Minggu, 06 November 2011

CERPEN KOMPAS



 

Malam di Kota Merah

Oleh
Toni Lesmana


Malam. Malam yang dingin. Angin seperti menghunus pisau dan mengiris setiap inci kulit waktu. Pisau berkilat di mataku. Pisau yang sesungguhnya terarah dengan tepat di antara dua kening.

Cepatlah, sebelum tangan ini lepas dari kendaliku! Teriak lelaki itu dalam getaran yang hebat. Aku tak tahu apakah ia marah atau gentar. Suara keras, namun runtuh sebagai kemurungan. Aku mengambil dompet dan kuserahkan dengan gemetar pula. Ini masalah nyawa, Bung. Satu-satunya. Bukan kematian yang kutakutkan, namun janjiku untuk menemui seseorang tengah malam ini, membuatku tak mungkin mengambil resiko untuk mencumbui ketajaman pisau dan liar kegelisahan di sepasang mata yang nampak mulai berair itu. Ia menangis.

Sungguh. Tangisan apa pula yang mengalir deras dari seorang perampok.

Pergilah! Pergilah! Ambil semua yang kau inginkan. Aku membatin sendiri. Bagaimana bisa seorang bajingan menyerah kepada seorang perampok gelisah macam itu. Kau sakit! Cepatlah cari obat yang mujarab. Pergilah ke tempat pelacuran. Atau belilah minuman keras. Mabuklah sampai memar sepasang mata yang rapuh itu.

Aku terus mencacinya dalam hati. Ia tak juga beranjak. Pisau itu terus terarah. Tajam, berkilat, dan penuh getaran. Sebelah tangannya menangkap dompet dan membukanya dengan tergesa. Hampir jatuh. Ia terkejut dengan kebodohannya sendiri. Dan akibatnya pisau itu menekan keras keningku. Ada yang mengalir. Ngalir di celah antara dua mataku.

Darah! Teriaknya tergagap. Kau! Kau berdarah! Pisau itu bukannya melemah, malah semakin kuat menusuk. Ngilu merasuk. Perih terbit. Ia mendadak marah dan gila. Barangkali darah itu telah menyulut sesuatu di tubuh orang itu. Barangkali rasa takut.

Perampok sialan. Gerutuku sambil menahan sakit. Tubuhku semakin rapat ke tembok yang lembab. Dan tubuhnya hendak merapat pula ke tubuhku. Tubuhku terlalu kecil untuk berontak terhadap manusia tinggi kekar ini. Jika saja. Tidak. Tak ada berandai-andai. Sekali kubuat kesalahan. Pisau itu akan membabi-buta. Pisau itu berada dalam kendali orang yang tak punya kendali. Getaran hebat di tangan dan tubuhnya bisa saja membuat pisau itu terjatuh, bisa juga membuatnya menjelma seribu sayatan indah di kulit, daging, dan tulangku. Aku punya janji. Tak bisa aku bermain-main. Ah, padahal kematian adalah sesuatu yang sering kupermainkan.

Cepat selesaikan permainan ini! Aku menahan geram. Tak sulit buatnya untuk melepasku, semudah ia membunuhku. Namun ia tak melakukan keduanya. Malah bersusah-payah menahan getaran hebat itu. Pisau semakin tak menentu. Seperti dalam perang. Antara menikam dan melompat pulang. Ini tentunya sangat menyiksaku. Harapanku nyaris tak bersisa.

Tuhan. Aku ingin menemui tidak setelah kematian. Tengah malam ini. Dalam kehidupan. Aku berbisik gigil pada getaran pisau itu, pada galau tusukannya. Enyahlah! Enyahkanlah perampok gila ini. Jangan biarkan ia jadi pembunuh dan merasa berdosa seumur hidup. Selamatkan ia untukku. Untukku! Percuma aku meracau.

Tiba-tiba tusukan itu semakin menekan. Dan kurasakan, sedikit-sedikit, menembus tulang keningku. Menancap rapat. Segera ia mengerang sedemikian rupa. Mengaduh gaduh sekali. Seperti orang yang mengalami puncak orgasme. Tangannya lepas dari pisau. Tubuhnya menggeliat. Mengejang. Lantas terjengkang seketika. Suara berdebum. Tubuhnya kini kaku. Membujur di depan jari-jariku yang mengkerut surut seperti hendak sembunyi ke dalam telapak kaki yang telanjang. Aku seperti terbius dengan pemandangan menakjubkan itu. Tanganku perlahan meraba pisau yang menancap kuat di kening. Darah seperti sungai mungil yang mengalir menuruni celah antara dua mata, mengalir ke hidung. Pecah jadi beberapa sungai yang lebih mungil. Dan bermuara di bibirku. Mulutku mencicipinya tak henti-henti.

Aku tak terlalu mempersoalkan perampok sialan yang mampus dengan khusyuk, toh ia mati ataupun tidak kuanggap sebagai jawaban atas doaku. Pisau di keningku menjelma persoalan baru. Selepas gang ini adalah jalan yang sangat ramai sekalipun malam semakin larut. Malah, semakin larut semakin hidup. Orang-orang di sini hanya hidup dan bergembira pada malam hari. Seperti perkampungan vampir. Kau dapat mencari apa saja yang kau inginkan sepanjang malam. Pasar. Toko-toko. Tempat-tempat hiburan. Bahkan sekolah pun buka malam hari. Orang-orang tak terlalu pedulian terhadap yang lainnya, namun mereka sangat senang mengolok-olok. Mengolok-olok segala sesuatu yang tak lazim. Segala sesuatu yang lain dari kebiasaan.

Bagaimana aku pulang dengan pisau menancap di kening. Tak kuasa aku mencabutnya. Tenagaku tak sanggup melepasnya dari impitan tulang yang retak itu. Lepas aku dari satu rintangan. Namun rintangan itu mewariskan sesuatu yang tak bisa kulenyapkan. Bukan rasa nyeri atau perih yang kini menjalar. Bukan sungai mungil darah yang terus kureguk. Aku berjalan sepanjang gang yang temaram. Sedikit sempoyongan. Dengan kedua tangan memegang hulu pisau, seperti memegang botol minuman keras, yang menancap di kening.

Malam semakin dingin di tubuhku. Gigil. Angin kini seperti silet. Tipis. Semakin dekat ke mulut gang, udara mendadak mulai menghangat.

Keluar dari mulut gang, nampak lampion-lampion merah bertebaran di mana-mana. Lampu-lampu berwarna berkibaran. Kain-kain berwarna merah berjatuhan dari tempat yang tinggi. Orang-orang ramai sekali. Dari mulai anak kecil sampai orang tua tumpah ruah di jalanan. Aku mencari-cari sesuatu yang dapat menutupi kening dan kepalaku, dan wajahku tentunya. Tapi tak ada apa-apa. Kota ini sangat bersih. Maka aku berjalan dengan meminggirkan diri dari keramaian. Mencari jalur paling sunyi, yang tentu saja sangat sulit dicari di kota ini. Anak-anak berlarian di depan sebuah sekolah. Seperti sungai mungil darah yang terus mengalir di wajahku, terus bermuara di bibirku. Anak-anak muda nampak bergerombol di depan sebuah panggung musik, di meja-meja kafe yang dipasang di trotoar. Sedang orangtua hilir-mudik di pasar, toko-toko, dan taman kota.

Lampu-lampu yang merah, adalah napas yang menghidupkan kota ini. Segala macam merah, dari yang paling muda sampai yang paling pekat. Ada juga yang sewarna sungai darah. Aku menyisir yang paling pinggir.

Mencari jalur sepi yang paling mustahil. Seluruh perih dan kemungkinan untuk diolok-olok bukanlah alasan yang membuatku sembunyi-sembunyi. Kebiasaan penghuni kotalah yang membuatku harus sangat berhati-hati. Pisau itu akan menjadi masalah yang harus dipertanggungjawabkan. Di kota ini benda-benda tajam adalah benda yang diharamkan. Hanya orang-orang tertentu yang boleh menggunakannya. Apalagi jika mereka menganggap aku mau bunuh diri. Akan lebih gawat lagi. Aku akan disekap dalam penjara paling gelap, paling dalam, dan paling lembab.

Kota semakin memerah. Hampir tengah malam. Jam raksasa di atas taman sebentar lagi bernyanyi. Dan orang-orang akan segera menari bersama. Kesempatan yang paling baik. Pisau terkutuk ini tidak akan terlalu memancing perhatian. Aku berhenti sebentar di tempat yang paling temaram. Menatap perempatan yang mewah dengan warna merah. Rumahnya terdapat di sana. Kecil. Terselip di antara bangunan-bangunan tinggi.

Sebenarnya rumahnya bertebaran di mana-mana. Sangat banyak. Hampir di setiap wilayah. Aku sering membayangkan bahwa dalam setiap inci nadiku pun terdapat rumahnya. Rumahnya yang kecil di perempatan itu adalah yang terdekat, rumah-rumahnya dalam nadiku belum dapat kumasuki. Ah, bagaimana aku memasuki diriku sendiri. Belum kulangkahkan lagi kakiku, seseorang menubruk punggungku. Aku terjatuh dengan cepat dan kuat. Akibatnya pisau itu makin dalam menancap di keningku. Ngilu tumbuh seperti bangunan-bangunan yang terus meninggikan lantai-lantainya. Seorang perempuan muda berulang kali meminta maaf dan hendak membantuku berdiri. Aku terus saja menelungkup, dan ia begitu keras kepala untuk meminta maaf.

Oh! Anda berdarah! Darah! Aku sungguh berdosa! Toloooong! Tolooooong! Perempuan muda dan cantik, ketika kulirik sekali saja kecantikan itu tertanam langsung di mataku, kini berteriak dan semanggil semua orang. Mampuslah aku. Ancaman kematian kembali datang. Pisau ini, pisau yang sekarang setengahnya tertanam di keningku, seperti malapetaka yang tak pernah habis. Orang-orang cepat sekali berkerumun. Tak ada tempat berlari selain pura-pura mati.

Tolonglah cepat. Ada darah di wajahnya. Cepatlah, lelaki ini mempunyai pisau di kepalanya! Lagi-lagi suara perempuan itu meletup-letup penuh ketakutan. Ia akan segera dicap pembunuh. Seseorang membalikkan tubuhku. Dan kudengar suara orang-orang bergemuruh.

Pisau itu tak dapat dilepas. Darah itu tak dapat dihentikan. Ia masih hidup. Seseorang berteriak, setelah kurasakan ada yang mencoba menggerakkan pisau keparat itu.
Seseorang telah menusuknya! Teriak yang lain.

Bukan! Bukan! Pisau itu tumbuh sendiri di keningnya! Aku pernah mendengar ramalan tentang akan datang seseorang dengan pisau di kening. Suara yang lain lagi menyeruak, membuat semuanya terdiam dan senyap. Suara-bisik-bisik.

Itu hanya dongeng! Bantahan datang dari belakang kepalaku.
Tidak. Itu ramalan. Seseorang dengan pisau di kening akan menemui kekasihnya di Kota Merah. Dan pisau itu akan lenyap ke dalam kepalanya jika ia benar-benar menemui kekasihnya. Tak ada yang dapat mencabutnya selain ciuman seorang kekasih.

Cerita yang ajaib sekali, seperti hipnotis. Semua orang mundur perlahan. Semuanya mundur meninggalkanku seorang diri. Sepertinya cerita itu membangkitkan ketakutan terdalam yang mereka miliki. Semuanya sekejap saja sudah berlarian. Dan lampu-lampu merah semakin banyak dan semarak. Perempuan muda yang menubrukku ternyata masih memandangku dari sebuah jendela toko makanan.

Tak baik kau menatap seorang bajingan dengan tatapan yang paling lembut. Kau tak membunuhku, malah menolongku terjerumus dalam cerita yang tak masuk akal. Rintihku tersiksa oleh sorot matanya, oleh kerinduan untuk menemuinya kembali kelak. Kelak dalam kehidupan bukan setelah kematian.
Janji ini akan segera kutepati. Kakiku kini tak lagi menyusuri jalur sunyi yang mustahil. Aku berlari menembus keramaian. Tak ada lagi yang kusembunyikan. Pisau yang menancap indah. Indah di keningku. Sungai mungil darah yang bermuara di bibirku. Tak ada yang kusembunyikan toh aku adalah seseorang yang ada dalam ramalan. Aku adalah legenda bagi kota ini. Aku teringat perampok sialan yang mewariskan pisau ini, o, ia bisa saja seseorang yang dikirim Tuhan untuk menuntunku pada sebuah janji. Segalanya seperti berada di luar rotasi kebiasaan. Kejadian-kejadian seperti melompat dari topi seorang penyihir. Tapi lebih penting bagiku adalah menepati janji.

Rumahnya telah terlihat. Aku berlari dengan diiringi penghuni kota. Langkahku menjadi langkah mereka. Sampai di rumahnya. Dadaku begitu berdebar. Sepi sekali. Lampu temaram bahkan hampir padam. Pintunya terkunci. Jendela-jendelanya rapat. Rumah yang tak lagi dipakai. Hanya sebuah bangunan telantar. Aku sedikit nanar. Bagaimana bisa rumahnya seperti begini. Aku berlari lagi mengitari kota. Mencari rumahnya yang lain. Hampir sama. Tak ada rumahnya yang terbuka dan benderang. Semuanya seperti rumah hantu bahkan sebagian menjelma puing dan reruntuhan. Aku hampir putus asa. Hampir tengah malam. Sebentar lagi jam bernyanyi dan orang-orang menari.

Tuhan, Aku ingin menepati janji, menemuimu dalam kehidupan bukan setelah kematian. Aku menjerit-jerit seperti anak kecil. Penghuni kota ikut menjerit-jerit. Lampion merah bergoyang, kain-kain berkibaran. Aku seperti melihat darah berpesta di kota ini. Putus asa aku melangkah ke tengah taman. Menceburkan diri ke dalam kolam air mancur. Tak kutemukan rumahnya. Padahal aku hendak mandi dirumahnya. Membasuh seluruh tubuh. Sebelum menemuinya untuk pertama kali, barangkali juga untuk terakhir kali.

Tuhan, aku kehilangan jejakmu di kota ini. Aku menceburkan diriku pada kolam air mancur dengan rasa kehilangan teramat sangat. Detik-detik di mana aku akan menjelma seorang pengingkar janji. Aku tak akan dapat menemuinya sekarang ataupun nanti setelah kematian. Ingin kuhancurkan diriku dalam air kolam. kutenggelamkan diriku. Aku bersujud di dasar kolam. Tuhan. Keningku dapat menyentuh dasar kolam.

Keningku. Keningku. Pisau itu tertanam dengan sempurna dan tak berbekas di keningku. Dan sungai darah itu tak lagi ngalir di wajahku, bibirku usai mereguk amis luka. Aku terus menenggelamkan diri. Aku bisa bernapas dalam air.

Malam memerah. Jam bernyanyi. Orang-orang menari. Aku berdiri di pucuk air mancur. Menepati janji. Janji pada seseorang. Aku berdiri di pucuk air mancur menatap kota yang memerah. Menatap orang-orang yang mabuk dalam tarian. Aku melihat mereka semua, tapi mereka tak lagi dapat melihatku. Aku lenyap bagi mereka. Seperti dalam ramalan. Aku tersenyum sendiri. Asing sendiri. Sepasang mata yang lembut menatapku dari sebuah jendela. Perempuan itu. Sepasang mata yang lain. Liar dan galau, mengintipku dari mulut sebuah gang. Perampok sialan itu. Kini aku ingin berpikir tentang malaikat dan iblis. Tapi aku tak lagi dapat berpikir. Pisau itu mungkin telah menggasak seluruh isi kepala. Aku hanya dapat merasa. Merasa. Bahwa dua pasang mata itu masih dapat melihatku. Merasa. Bahwa aku diliputi kerinduan.

Kedungpanjang, 2011



 
 
Mar Beranak di Limas Isa
 
Oleh
Guntur Alam
 
 
 
Ada sebuah hikayat yang hendak aku terakan, tentang Bi Maryam istrinya Mang Isa. Perempuan yang telah melewati usia kepala empat, tetapi masih saja rajin beranak. Baiklah, untuk menuntaskan keingintahuan yang telah bersarang, kita buka saja cerita ini.

Oya, sebelumnya kita buat kesepakatan: Untuk memudahkan aku bercerita, kita singkat saja nama Bi Maryam menjadi Bi Mar, tersebab lidahku agak sulit menyebut namanya bila kuucapkan secara panjang. Jadi ketika aku menyebutkan nama Bi Mar, kau pahamlah kalau yang kumaksud adalah Bi Maryam istrinya Mang Isa, lantaran sangat banyak Bi Mar di dusun Tanah Abang.

Kita mulai cerita ini di suatu malam ingusan, ketika bulan tengah mati di kelam raya dan kesiuran angin penanda hujan telah bertiup sejak langit mulai temaram, tepatnya di bilik pengap Bi Mar dan Mang Isa, pada sebuah limas yang terpancang tak jauh dari bibir Sungai Lematang. Dan kisah ini dibuka oleh ucapan Kajut Mis, dukun beranak di dusunku, Tanah Abang.

”Masih belum terlihat, Mar. Kau harus bertahan. Ambil napas lagi, lalu kau ejankan kuat-kuat.”
Bi Mar tersengal, kedua tangannya mencengkeram kuat seruas bambu yang tergantung tepat di atasnya. Seruas bambu yang diikat kuat tali trap—tali yang terbuat dari kulit kayu bernama trap. Keringat telah membanjir di pelipisnya, melucumkan seluruh tubuh dan merembes ke kasur kapuk yang menampung tubuh kepayahannya. Ada rasa sakit yang mengili-ngili tubuhnya, merayap dari sendi-sendi, lalu menjalar ke seluruh pori. Sakit yang bermuara dari satu titik: perut bengkaknya.

Mertua Bi Mar, emaknya Mang Isa, terlihat cemas di sebelahnya. Padahal, ini bukan kali pertama ia mengawani menantunya ini bertaruh nyawa, melahirkan cucu-cucunya, hampir saban dua tahun sekali, ia mengulangi adegan yang selalu membuat jantungnya berdebar lebih kencang ini. Bahkan, ia pun telah berkali-kali melakoninya. Tetap saja, kernyit muka penuh nyeri Bi Mar tak urung membuat dadanya mengempis.

”Sudahlah, Mar, tak usah beranak lagi. Kau datangi saja bidan di puskes sana, minta KB,” itulah ucapan mertua Bi Mar dua tahun silam, ketika usai mengawaninya melahirkan Serina, anak gadisnya yang baru saja dapat berlari dengan sempurna. Kata-kata serupa tak terluncur dari mulut mertua Bi Mar saja, Kajut Mis, dukun beranak yang kian uzur itu, pun telah mengucapkannya empat tahun lalu, pun dengan mulut-mulut karib-karib Bi Mar—tapi tidak dengan mulut orang-orang di Tanah Abang.

”Tak kau tengok, Mar, anakmu sudah macam rayap? Menyempal-nyempal sampai limasmu sesak. Apa lagi yang nak kau ranakan? Gadis-gadismu sudah banyak. Empat belas orang. Apa kau buta hingga tak dapat menghitungnya?”

Sejatinya, Bi Mar tak buta. Mata beloknya yang indah itu dapat dengan sempurna menghitung jumlah anak perawannya. Pun jika hendak menuruti kemauan hatinya, ia sangat ingin untuk menyudahinya. Tetapi, ucapan lakinya, Mang Isa, selalu saja membuatnya tak berdaya, ujung-ujungnya kembali mengharuskan Bi Mar bertaruh nyawa, melahirkan anak-anaknya.

”Kita harus dapat anak bujang, Dik,” itulah kata-kata Mang Isa pada Bi Mar, ”Apa kata orang se-Tanah Abang bila jurai limas kita tak tertegak lantaran kita hanya melahirkan anak-anak perawan saja? Pada masanya, bila kita telah uzur dan anak-anak gadis kita telah diboyong laki mereka ke limas seorang-seorang, kita hanya tinggal berdua di limas ini, tak ada yang mengurusi. Lalu, kita akan mati bergilir dalam sepi. Nasib baik, jika kita mati bersama, hingga yang ditinggal tak merasa sunyi.”

Ucapan Mang Isa membuat mata Bi Mar menerawang, membayangkan dirinya ringkih dan tertatih-tatih sendiri dalam limas. Menanak nasi, mandi ke Sungai Lematang, mengumpulkan kayu bakar, merumputi lapangan sekitar limas, menyambangi kebun duku-durian, menyayatkan pahat pada kulit balam di pagi kelam. Mendadak, tengkuk Bi Mar meriap. Alangkah menakutkan bayang itu di matanya.

”Kalau kita ada anak bujang. Ada yang menunggu limas, memboyong istri dan anaknya di sini, bersama kita. Mengurus kebun duku-durian, menyadap balam pagi-pagi kelam. Kita hanya tinggal di rumah saja, bermain dengan cucu-cucu yang banyak. Tak usah risau bila ada yang sakit karena tua, tak perlu cemas kalau-kalau kita mati tak ada yang tahu musababnya. Sebab, ada yang bersama kita. Anak bujang dengan anak dan istrinya,” tambah Mang Isa membuat mata Bi Mar mengatup rapat. Alangkah indah.

Sekelebat pula sebuah bayangan mengantar-kantar mata Bi Mar yang terpejam. Sebuah bayangan yang mendadak menciutkan kembali nyalinya. Bi Mar teringat akan nasib buruk Mak Salit. Perempuan tua itu kini hidup sendiri di limasnya yang megah setelah lakinya meninggal beberapa purnama silam. Nasib malangnya bukan lantaran karena Mak Salit seorang perempuan mandul yang tak punya anak. Anaknya banyak, hampir mencapai sepuluh orang. Sayangnya, semua perawan dan telah mengikuti laki-lakinya di dusun-dusun tetangga.

Mungkin, bukan tak ada anak-anak perempuan Mak Salit yang tak iba melihat nasib malang Emak mereka. Dapat pula sebenarnya mereka takut akan mendapatkan nasib serupa di masa tua lantaran telah menelantarkan Emak mereka. Tapi, apa yang dapat mereka perbuat sebagai perempuan selain tunduk kepada suami dan adat yang mengikat? Tak akan mertua mereka mengizinkan, bila anak bujangnya menunggui limas mertua, mengikuti istri melangkah, menegakkan jurai perempuan sembari membunuh jurai keluarga seorang lanang.

Itulah mengapa Bi Mar seolah-olah menulikan telinga dari ucapan mertuanya, ucapan Kajut Mis, dan karib-karib sebayanya. Ia harus dapat anak bujang, tak peduli dengan ucapan segelintir orang. Orang-orang Tanah Abang pun paham apa yang hendak ia capai dengan lakinya.

***

”Mungkin kau kurang syarat, Mar, jadinya selalu meranakkan perawan,” ucapan itu Bi Mar dapat dari Kajut Muya ketika perempuan tua yang tak seorang pun memiliki anak perawan itu, sekali waktu menyambangi limas Bi Mar seusai Bi Mar melahirkan anaknya yang keempat belas, Serina.

”Syarat apa, Jut?” kejar Bi Mar dengan mata berbinar. Ada semangat yang meluap dari dadanya hingga Bi Mar seolah lupa dengan tubuhnya yang masih kepayahan sebab baru saja meranakkan anak gadisnya yang kesekian. Di mata Bi Mar terlintas deret-deret bujang Kajut Muya yang elok-elok parasnya.

”Kau malinglah sereket dari kayu ribu-ribu milik bibi atau saudara perempuan lakimu yang telah beranak bujang. Usai itu, kau pakai sekali saja saat menanak nasi. Nah, nasi-nasi yang menempel di sereket itu kau makan, lalu simpan sereketnya di bawah kasur kapuk kau dengan Isa. Insya Allah, kau akan dapat anak bujang. Aku pun dulu demikian, Mar. Awal-awal menikah hingga anakku bujang semua.”

Bibir Bi Mar mengembang, serupa kuntum bunga yang menemukan masanya mekar. Ada luap keinginan yang rasanya hendak lekas-lekas ia tunaikan. Bila tak sadar dirinya masih terkulai di atas lamat kapuknya, mungkin Bi Mar telah gegas meninggalkan Kajut Muya seorang saja bersama gadisnya yang masih merah. Di matanya yang mendadak berbinar, Bi Mar telah dapat limas siapa yang akan ia satroni, menggondol sereket kayu ribu-ribu penanak nasi: Limas Bi Jumar, adik mertuanya yang memiliki banyak bujang.
Begitulah, seusai merasa dirinya telah sehat walafiat, Bi Mar melancarkan aksinya. Pada petang yang kesekian di bilangan almanak rumah, Bi Mar berpura bertandang sembari memamerkan anak gadisnya yang merah.

Ketika Bi Jumar lengah, Bi Mar mengambil sereket kayu ribu-ribu yang terselip di dinding limas samping periuk yang bergemerutup. Entah, apa Bi Jumar sebenarnya paham apa yang dilakukan Bi Mar atau ia benar-benar tak mengetahuinya. Bi Mar melenggang pulang dengan sereket kayu ribu-ribu yang terselip di balik besannya.

Di rumah, Bi Mar gegas menanak nasi seperti biasa, meletakkan perawannya yang masih merah dalam ayunan. Lalu, melakukan petuah Kajut Muya padanya. Menggunakan sereket kayu ribu-ribu milik Bi Jumar untuk mengaron nasinya hingga matang. Dan, memamah nasi yang tertinggal di sereket. Usai itu, Bi Mar menyelipkan sereket itu di bawah kasur, tempat ia dan Mang Isa tidur.

***

Keinginan Bi Mar memiliki anak bujang kian menjadi saja. Sebab, ada berita yang tengah hangat dibicarakan perempuan-perempuan di batang—tempat mencuci dan mandi di Sungai Lematang. Berita tentang Mang Marwan yang berbini dua!

Kata berita yang lagi hangat-hangatnya itu, Mang Marwan berbini dua lantaran tak kunjung mendapatkan anak bujang dari istrinya, Bi Murni. Bi Mar pun ingat, ada lima anak gadis Bi Murni itu. Semua berparas elok, berbibir tipis dengan hidung bangir, kulit putih dan mata sipit, mirip Mang Marwan yang memang termasuk lelaki rupawan.

Mendadak, degup di jantung Bi Mar terasa tak normal. Ada dag-dig-dug yang tak biasa. Ia seperti merasa, mata-mata perempuan yang mencuci dan mandi di batang seolah-olah mencuri pandang. Seperti perempuan-perempuan itu tengah meramalkan nasibnya pun akan seburuk Bi Murni yang tengah dikisahkan. Dimadu oleh lakinya lantaran tak kunjung mengoekkan anak bujang dari selakangannya. Tak kunjung menegakkan jurai limas dengan menetak burung bujang ingusan.

Gegas sekali Bi Mar menyikat baju cuciannya, membilas, dan menyabuni tubuhnya. Lalu, membasuh diri dengan air Lematang yang mengalir. Setelah itu, ia terburu melangkah pulang. Dalam hatinya yang kusut-masai, ia percaya, mata-mata perempuan di batang masih saja tertuju hingga tubuhnya lenyap dari pandangan.

Bi Mar pun mulai waswas melihat tingkah pola Mang Isa. Bila lelaki itu tak kunjung pulang pada malam yang kian larut saja, hatinya mendadak dibalur cemburu. Jangan-jangan Mang Isa tengah memadu kasih dengan janda di dusun ini dan itu. Mengurai rencana dan sudah mulai menyusun kata, bila ia menangis sembab ketika mendapati Mang Isa dikabarkan telah berbini dua kelak.

Bi Mar pun kian risau, bila ia mendapati dirinya masih saja datang bulan. Padahal, ia sangat berharap ada sesuatu yang tumbuh di perutnya, buah dari cinta dengan Mang Isa. Sesuatu yang ia harapkan membayar tunai kegalauannya.

Rupa-rupanya, Tuhan mendengar doa Bi Mar, atau ini hanyalah kebetulan semata. Pastinya, hal ini memang sudah tersemat dalam kisah semesta. Bi Mar kembali hamil muda. Lalu, pelan-pelan perutnya membengkak, menuju bilangan bulan demi bulannya, seiring anak gadis yang keempat belas belajar berjalan. Segala syarat yang ia dapatkan dari tetua, orang-orang yang telah kenyang asam garam dunia, ia lakonkan, tujuannya cuma satu saja: Kali ini ia beranak seorang bujang. Menyudahi pertarungan yang sejatinya enggan ia ulang.

***

Angin kian mendedas di pelipir limas, meningkahi perjuangan Bi Mar dalam bilik pengap. Sesekali terdengar rintik mengimbau di atas genting. Kajut Mis masih terus memberi aba-aba, menyemangati Bi Mar yang kian kepayahan. Usia yang sudah lewat kepala empat, anak yang kata Kajut Mis sungsang, membuat perjuangan Bi Mar kian berat. Sementara itu, di tengah limas, Mang Isa menunggu dengan cemas, anak-anak perawannya meringkuk dalam senyap. Doanya cuma sebatang kalimat: Anak bujang! (*)

C59, November 2010 – Januari 2011






 
 
 
Tradisi Telur Merah
 
Oleh
Sanie B Kuncoro
 
 
Kau tak hendak menghitung. Namun, tahun-tahun yang melintas itu setiap kali mengucapkan salamnya kepadamu. Seolah pamit sembari menerakan jejak yang melekat di dinding ingatanmu.

Nyaris sembilan tahun terlalui. Belum satu dasawarsa, tetapi bukan rentang waktu yang sebentar untuk sebuah penantian. Berapa lama lagi? Masihkah tersisa ketabahan untuk menjalani rentang masa yang tak terkira itu?

Kau sapukan lap basah pada bingkai jendela, menyeka debu yang melekat di sudut-sudutnya. Selalu ada sisa debu meski kau bebersih tiap hari. Akankah tabahmu serupa debu? Selalu ada tiap hari, tertebar di segala sudut? Kau tak tahu.

Adalah melahirkan, yang menjadi angan pertamamu saat laki-laki itu meminangmu. Kau lamunkan dirimu sedang menyusui bayimu sembari bersenandung saat suamimu rebah di dadamu. Bahwa akan kau kisahkan seribu dongeng pada anak-anakmu, pengantar tidur setiap kali kau akan terlelap dalam dekapan hangat suamimu.

Kau sulam dengan telaten angan itu, yang setiap bulan bertambah dengan harapan kala tamu periodik biologismu datang. Bulan berganti dan makin memanjang sulamanmu. Rapat benang-benang itu terjalin membentuk angan-anganmu. Merah kesumba, ungu muda, hijau pupus adalah warna-warni impianmu.

Tahun berganti dan lapis harapanmu kian menebal. Kau tambahkan warna-warna baru pencerah angan. Lepas tahun berikutnya kau temukan benang baru berkualitas terbaik. Kau sulamkan setiap helai benang itu sepenuh rasa. Serabutnya yang berkilau seolah memberimu cahaya, tak memberi ruang pada semangatmu untuk meredup.

Tahun berganti tak berhenti. Demikian pula tamu periodik bulananmu. Selepas tahun kelima kau dapati persediaan benang-benangmu telah menipis, tak banyak lagi warna tersisa. Kau tak hendak berhenti apalagi putus asa, tetapi suamimu telah terperangkap pada harapan yang pudar, tak hendak diantarnya kau mencari benang-benang baru. Kini kau berjuang dengan benang-benang tersisa, warna seadanya dengan jarum yang mulai tumpul. Sulaman angan macam apalagi yang bisa kau buat?

Suamimu masih rebah di dadamu nyaris setiap malam. Dekapannya padamu tetaplah hangat dan seerat dahulu. Namun, dari seribu dongeng yang hendak kau kisahkan, tak kau yakini lagi berapa yang masih tersimpan utuh dalam ingatanmu. Entahlah belasan ataukah satu.

Telah selesai kau seka lekat partikel debu pada daun jendela dan bilah pintu ketika sebuah becak menghentikan lajunya di pelataran rumah. Bibimu datang. Dibawanya sebuah kotak merah. Terulur kotak itu padamu, dengan sepasang mata yang ingkar dari lurusnya tatapanmu. Kau mengerti. Gerak mata yang menghindar itu demi menyembunyikan prihatin tersirat. Bela rasa yang tak terungkapkan sejelasnya.

”Duduklah, Ik, 1” salammu menyambut dengan nada riang. Menyamarkan pedih yang berkilauan dalam genggaman benakmu.

”Sehat bayinya? Lancarkah air susu ibunya?” Lagi kau berkata, tepatnya berseru agar nada riang itu tersampaikan sejelas-jelasnya. Nada yang menipu dan sungguh kau tahu bahwa bibimu tak akan tertipu.

”Sehat, sudah bertambah satu kilo beratnya,” bibi menjawab pelan.

Kau seduh teh dalam poci. Kau sertakan tiga bongkah kecil gula batu. Kotak merah itu terdiam di samping ibu poci dan sepasang anak cangkirnya. Kau tahu apa isinya. Kue ku berbagai bentuk berwarna merah terbuat dari tepung ketan yang legit, membalut kacang hijau tumbuk di dalamnya. Pastilah ada juga kue mangkuk merah muda dengan daun pisang sebagai takirnya. Harum daun pisang terkukus itu melekat samar. Apalagi? Barangkali kue wajik, yang butiran beras ketannya saling melekat berkilau-kilau oleh minyak yang gurih. Entah merah muda atau hijau warna wajik itu. Tapi yang tak akan tertinggal pastilah ada telur rebus yang cangkangnya sungguh merah karena sumba. Itulah tradisi telur merah. Telur penanda kelahiran, merah, perlambang kebahagiaan. Satu butir telur untuk penanda bayi perempuan, sepasang telur untuk bayi laki-laki.

Kaummu menamakan bingkisan itu Ma gui an atau Ma yek. Tradisi membagi buah tangan sebagai penanda kelahiran tepat ketika sang bayi genap berusia satu bulan. Itulah kebahagiaan atas anugerah yang harus dirayakan dan diberitakan. Begitulah kotak merah Ma gui an itu dibagikan kepada kerabat dan tetangga, sebagai bagian dari tradisi telur merah.

Kau suguhkan teh di meja makan di mana bibi duduk. Piring kecil alas cangkir berdenting lirih saat bersentuhan dengan meja marmer peninggalan Ibu. Bibi mengusap-usap marmer itu, seolah merayapi gurat-guratnya yang tak lagi utuh. Ada beberapa retak dan parutan serupa butiran pasir pada beberapa sudutnya.
Kau tahu bibi sedang merindui ibumu.

”Apakah Ma gui an kelahiranku dulu juga seperti ini?” tanyamu kemudian, sembari mengunyah sepotong kue ku. Pertanyaan itu lebih sebagai upayamu untuk menetralisir suasana muram yang seolah mengambang di antara kalian. Kepala bibi bergerak mengangguk. Matanya yang kecil memanjang berkedip lambat, menyiratkan terawang yang jauh, seolah menembus perjalanan sejarah silam.

”Tidak banyak toko roti atau tukang kue di masa itu. Sebagian harus kami masak sendiri. Aku membuat kue ku dan wajik. Tetangga sebelah rumah memasak kue mangkok dan kue lapis. Ibumu memilih merebus sendiri telur-telur itu. Tangannya berwarna merah berhari-hari karena sumba. Nyaris tak berani dia menyentuhmu sesudah itu. Khawatir bekas sumba pada telapak tangan itu akan menodai kulitmu.”

”Lalu bagaimana?” kau sungguh ingin tahu. Tidak sering bibi sudi berbagai cerita tentang masa kecilmu. Selalu ada banyak alasan untuk mengalihkannya pada hal-hal lain.

”Ayahmu yang menggendong dan memandikanmu. Kadang-kadang kugantikan. Tapi kau selalu rewel dalam dekapanku, tak pernah lama anteng di gendonganku. Dasar wan bik 2,” mata bibi melirik padamu, menyiramkan sisa kejengkelan masa lalu, berbaur rasa sayangnya padamu yang tak terhitung.
Kau tertawa.

”Barangkali karena naluri kecilku tahu bahwa aku akan lebih lama berada dalam asuhanmu,” ucapmu lepas.

Ucapan yang kemudian mengejutkanmu dan menjerat kalian berdua dalam pekatnya kepedihan kenangan masa lalu. Kebahagiaan yang tersisa dari penggalan silam itu samar dan rapuh belaka. Suara tawamu surut dengan segera. Bibi menyeka ujung mata dan meneguk lambat seduhan teh terhidang.

Senyap. Berbagai bunyi dan suara tertiup entah ke mana. Kau raup tangan bibi kemudian.

”Ik, ada yang mengatakan Ibu pergi pada suatu tempat sebelum mengandung aku. Antarlah aku ke sana.”

”Tidak akan!” bibi menghardikmu dengan tajam. Satu hal yang tidak pernah dilakukannya sejak mula mengasuhmu setelah ibumu berpulang saat lima tahun usiamu.

”Tapi aku sungguh ingin,” kau memohon. Mengalir air matamu, menggenangi harapanmu yang tersulam sejauh ini.

”Kukatakan padamu, jangan pernah satu kali pun melakukannya!” lagi bibi mengulang peringatannya.

”Ramuan mereka berhasil bagi Ibu, pastilah bagiku juga,” kau tak berhenti.

Bibi meninggalkanmu. Seakan membiarkan segala sulamanmu terendam untuk kemudian tenggelam. Akankah kau menyerah dan melepaskan harapan sekian tahun itu terkubur sia-sia?

Pastilah tidak. Keinginanmu yang tak lagi terbendung menggetarkan udara di sekitar dan meruntuhkan tembok penghadangmu.

***

Sosok tua tak bernama itu menampik uluran uangmu.

”Tidak ada yang dibayar dengan uang di sini,” katanya serupa gumam. ”Pada waktunya nanti, akan datang kesempatan untuk membalasnya. Mungkin kau bisa memilih, bisa juga tidak.”

Kau tak mengerti, tetapi sebelum mendapatkan penjelasan lanjut, kau telah dipersilakan untuk beranjak pergi. Seseorang mengantarkanmu hingga ke gerbang. Bilah pintu besar itu terbelah, memberimu celah untuk keluar. Jalan setapak di depanmu dengan pohon-pohon tua berjajar seolah membentuk barisan di sepanjang jalurnya. Dedaunan yang saling bersentuhan berdesir-desir suaranya menyertai langkah menjauhmu. Kau bertanya-tanya kemudian, apakah pohon-pohon itu mengingat dan menyimpan derap langkah ibumu yang menyusuri jalan ini pada suatu ketika di masa silam? Satu iramakah langkah yang dahulu itu dengan gerak langkahmu sekarang?

Kau rindui ibumu. Kau ingat senandungnya yang menidurkanmu. Dan kau rindui pula kesempatan menjadi ibu. Ingin kau bersenandung dan mengisahkan dongeng-dongeng pada anak-anakmu.

Kepada bibi kau bawa pertanyaan tak terjawab itu.

Bibi tercekat, lalu meraung sesudahnya.

”Mengapa kau langgar pesanku?” desisnya menuntut. ”Seharusnya kau patuh.”

”Ibu melakukannya, mengapa aku tak boleh?” balik kau bertanya serupa gugatan.

”Justru karena itu kau tak perlu mengulangnya!”

”Tapi aku ingin anakku. Sembilan tahun sudah kutunggu.”

Bibi menangisimu tanpa air mata. Rebah pula dirimu tak berdaya pada pangkuannya. Tak ingin kau kenakan lagi topeng-topeng ketabahanmu. Tak pula hendak kau jadikan sulaman anganmu sebagai cadar belaka.

”Lebih sepuluh tahun Tacik 3 menunggumu,” bibi mulai berkisah. Bergetar suaranya di antara cemas dan pahit berselang-seling.

”Setiap datang bulan, dia menangis berhari-hari. Ragam cara dicoba, banyak ahli didatangi. Nihil belaka. Lalu datang seorang dari jauh itu, membawa ayah dan ibumu ke sana. Bulan berikutnya Tacik hamil dan kau lahir.”
Suara bibi menghilang. Atau menjauh? Kau memilih untuk menunggu. Kau tahu inilah bagian masa lalu yang hendak diingkari itu. Yang seolah hendak dibuang, tetapi akar-akarnya tak tercerabut.

”Sesudah kau mulai pandai berlari, datang seseorang menagih sesuatu. Katanya, tidak ada yang cuma-cuma di dunia ini, segala sesuatu ada nilai tukarnya. Begitulah perjanjian yang dahulu disepakati demi kelahiranmu,” bibi melanjutkan. Telapak tangannya dingin berkeringat dalam genggamanmu.

”Tacik meminta tenggang, lalu mencari sembarang perempuan untuk mengandung adik tirimu. Anak itu lahir kemudian.”

Kau terkejut dicengkeram gemetar pada saat yang sama. Sungguh itu bagian dari cerita silam yang tak terduga.

”Apa yang terjadi dengan adikku?”

Bibi menangis. Suara isaknya begitu pahit dan pedih. Serupa luka yang ditabur garam dan lelehan jeruk nipis.

”Seharusnya anak itulah penukar kelahiranmu, tetapi ibumu tak tega dan memilih dirinya sendiri sebagai pembayarnya. Ayahmu tak sanggup menanggung beban dan menyusul ibumu kemudian. Nyawa dibayar nyawa, begitulah adanya.”

Labirin sejarahmu terkuak sudah. Terpapar jelas dari ujung permulaan hingga kelokan terakhir. Tak lagi kau temukan persimpangan yang menipu. Saat yang sama kau telah terperangkap pada salah satu jalur misterius di dalamnya. Akankah kau temukan jalan untuk kembali?

Jadwal periodik biologis bulanan itu selalu kau tunggu dengan berdebar sepanjang sembilan tahun. Debaranmu kali ini adalah akumulasi sepanjang masa itu disertai harapan yang retak serupa cangkang telur merah dalam anganmu.

Keterangan:
1. Ik: panggilan untuk saudara perempuan dari pihak ibu dalam keluarga China.
2. Wan bik: nakal
3. Tacik: kakak perempuan
 
 

 




 

Tidak ada komentar: