Kamis, 10 November 2011

CERPEN KORAN TEMPO



K O L  A M
Oleh
Arie MP Tamba








KETIKA melewati koridor samping menuju kamar istrinya, Pak Tua tersenyum. Melalui jendela yang terbuka, ia melihat air kolam renang sedang ditambah. Permukaannya berkilauan di bawah sinar matahari pagi.
Dua minggu sekali air kolam itu diganti. Tapi belasan tahun ini, kalau airnya diisi penuh, artinya cuma satu: anak-anak dan cucu-cucunya akan datang. Pak Tua bertanya-tanya. Anak yang mana? Cucu yang mana? Mereka pastilah sudah menelepon suster. Rumah akan ramai dan hangat oleh tawa. Ia akan mengabarkannya kepada sang istri.

Pak Tua dan istrinya sudah dua tahun menghuni dua kamar terpisah. Itu memudahkan dokter dan para suster merawat mereka. Pak Tua berusia delapan puluh tahun dan mengidap penyakit asma akut. Sementara istrinya delapan puluh dua tahun, dengan pikun dan gangguan ginjal.

Kedua suster menjadi saksi, bagaimana selama dua tahun itu Pak Tua setiap pagi mengunjungi istrinya. Menyapanya. Mengajaknya bercakap-cakap. Menyampaikan kabar. Menemaninya dalam kelengangan. Karena yang terdengar sebenarnya hanyalah suara serak Pak Tua, terputus-putus menuturkan apa saja, diselingi napasnya yang tersengal.

Lalu, bila Pak Tua sudah merasa selesai berbicara, ia pun akan membisu beberapa saat. Mengatur napasnya jadi lebih tenang. Kemudian dengan susah-payah menarik jemarinya dari cengkeraman sang istri. Dan membiarkan dirinya dituntun salah seorang suster ke kamar mandi. Sementara sang istri dilap di pembaringan. Sang istri tak pernah lagi bergeser dari kamar. Segala sesuatu atasnya dilakukan di pembaringan.
Selesai mandi, suami-istri itu akan dipakaikan baju, dan selanjutnya ditemani sarapan. Sang suami makan perlahan di meja makan, sang istri disuapi bubur sumsum layaknya bayi. Selesai sarapan, sang istri akan tetap rebah seraya menatap kosong ke arah pintu kamar. Sementara Pak Tua akan dituntun ke teras. Duduk-duduk di sana sambil melihat-lihat judul koran, sampai tertidur. Dan nanti dibangunkan menjelang makan siang.

Pak Tua masih saja belum memahami, apa makna cengkeraman kikuk sang istri, bila ia menyalaminya setiap pagi. Sang istri selalu mencengkeram canggung, seakan tak pasti apakah salaman sang suami harus dilepas atau ditahan dulu. Apakah cengkeraman itu adalah pengganti “apa kabar”, “gembira bertemu lagi”, atau 

“sehatkah”. Sementara bagi Pak Tua, genggamannya setiap pagi adalah penegasan kehadiran, dengan tambahan pesan di dalam hati, “Istriku, nyamanlah, aku bersamamu….” Meski, seperti biasa, sang istri hanya membalas dengan cengkeraman dan wajah kikuk.

Tapi tidak pagi itu. Tidak pagi itu. Pak Tua tidak merasakan cengkeraman hangat dan keras dari jemari sang istri yang kasar. Biasanya, begitu jemarinya digenggam, sang istri akan langsung mencengkeram. Di antara tatapannya yang kosong, dia akan menyunggingkan senyum lebarnya yang khas sejak remaja. Meski senyum itu kini tinggal kebiasaan belaka di antara kerut-merut wajah dan kempot pipi.

“Pagi, Inang,” Pak Tua menyapa.

Tentu saja ia sudah tahu istrinya tidak akan menyahut. Namun ia akan menatap sejenak wajah yang telah menemaninya selama enam puluh tahun itu. Menemukan lagi sepasang mata kosong dan senyum melompong itu. Lalu menggenggam jemari kurus yang tergeletak di pembaringan.

Pak Tua kembali menggenggam dengan ragu, bercampur gelisah. Jemari istrinya itu sudah kaku dan dingin. 

Tidak ada denyut yang menjanjikan harapan, bahwa mereka masih bersama, meski tak berbincang. Apa ruginya tak berbincang, bila masih dapat saling merasakan? Menjadikan pertemuan setiap pagi itu, sebagai tujuan hidup? Merasakan kehangatan jemari yang lain, sebagai kekayaan hidup hari ini?

“Inang, Inang, Inang!” Tanpa sadar Pak Tua memanggil-manggil. Dan tentu saja tak akan ada sahutan. Tapi kebisuan sang istri kini benar-benar membuat Pak Tua gugup. Rasa cemas membuncah menyesaki dadanya. 

Dan begitu saja ia tak dapat lagi menguasai diri, seraya mendesahkan, “Inang, Inang, Inang!” ia menangis terbata-bata. Pak Tua nyaris rubuh dari kursi ke lantai, kalau tidak segera dirangkul kedua suster.

Kedua suster itu bertugas bergantian. Pak Tua kini semakin sulit membedakan, siapa yang memandikan, siapa yang mengganti baju, dan siapa yang menemani sarapan. Baginya, kedua suster itu seperti satu orang yang bisa membagi diri jadi dua, atau dapat hadir di dua ruang berbeda secara bersama.

Dan kini kedua suster, dengan bekerja sama, akhirnya berhasil merebahkan Pak Tua di pembaringan, bersisian dengan istrinya.

“Inang, Inang, Inang.”

“Kita telepon dokter,” kata suster yang satu.

“Para pembantu dan satpam jangan tahu dulu, nanti mereka panik,” kata suster yang lain sambil membuka gordin jendela kaca di bagian kaki ranjang. Dari kamar kini kolam renang terlihat jelas.

Si suster pertama mengeluarkan ponsel, lalu menelepon. Dia menjauh ke arah pintu kamar dan keluar. Sayup Pak Tua sempat mendengar, “Pagi, Pak Dokter….”
 .

PAK Tua dicekam kalut. Ia seranjang dengan istrinya. Entah apa yang terjadi. Rasa dingin dari jemari istrinya yang kaku masih membekas di tangannya. Melalui rasa dingin itu, ia sukar memastikan apa yang diketahuinya. 

Akhir-akhir ini ketidakpastian semakin sering menggelimangi ingatan Pak Tua. Menggelapi sebagian kesadarannya, terutama saat ia sendirian di kamar ruang tengah atau di teras.

Yang juga membebani Pak Tua adalah betapa ia semakin kurang mengenali istrinya. Selama enam puluh tahun berumah tangga, akhir-akhir ini ia kerap gamang: apakah ia benar-benar mengenali nenek dari cucu-cucunya itu. Hari-hari kemarin bersama ibu anak-anaknya itu, selalu muncul beruntun; tapi tak jelas kapan dan di mana. Adegan demi adegan berhamparan, terkadang saat ia terkantuk-kantuk di teras.

Suatu ketika, ia seperti melihat dirinya saat pertama bertemu dengan sang istri. Ia pegawai administrasi di perkebunan, datang meminta tanda tangan kwitansi kepada atasannya. Atasan itu sakit. Ia bersepeda menembus hutan rambung di Tebing Tinggi, Sumatera Utara sana, ke rumah dinas sang atasan.

Rasanya seperti bulan lalu. Atau seperti dua bulan lalu. Ia mengayuh di antara pohon-pohon karet, dan sesekali bertegur sapa dengan para penyadap karet.

Dan pagi itu, untuk pertama kali ia melihat putri sang atasan. Menyambutnya dengan tersenyum lebar, dengan sepasang mata terbelalak. Dia tampak sekali jarang bergaul. Begitu mendapatkan tanda tangan, ia memutar balik sepedanya. Ingin cepat sampai di kantor. Tapi di sepanjang jalan, di atas sepedanya, ia tak bisa menghapus rasa hangat yang menempel di genggamannya: jejak jemari kasar anak perempuan atasannya itu.
Kapan? Ia tidak begitu ingat. Mereka beberapa kali masih bertemu, hingga suatu saat atasannya seperti sengaja menjodohkannya dengan putrinya, yang tidak cantik, tidak pintar, dan kurang bergaul. Begitulah atasannya itu mengatakan terus terang. Hingga atasannya itu tak pernah berharap akan mendapatkan menantu yang lebih baik lagi, dari seorang pegawai rendahan di kantornya.Yang dibayangkannya, ia juga akan menghabiskan hidupnya di perkebunan itu.

Tapi ia tidak ingin hidupnya berakhir di perkebunan. Setelah kawin, seperti orang-orang muda yang masa itu berlomba merantau ke Jakarta, ia membawa istrinya pindah ke Jakarta. Menempuh perjalanan dengan kapal laut dua hari tiga malam. Meninggalkan hutan karet dan Kota Tebing Tinggi, sebagai masa lalu yang mewarisnya dengan kemiskinan ayah ibunya yang penyadap karet.

Puluhan tahun lalu Jakarta adalah kota impian. Kota untuk memperbaiki nasib. Mulanya ia gentar. Ia tak memiliki orang lain sebagai sandaran, kecuali dirinya dan istrinya yang tak banyak bicara itu.

Ia pun memacu diri berpikir dan bekerja puluhan kali lebih keras dari orang lain, agar bertahan. Ia tak bisa berharap banyak dari istrinya. Selain tidak cantik dan tidak pintar seperti kata ayahnya, istrinya juga tidak memiliki banyak kata untuk diucapkan ketika ia diajak bicara.

Tapi Pak Tua menyadari sekarang, betapa selama enam puluh tahun ini, sang istri adalah perempuan yang tangguh. Kebisuannya, saat sang suami menggerutu bahkan memaki-maki keseharian mereka yang terkadang nyaris tanpa harapan, adalah penyeimbang yang dibutuhkan. Wajah tulus yang menatap nanap itu justru kerap menimbulkan ide dan tekad sang suami. Agar berani melanjutkan hidup, bagaimana pun susahnya. Bila dipikirkan, jalan keluar dari persoalan akan ditemukan!

Begitulah yang berlangsung. Masalah terus bermunculan, disusul cara-cara mengatasinya. Anak-anak berlahiran dan rumah tangga memerlukan tambahan biaya. Ia pun mencarinya di luar gaji yang didapatkan sebagai pegawai administrasi di pelabuhan. Dan kelak, uang tambahanlah yang justru membuat kehidupan keluarganya cukup nyaman di Jakarta.

Agar tidak ketinggalan dari teman-teman kantor, ia rajin menuntut ilmu. Sekolah malam, dilanjutkan kuliah akhir pekan, itulah jalur pendidikannya. Dari tahun ke tahun, kedudukannya di kantor pun membaik. Dan selalu saja ada tambahan penghasilan yang didapatkan dari urusan ekspor-impor itu. Ia terkadang menyalahi aturan. Tapi ia merasa aman karena teman-temannya juga melakukan hal yang sama.

Dalam mengelola keuangan, ia teliti. Ia membeli tanah dan membangun rumah. Dari tahun ke tahun luas tanahnya merembet ke samping kiri, kanan, dan belakang. Para tetangga berlomba membangun, ia ikut membangun. Para tetangga membuat kolam renang, ia tak ketinggalan. Kelak, ia sangat menikmati mandi-mandi bersama istri, anak-anak, dan kemudian, cucu-cucunya, di kolam renang sana.
 .

DAN mengenangkan semua itu, kini, membuat Pak Tua merasakan dadanya bergemuruh oleh kecewa. Betapa semua itu tinggal kenangan. Tak bisa diulang lagi. Bahkan akan raib.
Pak Tua tersengal-sengal. Lamatlamat ia melihat kedua suster kembali berdiri di sisi pembaringan.

“Katanya kita sudah benar. Kita pindahkan bapak setelah dokter datang!”

“Oya, tante yang di Bandung sudah ditelepon?”

“Sudah. Mereka akan datang lebih cepat.”

“Om Jakarta?”

“Sebentar lagi sampai.”

Tante yang di Bandung? Om Jakarta? Bukankah itu anak-anaknya? Pak Tua mendelu. Rasanya seperti kemarin. Atau minggu lalu. Mereka bersekolah, kuliah, kerja, kawin, tinggal di kota lain, pindah ke luar negeri. Anak-anaknya tujuh orang, berserak di Jakarta, Medan, Bandung, Semarang, Singapura, Australia, Kanada.
Ia berhasil menyekolahkan anak-anaknya, mengantarkan mereka ke dunia kerja dan membina rumah tangga. Ada kalanya ia juga jadi pengharapan sanak-saudara yang kesulitan uang. Dan, selama itu, ia tak pernah menyadari bahwa ia tak akan mampu menjalani kehidupannya dengan lancar, tanpa dukungan sang istri yang kuat, baik hati, dan tak banyak bicara. Ia yang sekarang terbujur kaku di sebelahnya.

Apa yang dapat diperbuatnya tanpa kerendahan hati sang istri? Yang tak sekali pun pernah mengeluh, mengurusi keluarga besarnya? Dan apa yang telah diperbuatnya, untuk memperlihatkan penghargaan atas semua jerih-payah sang istri selama puluhan tahun ini? Tak ada. Tak ada.

Dan Pak Tua menyadari semua itu, ketika segalanya sudah terlambat. Ketika ia hanya seorang kakek tua yang menjalani hari-harinya tanpa kerja, kecuali makan dan tidur. Lalu setiap pagi berusaha mendapatkan makna hidup, dengan menemani sang istri yang tidak cantik dan tidak pintar itu.

Begitulah yang berlangsung. Pak Tua menjenguk, menyapa, dan menceritakan segenap perkembangan kepada sang istri yang pikun dan lumpuh itu. Namun, sang istri tak dapat lagi menanggapinya, kecuali memandang dengan tatapan membelalak seraya menyunggingkan senyum di antara kedua pipinya yang kempot.

“Inang, Inang, Inang!” Pak Tua memanggil-manggil, menyesali diri sendiri. Merasa telah menyia-nyiakan waktu untuk berlaku patut kepada sang istri di sebelahnya. Pembaringan jadi sempit. Tapi Pak Tua rebah tak bergerak. Dengan sebagian anggota tubuh seakan tak berkait dengan kesadarannya. Di jendela kaca di kaki ranjang, ia dapat melihat pantulan bayangan kolam renang. Kolam yang menjadi saksi perjalanan keluarganya. Airnya sudah penuh dan membiaskan cahaya berkilauan ke dalam kamar.

Pak Tua memusatkan pendengaran.

“Kok, bisa bersamaan? Inang mati, Amang pikun….”

Begitu ia menangkap suara seorang suster itu.

Pak Tua kalut. Ia menampak kedua suster bergegas meninggalkan kamar. Membiarkannya tiba-tiba seperti tenggelam ke dasar kolam renang sana. Dan dari dasar kolam itu, dengan posisi tengadah, sepasang mata pedih, ia menyaksikan cahaya berkilauan berpendar di permukaan kolam. Dan kemudian, di antara cahaya itu, samar-samar ia menampak seorang suster kembali ke dalam kamar.

Pak Tua tersengal-sengal. Dadanya hampir meledak oleh harap. Si suster menggenggam jemarinya, dan Pak Tua cepat mencengkeram. Ia tidak ingin melepaskannya. Ia bersorak menikmati kehangatan yang mengalir dari jemari si suster. Ia merasa tak sendirian.

Si suster tiba-tiba terpana menyadari sepasang mata Pak Tua yang nyalang tak bergerak. Dengan susah payah si suster kemudian berusaha melepaskan jemarinya.

“Ya, benar, sudah pikun,” desisnya.

“Jangan dilepas! Jangan dilepas! Jangan!” Pak Tua berteriak-teriak kikuk, dan ingin tetap mencengkeram jemari si suster. Namun seluruh tenaganya seolah buyar. Dan tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Lalu, ia merasa terlepas dari dunia, ketika si suster berhasil menarik jemarinya—dan bergegas ke pintu.
Secercah perkiraan mengerjap dan menggoyang kesadaran Pak Tua. Rasa perih mengiris-iris dadanya. Pikirnya, boleh jadi seperti itulah kondisi istrinya dua tahun ini, ketika dalam kepikunan ia mencengkeram jemarinya dengan kikuk agar tak ditinggal sendirian.

Sang istri bisa saja meronta-ronta, atau bahkan menangis dan memanggil-manggil seperti dari dasar kolam renang sana. Tapi tak ada tenaga dan air mata. Sementara di antara cahaya pagi berkilauan, di permukaan kolam, samar-samar tampak sang suami menjauh.
Masih adakah esok untuknya? (*)
 .
.
Arie M.P. Tamba tinggal di Bekasi Timur. Buku cerita pendeknya adalah Mangiring Mona (1993).











 

Tidak ada komentar: