum dan menganggapnya sebagai bualan makhluk yang pikun dan kesepian.

“Ayo, masuk. Sudah berapa kali ibu bilang, jangan dengarkan ucapan dia,” seekor ular menghardik anak-anaknya, sambil menggiring mereka memasuki lubang.

“Kenapa? Dongeng kera itu bagus-bagus, Bu,” sela yang paling kecil agak merajuk.

“Kau tahu, dia lebih tua daripada usianya sendiri. Itu sebabnya pikirannya jadi kacau dan bicaranya meracau.”

“Tapi…,” si kecil hendak bersikeras, tapi si ular sudah terlanjur menggelandangnya masuk liang.

“Hmm. Aku ingat, sepertinya kau mengulangi kata-kata seseorang?” terdengar suara si gajah yang sejak tadi berendam di sungai dekat batang jambu biji itu tumbuh.

“Hahahaha. Kau memang layak dijadikan lambang ilmu pengetahuan. Daya ingatanmu sangat besar. Benar, Kawan. Aku hanya mengulangi sebuah ucapan yang ditulis entah oleh siapa.”

“Jadi kau bisa baca tulis?” celetuk seekor ulat bulu.

Si kera tak menjawabnya, asyik menikmati jambu biji yang kelihatannya manis itu. Beberapa kera kecil menelan ludah, mencoba membayangkan kesegaran itu menyegarkan kerongkongan mereka. Burung-burung kecil mencoba mencari-cari kesempatan untuk mematuk satu atau dua remah kecil yang tersangkut di bulu sekitar mulut si kera cahaya.

“Begini,” sambungnya tiba-tiba setelah menelan gigitan terakhir buah jambunya, “sebuah anak panah hanya akan menjadi anak panah jika pertama-tama kau merasakannya sebagai anak panah. Namun jika kau merasakannya sebagai mawar, misalnya, dia pun akan menjadi mawar seutuhnya.”

Hutan senyap seketika. Angin seperti beku mendadak. Aliran air di sungai seperti berhenti. Batu-batu seperti makin mengeras. Langit seperti menganga. Burung-burung seperti hendak jatuh, karena sesaat lupa mengepakkan sayap. Tapi itu hanya sesaat. Sesaat kemudian yang terjadi adalah sebuah ledakan besar. Ledakan gelak tawa luar biasa. Air berjingkrak kegelian. Gajah tersedak air yang tiba-tiba melonjak memasuki lorong belalainya. Batu-batu menggelinding dan saling membenturkan diri ke batu yang lain. Langit terlalu terang karena matahari seperti melorot begitu saja ke bumi. Burung-burung mengepakkan sayap kembali.

Kera tua itu menjadi bahan olokolok seluruh dunia. Ucapannya yang sebetulnya lahir dari kesungguhannya, ternyata hanya membuahkan gelak tawa penghinaan. Tetapi dia sudah tua dan paham benar muara setiap persoalan. Karenanya, dia tenang-tenang belaka, pura-pura mencari kutu, itu pun kalau masih ada kutu yang mau melekat di tubuhnya.

“Jadi,” kata si kuda betina, sambil menahan tawa, “kalau si kambing jantan ingin menunggangiku, aku harus merasakannya sebagai si banteng, dan jadilah dia banteng, begitu maksudmu?”

Gelak tawa kian menggila. Si kambing memelototi siapa saja, terutama si kuda betina yang kian liar menggoyangkan pantatnya.

“Kambing tetaplah kambing. Mana bisa jadi sebesar banteng?” Gelak tawa makin membahana.

Hutan rimba riuh gaduh. Hanya keheningan yang menelusupi hati si kera cahaya. Dia memilih pergi, mencari danau kesenyapan. Barangkali saja di sana tak ada sebisik pun suara yang tak berguna. Diam-diam si gajah mengikutinya. Dan itu membuat si kera tersenyum.
 .

DIA tahu, gajah adalah makhluk pendiam dan pencatat peristiwa paling cermat. Daya ingatnya yang tak tertandingi makhluk apapun di dunia ini, membuatnya memilih menjadi batu bergerak yang seringkali diabaikan. Apapun yang tergores di benaknya, akan abadi di sana.
“Apakah yang kau maksudkan tadi adalah kisah kematian seorang brahmana sakti itu?” bisiknya di sela langkahnya yang berat.

Kera cahaya melompat ke punggungnya, dan sambil tiduran dia pun membenarkan pertanyaan si gajah.
Konon, demikian si gajah mulai mengurai kisahnya, brahmana ini memiliki 105 orang cucu. Padahal dia sendiri tak pernah merasakan kelamin perempuan. Keturunan itu dia peroleh bukan melalui persetubuhan, tetapi melalui daya cipta yang kuat. Kekuatan daya ciptanya memancar dan bersemi di rahim tiga perempuan suci.

Tapi kisah yang baru sepotong itu sudah dipangkas oleh bantahan si kera bahwa bukanlah brahmana itu yang memiliki cucu, tetapi saudara sesusunya. Dengan demikian anak dan cucu saudara sesusunya itu adalah juga keturunan si brahmana.

“Yang aku katakan tadi adalah apa yang kuketahui, bukan apa yang sebaiknya kuketahui, Monyet,” ucapnya tenang. Si kera cahaya hanya tertawa girang.

“Lanjutkan.”

“Begitulah, waktu berjalan sebagaimana seharusnya dan nasib membentuk sendiri kisah-kisahnya. Keseratus lima orang cucunya berselisih. Lima melawan seratus, memperebutkan sebentang kerajaan. Si brahmana sedih. Dia merasa gagal menjadi manusia karena seharusnya manusia adalah sumber ketenteraman di muka bumi, bukan sebaliknya.”

“Tapi bukankah dia memilih memihak pada yang seratus? Bukan pada yang lima?”

“Benar. Apa salahnya dengan itu?” sahut si gajah tenang.

“Artinya, percuma saja dia sedih oleh selisih dan tikai jika pada akhirnya dia menjalani juga apa yang tak diinginkannya?”

“Dan seingatku, bukankah kau ada di sana waktu itu, Monyet?” Si kera cahaya hanya tertawa kecut, dia senang memancing-mancing di mana saja.

Ingatan si kera cahaya melayang ke beberapa ratus bulan silam. Semuanya seperti segulung deluwang panjang yang menggelar kisah-kisah yang lama tersimpan di dunia para makhluk bumi. Kisah-kisah itu berlompatan riang, seperti terbebas dari pengapnya kebodohan. Bersusul-susulan cerita-cerita itu menerjang kenangan si kera cahaya. Namun semuanya hanya seperti penari cantik yang hanya menggoda mata dengan helai tipis penutup tubuhnya. Tak boleh ada yang menjamahnya dan tak mungkin pula ia terjamah, hanya mata belaka yang boleh berzinah.
 .

SATU kisah tiba-tiba diam bersimpuh di mata batin si kera. Kisah paling cantik yang pernah dijumpainya. Hanya sepenggal percakapan di senja hari, ketika para kalong keluar sarang dan para kerbau pulang kandang. Si kera gemetar.

Itulah senja ketika si kera duduk di sebuah dipan tombak dan anak panah di mana terbaring si brahmana sakti. Keduanya terdiam. Si brahmana menatap langit berlapis tujuh yang mulai gelap menembaga, sementara si kera cahaya memandangi bentangan padang mayat dengan kepulan asap di sana sini.

“Jadi, kehancuran inikah yang kau maksud, wahai orang tua?” si kera bertanya setengah menggumam.

Brahmana tua yang tubuhnya tersangga oleh tombak-tombak dan anak-anak panah itu tersenyum, lalu balik bertanya apa yang dirasakan si kera. Dengan agak jengkel dia pun bertanya apa sesungguhnya maksud si brahmana.

“Biarlah rasa menuntun makna dan makna menuntun kata,” ucapnya semanis madu selembut embun saat subuh hari. “Jika kau merasakan kehancuran, maka kata yang tepat untuk pemandangan ini bagimu adalah kehancuran. Namun aku merasakannya sebagai pencapaian kepada pancamaya.”
Si kera tertegun. Sesaat nafasnya terhenti.


Menurut leluhur para kera, jin dan manusia, demikian kata brahmana itu selanjutnya, pancamaya adalah rahasia ilmu abadi, yang hanya bisa dikupas dengan memadamkan kelima daya inderawi. Dia tak bisa disebut dekat atau jauh, karena kedua kata itu tak mampu menunjukkan keberadaannya yang sejati. Jika mata inderawi yang digunakan untuk melihatnya, maka terbutakanlah mata itu untuk mencapainya. Jika telinga inderawi yang digunakan untuk mendengarnya, maka hanya dengung sepi yang mengumandang.

“Pancamaya?” ulang si kera kala itu dan brahmana tersenyum mengiyakan.

“Lalu apakah lima cucumu itu yang kau maksudkan? Bagaimana dengan yang seratus?”

“Ah, kera buruk rupa dan keras kepala! Semua itu hanya sebuah kata. Kau menyebutnya lima dan seratus karena matamu melihat dan otakmu menghitung. Tinggalkan itu semua, karena hanya akan menipumu ke dalam kemayaan.”

“Ah, bingung aku.”

“Dasar bodoh. Kalau kau tak mau merasa, maka selama dunia ini tergelar, kau akan tetap jadi kera.”

“Apa maksudmu? Aku saja ngeri melihat beribu anak panah menembus tubuhmu, tombak mengoyak lambung dan dadamu, dan kau masih hidup. Apa kau tak merasa sakit? Sederhana saja, bukan? Lantas untuk apa semua kengerian ini sementara kau sekarat tak mati-mati?”

“Dengarkan baik-baik, monyet jelek. Demi melihat kebenaran aku bersedia mematikan seratus rasaku. Demi menyibak pancamaya, aku bersedia menghancurkan bukan hanya tubuhku. Apalah artinya usiaku, yang bahkan tak pernah kumiliki? Apalah artinya setiap nafasku, yang juga tak pernah kukuasai? Dan jika hidup ini saja rela kuhancurkan demi munculnya pancamaya, maka apalah arti seribu anak panah dan tombak yang hanya mengoyak tubuh rentaku? Dan rasakan dengan cermat apakah benar yang mengoyak tubuhku ini anak-anak panah? Apakah tak kau saksikan sebetulnya tubuhku ini adalah sebidang taman bermawar merah yang membukit, beribu mawar yang membuncah dengan suburnya dan mengharum ke angkasa raya?”

Seketika si kera jatuh dari punggung gajah. Si gajah hanya tersenyum karena dia pun mengikuti ingatan si kera. Dengan diam-diam tentu saja. Itu sebabnya gajah tak bertanya mengapa.

Sedikit merasakan sakit, si kera buru-buru memanjat punggung gajah kembali dan menikmati keheningan.

“Kira-kira, apakah dia sudah mencapai pancamaya?”

“Mungkin? Kita tak pernah tahu. Mungkin saja dia masih minum-minum bersama Attar si pengharum itu, bertukar jawab tentang sebuah nama yang tak satu pun lidah makhluk bahkan mampu melafalkannya dengan benar.”

Kera cahaya, memerak putih bulu-bulunya, terdiam. Dia merasa sudah saatnya dia menempuh jalan rasa, mematikan jalan kasat mata, menghidupkan pancamaya. Bersama si gajah, kera cahaya itu berjalan menapaki jalan rasa sehingga matahari menuntunnya sampai ke batas antara langit dan bumi maya. (*)
 .
.
Yanusa Nugroho tinggal di Jakarta. Buku-bukunya antara lain Segulung Cerita Tua (kumpulan cerita pendek, 2002) dan Boma (novel, 2005).
.
 
 
 
 
 

Tidak ada komentar: