Kamis, 10 November 2011

CERPEN SUARA MERDEKA



Purnama Tenggelam di Rajasthan
Oleh
Badrul Munir Chair





TENTU saja kau tak ingin menjadi Kurawa seperti dalam kisah Mahabharata karya Mpu Vyasa yang pernah kaubaca ketika masih remaja. Kau ingin menjadi Gatotkaca, ksatria Pandawa yang selalu kau kagumi. Namun kini kau tak lagi percaya pada cita-cita. Sayap-sayapmu patah, hatimu remuk. Kau mulai mengutuk, meragukan cerita-cerita dalam Mahabharata, kau menyesal karena pernah bermimpi untuk menjelajahi India, hanya karena seorang perempuan? Ah!

Kau baru saja tiba di Negeri Rembulan. Ya, Negeri Rembulan yang selama ini hanya ada dalam angan-anganmu, menggenapi mimpi-mimpi remajamu. Akhirnya kau bisa menginjakkan kedua kakimu di Rajasthan, tempat kau bisa melihat purnama dari titik paling sempurna dari belahan dunia mana pun. Ketika kemudian kau tak sengaja melihat perempuan itu datang dari arah berlawanan, begitulah, kalian lalu berkenalan.

Adalah hal biasa bukan? Kau selalu berkenalan dengan orang-orang yang kau temui selama perjalananmu.

Tapi ia berbeda, batinmu. Wajah perempuan itu seperti Srikandi yang wajahnya kau kenali dari patung lilin di Kurusetra yang dua hari lalu kau singgahi. Benar-benar seperti pinang dibelah dua. Sorot mata tajam seperti ujung pedang, hidung mancung sebagaimana mestinya perempuan India, dagunya lancip, dan wajah berbinar seperti bulan.

Namanya Devi, usianya sembilan belas tahun lebih satu hari. Ia lahir ketika malam purnama, ketika bulan membentuk lingkaran bulat sempurna seperti bola. Dan malam ini ia merasa seperti burung, terbang bebas ke mana pun ia mau. Ia sedang mencari ksatria untuk mendampingi hidupnya selamanya, tepat saat bulan purnama bersinar sempurna. Begitulah ia bercerita padamu di bawah purnama. Di Padang Pasir Thar yang mengelilingi Rajasthan, kau menggenggam erat jemarinya.

“Perempuan sembilan belas tahun sepertiku sudah selayaknya bersuami,” ucap dia sembari mengerlingkan mata.

Kau hanya tersenyum, menatap wajahnya tanpa berkedip. Jemarimu semakin erat menggenggam jemarinya yang kurus.

Sungguh malam yang sempurna. Di bawah guyuran cahaya purnama, kalian saling berbagi cerita. Kau bercerita tentang mimpi-mimpi masa mudamu, tentang obsesimu untuk pergi menjelajahi India karena kau terbius pada keindahan yang kau saksikan dalam film Bollywood dan cerita Mahabharata, tentang gadis-gadis cantik dalam film-film India yang sering kau saksikan ketika masih muda. Dan kau merasa tak malu ketika kau juga bercerita tentang negaramu yang porak-poranda akibat krisis ekonomi dan korupsi yang merajalela. Kau tak lupa berusaha sedikit merayunya, kau katakan padanya bahwa wajahnya seperti Srikandi, dia hanya tersenyum, lalu kalian sama-sama tertawa.

Purnama semakin menggila menerangi India, dan kau sepertinya terlalu cepat jatuh cinta….

Kau teringat akan masa remajamu ketika kau sering harus menginap di rumah tetanggamu demi menyaksikan film Bollywood yang selalu diputar menjelang tengah malam. Dari sanalah kau kali pertama tahu betapa indah India, dan sejak saat itu kau terobsesi dan berjanji kelak akan menginjakkan kaki di India. Ketika remaja kau juga membaca kisah dalam Mahabharata. Kau begitu tertarik pada cerita tentang pertarungan antara Pandawa melawan Kurawa 3000 tahun silam di India, dan sejak saat itu keinginanmu untuk menjelajah India semakin menggebu, kemudian angan-angan itu selalu menghiasi mimpi malam-malammu.

Begitulah cerita, kini kau menginjakkan kedua kakimu di India, setelah berbulan-bulan berjalan kaki menelusuri negara-negara lain di penjuru Asia. Seperti mimpi yang nyata, seperti utang yang ditunaikan. 

Namun, yang kau rasakan adalah miris dan kecewa, India tak seindah cerita-cerita yang pernah kau baca.

Iya, India memang berbeda, kau begitu kecewa ketika menerima kenyataan bahwa India tak seindah dalam adegan film ataupun cerita-cerita yang pernah kaubaca, semua orang sibuk mencari Rupee, ratusan orang rela berjubel seperti ikan sarden di atas gerbong kereta ataupun bus kota demi menghemat ongkos, bioskop-bioskop tua yang selalu penuh, ah, nama besar Gandhi dan Tagore seakan tenggelam di negerinya sendiri. Dan rasa kecewa semacam itu pula yang kau rasakan ketika kau menemui ayah Devi untuk meminangnya.

“Kau hanyalah seorang pengembara, anak muda, selain itu kau punya apa?” lelaki tua itu memang tak salah, kau membatin. Seorang ayah tentu selalu mencari lelaki yang mapan untuk bakal suami anaknya.

“Kau sudah menyiapkan berapa Rupee untuk membawa anakku?”

Tentu saja kau terkejut, hatimu remuk, caranya menawarkan anaknya seperti menjual wanita murahan saja—seperti cukong-cukong dan mucikari yang pernah kau temui di jalan-jalan kecil Kota Kalkuta. Pyuh, kau meludah di hadapannya.

Kau memang hanya pengembara, menggerakkan tubuhmu tanpa tujuan yang kau tahu. Kau hanya ingin membuang kecewa, kecewa terhadap negerimu yang porak-poranda, ribuan mil dari Rajasthan, Jakarta sudah menjadi neraka, kuburan raksasa yang sudah dipersiapkan para penguasa kepada setiap orang yang hendak melawan mereka, jika kau tak segera pergi, kau hanya tinggal menunggu mati, apalagi sebagai mahasiswa, kau adalah sasaran empuk para penguasa.

“Curilah aku dari ayahku, Rama. Bawalah aku lari ke negaramu, mungkin di sana aku akan menemukan impian yang tak pernah aku dapatkan di Rajasthan.”

Kau hanya diam, memandangi lentik alis perempuan yang meratap di hadapmu, di atas dua mata bulat. Kau mengecup keningnya di bawah sorotan rembulan yang membulat sempurna.

Purnama di Rajasthan jangan pernah dilewatkan….

Kau teringat pada sebuah tulisan yang kau temukan dalam sebuah tulisan di majalah travelling, tentang purnama di Rajasthan. Bahkan kau sangat mengingat kata demi kata yang dituliskan di majalah itu: “Di Padang Pasir Thar Kota Puskhar, salah satu sudut di Provinsi Rajasthan, purnama akan tampak begitu sempurna, membulat seperti bola, dan letaknya tepat di atas kepala kita, seperti bola lampu yang menempel di langit-langit kamar kita, seakan-akan purnama memang diciptakan khusus untuk penduduk kota ini.”

Sepertinya, kekecewaanmu pada India akan terbayar lunas di Rajasthan. Setelah perjalanan menjenuhkan menyusuri sudut-sudut kota Kalkuta, perlakuan tidak menyenangkan oleh polisi Amristar, hiruk-pikuk New Delhi yang sangat padat sekali, mendapati Sungai Gangga yang kumuh di Varanasi, benar-benar tak seindah cerita dalam film Bollywood.

Namun kau mendapati suasana yang sama sekali berbeda ketika menjejakkan kedua kakimu di Rajasthan, tak seperti di kota-kota sebelumnya yang membuatmu tak betah, di Rajasthan, semua orang yang berlalu-lalang seakan tersenyum memberi ucapan selamat datang, wajah-wajah yang ramah, dan kota yang begitu indah.

Pada malam hari, ketika kau tiba di Padang Pasir Thar, kau sungguh tak percaya mendapati purnama seakan-akan hanya berjarak beberapa meter di atas kepalamu, kau sungguh bahagia dan terpesona, dan hatimu terasa semakin berbunga-bunga ketika tak sengaja kau melihat seorang perempuan datang dari arah berlawanan, dan kalian berkenalan.

Kalian duduk berdua beralaskan hamparan pasir, kau dan Devi, walau sebenarnya kalian tak hanya duduk berdua karena begitu banyak orang yang datang memenuhi Padang Pasir Thar untuk melakukan ritual purnama, namun bagimu, purnama itu hanyalah milik kalian berdua.

Saat itu, tentu saja kau tak pernah menyangka, bahwa perempuan itu hanya akan menambah cerita kelam perjalanan panjangmu menyusuri India.

“Apakah aku mencintai orang yang salah?”

Pertanyaan itu kini diam-diam menggelayuti hatimu. Walau seharusnya yang kau tanyakan adalah, “Apakah aku terlalu cepat jatuh cinta?” Ah, sebelumnya kau memang tak pernah merasakan cinta yang lebih indah dari ini, dan tentu saja indah dari ini, dan tentu saja lebih luka dari segalanya.

Kini kau merasa kesepian di tengah Padang Pasir Thar yang telah menjelma lautan manusia. Setiap purnama, orang-orang dari pelosok India berduyun untuk melakukan ritual purnama, semacam persembahan dan ucapan terima kasih kepada dewa, membaca doa-doa dan pujian menurut kepercayaan mereka.

Devi baru saja meninggalkanmu, menghilang di antara kerumunan orang-orang yang sibuk mendirikan tenda untuk tempat bermalam mereka, sebagian yang tak punya biaya hanya tidur beralaskan pasir dan beratapkan purnama, —seperti kalian.

Ah, dia memang tak pernah mau mengerti, betapa kalian bernasib hampir sama, mempunyai kekecewaan yang sama terhadap kampung halaman, negara yang sama-sama kacau, poor country, dan secercah harapan kalian yang sama-sama sirna.

Kau benar-benar merasa sepi, kau merebahkan diri di atas pasir, memandang rembulan yang bersinar seperti bola lampu dengan watt tinggi. Ah, kau jadi teringat dengan kamarmu, kamar kecil tempatmu biasa merebahkan diri, ribuan mil dari India, di sebuah kota kecil dekat Jakarta, tempat kau menghabiskan masa remaja. Kau tersadar, terkadang pepatah memang benar, hujan batu di negeri sendiri lebih berarti daripada hujan emas di negeri orang.

Tiba-tiba kau ingin sekali pulang ke Indonesia, sepetak tanah yang sudah hampir kau lupa. Kau benar-benar rindu, rindu untuk mencium aroma tanah negeri kelahiranmu. Kau segera mengemasi barang-barangmu, kau telah bertekad untuk pulang, pulang ke tanah kelahiranmu, tanah kelahiran nenek moyang.

Baru beberapa jauh dari tempatmu melangkah, seorang lelaki paruh baya menegurmu, menawarimu untuk mampir kedalam tendanya, “Perempuan, Tuan. Silakan dipilih, boleh dibawa ke hotel atau di dalam tenda.”
Kau begitu tercengang, bukan karena tawaran lelaki itu, namun kau melihat Devi duduk di antara perempuan-perempuan yang ditawarkan di dalam tenda, mengenakan pakaian minim bahkan nyaris telanjang. Kau merasa benar-benar tak percaya!

Di pinggiran Rajasthan, ketika kau hendak meninggalkan negeri itu dalam keterasingan, sekali lagi kau melihat rembulan. Kau lihat warna rembulan yang langsat berubah pucat, lalu perlahan kenangan dan mimpi-mimpimu memudar, seperti purnama yang tenggelam di Rajasthan. (*)










Kupu-kupu dan Desing Peluru
Oleh
S Prastyo Utomo








SEEKOR kupu-kupu kecokelatan yang sayap-sayapnya rapuh hinggap di dada Sarmo. Saat bentrokan dengan kerumunan warga di dekat makam keramat yang hendak digusur sebagai pabrik, kupu-kupu itu terbang rendah. Terbang di atas kepala Sarmo. Dengan pakaian seragam dan pentungan di tangan, Sarmo menghindari bentrokan: saling dorong, pukul-memukul, melempar batu, dan menganiaya. Sarmo tak ingin kupu-kupu kecokelatan itu mati. Lelaki muda itu memilih menyelinap dari kerumunan. Di semak-semak pepohonan, ia bersembunyi. Mencopot pakaian seragam. Membuang jauh pentungan. Melempar sepatu. Membersihkan luka-luka tubuh, lumuran darah, keringat, debu dan asap pembakaran mobil-mobil.

Tubuh Sarmo gemetar mengikuti kupu-kupu yang terbang rendah seperti memberi arah langkah kakinya. 

Kupu-kupu itu membawanya ke sebuah lorong gang, senja hari, di daerah pantai. Di kejauhan terdengar pertarungan orang-orang yang murka, orang yang berteriak-teriak kalap, melemparkan apa saja yang mereka genggam.

Tanpa seragam dan pentungan, Sarmo merasa lebih ringan melangkah. Tak bermusuhan dengan siapa pun. Ia menyelinap diam-diam, terus berjalan, menghindarkan diri dari keriuhan. Terus berjalan. Mengikuti kupu-kupu yang terbang rendah. Hingga ia tak lagi melihat asap yang membubung ke langit. Tak mendengar lagi suara teriakan-teriakan orang marah.

Tak terusik hati Sarmo untuk kembali ke kamar kontrakannya. Ia mengikuti kepak sayap kupu-kupu kecokelatan yang terbang rendah. Melupakan suara-suara meminta tolong itu terus menghantuinya. Menepis suara rintihan. Melenyapkan bayang orang-orang yang dipukuli, diinjak-injak, memekik nyaring, mulut melelehkan darah.

***

MENYUSUP di antara pepohonan, meninggalkan hiruk-pikuk manusia yang saling pukul, Sarmo mencapai dataran tepi muara sungai. Tak didengar lagi suara teriakan-teriakan garang. Langkah lelaki muda itu mencapai rumah papan di tepi tanggul sungai. Tepian sungai dengan air menggenang, hijau kehitaman—muara yang dekat dengan pantai. Kupu-kupu kecoklatan itu menghilang.

Sarmo seperti tak sadar, mengapa ia mencapai rumah papan kusam di tepi sungai. Ia termangu di depan pintu yang sedikit terbuka. Seorang lelaki tua dia lihat sedang berjongkok di depan tungku kayu.

“Masuklah! Akan kusediakan secangkir kopi untukmu,” kata lelaki tua yang duduk di depan tungku.

Menghirup kopi kental, di depan tungku kayu, Sarmo merasakan tubuh yang menghangat. Tubuh yang semula gemetar, kini merasakan ketenteraman. Ia tak ingin kembali ke kamar kontrakan. Ia tak mau dipandangi orang-orang kampung di sekitar kontrakan dengan kebencian. Ia ingin berhenti mengenakan seragam dinas itu dan tak lagi ingin memukuli orang-orang dengan pentungan.

“Tinggallah di sini,” kata lelaki tua itu, yang menyatakan diri sebagai penggali kubur. “Aku sendirian di rumah ini.”

Memandangi cangkul dan linggis di sudut dapur, Sarmo teringat cangkul, sabit, dan caping yang sehari-hari dikenakan ke sawah dan ladang di desa—sebelum berangkat mencari pekerjaan ke kota. Dia mendekati tungku masak, seperti kebiasaannya membakar singkong dan jagung di ladang.

Penggali kubur itu makan, merokok, dan membiarkan bara tungku masak menghangati rumah papan. Bila malam tercium aroma garam yang merembes celah dinding papan.

“Besok pagi-pagi benar, makam keramat itu akan dipindahkan! Sekarang, tidurlah! Besok ikutlah denganku!” Si penggali kubur tak lagi mengatakan apa pun. Sarmo bertanya-tanya dalam hati, ia baru saja bentrok dengan orang-orang yang meminta pemindahan makam keramat diurungkan. Bagaimana mungkin makam keramat itu akan segera dibongkar besok pagi? Lelaki penggali kubur itu tertidur pulas, seperti tak mengenal kesedihan. Tak menghiraukan kesibukan di luar rumahnya.

Sarmo terus nyalang sepanjang malam. Teringat akan komandannya yang penuh perhatian. Tanpa sepengetahuan komandan, dia menghilang begitu saja.

***

SEPASANG kupu-kupu bersayap kecokelatan hinggap di pusara makam keramat. Penggali kubur tak mengusirnya. Sarmo yang mengikuti lelaki penggali kubur menjadi takjub, ketika empat kupu-kupu terbang rendah, bersayap rapuh, dengan gerakan yang ringan. Kupu-kupu itu hinggap, terbang, hinggap lagi. Enam belas kupu-kupu terbang dari pepohonan liar di makam, mengitari pusara. Datang kian banyak kupu-kupu yang memenuhi langit. Di sepanjang jalan ke makam berderet lelaki-lelaki bersenapan, tank, dan mobil penyemprot gas air mata.

Kupu-kupu dari empat penjuru memenuhi langit di atas makam keramat itu digali. Tercium bau harum saat cangkul menggali tanah kubur keramat. Sarmo mengikuti lelaki penggali kubur, dan menemukan keperkasaan masa silamnya: mengolah tanah. Kian dalam makam digali, kian pekat bau harum tercium. Kupu-kupu kian berlipat-lipat memenuhi langit pagi menjelang matahari rekah.

Mayat yang berumur ratusan tahun masih utuh terbungkus kain kafan, tak tercabik sesobek pun. Mayat itu diangkat, dan kupu-kupu terbang rendah di atas pusara, dan pasukan bersenapan itu tergeragap. Mendadak serbuan orang-orang bersenjata tajam memburu beriringan, kalap menerjang pasukan bersenapan.
Rentetan tembakan ke langit berdesingan. Orang-orang yang mengamuk menghambur, meninggalkan makam keramat itu. Kembali sunyi. Hanya suara cangkul dan linggis membongkar kuburan. Beberapa pasang kupu-kupu masih beterbangan di atas makam keramat. Tak seorang pun berani mengusik berpasang pasang kupu-kupu kecokelatan itu.

***

SEPULANG dari memindah makam keramat dan beberapa jenazah lain, Sarmo mengikuti langkah penggali kubur menyusuri gang. Lelaki penggali kubur memanggul cangkul. Sarmo dengan tubuhnya yang kekar memanggul linggis. Tubuh mereka kotor berlumur tanah, keringat mengering, wajah Sarmo membersitkan keceriaan. Kupu-kupu kecokelatan terbang mengikuti langkah mereka. Kupu-kupu kecokelatan itu terbang menjauh menjelang mencapai rumah papan di tepi tanggul sungai.

Suara gemuruh bolduser, gemeretak rumah-rumah kayu yang dibongkar, suara jerit dan teriakan-teriakan marah orang-orang di tepi tanggul sungai kian riuh. Sarmo tercengang. Keriuhan orang-orang, teriakan, caci-maki, sumpah-serapah, dan jerit tangis yang mengapung sepanjang tepian sungai menggerakkan langkah Sarmo bergegas. Disaksikannya rumah penggali kubur sudah dibongkar buldoser.

Tak berani Sarmo mendekat. Ia melihat komandan dan teman-temannya: orang-orang berseragam dengan pentungan di tangan. Mereka berada di garis depan, dijaga pasukan bersenapan berjajar di sepanjang tanggul sungai. Wajah mereka sinis, dingin, dan menahan murka. Lelaki-lelaki berseragam dengan pentungan di tangan membakar reruntuhan rumah-rumah papan. Penghuni rumah-rumah papan itu tak berani menembus barisan lelaki-lelaki bersenapan. Mereka menjerit-jerit. Melolong-lolong. Berteriak-teriak.

Api surut perlahan-lahan. Cahaya senja semerah besi berkarat. Kupu-kupu kecokelatan terbang rendah di tanah bekas rumah penggali kubur. Datanglah sepasang kupu-kupu, empat, enam belas, dan kian berlipat kupu-kupu mengitari tanah-tanah yang terbuka. Lelaki-lelaki bersenapan terpana menyaksikan kupu-kupu kecokelatan beterbangan. Mendadak, tak terduga, muncul berbondong-bondong orang bersenjata tajam, berteriak bersamaan, menghambur dari lorong-lorong gang. Menyerbu lelaki-lelaki berseragam dan barisan lelaki bersenapan yang tergagap. Tembakan senapan beruntun berdesingan di langit senja.

***

SEEKOR kupu-kupu kecokelatan terbang mengikuti langkah Sarmo. Ia tak lagi menemukan penggali kubur. Tinggal cangkulnya. Tergeletak di antara orang-orang yang terluka. Berlumur darah. Dipungutnya cangkul penggali kubur dan dia meninggalkan kawasan tepi tanggul sungai yang kini terbuka kecokelatan tanpa rumah-rumah papan di atasnya. Dia melangkah menyusuri lorong gang. Terus melangkah. Tak ada jalan lain, ia mesti kembali ke kamar kontrakannya. Ia terus melangkah. Kupu-kupu itu menghilang dalam gelap.

Menjelang malam Sarmo mencapai kamar kontrakan. Mencari sebuah papan bekas, membeli cat dan kuas. Menulis sesuatu di papan itu. Memakukannya di dahan pohon nangka yang tumbuh di depan kamar kontrakannya. Kupu-kupu kecoklatan hinggap di papan. Sayapnya kuncup. Seorang anak kecil berlarian di lorong gang, berhenti, membaca terpatah-patah tulisan di papan yang dipakukan pada dahan pohon nangka: “Penggali Kubur”.

***

KETUKAN pintu kamar kontrakan Sarmo terdengar gencar. Membangunkan lelaki muda itu dari tidur lelapnya. Hari masih gelap, meski angin fajar terhembus saat ia membentangkan pintu kamar. Harum buah nangka rekah tercium seketika. Seorang lelaki setengah baya, berpeci, bersarung, tak henti-henti menghisap rokok berdiri di depan pintu kamar. Sepasang matanya kuyu.

“Ikutlah denganku ke rumah duka. Ukur mayatnya,” kata lelaki setengah baya itu. “Dan galilah liang lahat pagi ini juga. Pemakaman dilakukan nanti siang.”

Pagi masih gelap di rumah duka. Sisa embun di rerumputan pelataran, endapan kopi pada gelas, puntung rokok berceceran pada asbak. Sarmo berhadapan dengan wajah kusut seorang ibu, dua putri di sisi jenazah yang terbujur. Foto lelaki bersenapan, berkumis, gagah, dengan sepasang mata bening, mengejutkan Sarmo.

“Dia membiarkan diri dihujani senjata tajam, dan tak mau menembak, hingga meninggal,” kata lelaki setengah baya yang menjemput Sarmo. “Kejadian ini di tepi tanggul sungai tepi pantai kemarin sore.”

Menggali tanah kubur, masih pagi, kupu-kupu kecokelatan mengitari tanah yang digali. Sepasang kupu-kupu datang, empat, enam belas, dan seperti kemarin, berdatangan kupu-kupu di atas kuburan. Liang lahat terasa gembur, dan suara cangkulnya tak pernah membentur bongkah batu.

Pelayat yang mengantar jenazah siang itu memenuhi makam. Kupu-kupu hinggap di daun dan bunga-bunga kamboja. Pasukan bersenapan mengiring pemakaman. Tembakan senapan beberapa kali dalam pemakaman, mengejutkan kupu-kupu yang hinggap di dahan, daun dan bunga-bunga kamboja.

Seekor kupu-kupu kecokelatan kembali mengikuti Sarmo. Ia belum ingin kembali ke kamar kontrakannya. Ingin dicarinya, di mana penggali kubur berada setelah rumahnya dirobohkan dan dibakar. Menuruni makam, ia disambut komandannya yang datang melayat dengan sergapan bahagia, “Syukurlah, Sarmo. Kutemukan kau dalam keadaan selamat. Kembalilah bertugas besok pagi!”

Memandangi topi, seragam, pentungan, dan sepatu yang dikenakan komandannya, Sarmo masih sempat tertegun. Lama ia termenung. Hampir saja ia mengangguk. Tapi kupu-kupu kecokelatan yang hinggap di bibirnya, menyebabkannya kelepasan bicara, “Aku tak akan lagi bertugas. Akan kujalani hidupku sebagai penggali kubur.” (*)
 .
.

Pandana Merdeka, Mei 2010









Kisah Seruas Jalan
Oleh
Indrian Koto & Sunlie Thomas Alexander









Jalan Pembuka
BEGINI mula-mula, kami sering berebutan jika bicara masa lalu yang lekang di ingatan. Mulai dari jenis mainan, kebiasaan ketika pulang sekolah, buku yang kami baca, hingga jalan-jalan yang menempel di kepala. Meski kami tinggal tidak satu kota, usia yang relatif berbeda dan memiliki perbedaan latar budaya, kami merasa sepakat, ada banyak persamaan di antara kami menghabiskan waktu pada masa kecil.

Setiap kali membicarakan masa lalu, kami seperti sedang reuni, seolah lawan dan teman main. Kami merasa sama-sama mengumpulkan kertas rokok, lidi korek api, dan memainkan gambar umbul. Rasanya kami teman yang sama ketika bergerombol di rumah tetangga menonton televisi. Kami seperti kawan seperjalanan yang berombongan naik sepeda di sore hari atau pada hari Minggu yang cerah. Menjelajahi jalan-jalan bersimpang hingga jalan-jalan tikus dan merasa kami adalah penakluk dunia.

Entah siapa di antara kami yang punya ide mengenai ini. Kami menuliskan bagian-bagian yang lekat di ingatan dan di mulai dari jalan. Dengan begitu, kami merasa akan mendapat porsi yang sama dalam bercerita. Dimulai dari jalan-jalan yang lekat di ingatan, siapa tahu, kelak kami akan sampai pada cerita-cerita yang lain pula.


Belinyu, Jalan-jalan yang Menyesatkan Ingatan
DI kota kecil kami, ada seruas jalan yang paling aku sukai layaknya jalan Parangtritis di Jogja dan Braga di Bandung. Jalan Depati Amir, begitulah ruas jalan itu diabadikan dengan nama seorang pahlawan pulau kecil kami—setelah entah berapa kali bersalin nama. Terbentang ia dari Rumah Sakit Timah hingga ke lapangan tenis dan tangsi. Sementara cabang-cabang jalannya dinamakan pula dengan nama tiga demangnya yang tak kalah kesohor: Demang Singayudha, Demang Batin Tikal dan Demang Suramenggala.

Namun tetap saja orang-orang Tionghoa lebih suka menyebut jalan-jalan di kawasan ini sebagai Holland Kai, Jalan Belanda. Tentu lantaran di sana berdiri rumah-rumah berarsitektur Belanda peninggalan para pegawai timah di jaman kolonial. Pada masa kejayaan penambangan pada 70-an hingga 80-an, rumah-rumah di ketiga ruas jalan ini dihuni oleh para pejabat perusahaan timah setingkat kepala wilayah produksi dan para kepala biro. Dulu jalannya paling lebar di kota kecil kami, mulus tanpa lubang. Dan di malam hari, dominasi cat warna putih dengan tiang-tiang lampu neon membuat kawasan ini terang benderang.

Tak pelak, sejenak aku pun merasa sedang menyusuri sebuah jalan di Eropa. Atau bila pikiranku sedikit liar, terkenanglah aku pada jalan-jalan di St Petersburg, kota khayalan di tepian Misouri dalam cerita petualangan Tom Sawyer dan Huck Finn karya Mark Twain—yang pada kemudian hari kutahu terinspirasi pada kota kelahiran pengarangnya sendiri yang bernama Hannibal! Ah, kota yang konon bermula dari gempa bumi dan seorang salesman yang bicaranya halus…. Mengantuk di bawah sinar matahari pagi pada musim panas, kata Twain. Membuat anganku terus membumbung, melambung. Demikian sore-sore aku gemar bersepeda sendirian melintas di ruas jalan itu, lantas berbelok ke Jalan Balar, terkadang masuk sampai ke kampung Wasre sembari terus membangun jalan-jalan khayalku sendiri.

Sementara di sudut lain kotaku, Jalan Ali Seng yang dipenuhi jajanan—dari martabak, bakso, manisan, es kelapa muda, sampai kembang tahu dan berderet warung mi yang mengundang lapar—kerap pula kuamsal sebagai jalanan Kota Shanghai yang eksotik pada awal abad 20 sebagaimana dalam sebuah drama mandarin. Di ruas jalan inilah, pada malam hari pusat kota kecil kami berpindah dari pasar. Wajar, sebab di jalan ini tegak gedung Bioskop Gelora yang gemar memutar film-film lokal dan India. Dan tepat di seberang jalan, nyaris berpunggung Bioskop Belia yang lebih suka menayangkan film kungfu dan Hollywood. Sampai tahun sembilan puluhan, krismon melanda, Belia bangkrut lebih dulu dan menjelma tempat biliar. Gelora nasibnya tak lebih baik: dijadikan sarang walet!

Entahlah apakah kota kelahiranku ini berkembang ke arah yang benar. Sebab kini setiap pulang, aku seakan tenggelam di antara amnesia dan arus kenangan. Ada banyak hal yang hilang dan berubah, tetapi banyak pula sisi yang bertahan. Toko-toko baru terus bermekaran di banyak ruas jalan, gedung-gedung walet tumbuh menjulang di setiap sudut kota. Tapi satu-dua ruko tua masih bertahan dalam keasingan, dan tersisa juga rumah-rumah papan yang berdiri dalam kemuraman. Ai, seolah kota Key West yang dihidupkan segenap cinta Hemingway dalam novel To Have and Have Not: Rumah-rumah kayu berhalaman sempit, cahaya yang masuk dari daun jendela, rumah-rumah siput, semua berlabur, tertutup rapat, kebajikan, kegagalan, ketabahan, dan gerutu yang meluap-luap, kekurangan pangan, prasangka, keadilan, kenyamanan beragama dan antarsuku….

Toh, kadang-kadang lanskap masa lalu itu—Jalan Sriwijaya yang dipenuhi ruko-ruko kayu merapuh oleh waktu-hadir lagi di pelupuk mataku bersama orang-orang yang bergerombol pergi ke bioskop di bawah cahaya lampu jalan yang dibangun perusahaan timah. Dengan toko elektronik, lima buah toko kelontong, dua toko jahit, tiga warung kecil dengan toples permen tersusun di meja panjangnya, seorang tukang cukur, dua kedai kopi dan sebuah toko obat merangkap optik, toko alat-alat tulis, dan sebuah bengkel sepeda dengan tempat biliar di lantai tiga.

Oh, Sungguhlah benar Michael Pearson dalam catatan perjalanannya, Imagined Placed: bahwasanya jalan lebih terikat dalam waktu daripada ruang! Karena begitulah jalan-jalan pada masa kanak-kanak itu awet dalam ingatanku. Separoh menghantui.

Setiap tahun aku memang selalu pulang, begitu juga setelah aku menikah. Tentu, karena ibuku yang sudah tua—sekarang hidup dengan seorang paman di ruko peninggalan kakek selepas ayahku wafat—perlu dijengguk. Biasanya dua sampai tiga minggu aku di rumah, kadang bisa sebulan. Kadangkala aku mengajak isteriku makan bakso di Jalan Mayor Safrie Rachman, atau belanja ke pasar baru melewati sebuah jalan baru yang memotong bukit karet—ya, bukit angker pada masa kanak-kanakku. Atau sesekali kami mengunjungi satu-dua kawan lama yang masih bertahan di kota kelahiran ini. Sebagian besar dari mereka, telah membangun jalan nasibnya masingmasing; ah, berserak di jalan-jalan berbagai kota rantau!

Bulai misalnya, kawanku yang dulu mengenalkan kami pada banyak jalan rahasia, sekarang menjadi seorang guide di Bali, memandu turis-turis ke segala pelosok Pulau Dewata. Kami bertemu di facebook setelah belasan tahun tak berkabar. “Aku sudah hampir keliling Indonesia,” katanya bangga dan mengaku sudah menghafal seluruh sudut Pulau Bali.

Adakah karena itu ia lupa jalan pulang ke kampung halaman?

Selain haru-biru jalan-jalan kenangan, apalagi yang tersisa di kota kecilku? Kendati setiap kepulangan, Jalan Suramenggala masih kerap kubayangkan seperti Macondo. Kota imajiner Gabriel Garcia Marques sebelum Don Apoliener Mascote menyuruh para warga mengubah cat putih rumah mereka jadi biru usai pernikahan putrinya Remedios dengan Aureliano Buendia. Meski kini rumah-rumah di jalan itu tampak kusam tak terurus, dengan pagar-pagar besi berkarat dan sebagian roboh. Ya, aku harus mafhum, beginilah tipikal sebuah daerah pemukiman penambangan setelah kian menipis persediaan galiannya.


Surantih, Seruas Jalan dengan Banyak Cabang
DI Yogyakarta, kota kedua yang kuhafal lumayan baik, memiliki banyak simpang dan belokan. Tapi rasanya tak ada yang menyamai kemabukanku pada jalan-jalan di sekitar Kota Baru. Bagiku, jalan-jalan dengan rumah-rumah Belanda dan gereja itu didesain untuk memerangkap siapa pun yang lewat di dalamnya. Di jalan yang seperti labirin ini, aku menjadi demikian buta dan sering berputar-putar di jalan yang sama. Jalan-jalannya melingkar membentuk alamat sendiri dalam kepalaku.

Di kampungku, jalan besar satu-satunya adalah jalan raya antarprovinsi. Jalan di depan rumahku itu terhubung dengan Padang di bagian utara dan jauh di Tapan, selatan sana bercabang dua. Ke kiri menuju Sungai Penuh, sampai ke Muaro Bungo, Jambi, ke kanan menuju Muko-Muko Bengkulu Utara. Di sana jalan-jalannya makin bercecabang. Mereka bergerak menuju nasibnya masing-masing.

Jalan di depan rumahku itu merupakan jalur utama di Sumatera. Ke kerinci jalannya curam dan seringkali longsor. Hanya ada dua angkutan langsung yang bisa digunakan menuju Sungai Penuh tiga kali dalam sepekan, berbelok di ujung kecamatan sebelah setiap petang dan mengangkut penumpang yang tak seberapa dengan minibus tua itu. Dari Bengkulu bis hanya menumpang lalu. Ia lewat dinihari, saat kami sudah tertidur. Bis-bis besar itu merupakan angkutan dari Palembang menuju Medan. Ada Mawar Selatan, Palapa yang besar dan sama tuanya. Jalur itu mungkin dipilih karena lebih dekat ketimbang harus berputar ke jalur tengah. Sementara dari Padang tak ada bis langsung yang lewat di kampung kami menuju Bengkulu. Setiap lewat, rumah-rumah kami bergerak seperti dilanda gempa.

Tak ada nama jalan yang pasti di kampung kami. Tak ada pahlawan yang dikekalkan. Orang bisa sesukanya menamai jalan raya padat, berlubang dan sempit itu. Untuk alamat dan tanda pengenal lebih sering ditulis Jalan Raya Padang-Sei Penuh, ketimbang Padang-Bengkulu. Atau untuk mempermudah orang-orang bisa menyebut Padang-Surantih, Padang-Kambang, Padang-Air Haji, sesuai nama daerah mereka.
Jalan itulah satu-satunya penghubung kami dengan dunia luar. Ke Mentawai misalnya, kami tak punya pelabuhan. Pendirian pelabuhan di Muaro Sakai hanya sekedar rencana. Begitu pula jalan raya yang direncanakan menembus Muara Labuh, Solok Selatan. Jalan Raya tersebut kabarnya sudah tembus dan bisa dilewati, tetapi kembali menjadi hutan belantara. Sampai kini, jalan itu hanya tumbuh dalam ingatan anak negeri. Kabarnya, proyek ini selalu gagal dan tidak mendapat izin karena melewati Hutan Lindung Kerinci Seblat.

Namun begitu setidak-tidaknya kami masih memiliki jalan-jalan kampung tak bernama, tersuruk di balik sawah, membentang sepanjang sungai, berliku di tebing curam, menuju jauh ke kampung hulu. Sekarang, aku melewatinya lebih dari sekadar mengenang. Jalan-jalan itu ada yang pendek terhampar di satu kampung saja, ada yang melintasi kampung demi kampung, dan ada pula jalan yang memanjang dan berujung di hulu sana. Jalan-jalan tersebut berupa jalan tanah, yang layaknya sawah di kanan kirinya.

Jalan pertama adalah sebuah jalan yang membentang di satu kampung di Koto Taratak. Sebuah jalan yang memisahkan diri dari jalur utama di bagian utara dan bertemu lagi tak jauh di selatannya. Nama jalan ini tidak begitu pasti, ada yang menyebut Galanggang, ada yang menyebut Kampung Panai, kampung yang didiami oleh orang-orang bersuku Panai. Aku mengenal liku jalan ini karena teman-teman SD berasal dari sini. Dari jalan bersimpang ini akan sampai di sebuah simpang lain. Jalan itu membentang di hamparan sawah berujung di Lampanjang, kampung yang terbentang di hamparan sawah luas berada di belakang kampungku. Jalan utama tadi akan tembus lagi dengan jalan raya.

Jalan kampung lainnya merupakan penghubung banyak jalan dari satu kampung menuju kampung lainnya. Petang hari, aku dan kawan-kawan sering melewati jalan ini, terutama di hari libur dan bulan puasa. Jalan ini punya tiga pintu masuk di desa Lansano. Pintu masuk pertama ada di sebuah lapangan bola dekat SD. Jalan ini tak ada nama, kami menyebut kampung di jalan ini hanya Belakang. Maksudnya kampung yang ada di belakang. Pintu masuk kedua ada di depan kuburan desa. Jalannya berbelok ke dalam. Ke kanan sampai di Jembatan Panjang, muara sungai menuju Pasar Surantih, ke kiri ke Sarik dan menembus Lampanjang dan Taratak tadi. Di Sarik punya dua simpang lagi. Simpang pertama akan membawa kita ke kampung tersuruk di pinggir sungai, sampai di Jembatan Babuai yang punya simpang lagi. Simpang yang lain menukik menuju Tabek Tinggi dan Tabek Rendah yang berada di kaki gunung. Jalan ini menembus Sialang dan berujung di kaki bukit. Tapi simpang-simpangnya akan membawa kita menembus sungai besar lewat Jembatan Babuai tadi.

Jika masuk dari Pasar Surantih kita akan bertemu simpang tiga ke Pasir Nan Panjang, terus ke Timbulun, bertemu pertigaan ke Sarik tadi. Lurus ke mudik ada Koto Marapak dan Koto Panjang. Di Koto Panjang ada pertigaan menuju Sianok dan kampung lain di Amping Parak. Dari Koto Panjang kita menjelang Kayu Gadang, menembus terus ke Ganting, Ampalu. Jalan berbatu sejauh 45 kilometer berakhir di ujung kampung. Langgai namanya. Kampung hulu yang seolah asing bagi ingatan kami yang tinggal di pinggir jalan raya.

Jalan-jalan itu sama buruknya dengan penghuni rumah di kiri-kanan jalannya. Penduduk mengangkut nasib ke tanah seberang. Sebagian lain naik ke hutan dan berladang jauh dari kampung. Jalan-jalan itu terus hidup di kepalaku dan ingin selalu kujelang setiap pulang. Ajaibnya, setiap kali kukunjungi, nyaris tak ada yang berbeda dengan rupa jalannya seakan dunia tidak pernah berputar di tempat ini.

Ada banyak jalan-jalan tak bernama lainnya di kampungku. Jalan yang diciptakan sebagai pemintas jarak. Nama-namanya disesuaikan dengan kampung di dalamnya.


Jalan Paling Ujung
JIKA akhirnya kami menulis kisah ini, tentu tidak sebatas mengingat yang lampau-lampau. Kampung kami yang jauh, secara fisik nyaris tak pernah berubah. Ingatan ini barangkali sekadar pemancing, sebab kami paham, siapa pun punya kenangan mengenai ruas jalan di masa kecilnya.
Tentu Anda, pembaca yang budiman, juga punya kenangan di ruas jalan. (*)
 .


Yogyakarta, 2010-2011

 
.
 
.

1 komentar:

zendy elektronik mengatakan...

Salam kenal.....
Saya merasa terharu membaca tulisan anda diatas ,Surantih seruas jalan dengan banyak cabang..
surantih adalah kampung ku,didaerah sarik saya pernah tnggal semenjak kls 1 SD sampai 2 SMP,SMP sampai SMA saya di sungai sirah,liku2 jalan yg anda ceritakan diatas setiap sore saya jelajahi dg sepeda saat itu cmn blm sampai ke langgai....,jd dg membaca cerita anda diatas saya teringat masa kecil dulu,namun skrg hanyalah kenangan yg tak terlupakan,karena skrg saya sdh berada jauh di pedalam Papua....