Pertarungan Terakhir
Oleh
Hermawan Aksan
PADA suatu malam gerimis, ketika dedaunan bugenvil menampar-nampar jendela kaca rumah, aku kehilangan tokoh utama ceritaku. Tiba-tiba alur kisah yang tengah kurangkai menjadi buntu, seperti menumbuk bidang datar yang pejal. Tema, konflik, deskripsi suasana, segalanya menjadi tanpa arah, tak ubah tersesat di hutan antah berantah.
Ke mana ia? Padahal aku tengah bergairah menjadikan dia seorang bramacorah. Aku hendak mempertemukan dia dengan seorang musuh bebuyutan dalam pertarungan terakhir di sebuah lembah yang basah di kaki Gunung Salak dan akan menjadi penentuan siapa sebenarnya bramacorah yang paling hebat dalam sejarah. Sang musuh sudah mengadang, dengan baju dan celana hitam komprang serta golok panjang di pinggang, dan sekarang tokoh utamaku menghilang. Apakah ia mendadak menjadi lelaki tanpa nyali?
Kubongkar tumpukan kertas buram yang biasa kupakai untuk merancang-rancang secara kasar cerita-cerita pendek. Barangkali ia terselip di sana, menyembunyikan diri dari angin dingin yang menyelinap melalui ventilasi, atau sengaja bertemu dengan tokoh-tokoh lain rekaanku. Tak ada.
Kubuka folder demi folder di komputerku, siapa tahu ia menyelimpat di salah satu di antara puluhan file naskah jadi atau setengah jadi. Barangkali ia ingin sejenak jalan-jalan membuang kejenuhan, lagaknya pengarang yang kadang dilanda kekeringan gagasan. Tak juga kujumpai di sana.
Beberapa waktu lalu, dua kali ia menghilang. Pertama, ia lenyap ketika aku menjadikannya seorang pejabat yang ketahuan mencuri uang negara. Cerita ini terinspirasi oleh fakta mutakhir di sebuah kabupaten bahwa bupati, wakil bupati, sekretaris daerah, dan anggota dewan, semuanya menjadi tersangka korupsi. Tak tersisa. Ia kutemukan di saku bajuku, tokohku itu, di secarik kertas kuitansi honor dari sebuah media.
Kedua, ia raib dari bidang layar komputer ketika cerita hampir mencapai klimaks dan ia harus menghadapi istrinya yang montok macam timun suri selingkuh dengan bosnya. Ia kutemukan pagi hari tengah mematung di kolam kecil di depan rumahku, memandang ikan-ikan yang kedinginan. Aku memintanya masuk karena udara mengandung embun yang membekukan, tapi ia bergeming seperti patung salju. Aku menduga ia tengah berangan-angan menjadi kodok jantan, untuk menemani kodok betina di balik batu di sudut kolam.
Namanya Surandil, tokohku itu. Sulit aku memerikan sosoknya. Ia pernah kupakai menjadi banyak karakter.
Ketika menjadi mahasiswa, ia berwajah biasa-biasa saja sehingga terbiasa patah hati karena selalu mendambakan mahasiswa yang cantik luar biasa, kerap berlagak sebagai pencinta binatang tapi membenci tak alang kepalang kucing milik ibu kos karena selalu membikin gaduh di genting kamar tatkala ia berkonsentrasi mengerjakan tugas-tugas kuliah.
Ketika menjadi pengemis, Surandil bertubuh kumuh seperti patung jerami pengusir burung, bertopi pandan dan berkaki pengkor, dengan baju berwarna campuran segala benda kotor dan bau seperti got mampat.
Ketika menjadi anggota DPR, ia memakai jas, dasi, dan sepatu pantofel mengilat, pintar berjanji tanpa perlu menepati, duduk nyaman di jok mobil Alphard yang menguarkan harum magnolia seraya jemarinya sibuk mengubah-ubah status Facebook dan Twitter, kemudian menyandar tenteram di kursi empuk ruang sidang dengan mata lelap terpejam, atau menitip tanda tangan dan meluncur ke sebuah ruang yang samar dan temaram.
Aku menyukai nama Surandil tanpa sebab. Di dunia nyata, pastilah yang ada Suranto, Suratno, Suharto, dan yang sejenisnya, tapi aku tak yakin apakah ada nama Surandil. Nama ini muncul begitu saja seperti putik bunga pada pagi hari dan berseminya putik tidak perlu karena sebab tertentu. Tentu saja Surandil tidak tampil dalam setiap cerita. Tapi seperti Seno Gumira dengan Sukab, AS Laksana dengan Seto, dan Mahwi Air Tawar dengan Madrusin, Surandil seperti belahan jiwa bagiku. Soulmate.
***
INGIN kutanya istriku di mana gerangan Surandil. Tapi risikonya terlalu tinggi. Pertama, ia tengah lelap dan dengkurnya hilang-timbul di tengah desau angin malam. Oh, istriku cantik dan seksi. Jadi, tak ada hubungannya antara dengkur dan kecantikan. Ia akan marah, atau setidak-tidaknya cemberut berat, kalau kubangunkan di tengah mimpinya. Ia sekretaris sebuah perusahaan penerbitan buku dan ia harus bangun pagi karena selalu berangkat pukul tujuh dari rumah. Kami sudah hampir lima tahun menikah dan kami saling mencintai, setidak-tidaknya aku yakin kami saling mencintai, meskipun belum dianugerahi sesosok bayi.
Kedua, ia akan bertanya macam-macam, siapa itu Surandil. Akan makin runyam kalau ia menyangka Surandil adalah manusia nyata.
Esoknya, kusambangi rumah temanku sang komponis lagu. Rumahnya hanya berselisih satu rukun warga dengan rumahku. Sesekali aku mampir jika hendak menjemput inspirasi di taman kompleks. Kadang jalan kaki, tapi kali ini menunggangi motor bebekku. Rumahnya menghadap taman, asri seperti iklan-iklan perumahan elite. Lagu-lagunya sedang digandrungi anak muda, memadukan rock, blues, keroncong, tarling, dan orkes gambus seperti adonan ketoprak betawi. Bagaimana lagu-lagu acakadut seperti itu digemari, ah, selera anak-anak muda tak pernah bisa kita duga.
Beberapa kali aku membawa serta Surandil ke rumah sang komponis, tanpa sengaja, karena tahu-tahu ia menyembul dari kepalaku, atau kadang lepas dari lepitan dompet. Kami, maksudku aku dan sang komponis, kerap bertukar gagasan mengenai proses kreatif. Tak jarang aku bertemu berbagai tokoh baru dari lagu-lagu gubahannya. Sebaliknya, dari karya-karya yang kutunjukkan, ia kerap menciptakan lagu.
“Kamu lihat Surandil?” tanyaku, tanpa basa-basi melumat sepotong donat.
Sang komponis menghentikan petikan gitarnya. Keningnya berkerenyit, lapisan kulitnya membentuk gelombang sinus-cosinus sejajar dari tepi ke tepi. “Siapa Surandil?”
Ditanya seperti ini, kelabakan juga aku menjawab apa.
“Rasanya kamu tinggal berdua saja dengan istrimu. Adikmu? Atau keponakanmu? Seperti apa rupanya?”
Nah, pertanyaan ini juga sama sulitnya dijawab. Tak mungkin aku bilang dia anggota dewan berjas wangi. Sama musykilnya kalau aku bilang ia pengemis berbau penguk dengan kaki pengkor.
Karena aku diam saja, sang komponis kembali memainkan jemarinya di kawat-kawat gitarnya. Terdengar genjrengan musik acakadut yang tengah digemari anak-anak muda.
Aku lebih baik permisi saja.
Setelah menyusuri jalanan tanpa tujuan, tahu-tahu aku sudah berhadapan dengan gerbang besi tempa rumah sahabatku sang pelukis. Rumahnya lebih mewah dibanding rumah sang komponis. Luas, dan sekilas menyerupai kastil dengan halaman yang seluas lapangan sepak bola. Seorang pelayan membuka rantai gerbang dengan suara berkelontang, membawaku ke studio sang pelukis di bangunan pinggir—lebih besar dibanding rumahku. Kalau siapa pun ingin menemukan sebuah kontras yang paling ekstrem, di sinilah tempatnya: gedung itu istana, sang istri bak permaisuri, tapi sang pelukis tak lebih dari lelaki kurus, bungkuk, hidung bulat, bibir maju, kulit gelap kusam. Tapi itulah, itu, satu lukisannya minimal seratus juta rupiah. Objeknya gadis-gadis cantik molek tanpa busana. Dan ke sinilah aku masuk kalau sedang suntuk.
Tapi kali ini tujuanku bukan memuaskan dahaga penglihatanku. Aku coba menyisir setiap sudut studionya, tapi tak kujumpai Surandil.
“Kamu cari apa to?” Aku tergeragap beberapa kejap.
“Ya… melihat-lihat lukisanmu….”
“Tapi matamu tidak menatap lukisan-lukisan.”
Aku menoleh dan tertawa. Sang pelukis bukan orang yang tepat untuk berdiskusi tentang Surandil.
Jadi, aku memutuskan pergi ke rumah sang novelis. Betul, siapa tahu Surandil sedang berkumpul dengan teman-temannya sesama tokoh fiktif. Aku tahu sang novelis memiliki koleksi tokoh yang tak terhitung. Ia tak suka memakai tokoh yang sama dua kali. Satu judul saja menceritakan puluhan tokoh. Dan ia sudah menerbitkan puluhan novel. Berarti ada ratusan tokoh di sana.
Novel-novelnya bak kue bronis. Laris-manis. Royaltinya ibarat Bengawan Solo, mengalir sampai jauh. Jadi, untuk ukuran Indonesia sang novelis tergolong kaya. Rumahnya tingkat dua, sangat menonjol di antara rumah-rumah di sekitarnya. Mobilnya dua. Meskipun jarang ke rumahnya, aku mengagumi sang novelis karena ia tetap bersahaja.
“Ada angin apa seorang cerpenis berlabuh di sini?”
“Ah, saya bukan cerpenis, baru senang menulis cerpen, dan tahu-tahu sudah terdampar di pelabuhan ini.”
Sang novelis berbalik dari laptopnya, mengangguk-angguk dengan senyumnya yang seteduh pohon beringin.
“Kamu lihat Surandil?”
Kedua alis tebal sang novelis bergerak hendak menyatu. Tapi sejenak menjauh lagi seiring dengan senyum di sudut kanan bibirnya yang lagi-lagi meneduhkan. “Bukankah dia tokoh kesayanganmu?”
“Benar. Aku sedang membutuhkan peran dia.”
Lalu kuceritakan cerpen yang sedang kubuat.
“Hmmm….” sang novelis manggut-manggut macam perkutut. “Mungkin ia tidak menyukai perannya. Mungkin ia ingin menjadi tokoh lelaki muda yang tampan, kaya, rajin shalat, dan punya kekasih perempuan cantik, juga kaya dan serba modern.”
“Sinetron sekali….”
“Bukankah itu yang digemari?”
“Seperti novel-novelmu?”
Sang novelis tertawa.
“Di mana aku harus mencari dia?”
“Tak perlu kamu cari. Tunggulah, dia akan kembali. Rumahmu adalah rumahnya.”
***
PADA malam yang persis sama, gerimis, ketika dedaunan bugenvil menampar-nampar jendela kaca, samar-samar terdengar ketukan di pintu rumah. Ketika kubuka pintu, di bidang remang seorang lelaki muncul dengan penampilan yang membuatku terpana: berambut panjang yang diikat di belakang, berbandana hitam, celana jins belel, dan kaus berlogo klub Liverpool bertulisan You’ll Never Walk Alone. Aku merasa tak asing lagi. Aku selalu melihatnya di cermin. Sosok itu adalah diriku sendiri!
“Siapa kamu?”
Lelaki itu memberikan sorot yang menusuk melalui hitam matanya. “Boleh aku masuk?” Aku memberinya jalan meskipun di dada berjejalan tanda tanya.
“Kamu tak mengenalku?” tanyanya sambil melewatiku.
Menguar bau udara basah dari tubuhnya.
“Melihatmu sekilas, aku serasa sedang bercermin. Tapi kamu bukan aku. Aku di cermin tak pernah memiliki raut menyeramkan seperti kamu.”
“Aku Surandil.”
Kalau saja tidak tertahan pintu yang kututup di belakangku, aku pasti sudah terjengkang.
Logika fiksi pun tidaklah berjumpalitan seperti ini. “Tidak mungkin.”
“Kamu tak bisa mengingkari kenyataan yang kamu lihat.”
“Surandil adalah tokoh ciptaanku. Akulah yang bisa menentukan dia mau menjadi apa. Dan aku tak pernah menjadikan dia sebagai aku.”
Lelaki itu tertawa.
Ia menghampiri meja di sudut ruang tengah. Meja dekat jendela kaca yang masih ditampar-tampar dedaunan bugenvil. Ia duduk menyandar sebentar di kursi, lalu memandang layar komputer yang masih berupa bidang putih menyala. Dua jarinya sekaligus menekan tombol CTRL + HOME dan layar memperlihatkan barisanbarisan kalimat cerpenku yang belum tuntas.
Kemudian ditekannya CTRL + H.
Aku menyerbunya. “Apa yang kamu lakukan?”
Tapi tangan kirinya seperti palang besi. Aku tertahan dan hanya bisa menatap layar komputer ketika semua nama Surandil dalam cerpenku itu digantinya dengan namaku.
Kucoba mendorongnya dari kursiku. Tapi aku merasakan kekuatan yang lebih dahsyat ketika aku malah terjengkang dan bagian belakang kepalaku menghantam tembok.
Mungkin sejenak aku kehilangan kesadaran. Ketika kubuka mata, tiba-tiba aku berada di sebuah lembah yang basah di kaki sebuah gunung. Gunung Salakkah?
“Akhirnya kamu datang juga.”
Aku berbalik. Di hadapanku menjega sosok lelaki berbaju dan celana hitam komprang dengan golok panjang di pinggang. (*)
.
.
Bandung, 2010
Hermawan Aksan lahir di Brebes. Kumpulan cerpennya Sang Jelata (Grasindo, Desember 2004) dan Ketika Bulan Pucat, Dia Pergi seperti Angin (Saroba, 2009). Novelnya Dyah Pitaloka, Senja di Langit Majapahit (C Publishing, Desember 2005), Niskala (Bentang Pustaka, Juli 2008), dan Cincin Cinta Miss Titin (Kakilangit, September 2009).
Rusuk Seratus Tahun
Oleh
Eko Triono
Rosma Niken:
BEBERAPA kali, ia memang kemari. Terakhir, hari keenam pekan lalu. Nangis. Ia bercinta dengan menangis. Tangis paling pilu, tangis tanpa suara. Hanya getar dada dan bibir yang membuat orang yakin, perasaannya sedang tercabik-cabik. Teremas sampai giris.
Kukira, itu memang tangis yang benar-benar pecah dari puncak kesepiannya sebagai lelaki. Lelaki yang malang; hingga akhir hayatnya. Lelaki seratus tahun yang tak bisa mencintai siapa pun. Tak berjodoh dengan perempuan mana pun!
Anda bisa bayangkan sendiri. Bagaimana rasanya hidup bertahan bertahun tanpa cinta dan kasih sejati dari pasangan? Tanpa getar rindu sesinyal pun, meksi ia telah berburu dari satu ladang ke ladang lain, dari sawah ke sawah lain.
Kalau kemari, Mama Seli selalu menyerahkannya ke kamar ini, ke tempatku. Dan setiap kali kupandang matanya yang tua, ia menunduk, seolah aku ibu—yang mendapati anak lelakinya melacur—hingga kerut dan letih semua perasaan dilarikan. Dengan hati-hati, selalu kucoba memberikan imajinasi percintaan paling suci padanya. Tentang pepuja Pagan juga Amon-Isis pada wajah Monalisa yang bijak dalam penyatuan kehendak agung.
“Anda pasti tampan saat belasan tahun, Tuan, tampan sekali.”
Dan ia tak pernah menjawab girang ataupun tersanjung. Hanya melihatku pendek, senyum, seolah bilang; aku tak peduli dengan ketampanan, beribu perempuan mengatakan itu padaku. Matanya membuatku berpaling pada lukisan bakteri-bakteri amuba yang menangis, pemberiannya ketika aku bertanya dengan hati-hati, suatu kali, “Apa sebenarnya yang terjadi pada Anda?” Selang sehari aku mendapatkan kiriman lukisan x meter itu darinya. Dan selama beberapa hari, ia tak pernah muncul, hingga terdengar kabar: langganan kami yang paling kaya itu pergi ke luar negeri.
Tapi tidak.
Ia masih kembali dan menemuiku hari keenam pekan lalu saat hujan memenjara dingin. Dengan stelan jas hitam, ia masuk. Tongkat dan topinya aku yang tertibkan. Dan, tak kusangka, ia berkata-kata sejak langkah pertama memasuki kamar, dengan suaranya yang tua: “Rosma, aku telah baca Kawabata, juga Marquez, aku ingin menikmati cinta tanpa bercinta denganmu malam ini. Tanpa sentuhan satu gores pun. Aku hanya ingin memandangmu.”
Aku tak paham.
Dengan lembut kemudian ia dudukan aku di atas ranjang, “Aku hanya ingin melihatmu, itu saja. Siapa tahu, dengan begitu aku dapat merasakan cinta sejati, Rosma. Cinta yang dimiliki oleh semua manusia. Dan bukankah aku ini juga manusia? Bukankah aku pantas memiliki cinta, Rosma?”
Aku menunduk dan menangis.
Kata-katanya terlalu dalam menghujam. Betapa. Betapa malang lelaki ini. Umur panjang ternyata tak membuat kesempatan jatuh cinta terjadi sekalipun dalam hidupnya. Selebihnya, kubiarkan ia mewujudkan pikirannya. Ia mau lihat aku terbaring berbantal sebelah lengan dan bicara apa pun, bercerita apa pun, tanpa rasa sungkan, takut, juga penambahan di sana-sini demi kesan tertentu buatnya.
Hingga malam terlepas, dini hari menyentuhi kaca jendela.
Dan ia dengan aneh dan tiba-tiba berteriak tak jelas; menyerbuku seperti singa yang lama kehilangan betinanya! Meraung dan menangis sebentar. Kemudian diam dalam tangis, atau mungkin tangis dalam diam. Ngilu, pilu. Tapi bukan tangis rindu dalam arti cinta yang manusiawi. Ia tak pernah jatuh cinta. Ia ingin jatuh cinta. Ia menangis untuk cinta yang tak ada dalam dirinya. Ia menangis untuk perburuannya menjadi manusia utuh yang gagal. Kasihan ia.
Omar Desta Fathur:
HOMO? Ngawur. Itu spekulasi yang sangat ngawur. Tak ada bukti sama sekali. Itu strategi politik untuk menurunkannya dari kekuasaan atas partai dan sejumlah perusahaan yang ditangani. Dengar, ya, dengar: Tuan Foklor itu tidak menikah sebab pilihan hati. Toh, banyak orang yang memilih tidak menikah. Apa yang salah? Itu hak asasi. Kita ini hidup di negara yang telah bebas. Bebas melakukan apa pun. Apalagi bagi orang berharta dan berkuasa seperti Tuan Foklor.
Astaga! Apalagi….
Anda ini kalau bertanya ngumpulin data dulu nggak sih? Kalau iya, darimana itu. Info ngawur kok dicomat-comot, dipakai begitu saja. Ya enggaklah! Kalaupun mendirikan beberapa panti asuhan, rumah singgah, adopsi, termasuk taman kanak, itu karena tanggung jawab sosial. Negara ini butuh banyak campur tangan para dermawan seperti beliau. Lha kok malah diubar-uber isu macam begitu. Pedofillah, inilah, itulah.
Sudahlah, lebih baik dihapus memori semacam itu, kita ganti dengan kenyataan bahwa Tuan Foklor adalah anak bangsa yang membanggakan. Bahkan, kalau perlu, nanti, di dewan, kita usulkan menjadi pahlawan nasional. Lihatlah jasa-jasa beliau di banyak bidang, pendidikan, ekonomi, termasuk jasa dalam pengembangan pariwisata ke seluruh dunia.
O, kalau kesan. Tentu sangat banyak.
Tlilit…tlilit…. Tlililit….
Maaf, sebentar ya, halo? Gimana Zain, sudah siap? Bukunya sudah dicetak? Jangan lupa kontak media. O, ya, ya, nanti kutransfer, gampang itu….
Dokter Tamara:
SAYA ngomong gitu, bukan berarti pernah jadi istri atau selingkuhannya lho, hihihi. Nggak dhing, becanda itu! Becanda.
Aduh, tadi lupa. Tanya apa ya?
Oh, ya, Tuan Foklor memang orang besar dan berpengaruh. Saya bangga jadi dokter pribadinya, yang itu artinya, saya tahu persis apa saja yang terjadi, terkait dengan kesahatan beliau. Tapi terakhir, sebelum meninggal, tak ada apa-apa. Kesehatannya tetap terkontrol meski pada usia tua, bahkan sangat tua.
Bayangkan, seratus tahun masih bugar? Sulit, sulit mencari duanya. Dan hanya beberapa tulang pegal, encok, atau tangan gemetar, dan sedikit mudah masuk angin. Dan itu biasa, dalam artian, mudah ditangani —dan memang tak berpengaruh. Beliau masih aktivitas seperti biasa; mengisi beberapa kolom koran, jalan-jalan ke taman kota, berburu di hutan belakang rumahnya, dan pergi ke tempat-tempat yang biasanya dia sukai.
Tidak, sekali lagi, tidak.
Saya berani menjamin secara profesional, bahwa bukan penyakit fisik yang menyebabkan beliau sering terlihat aneh, dan meninggal dengan cara aneh tersebut. Oh, Tuhan, sampai hari ini aku tak percya Tuan Foklor terga berbuat itu pada dirinya sendiri.
Bisa jadi. Itu bisa jadi.
Tapi, mohon maaf, saya tidak berani berkomentar sebab itu bukan bidang saya. Coba Anda tanyakan pada beberapa psikolog yang sering Tuan Foklor temui.
Paranormal Demian:
MUNGKIN memang inilah waktunya. Akan kukatakan suatu hal besar tentang Tuan Foklor. Tapi sebelumnya dengan terbuka, kukatakan nama yang kusandang ini adalah pemberian dari beliau.
Beliaulah yang membuatku dikenal sedemikian luas. Bahkan nyaris hampir setiap detik, aku dikunjungi orang-orang. Dari segala cara, dengan segala masalah. Yang anehnya aku tak bisa menyelesaikan permasalahan beliau. Hari itu, aku masih tujuh belas tahun. Ada pertunjukan kuda lumping di alun-alun kota. Aku datang. Banyak orang penting, yang dibicarakan teman-temanku, ada di pertunjukan tersebut. Tapi aku tak peduli.
Aku hanya rasa pertunjukan itu memboskankan, dan dalam batin, aku berkata: “Kuda lumping kenapa cuma nari dan makan bara. Kalau memang hebat, naiklah pohon kelapa, atau tembuslah perut dengan sangkur!”
Dengan serta merta yang tak kuduga, para pemain kuda lumping melakukan apa yang kukatakan.
Bersama itu, sang penimbuz—pawang kuda lumping—menatapi aku dan mendekat dengan marah. Dan saat itu, datanglah Tuan Foklor. Beliau mencegah. Kemudian mengajakku ke mobil, menuju penginapan.
Dimintanya aku duduk, dan ia menanyai banyak hal. Kemudian beliau tahu, aku tak lagi punya orang tua. Aku pun diangkat, dibiayai dengan rahasia, dan disekolahkan ke sekolah ilusionis di Jerman. Dari sanalah aku dapat nama: Demian Raharjo. Beliau bilang bahwa aku seperti rekan Shinclair dalam novel Hesse. Aku punya bakat alami supranatural. Yang membuatku beda adalah aku tak pandai melukiskan mimpi buruk dan tak menyukai burung hantu dan Abraxas. Apalagi menggabungkan Tuhan dan setan dalam satu diri itu. Dan lagi: Tuan Foklor mempercayaiku sebab akulah orang yang paling mengerti kegelisahannya. Kegelisahan paling rumit sekaligus celaka yang masih sulit berterima di benak awam.
Dan beliau, beliau itu. Ah, aku berat mengatakannya. Tapi, inilah sumber semua masalah dalam hidupnya yang menimbulkan beban di satu sisi, bahkan kukira, keuntungan dari itu tak sebanding dengan penderitaan yang beliau alami.
Beliau, beliau itu: berusuk lengkap.
Tak ada selengkung pun yang kurang atau ganjil, sebagaimana selazimnya kami sebagai laki-laki normal. Dan berarti bahwa: beliau tak memiliki jodoh di dunia ini selain dirinya sendiri. Beliau tak berhak atas cinta pada lawan jenis; ajaib sekaligus misterius. Tapi itulah kenyataan. Kenyataan yang selama ini beliau tutupi.
Kasihan sekali beliau. Hidup jadi manusia amuba yang membelah setiap cinta dan kerinduan dari dan untuk dirinya sendiri. Itulah sebabnya beliau sering nampak murung. Beliau ingin benar dapat jatuh cinta. Dapat berkeluarga. Menikah. Memiliki pasangan. Dan normal sebagaimana manusia lainnya. Tapi sungguh, itu tak terjadi. Aku bisa membaca pikiran beliau dengan jelas sebagaimana yang beliau inginkan dengan mengangkatku. Sebab beliau pun dapat membaca pikiran, pikiran setiap lelaki.
Kemampuan itu yang membantu beliau dalam karir dan bisnis; termasuk membantu menemukan bakatku dan mengolahnya. Meskipun aku tahu, beliau punya tujuan: agar aku, dengan entah kekuatan macam apa, mengubah jiwa gelisah beliau tentang cinta, jadi normal. Jadi sebagaimana Adam yang dicabut rusuknya buat jadi kekasih. Buat jadi cinta yang indah, dan begitu membahagiakan, mencipta kangen, dan segala romantisme hidup di dunia.
Ya, aku tak bisa melarang beliau.
Lelaki tua, yang paling panjang umur itu, begitu baik. Aku tak kuasa. Termasuk ketika beliau memberi tahu akan menikahi dirinya sendiri dengan aku sebagai saksi. Dan igauan ngerinya sepanjang ijab paling absurd itu: tentang mati dengan rusuk tercerabut, dan aku bakal diminta menyimpan, untuk kemudian hari; bila kloning telah diizinkan. Agar kelak rusuk itu ditumbuhkan dengan ilmu dunia, sebab semua ilmu sihir dan ilusi tak lagi cukup melahirkan perempuan dari sela-sela rusuknya yang putih dan melengkung keras. Perempuan baru yang selalu dirindukan menemani duduk dan bercerita. Atau mungkin datang ke makamnya setiap senja, dengan biola kecil, dan memainkan lagu kehidupan yang sederhana.
Oh, tidak. Aku selalu jadi melankoli ketika mengingat semua kelembutan, juga penderitaan Tuan Foklor.
Seperti yang semua penduduk kota ini tahu. Bukan hanya igauan: itu semua terrnyata rencana kematian. Beliau mewujudkan igauan ngeri tersebut.
Beliau patahkan rusuknya sendiri pada saat-saat kematiannya. Menyomplaknya dalam sekarat. Dalam teriakan mekik. Sementara aku hanya bisa memejam; tak boleh mendekat. Padahal Anda bisa bayangkan: betapa sakit, ngilu, dan perihnya mencabut rusuk sendiri dalam detik-detik menjelang kematian yang menakutkan. Tidak. Demikian itu yang beliau mau. Aku tak melakukan apa pun.
Dan kukira, memang itulah yang lebih baik bagi beliau. Hidup tanpa cinta, bagi manusia, bukankah seperti kematian yang dimulai sejak awal kelahiran?
Ah, tidak. Aku… aku masih ingat. Ingat benar apa yang beliau katakan ketika menyompal rusuk sendiri, setelah mengorek dadanya dengan pisau, dan dengan gaib, beliau, seorang kakek seratus tahun mampu bertahan sedemikian rupa dari kematian—hingga dapat tersenyum dan berkata pada sepotong rusuk yang masih dipenuhi titas darah dalam gengamannya; berkata dengan gemetar yang dipancari sinar kebahagiaan akhir.
“Eva, hanya maut… yang tahu. Betapa aku… benar-benar tak sempurna, bila hidup tanpa cinta dan kehadiranmu….” (*)
.
.
2 0 11-04-12J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar