Minggu, 06 November 2011

CERPEN KOMPAS




 
 
 
TULANG BELULANG
 
Oleh
Rama Dira I
 
 
 
Kini, kemana pun pergi, tulang belulang anaknya itu selalu ia bawa. Semuanya bermula dari kematian sang istri. Nyawa perempuan itu habis di tangan sendiri. Ia terjun bebas dari lantai dua belas. Pikiran sehatnya tandas setelah mendapati perutnya semakin membesar, berisi benih majikannya. Pada akhirnya, perempuan itu pulang dari negeri yang jauh dengan kondisi yang tak manusiawi, dalam sebuah peti mati murahan.
Lelaki itu tak bisa mengelak dari kenyataan yang menyakitkan ini. Serta-merta ia terhempas ke dalam duka yang nyaris tanpa ujung. Bukan semata tersebab kehilangan orang yang begitu ia cintai tapi juga sumber penghidupan. Selama ini, istrinya itu rutin mengirimkan uang asing dari negeri asing yang jika dirupiahkan, jumlahnya bisa membiayai lebih dari cukup hidupnya bersama anak semata wayang mereka.

Kenyataan yang tak dinyana itu memaksanya kembali menggeluti pekerjaan semula, berjualan obat tradisional racikan sendiri, di pasar. Tak seberapa uang yang bisa diperoleh dari situ. Bahkan, sering kali ia tak beroleh rupiah sama sekali. Masa jayanya tak lagi berbekas. Telah banyak penjual obat yang bermunculan sepeninggalannya. Orang-orang itu lebih lihai menggoda calon pembeli, menggelitik-gelitik rasa penasaran dengan mulut berbumbu mereka, menghipnotis secara tidak langsung sampai membuat mereka menjadi pelanggan setia.

Ia duduk terpaku dalam lamunan di belakang hamparan obat-obatan jualannya. Ia hanya mengandalkan tulisan sendiri di sebuah papan yang mengumumkan bahwa dialah penjual obat pertama di pasar itu sehingga semestinya kemanjuran obat yang ia jual tak akan ada yang bisa menandingi.

Setelah hari-hari tanpa hasil, hari ini hatinya senang bukan kepalang. Seorang kawan lama mampir dan lebih karena rasa kasihan, membeli sebotol obat gosok buatannya dengan bayaran dua kali lipat dari harga yang ditawarkan. Ia pun segera pulang setelah sebelumnya membeli dua bungkus nasi padang. Ia memutuskan untuk makan duluan. Sebungkus lagi ia sisakan buat anaknya.

Ia sangat menyayangi anaknya yang sudah beranjak bujang itu. Selama ini, dialah yang berperan besar menghalau kesepian dan kesendirian si penjual obat. Anak itu pula menjadi alasannya untuk kuat bertahan menjalani sisa hidup, meski dalam kesulitan, sepeninggalan istri tercinta.

Sampai malam tiba, anaknya tak segera menampakkan diri. Memang, waktu berangkat sekolah tadi pagi ia sempat berpamitan sambil mengatakan: sepulang dari sekolah, ia langsung menonton pertandingan bola di ibu kota. Klub kesayangannya akan main.

Sampai pagi keesokannya, anak itu belum juga datang. Justru mobil ambulans tiba dengan membawa sesosok jasad dalam kondisi yang mengenaskan. Itulah anaknya. Ia tewas setelah terjatuh dari atap kereta api yang tengah melaju. Dibantu oleh orang-orang kampung, dalam suasana hatinya yang tak karuan, anak itu dimakamkan siang itu juga.

Mulai malamnya, ia merasakan kesepian yang menakutkan, hidup sebatang kara yang begitu menyakitkan. Ia dikungkung kesepian yang mencekam, seperti yang mungkin dirasakan orang yang baru saja mati meninggalkan dunia dan susah payah beradaptasi dengan kehidupan di alam kubur yang benar-benar asing.

Tak tahan dalam teror penderitaan itu, dua minggu kemudian, ia nekad menggali kuburan anaknya. Pikirnya, daripada mereka hidup masing-masing di tempat yang berbeda, lebih baik mereka kembali hidup berdua lagi meski anaknya hanya tulang belulang kini.

”Aku kesepian. Kau pasti kesepian juga. Baiknya kita tetap hidup bersama saja. Kalau ibumu, tak akan sendirian dia dalam kubur. Ada nenek dan kakekmu di sana.” Ia berbicara pada tulang belulang anaknya itu.

Tulang belulang itu ia bebaskan dari lumpur dan kotoran, ia mandikan. Ia sirami dengan minyak wangi, ia sayangi kemudian. Ia pun mengajaknya bertukar cerita sampai larut malam, sampai ia tertidur tak lagi memeluk guling, tapi tulang belulang itu. Malam itu juga, ia bermimpi indah.

Esok paginya, seperti biasa, dari rumah ia beranjak menuju pasar. Ada pemandangan yang tak biasa bagi orang-orang pasar pagi itu. Mereka melihatnya membawa tulang belulang. Mulanya orang-orang terteror dan enggan mendekat. Namun, lama kelamaan, rasa penasaran memicu terjadinya kerumunan di sekitar lelaki yang mereka kenal sebagai penjual obat itu.

”Apakah itu dijual?”

”Tidak.”

”Tulang belulang siapa itu?”

”Anakku.”

”Ha?”

Orang-orang langsung saja bubar jalan usai mendengar pengakuan yang mengejutkan itu. Dalam bisik-bisik, mereka mencapnya gila. Meski kerumunan telah bubar, ada seorang lelaki muda yang justru bertahan di hadapan si penjual obat.

”Mengapa masih di sini. Mengapa tak pergi juga seperti mereka?”

Lelaki itu tersenyum dan mengajukan permintaan yang aneh: ”Aku meminta air bekas bilasan tulang belulang itu.”

Penjual obat tersinggung dan tak mengindahkan permintaan itu. Karena tak digubris, lelaki muda itu berinisiatif mendapatkan sendiri apa yang dipintanya. Penjual obat tak sempat menghalangi gerak cepat lelaki muda itu yang mengambil salah satu bagian dari tulang belulang untuk kemudian ia siram. Air bekas menyiram tulang yang tertampung dalam baskom itulah yang kemudian diambilnya. Ia bergegas pergi dengan wajah sumringah setelah meninggalkan begitu saja selembar uang lima puluh ribu di hadapan si penjual obat.

Meski masih dilanda kebingungan bercampur marah yang tertahan, penjual obat menyambar uang itu dan memasukkannya ke sela kopiah miringnya. Ia mencoba untuk tenang dan menimbang-nimbang dengan akal, apa yang sesungguhnya terjadi barusan. Ia pun sampai pada kesimpulan bahwa, lelaki tadi pasti menganggap tulang belulang anaknya itu sebagai pembawa berkah. Dengan demikian, dalam sukacita ia mengambil air bilasan dari belulang itu demi hajat tertentu. Ia tak mau memperpanjang pikiran ke arah kejadian yang barusan. Ia cukup puas dengan pemberian lelaki muda itu. Dengan uang selembar tersebut, ia tak lagi perlu menjajakan dagangannya hari ini. Ia memutuskan pulang. Dari perhitungan, uang itu cukup untuk keperluan hidup sampai tiga hari. Ia akan berdiam diri saja di rumah selama tiga hari ke depan.

***

Ia belum bangun pagi itu. Pintu rumahnya digedor-gedor seseorang. Lebih karena ingin mengakhiri teror gedoran daripada mengetahui siapa yang melakukannya, ia beranjak dari tidur dan membuka segera pintu rumah dengan harapan urusan segera kelar dan ia bisa segera melanjutkan tidur. Ia tak begitu memperhatikan siapa yang berada di ambang pintu. Ia hanya mendengarkan beberapa baris omongannya. Permintaan lelaki itu, yang ingin mendapatkan lagi air siraman dari tulang belulang anaknya, membuatnya tahu itu pasti lelaki terakhir yang memberinya uang lima puluh ribu tiga hari yang lalu.

”Oh.. kamu..”

”Ya, Pak. Berilah lagi saya air tulang belulang itu. Soto saya laris manis tiga hari ini berkat kuah yang saya campurkan dengan air tulang belulang dari Bapak. Para pembeli bilang, kuah soto saya dahsyat nikmatnya.”

”Dari mana kamu tahu saya tinggal di sini?”

”Sama seperti waktu saya menemukan Bapak beberapa hari yang lalu di pasar, saya menemukan tempat tinggal Bapak ini berdasarkan bisikan spiritual.”

”Bisikan spiritual?”

Meski belum begitu paham dengan penjelasan si penjual soto, ia tak bisa mengelak untuk memenuhi permintaannya. Lebih-lebih lagi lelaki itu telah menyodorkan uang yang berlipat jumlahnya dibanding yang lalu. Kali ini, tiga lembar seratus ribuan.

Tanpa berpanjang lebar, ia segera menyiram tulang belulang anaknya dan mengisi jeriken lima liter bawaan si penjual soto. Sepeninggalan penjual soto, dia meledak dalam girang bukan main. Dari perhitungan, uang itu akan cukup untuk hidup selama seminggu. Ia segera menghampiri tulang belulang anaknya, memeluknya sebagai ungkapan rasa terima kasih tak terhingga.

***

Kabar mengenai kehebatan air bilasan tulang belulang milik si penjual obat segera merebak ke mana-mana, terbang bersama angin ke segenap penjuru. Setelah si penjual soto, berdatangan beragam orang, dari beraneka profesi, beragam desa dan kota dengan tujuan yang sama: ingin sukses dalam bidangnya masing-masing dengan air bilasan tulang belulang.

Sesungguhnya, ia sendiri sangsi dengan khasiat air tulang belulang itu sebagaimana yang mulai banyak diyakini orang-orang. Ia pun tak tahu sampai sejauh mana keyakinan orang-orang itu akan bertahan. Meski demikian, ia akan tetap melayani. Kapan lagi ia bisa memperoleh uang banyak dengan cara yang begitu mudah, bukan?

Kini, ia menetapkan tarif. Untuk satu jeriken lima liter air rendaman tulang belulang, ia memungut lima ratus ribu rupiah. Meski terhitung mahal, tak ada yang keberatan. Semakin hari semakin banyak orang yang berbondong-bondong dan rela antre kepanasan selama berjam-jam demi mendapatkan air rendaman tulang belulang.

Sampai saatnya kemudian, si tukang obat tak sanggup melayani sendiri orang-orang yang berdatangan tanpa henti. Ia lantas mengupah dua orang tetangganya sebagai asisten dan mulai menetapkan jam buka dan jam tutup pelayanan.

Orang yang berdatangan makin tak henti-henti. Meskipun suatu hari kenyataan pahit datang ke hadapan mereka di mana si penjual obat tak lagi bisa memberikan air rendaman tulang belulang sebab tulang belulang anaknya hilang. Ia tak tahu siapa yang telah mencurinya. Ia kini hanya mampu bersedih tanpa henti. Ia menyesal tak bisa menjaga dengan baik tulang belulang itu sampai-sampai ia mengutuk dirinya sendiri kini. Untuk sementara waktu, ia memutuskan menutup pintu rumahnya dan menghentikan pelayanan. Ia menawarkan hadiah berpuluh juta bagi siap saja yang bisa menemukan tulang belulang anaknya.

Sampai berminggu-minggu, tulang belulang si anak tak juga ditemukan. Sementara itu, antrean orang-orang tak henti memanjang. Dalam penantian tanpa kepastian, mereka tetap sabar. Meski rumah si penjual obat masih dalam kondisi tertutup. Beberapa hari kemudian, muncul bau busuk dari dalam rumah itu. Dari salah seseorang yang berinisiatif masuk ke dalam rumah, diketahui kemudian bahwa si tukang obat telah meninggal. Kenyataannya, ia mati dalam kesedihan tiada tara dan rasa kesepian yang menggunung setelah kehilangan tulang belulang anaknya.

Mendengar kabar kematian itu, tiba-tiba saja orang-orang berebutan masuk ke dalam rumah si penjual obat. Mereka menjadi liar, mereka sikut-sikutan, saling berebut mengambil bagian-bagian dari tubuh si penjual obat yang telah menjadi jasad. Mereka yakin, kesaktian air bilasan tulang belulang milik si tukang obat akan lebih hebat daripada air bilasan tulang belulang anaknya.

Samarinda, 2010
 

Tidak ada komentar: