Senin, 07 November 2011

CERPEN KORAN TEMPO



 

K  a  f  e
Oleh
Wendoko




19.24
PEREMPUAN ITU di depannya—di balik laptop yang terbuka, dan secangkir kopi yang mengepulkan uap tipis.

Ia baru menyadari dua puluh menit kemudian—sejak ia masuk ke kafe, memesan kopi, duduk, dan menjawab beberapa SMS yang masuk. Lalu menyesap kopi, menatap sekenanya ke plafon yang dicat hitam, dinding berwarna krem-muda, kaca-kaca, dan pohon plastik di satu sudut—sampai matanya membentur pada perempuan itu.

Dan ia tak tahu kapan perempuan itu masuk ke kafe, dan sudah berapa lama duduk di situ—di meja yang berjarak delapan meter darinya, dan hanya dipisahkan meja lain dengan tiga kursi. Perempuan dengan terusan cokelat sedikit di bawah lutut, bermotif daun, di balik semi-jas hitam dan scarf merah-kuning di leher. Sangat menarik! Dan ia merasa mengenali perempuan itu—atau pernah melihat wajah itu sebelumnya. Tapi dulu, dulu sekali. Rasanya bukan sebulan, beberapa bulan, atau setahun. Ia pernah melihat wajah itu hampir dua belas tahun yang lalu!

Ia lalu menengok ke sudut yang lain—pura-pura membaca banner yang ditaruh di samping konter. Waktu itu perempuan di depannya tiba-tiba mengangkat kepala. Lalu ia mengangkat cangkir dan menyesap cappuccino dengan tambahan sirup vanilla itu. Ada sebuah ingatan yang mengendap lama dalam memori otaknya, yang malam ini—entah kenapa—seperti mendesak-desak keluar. Sejenak ia teringat perempuan dengan rambut lurus-sebahu, berwajah lonjong, bibir agak lebar, dan berkulit bersih. Perempuan yang masuk ke restoran papanya hampir dua belas tahun lalu—bersama seorang lelaki dan anak perempuan, yang waktu datang bermuka merajuk. Perempuan dengan hidung lancip dan alis mata tebal—dua hal yang paling menarik baginya—di samping kulit perempuan itu yang bersih.

Dan selama bertahun-tahun ia telah mengingat hidung dan alis itu, yang tanpa disadarinya lalu mengendap dalam memori otaknya.Tetapi mungkinkah perempuan di depannya ini adalah perempuan itu—perempuan dua belas tahun yang lalu? Sejenak ia mengerutkan kening. Rambutnya memang lurus sebahu, berkulit bersih, dengan hidung lancip dan alis mata tebal. Tapi wajah itu kurang lonjong, dan bibirnya juga lebih kecil. Selain itu perempuan di depannya hampir seumur dengannya, sekitar awal dua puluhan—sedangkan perempuan dua belas tahun yang lalu saat ini seharusnya berumur empat puluhan, atau menjelang lima puluh.

Atau… jangan-jangan perempuan di depannya adalah anak perempuan yang juga dilihatnya waktu itu? Anak perempuan kurus, dengan rambut poni dan dikuncir dua? Tetapi rasanya aneh juga, karena dulu anak perempuan itu berkulit agak kemerahan, dan tak ada tanda-tanda hidung lancip atau alis mata tebal. Hanya saja bibirnya memang lebih kecil dan wajahnya bulat. Mungkinkah waktu dua belas tahun akan mengubah penampilan seseorang?

Perempuan di depannya terus menatap ke laptop. Kopinya sejak tadi tak tersentuh. Ia lalu sedikit menundukkan mata. Dalam jarak delapan meter itu—dan dengan posisi di mana perempuan di depannya menatap ke laptop—sangat mungkin perempuan itu tiba-tiba memandang ke arahnya, tanpa ia sadari. Dan ia tak mau kepergok dengan cara ini! Dua belas tahun yang lalu ia berkata pada papanya, setelah ia menemukan jaket warna merah-dadu di kursi yang sebelumnya diduduki perempuan itu.

“Jaket siapa ini, Pa?”

“Ah, pasti jaket anak perempuan itu! Kita simpan saja. Mudah-mudahan mereka kembali.”

Setengah jam kemudian ia bertanya lagi pada papanya.

“Papa lihat yoyo-ku nggak?”

“Lho, di mana kamu taruh?”

Tetapi dua belas tahun yang lalu perempuan, atau anak perempuan, itu tak kembali ke restoran papanya. 

Sebulan, dua bulan, lalu tiga bulan. Sampai papanya menutup restoran pada bulan keempat, karena papanya mendapat tawaran bekerja di sebuah perusahaan besar—setelah hampir dua tahun menjalankan restoran itu. Waktu itu ia berumur tiga belas tahun….

Ia tersentak ketika seorang lelaki mendekat ke arah perempuan di depannya, lalu menyentuh pelan dari belakang. Perempuan di depannya berbalik, lalu tersenyum—dan lelaki ini membungkuk dan mencium pipinya. Ah… apakah lelaki ini juga lelaki yang dilihatnya dua belas tahun lalu? Kali ini ia yakin tidak, karena lelaki ini bertubuh tinggi, berwajah ramah, dan kelihatan sangat cerdas. Sedangkan lelaki yang dulu bertubuh tambun, agak botak, angkuh, dan kelihatan bodoh!

Ia lalu menghabiskan tegukan terakhir kopinya. SMS yang ia tunggu sejak tadi sudah masuk. Nana sudah terbang dari Surabaya, dan satu jam lagi akan mendarat di Bandara Soekarno-Hatta. Dari kafe ini, setidaknya ia butuh empat puluh lima menit sebelum sampai di bandara.


19.49
DI PELATARAN PARKIR, waktu mengundurkan mobilnya, ia melihat tas belanjaan dari kertas di jok belakang. Ia lalu tersenyum. Tas belanjaan itu berisi jaket merah-dadu, yang disimpannya sejak dua belas tahun lalu. Sebelum ditaruh di mobil ini, jaket itu mula-mula disimpan di restoran papanya, lalu di kamarnya—dan tiap kali hanya berganti tas belanjaan jika rusak, atau berpindah tempat dari jok samping ke jok belakang. Nana pernah bertanya jaket siapa itu, dan ia menjawab itu jaket adik perempuannya waktu berumur sebelas tahun. Ketika itu Nana tersenyum, dan berkata ia tak perlu seperti itu. Meskipun ia sangat menyayangi adik perempuannya, yang sekarang kuliah di Belanda, ia tetap tak perlu begitu. Tetapi sejak ia tak menjawab komentar itu, Nana tak berkata apa-apa lagi….


19.27
LELAKI ITU di depannya—di meja yang berjarak hampir delapan meter darinya—dan sejak tadi memandang ke arahnya.

Ia baru menyadari dua puluh menit kemudian—sejak ia masuk ke kafe, memesan cappuccino dengan tambahan sirop vanila, duduk, dan membuka laptop. Lalu setelah beberapa saat, ia menatap ke dinding berwarna krem-muda, alur-alur lampu yang membuat kafe sangat membetahkan, dan lukisan mural di sisi dinding yang lain—sampai matanya membentur pada lelaki itu.

Mula-mula ia agak gerah. Teman-temannya semasa kuliah, atau sekarang setelah ia bekerja, selalu bercerita dengan tawa renyah jika ada lelaki yang melirik penampilan mereka. Rasanya bangga sekali! Tetapi itu tidak berlaku bagi dirinya. Ia selalu merasa jengah. Lalu ia sadar lelaki itu berdiri di depannya waktu mengantre di konter, dan rasanya ia mengenali lelaki itu. Ia pernah melihat wajah itu—suatu waktu, tapi sudah lama sekali. Lama sekali….

Mulanya ia ragu. Lalu ketika lelaki itu menengok ke arah konter, dan tersenyum, ia mulai yakin. Juga waktu lelaki itu mengangkat cangkir kopinya.Ya, senyum itu! Senyum yang manis—dan tak gampang dilupakan! Dan cara mengangkat cangkir yang aneh—seolah takut cangkir itu jatuh—tapi juga tak gampang dilupakan. Ada sebuah ingatan yang mengendap lama dalam memori otaknya, yang malam ini seperti mendesak-desak untuk keluar. Sejenak ia teringat anak lelaki yang tersenyum manis saat ia dan papa-mamanya mampir ke sebuah restoran hampir dua belas tahun lalu! Anak lelaki yang mungkin sedikit lebih tua darinya, berbadan gemuk, berambut ikal, dengan kulit agak gelap dan wajah bulat. Tetapi yang paling menarik baginya dari anak lelaki itu adalah caranya tersenyum.

Selama bertahun-tahun ia telah mengingat senyum itu—yang tanpa disadari lalu mengendap dalam memori otaknya. Tetapi benarkah lelaki di depannya adalah anak lelaki itu—anak lelaki hampir dua belas tahun yang lalu? Lelaki di depannya ini memang hampir seumur dengannya. Rambutnya ikal, berkulit agak gelap, tapi wajahnya lonjong dengan dagu lancip. Tubuhnya juga tidak kelihatan gemuk, dalam balutan kemeja khaki yang digulung sampai lengan dan celana warna gelap. Ah, mungkinkah dulu wajah itu bulat karena tubuhnya gemuk?

Tetapi senyum itu…. Ia tak mungkin keliru! Selama dua belas tahun ia tak pernah melihat senyum yang sama pada wajah lain. Senyum yang membuat bibir itu melebar, mata menyipit, tulang pipi seolah tertarik, dan hidung agak mengembang….

Ia lalu pura-pura memelototi laptop, ketika lelaki itu tiba-tiba menatap ke arahnya. Ia tak mau kepergok sedang mengamat-amati seorang lelaki. Setidaknya tidak dengan cara ini! Tetapi dua belas tahun lalu, anak lelaki dengan senyum manis itu juga beberapa kali memandang ke arahnya. Waktu itu ia duduk di dekat mamanya—dan tiap kali ia menatap balik, anak lelaki itu selalu menghindar.

Dua belas tahun yang lalu, sepulang dari restoran, ia berkata pada mamanya.
 
“Mama lihat jaketku?”

“Lho, bukannya tadi kamu pakai?”

Dan ia cemberut, dan terus cemberut sepanjang sore itu. Tetapi malam itu ia menemukan yoyo di dalam ransel kecilnya. Mulanya ia bingung. Lalu ia mengingat-ingat, kapan terakhir kali ia memasukkan barang ke dalam ransel. Ya! Tadi siang, selesai makan, bukankah ia pindah ke meja yang lain? Dan ia mengeluarkan seisi ransel—mulai dari kertas, pensil, pensil warna, dan penghapus. Lalu mencoret-coret—sampai mamanya memanggil, dan buru-buru ia memasukkan lagi barang-barang itu ke dalam ransel.

Kalau begitu, ini pasti yoyo anak lelaki itu! Sejak hari itu beberapa kali ia merengek pada mamanya—minta kembali ke restoran itu. Ia juga meminta pada papanya. Tetapi baik papa maupun mamanya selalu menjawab nanti. Ia tak pernah mengutarakan alasannya—hanya saja ia ingin cepat mengembalikan yoyo itu. Empat bulan kemudian—ketika ia dan papa-mamanya benar-benar kembali ke restoran itu—nyatanya restoran itu sudah tutup.Waktu itu ia berumur sebelas tahun….

Ia tersentak ketika ada yang menyentuh bahunya dari belakang. Ia menoleh, lalu tersenyum. Hans membungkuk dan mencium pipinya.

“Sudah lama?”

Sejenak ia merasa pipinya panas, apalagi satu-dua tamu kafe melirik ke arahnya. Hans memang penuh ekspresi. Mungkin karena ia lama di Amerika Serikat. Hans yang baik. Lulusan ekonomi University of Wisconsin, dengan summa cum laude. Sebetulnya, sebelum ia diwisuda, banyak perusahaan di Amerika Serikat yang mau merekrutnya, bahkan ada yang menawarinya bea siswa penuh. Tetapi Hans memilih kembali ke Indonesia. Dan ia bahagia karena Hans juga memilih dirinya.

Ketika Hans berjalan ke konter untuk memesan kopi, ia melirik ke meja lelaki itu. Tapi meja itu sudah kosong….


20.31
DI PELATARAN PARKIR, waktu ia mengundurkan mobilnya, Hans bertanya dengan takjub.

“Kau masih menyimpan yoyo ini?”

Waktu itu Hans baru saja mengobrak-abrik laci dasbor mobilnya, mencari CD.

Ia tak menjawab. Hans lalu tersenyum.

“Sudahlah, kau tak perlu begitu. Adik lelakimu itu sudah besar. Sekarang ia kuliah di Singapura, dan mungkin ia sendiri tak terlalu memikirkan kakak perempuannya.”

Bukan pertama kalinya Hans berkata seperti itu, dan bukan pertama kalinya pula ia hanya tersenyum. Pertama kali Hans bertanya, ia menjawab itu yoyo adik lelakinya, yang lima tahun lebih muda darinya. Ia telah menyimpan yoyo itu selama hampir dua belas tahun. Mula-mula disimpan di kamarnya, lalu di dalam tasnya, dan sekarang di laci dasbor mobilnya. (*)


Ubud-Jakarta, 2010

Wendoko, lulusan Teknik Arsitektur Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Buku-buku puisinya adalah (Oratorium) Paskah (2006), Sajak-sajak Menjelang Tidur (2008) dan Partitur, Sketsa, Potret dan Prosa (2009).





 
 
Lelaki dan Bintang Kecil
Oleh
Stefanny Irawan
 
 
 
 
 
MATANYA membuka. Nyalang. Mengandung amarah. Demi Tuhan, tak adakah yang bisa melakukan sesuatu? Dilemparkannya bantal yang sedari tadi menutupi telinganya namun sia-sia itu. Paling tidak ini sudah lebih dari setengah jam. Dibacanya angka yang tertera di layar Blackberrynya. Pukul 2:27. Siapa yang butuh keributan semacam ini sebelum subuh tiba? Yang jelas bukan seorang pegawai yang promosinya tergantung dari keberhasilan negosiasi dengan klien besok pagi—ralat, nanti pagi—di kota yang berjarak dua jam penerbangan seperti dirinya ini. Teriakan dan tangis itu terdengar lagi. Ini sudah keterlaluan, batinnya. Lalu ia berdiri dan melangkah ke arah pintu.

Sebenarnya ia suka tinggal di sini, di rumah kos ini. Jumlah kamarnya sedikit, jadi tak terlalu banyak orang yang menempati. Dan itu artinya tingkat keributan yang minim. Pemiliknya juga sudah tua, seorang nenek tua lebih tepatnya, tetapi untunglah tidak bawel. Dan ia cuma bertemu dengan nenek itu ketika membayarkan uang kos tiap bulannya. Kadang-kadang ia membayar dua atau tiga bulan sekaligus, sehingga ia tak perlu bertemu dengan nenek itu dalam waktu cukup lama. Bagi orang yang tak suka keramaian dan cukup penyendiri, hunian ini sudah pas, nyaris tanpa gangguan. Kalau saja tidak ada mereka.

Dituruninya tangga dengan langkah tegas. Ia tak peduli suara yang ditimbulkannya akan membocorkan kedatangannya. Biar saja mereka dengar. Itu kalau mereka masih bisa mendengar di tengah-tengah tangisan yang kerasnya serasa menggetarkan dinding-dinding rumah ini. Ia juga tak peduli dengan penghuni lain kali ini. Kalau mereka bisa betah tetap berada di dalam kamar dan tidak memprotes apa-apa, mereka juga tak akan memprotes suara langkahnya yang semakin keras dimuati amarah itu.

Pintu itu diketuknya. Masih terdengar suara tangis yang lantang. Ia mengusap wajahnya yang pasti tampak menyebalkan sekarang. Kuyu dan marah. Betapa tidak, ia baru tidur nyaris tengah malam setelah menyiapkan bahan presentasi untuk perundingan besok, namun tak terlalu lama kemudian dibangunkan oleh tangis dan teriakan tak manusiawi ini. Ia memejamkan mata kuat-kuat ketika suara tangis itu mulai lagi dengan lebih keras, seakan baru diisi bahan bakar untuk terus melaju sampai berjam-jam nanti. Diembuskannya napas kuat-kuat lalu kembali ia meminta dibukakan pintu. Kali ini ia lebih memilih menggedor.

Ketika nyaris menggedor untuk ketiga kalinya, pintu akhirnya terbuka. Nenek itu yang membukanya. Ia terdiam sejenak karena baru kali ini ia melihat perempuan tua yang biasanya tampil rapi dengan rambut putih panjang disanggul itu dalam keadaan awut-awutan. Beberapa helai rambutnya tampak menjuntai di depan wajah, sementara sebagian besar terlihat hasil buru-buru diselipkan di belakang telinga. Tapi ia tak akan mengurungkan niatnya. Biar saja. Kalau mereka sama-sama tak suka dengan apa yang mereka lihat dari orang-orang yang dibangunkan pagi-pagi buta, maka sebaiknya kejadian semacam ini tak perlu sering-sering terjadi.

“Nek, ini sudah sangat larut. Terlalu larut untuk keributan semacam ini.” Lupakan sapaan selamat malam, lupakan minta maaf karena mengganggu. Ia butuh menyelesaikan ini secepat mungkin, selain itu, merekalah yang mengganggunya lebih dahulu.

“Saya tahu. Maafkan saya, tapi…,” jawab nenek itu tanpa menyelesaikan kalimatnya. Mungkin tatapan itu meminta permakluman, mungkin juga pengumuman bahwa perempuan tua itu sendiri tak mampu melakukan apa-apa.

Tapi ia tak mau terima kalimat patah macam itu begitu saja. Ia mengangkat alis tanda meminta penjelasan lebih lanjut. Atau janji. Atau apa pun yang lebih memuaskan untuk gangguan yang masih terus bersuara hingga sekarang.

“Yang besar sakit, demamnya tinggi. Sudah diberi obat dokter tapi entah mengapa masih belum turun-turun juga. Ia jadi susah tidur dan terus merengek-rengek. Yang bayi jadi terbangun, terganggu tidurnya dan sekarang ikut-ikutan menangis.”

Penjelasan lebih. Bolehlah, ia kini tahu apa masalahnya. Tapi induk semangnya itu seharusnya tahu kalau ia pegawai perusahaan periklanan, bukan dokter umum apalagi dokter anak. Jadi tak mungkin ada pemecahan datang darinya setelah mendengarkan perkara domestik itu. Haruskah ia memberi saran? Tidakkah dua orang ibu di rumah ini bisa menangani ini dengan lebih baik tanpa menunggu saran dari bujangan seperti dirinya?

“Tidakkah Nenek dan anak Nenek bisa melakukan sesuatu? Menelepon suaminya misalnya?” ia berkata juga akhirnya. Bukan saran praktis, tapi lebih untuk menyeret seseorang lain ke dalam permasalahan. Supaya pemain baru itu akan membawa pergi semua sirkus ini entah ke mana.

“Tidak apa-apa, Ma. Yang kecil sepertinya mulai mau ditenangkan,” tiba-tiba seorang perempuan muda keluar dari salah satu pintu di ruangan itu sambil menggendong dan menepuk-nepuk bayi yang sedang menyusu.

Kedua orang di ambang pintu itu serempak menoleh. Melihat ke arah perempuan itu, mau tidak mau mata laki-laki itu teralih juga pada tonjolan dada tempat bayi itu meletakkan tangannya yang begitu kecil, tak mampu menutupi keseluruhan payudara itu dengan baik. Tersadar oleh kemungkinan ia telah terlalu lama memperhatikan payudara itu, cepat ia mengalihkan pandangan ke arah ibu muda yang ternyata telah menatapnya dan langsung menyambutnya dengan kata-kata, “Dan suami saya sudah tidak akan ikut-ikut dalam kehidupan kami lagi!”

Suasana mendadak kaku. Ia merasa nenek di hadapannya ini baru saja menghela napas. Entah lega, entah prihatin, entah menyesal. Lalu sesosok anak perempuan kecil menyusul keluar dari kamar, merangkul kaki ibunya sambil tetap menangis. Namun kali ini tangisnya telah menyurut. Anak kecil itu kemudian menatapnya dengan pandangan yang selalu tak dapat dengan utuh dipahaminya. Pandangan yang hanya dimiliki anak-anak. 

Tatapan yang selalu membuatnya sedikit gagap, merasa tak tahu harus berbuat apa-apa.

Ia berdehem, merasa harus mengakhiri percakapan pagi buta yang aneh ini. “Baik. Tolong jangan terlalu ribut. Saya butuh tidur sebelum ke bandara pagi-pagi nanti.” Lalu ia berbalik, berjalan menuju tangga untuk kembali ke kamarnya.

Sesampainya di kamar, ia tidak bisa langsung tidur. Bukan karena tangisan itu, yang kini mulai terkendali. Ia sudah tak peduli dengan tangisan. Ia memikirkan tentang payudara yang tersembul dan tatapan anak kecil itu. Entah mana yang lebih mengganggunya.Yang jelas, ia tak berpikir untuk melihat dua pemandangan itu ketika sedang marah-marah nyaris pukul tiga pagi. Tapi ia jelas lebih tak menyukai tatapan anak perempuan kecil itu.
Ia tak pernah menyukai anak kecil. Baginya anak-anak itu sesuatu yang seenaknya, menjengkelkan, namun memiliki semacam kekebalan diplomatik yang diberikan oleh usia kepada mereka. Dengan kata lain mereka bisa bertindak apa saja terhadap siapa saja di mana saja, tetapi hanya boleh dihukum oleh orang tua mereka yang kadang-kadang pun tidak merasa kalau anaknya sudah menimbulkan suatu gangguan terhadap sekitarnya. Yang lebih menyebalkan lagi, sepertinya anak-anak itu menyadari kekebalan mereka. Dan bila dihukum pun, mereka menyadari selalu ada kemungkinan untuk lolos hanya dengan kalimat permohonan maaf yang sepertinya memiliki kekuatan tak tertulis untuk harus diterima. Dan itu terlihat dari tatapan mata mereka.
Ya, ia benci tatapan mata anak kecil. Tatapan yang menuntut, yang tanpa takut atau sungkan, tatapan yang berkuasa dan menolak untuk ditundukkan. Bagai bintang-bintang kecil yang keras kepala, yang tak tergapai dan membantah untuk dipadamkan. Sering ia merasa ingin melumat tatapan itu, membuatnya untuk tidak terlalu congkak merasa bahwa semua orang akan memaklumi mereka, bahwa semua kemauan si anak akan dipenuhi cepat atau lambat. Ia ingin menunjukkan bahwa ia, orang dewasalah, yang menentukan semuanya. 

Bahwa bintang-bintang juga bisa redup sinarnya. Mungkin itulah yang diinginkannya sebenarnya ketika beberapa kali tergerak untuk diam-diam menjegal jatuh anak-anak yang berkejaran dengan sepatu beroda di mal. Bahkan teman-teman sekantornya sudah paham ketidaksenangannya terhadap anak-anak, hingga mereka terkadang berseloroh kepada anak-anak kecil yang lewat di dekatnya, “Jangan dekat-dekat, demi kebaikanmu sendiri.”

Entah sampai di mana perenungannya atas anak kecil, sebab perlahan ia mulai tertidur. Mungkin masih memikirkan tentang tatapan itu. Atau payudara itu. Entah yang mana.


IA memelototi papan keterangan jadwal penerbangan di bandara dengan tak percaya. Setelah perundingan alot yang akhirnya harus dilanjutkan lain kali itu ia kini masih harus menerima kenyataan bahwa penerbangan pulangnya ditunda hingga larut nanti. Bagus sekali. Nanti apa lagi? Penerbangan yang penuh dengan anak kecil?

Ruang tunggu yang baru dan megah itu sepi. Semoga memang penerbangan tengah minggu ini sepi, ia sedang tak ingin mengantre atau berdesakan dengan banyak orang. Dipilihnya bangku di dekat dinding kaca. Jika penerbangan ini ramai, paling tidak ia akan berada di salah satu sudut dan tak di tengah-tengah.

Di tengah keasyikannya membaca koran hari ini yang nyaris kedaluarsa itu, suatu suara meminta perhatiannya di balik bentangan halaman koran.

“Maaf,” sapa perempuan setengah baya di hadapannya. “Saya titip keponakan saya sebentar ya? Sebentar saja,” ucapnya memohon ketika dilihatnya kerut keberatan di muka laki-laki itu. “Saya sakit, harus ke toilet, mungkin masuk angin karena menjaga mama anak ini di rumah sakit. Sebentar saja. Keponakan saya tidak akan merepotkan, sudah saya belikan buku mewarna dan pensilnya. Anda tinggal mengawasi saja kok.”

Tanpa menunggu reaksi darinya, perempuan itu sudah setengah berlari pergi sambil berpesan singkat ke arah keponakannya, “Fel, tunggu di sini ya. Yang penurut.” Dilihatnya perempuan itu sempat menutup mulutnya dengan tangan, seperti berusaha menahan muntah sebelum ia sampai ke kamar mandi.

Ditatapnya anak perempuan di hadapannya yang terlihat sibuk membolak-balik buku mewarna barunya sehingga tak terlalu menggubris apa yang terjadi di sekitarnya. Umurnya tak mungkin lebih dari lima tahun. Rambutnya dikuncir dua, kausnya tak berlengan, tas ransel kecil di pundaknya, dan celana jins berhiaskan bunga-bunga warna-warni serta sepatu merah muda. Sial, apa ia terlihat seperti pengasuh anak?

“Sudah. Mulailah mewarna,” ujarnya pendek sambil meneruskan membaca, tapi sedikit menggeser bentangan korannya hingga anak kecil itu masih berada dalam daerah pandangnya. Kepalanya penuh oleh umpatan atas rentetan kesusahannya sejak semalam serta doa supaya perempuan tadi lekas kembali.

Sepuluh menit kemudian, perempuan itu muncul. Sambil tersenyum dan berterima kasih tanpa suara, ia duduk di bangku seberang laki-laki itu. Laki-laki itu balas tersenyum sopan. Senyum perempuan itu tersungging lagi ketika dilihatnya sang keponakan menoleh ke arahnya sebentar sambil tetap duduk manis, sibuk dengan buku mewarnanya. Lalu perempuan itu menyandarkan tubuhnya yang sepertinya kepayahan itu ke sandaran bangku, sementara laki-laki itu sudah kembali sibuk dengan korannya.

Beberapa saat berselang sebelum suatu bunyi mengusik laki-laki itu. Diturunkannya koran yang menutupi wajahnya, mencari asal suara. Laki-laki itu mendesah, ternyata perempuan itu sudah mendengkur halus. 

Diliriknya anak kecil itu. Masih mewarnai. Yah, selama anak kecil ini tak merepotkan, ia memutuskan untuk membiarkannya saja. Tapi lima menit kemudian, keadaan mulai berubah. Dimulai dengan tarikan di lengan bajunya.

“Sedang apa?” Anak kecil itu memandangnya lekat-lekat. Pandangan itu. Tatapan bintang kecil nan keras kepala yang tak pernah disukainya dan membuatnya tergeragap.

“Hm. Baca koran,” jawabnya tak acuh lalu mengembalikan tatapannya ke halaman koran dengan harapan anak kecil itu akan kembali pula ke buku mewarnanya atau mengganggu tantenya itu saja.

“Ikut ya?”

Harapannya kandas. Ditambah anak kecil itu tetap tak mau melepaskan dirinya dari tatapan itu. Merasa sudah mulai kewalahan, laki-laki itu melipat korannya dan hendak berdiri, membangunkan tante tak bertanggung jawab yang telah memaksa seseorang yang benci anak kecil menjadi pengasuh anak dadakan.

Tetapi rupanya anak itu salah mengartikan gerakannya. Merasa dipersilakan, dengan cekatan anak kecil itu duduk di area kursi yang tersisa, di antara kedua kakinya yang membuka, siap ikut membaca koran. Sejenak laki-laki itu ragu untuk meneruskan niatnya. Anak kecil itu menoleh, seakan berkata kalau sudah saatnya koran dibentangkan di depan mereka berdua. Kedip kemilau bintang kecil di matanya. Akhirnya laki-laki itu mengalah. Ia tak tahu apa anak kecil itu sudah bisa membaca, asalkan diam, membaca koran bersama pun tak apa.

Mungkin celana kainnya membuat duduknya lama-lama merosot, sebab tiba-tiba anak kecil itu menggeser pantatnya ke belakang, membenahi posisi duduknya dan mencoba mendorong laki-laki itu supaya duduk agak lebih belakang. Laki-laki itu membenahi duduknya, tapi diam-diam ia merasakan lebih dari itu. Ada yang menggesek lembut selangkangannya, membuatnya mendadak awas dan terjaga. Diturunkannya koran sedikit, cukup untuk membuatnya melihat sekitar. Tak ada perubahan, dan dengkur itu masih konstan terdengar.

Ia menahan napas dan sedikit mendorong duduknya ke depan, membiarkan kain celananya tergelincir di kursi dan sedikit mendorong anak kecil itu. Seperti sebelumnya, anak itu tidak suka dan tanpa menoleh, mendorong duduknya ke belakang sebagai tanda supaya laki-laki itu membetulkan posisinya. Kembali laki-laki itu tersentak. “Celananya licin,” bisik laki-laki itu dengan suara serak, entah kepada siapa. Di luar dugaan, anak kecil itu tertawa kecil. Seakan ini lucu, tanda suatu permainan.

Dan anak kecil itu rupanya tak keberatan berkali-kali harus mendorong duduknya ke belakang. Terkadang ia malah tertawa ketika ia harus mendorong lebih keras atau lebih lama sebelum posisi duduk laki-laki itu berubah. Dan ketika si anak kecil menyadari bahwa telah agak lama ia tidak harus mendorong duduknya ke belakang, ia pun menoleh. Laki-laki itu memandanginya dengan wajah berkeringat dan senyum ramah. Bintang kecil itu tak lagi berarti apa-apa baginya, telah samar dan redam kilaunya. Dan bunyi dengkur perempuan itu bagai musik yang indah. Anak kecil itu balas tersenyum.

“Permisi, pesawat saya sudah mau berangkat.” Laki-laki itu membangunkan si perempuan sakit sambil tangannya menggandeng anak kecil itu.

“Oh, oh, maaf. Maaf saya tertidur lama ya?” Perempuan itu tergelagap terbangun. “Keponakan saya tidak merepotkan kan? Ah, dia menumpahkan minuman di celana Anda ya?” ujarnya ketika melihat area basah di celana laki-laki itu.

“Ah tidak apa-apa,” jawab laki-laki itu tersenyum.

“Untung Anda orang yang suka anak-anak.”

“Biasanya sih tidak. Tapi yang ini saya suka.”

Laki-laki yang membenci anak kecil itu melambaikan tangan kepada mereka berdua dan melangkah ke arah gerbangnya, sementara kata-kata rekan sekantornya terngiang di telinganya, “Jangan dekat-dekat, demi kebaikanmu sendiri.” (*)


Stefanny Irawan mengajar di Universitas Kristen Petra, Surabaya, dan mengelola Petra Little Theater. Kumpulan cerita pendeknya adalah Tidak Ada Kelinci di Bulan (2006). Sebuah cerita pendeknya termuat dalam bunga rampai Un Soir du Paris (2010).





 

Tidak ada komentar: