Minggu, 27 November 2011

CERPEN SUARA MERDEKA



Candi Asmara
Oleh
Amir Machmud NS










BIARKANLAH pucuk-pucuk cecandian itu bergumul dengan hitam malam. Biarkanlah, di bawah siraman cahaya bulan ia menjadi kegagahan yang menggetarkan. Raksasa hitam yang menguasai kegelapan….

Gemeremang kidung doa para pendeta memantul-mantul dari dinding ke dinding candi, melilit kesunyian. Cericit burung malam memahat gelap tanpa prasangka. Kota candi sejatinya tak pernah tertidur.

Alas doa, kidung pemujaan, harum asap dupa persembahan, dan helaan napas teratur para murid di bilik-bilik asrama di berbagai koridor candi utama menjadi denyut gairah yang menghidupkan. Cahaya obor di sejumlah titik menebarkan terang yang karib bermain-main dengan terpaan dengus napas angin. Api obor dan lelampu di hamparan bambu yang dijadikan mrutu sewu sesekali meredup bergantian dengan nyala yang genit meliuk, menari-nari gembira seperti canda anak-anak yang berlarian di atas sabana luas.

Kota Angkor tak sepenuhnya terlelap. Dan, aku tak pernah puas memandangi pucuk cecandian yang menjulang menghitam seperti tangan raksasa menggapai penuh keyakinan menuju nirwana.

Ah, yang sebenarnya adalah, aku tak pernah berhenti mencari. Akan datang lagikah Indraswara? Dari khayal keyakinanku, ia menemui, dan suatu saat yang tepat akan menjemputku untuk mengikutinya ke alam ke kemoksaan, ke keabadian. Aku, Sri Jayawarman, ingin menyempurnakan moksa dengan bimbingan tangannya, karena dengan cara itulah aku meyakini bisa menuju ke keabadian dengan dan bersama cinta Sri Indraswara….

Angkor Wat telah berdiri gagah menjadi pusat pemerintahan dan peribadatan di bumi Khmer, pusar dari cecandian yang dikelilingi hamparan hutan bodhi. Ia dikawal candi pemujaan Bayon yang tak kalah berwibawa, serta sebaran candi-candi kecil untuk meneguhkan gaung Kerajaan Khmer Yang Agung.
Gemanya menyebar ke dunia yang mengagumi, mengakui karya agung bangsaku untuk menyandingi mahakarya serupa di Javadwipa dan Svarnadwipa yang pahatkan di dinding hati lewat perjalanan panjang ke Sriwijaya dan tanah Jawa. Namun sebagai angan-angan monumen persembahan seorang Raja kepada permaisurinya, aku, Jayawarman bukan lelaki yang berhasil. Angkor Wat adalah candi yang justru membenamkan perwujudan daya asmara.

***

ENTAH dari lorong yang mana, ia tiba, dan wangi perempuannya menindas sengatan bau dupa. Kidung asmara menggelora. Kamu tiba, Indraswara, perwujudan anganku pada malam-malam puncak purnama.
Inilah antara ada dan ketiadaan, antara khayal dan kenyataan, pada usia ketika tak sepatutnya lagi hati dan dada mengembang didegupkan oleh angan-angan remaja yang penuh bara.

“Kakanda harus percaya, asmara takkan tertindih oleh masa, cinta tak pernah memilih-milih usia. Bahkan dalam moksa pun, badan cinta itu tetap bisa dipersatukan oleh rasa. Jika dewa berkehendak….”

Sukmaku bagai melambung ke langit lapis ketujuh. Rintihan pengharapan sejak aku membangun candi, dan Indraswara terbelenggu dalam penantian tak berkeputusan sampai ia berangkat menuju ke keabadian, bagai membanting kesadaranku. Semangat untuk berpikir hanya menyelesaikan dan mempersembahkan keagungan sebagai pembuktian cinta malah memotong penyatuan yang kami angankan sedari muda.

Hari-hariku adalah penantian dalam kerinduan yang menyiksa.

Tetapi, inikah siksa yang membahagiakan, ketika di puncak galau di pendaran cahaya bulan penuh, ia benar-benar datang?

Indraswara, Sri Indraswara….

Ia seperti apsari yang dengan kebijaksanaannya bisa membaca bahasa hati. Ia tahu aku ada di sini, di salah satu sudut pelataran candi tempat aku menunggu dan melihat purnama membulat pada tiap pertengahan bulan sejak ia menghilang meninggalkan Jayawarman, apsaranya yang tenggelam dalam gejolak tekad membangun monumen persembahan.

Kerinduan itu terbahasakan oleh mata, dan kami tahu geletar perasaan yang tak cukup bermakna hanya disampaikan dengan kata-kata.

Benar-benar datang dan bangkitkah ia dari moksanya?

Seperti tiba-tiba Indraswara ada di pelataran candi, bersama angin yang berdesahan di rerimbun pohon bodhi. Dalam keserbaputihan, ia lebih menyerupai seorang bhiksuni, dengan wajah welas asih dan mata yang bening membimbing. Rambutnya berjuntai menyiratkan sinar perak yang tak mengurangi keindahannya.

“Adinda datang juga….” Ah, suaraku pasti bergetar. Seperti anak muda saja. Indraswara tahu rambutku telah menipis dan memutih, isyarat alam menanti panggilan kemoksaan.

“Kakanda Jayawarman tak pernah lelah menungguku, maka aku juga tak lelah menanti Kakanda memanggil suksmaku datang.” Suaranya tenang, jernih, namun tetap memantulkan daya asmara yang hanya aku yang bisa merasakan maknanya.

“Hanya sukmamukah yang datang menemuiku, Adinda?”

“Semoga pertanyaan itu bukan guratan kekecewaanmu, Kakanda. Sukma atau raga, sama saja. Puluhan warsa kematian menjauhkan kita, dari sejak Kanda memulai impian persembahan pembuktian cinta itu, sampai Angkor Wat menjulang menaklukkan dunia. Sampai bangsa Khmer menggaungkan harga diri ke seluruh marcapada lewat Kerajaan Angkor yang menapakkan jejak keagungan mahakaryanya….”

“Jayawarman hanya raga, dan Dinda Indraswara telah mencapai kesempurnaan sukma, begitukah?”

“Bukan kesempurnaan, Kanda. Tak ada yang sempurna kecuali Sang Hyang Penguasa Mayapada. Bukankah aku masih tergoda untuk menemuimu, memenuhi panggilan kerinduanmu. Kalau bukan karena kerinduanku pula, akankah aku korbankan ketenangan perjalanan sukmaku ke nirwana dengan membentuk raga yang menyapamu, menemuimu… saat ini….”

Tanpa sadar kupandangi Indraswara. Bukan raga, itu sukma, dan perempuan yang telah merampas seluruh hidupku itu seperti ada di batas antara ada dan tiada….

“Kakanda….”

Kali ini suaranya terdengar berat.

“Candi telah menjulang, Angkor menjadi tlatah kebudayaan tak tertandingkan, nama Jayawarman akan dikenang, apakah lantaran pengorbanannya membangun kota candi ini, atau karena kekuatan cintanya untuk mempersembahkan pembuktian tak ternilai untuk kekasihnya; namun masih ada satu yang kurang….”

Aku tak kuasa berkata-kata, tetapi terkejut mendengar kalimatnya itu.

“Putra Mahkota, pangeran yang akan meneruskan kebesaran Angkor di tahta Khmer Yang Agung.” Tandas sekali suara dan penekanan kalimatnya.

Aku terhenyak, tapi bisa segera mengerti arah kalimat itu. Ada kepedihan di hati, maka kemudian aku segera menyahut, “Hanya karena urusan Putra Mahkota-kah, maka Adinda bersedia datang menemuiku, dan bukan karena ungkapan kerinduan yang sama?”

“Kanda, itu sama-sama pentingnya. Kalau bukan karena kerinduan, untuk apa aku mengorbankan bagian perjalanan moksaku ke nirwana? Kalau bukan karena daya asmara, untuk apa aku mengingatkanmu tentang Putra Mahkota?”

“Kalau kau tahu, Dinda, tak ada siapa pun perempuan selepas kepergianmu….”

“Aku tahu dan percaya, tetapi tak seharusnya Kanda mementingkan perasaan sendiri, karena Kanda adalah seorang Raja.”

“Tidak penting bagiku, apakah akan ada Jayawarman yang kesekian, setelah Ayahanda Jayawarman Sepuh, dan sekarang aku duduk di takhta Khmer yang Agung, lalu harus diartikan penerus takhta itu adalah keturunanku.”

Mata Indraswara tajam menatapku.

“Adinda tahu banyak kekuatan politik di sekeliling Istana yang menanti kesempatan untuk membangun dinasti baru….”

“Apakah Dinda mengira aku tidak tahu? Ah, biarlah hukum alam yang mengatur takhta. Aku sudah merasa cukup memberikan kebanggaan kepada rakyat Khmer, beberapa onggok cecandian, walau kerja keras itu patah berkeping karena kepergianmu….”

“Kanda seorang Raja. Jangan mementingkan diri sendiri.”

“Tidak akan ada perempuan lain sepeninggalmu. Tak harus Jayawarman kesekian itu putra mahkota keturunanku.”

“Kanda, aku tidak bahagia walaupun kalimat itu menunjukkan kesetiaanmu yang tanpa batas kepadaku. Aku datang untuk mengingatkanmu, agar tidak sia-sia pengorbananmu untuk membangun kota candi yang besar ini….”

“Tidakkah kita bisa berbicara yang lain, Adinda?”

Angin seolah-olah berhenti bertiup. Cahaya bulan meredup. Hatiku menjeritkan seluruh ungkapan perasaan ketika bayangan Indraswara tak berjejak lagi di pelataran candi ini. Ia membiarkanku dalam ketermanguan dan debar jantung yang tak beraturan. Ia meninggalkan pikiran yang tak mudah dilaksanakan meskipun sepenuhnya aku pahami, walaupun seharusnya aku bisa bertindak atas nama sikapku sebagai seorang Raja.

***

DI puncak-puncak purnama berikutnya, sukma Indraswara tak pernah datang lagi. Aku masih setia menanti, namun sekeliling pekataran candi hanya memantulkan kegelisahan tentang permintaan terakhirnya: seorang Putra Mahkota.

Sampai rambut makin menipis, dan raga tak lagi menyisakan cukup kekuatan, aku membiarkan semua berjalan dalam kodrat waktu. Tak ada yang berani menyinggung-nyinggung tentang penerusku, tentang masa depan kepemimpinan Khmer yang Agung.

Akan ada yang mengaturnya. Apakah keyakinan ini karena aku lebih memenangkan kesetiaan tentang makna keberadaan seorang Indraswara di hampir keseluruhan hidupku, atau keikhlasan menjalani hukum alam, atau ungkapan keputusasaan, raga tuaku tak mampu mengurai jawaban yang jernih.

Dan, pada hitungan warsa yang kesekian, ketika purnama menguasai penuh keelokan kota candi, di tengah para pejabat kerajaan yang mengelilingi peraduanku, Indraswara datang lagi seperti di batas ada dan ketiadaan. Wajahnya muram, tetapi memancarkan kebeningan yang menenteramkan.

“Kalau ini pilihanmu, Kakanda, aku tak berhak memaksa. Aku harus merasa tersanjung, Kanda memahkotakan kekuatan cinta menjadi lebih berharga dari urusan takhta….”

Senyum Indraswara terlihat lebih indah. Aku masih menghirup wangi dupa di antara lantunan doa dan mantra para pendeta yang menggeremang menaburkan aroma pemujaan membubung ke langit, mengiring perjalanan yang serasa senyap, senyap, dan makin senyap. Selanjutnya sunyi.
Tangan Indraswara menggapai, membimbingku, mengikutinya…. (*)
 .
.

Semarang, Oktober 2011

Cerpen ini merupakan seri keempat dari “Senyum Khmer” (24 September 2007), “Bulan di Atas Angkor” (10 Maret 2008), dan “Purnama Setia di Atas Angkor” (31 Juli 2011).










Bulan Pesisir
Oleh
Mawaidi D Mas









BILA laut pasang, aku akan mengejarnya hingga buih-buih itu seakan mendesis. Bila laut pasang itulah aku akan setia menunggu denyar pagi hingga matahari tenggelam menanggalkan kenangan. Aku seharian di pantai. Tak peduli terik matahari yang membakar kulitku. Di pantai adalah sebagian dari kegemaranku untuk sekadar beriang di sana.

Di bibir pantai, kerap kali aku menyaksikan sebuah perahu cadik yang terapung di atas pintalan air. Perahu cadik itu sering oleng ke kanan-ke kiri ketika ombak datang. Ah, perahu cadik itu, bukan badai atau angin yang mengempas sehingga ia kupantau selalu, tapi keinginan dan kebiasaan pemuda itu untuk bermain angin. Katanya, seorang lelaki yang ingin memancing ikan, kalau tidak bersahabat dengan angin maka ia akan nahas. Artinya, ia tak kan mendapatkan apa-apa.

Pemuda itu mempunyai pendirian sekokoh karang. Di matanya ia tak kenal lelah, apalagi putus harapan untuk menangkap ribuan ikan. Ia sudah terlanjur mencintai pendayung. Tak sia-sia bila pemuda itu seharian di sana, menemani anak-anak ikan sambil dipungut melalui kail pancingnya. Bila pulang pemuda itu akan membawa serajut atau dua rajut ikan yang beragam, mulai dari belena’, mellang, resore dan sebagian cumi-cumi yang didapatkannya.

Bibirnya akan bersyukur kepada Yang Mahapemilik Laut. Keningnya bersinar menyiratkan tanda kebahagiaan. Buru-buru ia menepi dan menambatkan perahu cadiknya. Pemuda itu tak bodoh, ia tak menambatkan perahu cadiknya di dekat pregi, karena ia khawatir ombak malam akan mengamuk lalu menerjang dan membenturkan ke batu-batu.

Aku melempar pandang ke tengah laut, menyaksikan bangau-bangau yang berebutan anak ikan. Nasib sungguh bangau itu, tak bisa menikmati santapan lezatnya. Bila anak ikan berada di paruhnya, ia harus kabur demi menyelamatkan mangsanya. Lalu bangau itu hinggap di pregi. Dipatuk-patuk anak ikan itu sampai remuk. Ditelan dagingnya. Perutnya kembung sedikit-sedikit. Tanpa ia sadar si teman rakusnya sedang menghampiri untuk merebut.

Oh, indahnya panorama laut.

Ibu sering melarang kalau aku seharian berada di pantai.

“Tidak baik perempuan sendirian jauh-jauh dari rumah,” kata Ibu.

Sebenarnya rumahku tak jauh dengan tempat permainanku, tapi perkataan Ibu merupakan sebuah kekhawatiran untukku.

Akhir-akhir ini banyak pemuda yang datang ke rumah untuk mempersuntingku, tapi aku menolak. Pemuda-pemuda itu sama sekali tak cocok bagiku. Sesungguhnya, mereka bukan tidak gagah, tampan dan kaya raya, tapi hati ini tak pernah terketuk sama sekali untuk suka.

Entah, aku tidak mengerti gerangan apa yang ada dalam kalbuku. Aku sangat berterima kasih atas kekhawatiran Ibu. Kekekhawatirannya menunjukkan bahwa ia adalah orang satu-satunya yang tak ingin kehilangan aku. Ibu, Ibu….

“Jika kau berkehendak menjadi istriku, aku yang akan menjagamu dari gombalan laki-laki, aku akan membuat perhitungan dengan mereka kalau perlu, jika benar-benar mengusikmu. Akan kuasah celuritku ini untuk menebas leher mereka.”

“Aduh, semua yang kau tawarkan terlalu baik untukku, tapi aku tidak ingin semua itu. Aku rasa semua pemuda bisa berbuat demikian,” timpalku.

Dahinya berkerut. Sedikit ia menatapku lurus. Kudongakkan kepala sembari kuadukan mataku pada sepasang matanya. Pemuda ini benar-benar bermata celurit. Tatapannya tajam membuat aku enggan.

“Kau meremehkan aku?” ia berkata kemudian. Nafasnya naik turun.

“Aku hanya ingin pemuda yang dapat membahagiakan Ayah dan Ibuku, bukan hanya aku,” jelasku kemudian.

“Oh, hanya itu, toh! Kalau itu keinginanmu mengapa tak bilang sejak kemarin? Baiklah, akan kubuatkan kau perahu yang banyak dan besar, agar kita dapat menjelajahi samudera. Setelah itu, akan kutaklukkan makhluk-makhluk laut untuk tunduk kepadamu, juga keluargamu. Bagaimana cantik?” gombalnya.

Begitulah pemuda desa yang datang kepadaku, di kepalanya berikatkan kain merah, rambutnya yang panjang menutupi alisnya. Di tangannya ia membawa sebilah celurit. Ketika berbicara, pemuda desa itu berteriak-teriak sambil mengangkat celuritnya tinggi-tinggi. Tapi aku tetap bersikap seperti biasa. Kedatangannya tidak membuat aku membungahkan hatiku, melainkan menjadi tamu yang datang hanya untuk pergi.

“Kamu ingin laki-laki yang bagaimana, Bulan? Kau sudah dewasa, kau layak berkeluarga.”

Ibu menanyaiku. Diamlah aku sebatas menyunggingkan senyum. Ibu mengerti terhadap tingkahku. Diam untuk sesuatu, tersenyum untuk sesuatu, hal itu merupakan karakter gadis desa yang sedang jatuh cinta, begitu kata adat.

“Ibu tidak tahu harus menolak dengan cara apa lagi, Bulan. Alasannya Ibu tak bisa. Cukup kamu saja yang menemui, Ibu nurut padamu.” Keluh Ibu.

“Kenapa Ibu menyerah begitu saja?”

“Entahlah, Bulan.”

“Ah, Ibu. Seperti tak pernah punya suami saja,” rayuku.

“Ya, Ibu akui. Tapi pemuda satu-satunya yang melamar Ibu cuma ayahmu,” jawab Ibu sambil menatap lekat mataku.

“Ibu suka?” pancingku.

“Mula-mula tidak. Tapi ayahmu sangat perhatian pada Ibu. Akhirnya, cinta tidak membawa jodoh, tapi jodoh yang membawa cinta….”

“Jadi Ibu tak pernah cinta pada Ayah?”

“Nah, ketika Ibu dijodohkan dengan ayahmu, baru saat itu Ibu merasakan apa itu cinta.”

“Cinta?”

“Ya. Sebenarnya cinta itu mustahil adanya.”

“O, ya?” heranku.

“Kecuali ia punya perasaan.”

Kami tertawa.

Ibu bertutur banyak tentang masa lalunya bersama Ayah. Tapi aku tidak bisa seperti Ibu. Menjelma karakternya sulit bagiku. Sikap perbedaan yang kutingkahkan membuat Ibu mengatakan aku aneh. Dari keanehan itulah banyak orang yang kagum dengan aku. Entahlah, ada apa dengan diriku?

***

SUATU hari, datang ke rumah seorang pemuda dengan mobil hitam pekat mengilat. Postur tubuhnya yang tak terlalu tinggi dan kemeja yang di pakainya akur dengan celana hitamnya, membuat aku memandang dia lebih hati-hati.

Pada Ibu, pemuda itu menanyaiku. Tutur sapanya yang lembut sekilas mengingatkan aku pada mendiang Ayah.

“Bolehkah aku bertemu dengan Bulan?” tanyanya.

“Jika ada perlu silakan katakan pada Ibu,” sanggah Ibu. Ia sungguh tak mendustai janjinya.

“Aku ingin menemuinya langsung.” Pemuda itu memaksa.

“Maaf, Bulan tidak mau kalau bukan kehendaknya sendiri, mengertilah.”

“Ayolah, Bu! Saya ingin membayarnya kalau perlu. Asalkan Ibu mengizinkan saya bertemu dengan anakmu.”

Pemuda itu terus memaksa hingga Ibu bosan untuk mencegahnya. Oh, Ibu! Tidak biasanya pada hari itu datang pemuda yang memaksakan diri untuk bertemu dengan aku. Hari itulah pemuda berkaca mata itu mengutarakan niat baiknya. Segala kekayaan yang dimilikinya ia tawarkan. Mengagumkan!

“Atau aku akan memindahkan rumahmu di pesisir ini ke kota, agar kamu lebih leluasa membeli segala kesukaanmu: mahkota, berlian atau cincin zaitun….”

“Aku tidak menyukai itu semua, aku ingin bersama pantai ini.”

“Apa? Gila! Baiklah, aku akan merubah pantai ini menjadi pantai wisata, seperti Lombang. Di sekeliling rumahmu akan banyak cemara dan kamu akan menjadi seorang ratu di pesisir ini.”

Aku tetap pada prinsipku. Entah mengapa, pemuda yang datang untuk mempersuntingku ini bagaikan anak belut. Licin. Tak mudah singgah di palung hatiku. Rintihnya, hati ini masih suka menyaksikan laut. Duduk di atas batu yang terkubur separuh makin menemani kesendirianku bersama kesiur angin. Aku dengan puas menemani ombak yang berkejaran, lalu ombak itu akan saling tubruk-menubruk bila hingga di tepian.

Seperantauan Ayah ke dalam tanah menuntutku untuk mencintai laut, pun juga ombak. Aku ingin mengenang Ayah di pantai ini. Seperti pemuda yang tengah sibuk dengan kemudinya itu. Ayah adalah sosok pemabuk laut. Perahu-perahu hasil tangannya kini banyak digemari penduduk pesisir. Jala yang dipakai Ayah ketika senja tiba untuk menangkap resore masih utuh menggantung di dinding rumah. Tak ada yang berani menyentuhnya, sekalipun Ibu. Sepewasiat Ayah, ia menyuruhku untuk mewariskan jalanya kepada suamiku.

“Bulan, ke mana Ibumu?” tanya Ayah di pembaringan nya. Sewaktu Ayah sakit, ia selalu menyuruhku tak jauh di dekatnya. Batuk berat di dadanya ia tahan dalam-dalam.

“Ibu tidak ada, mungkin ke Langitan jual ikan,” jawabku. Tak terasa air mataku jatuh kala itu.

“Bulan, Ayah ingin menitipkan jala itu padamu.” Kudengar kalimat itu semakin lirih.

“Maksud Ayah?” tanyaku tak kalah lirihnya.

“Sebelum Ayah pergi, Ayah titipkan jala itu untuk kau berikan pada suamimu kelak, jangan biarkan ikan-ikan itu dikuasai oleh orang asing yang kemudian penduduk pesisir ini akan tiada penghasilan.” Begitu kalimat yang terlontar di bibir Ayah untuk yang terakhir kalinya. Aku sedih. Aku tahu maksud Ayah, ia mengharapkan seorang pemuda di keluarga ini, tak lain adalah suamiku.

Aku merasa bersalah ketika mengingat semua itu. Sebenarnya aku mempunyai saudara laki-laki, Bintang namanya, adikku. Tapi ia sudah meninggal lantaran tenggelam dibawa arus yang sangat dahsyat sepuluh tahun yang silam.

Ibu histeris kala itu. Perlahan mataku menjatuhkan ombak, ombak yang kuakrabi semenjak aku lahir di pantai ini.

Anehnya, Ayah hanya mewasiatkan padaku. Ibu tak tahu tentang wasiat jala itu. Seandainya saja Ibu tahu, tidak akan ada pemuda yang berlomba-berlomba memburuku untuk dijadikan permaisurinya. Pernah, aku ingin mengutarakan wasiat jala itu pada Ibu, tapi aku takut berdosa. Jadi wajar, kerap bila Ibu sibuk sendiri mengumpulkan beberapa alasan kepada orang-orang yang ingin memperisteriku. Semuanya karena aku.
Seperti jala itu, Ibu tidak akan pernah melarangku mengapa aku suka pada laut dan menyaksikan pemuda di perahu cadik itu.

***

(dikisahkan….)

IBU, lihatlah di sana. Aku suka keindahan itu. Aku ingin memilikinya untuk kuhadiahkan kepadamu. Di sana ada ikan-ikan, perahu cadik, dan pemuda itu, Bu! Engkau jangan khawatir bila aku menyendiri menepi di sini. Engkau jangan khawatir bila aku ada merenung di sini. Sebab, di sanalah Ibu, telunjukku akan melukis sebuah perahu dan pemuda di perahu cadik itu. (*)
 .
.

Yogyakarta/Rumah Diva, 2011

Mawaidi D Mas, mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta. Cerpennya terkumpul dalam antologi Kembala Air Mata (Komunitas PERSI, 2011).


 

 

CERPEN SUARA MERDEKA



Kupu-kupu di Antara Pohon Jati dan Bambu
Oleh
Arif Hidayat










KADANG-KADANG sering terbayang juga masa tua. Masa saat aku mungkin mengenang yang telah kulewati sambil menanti ajal, sambil kubayangkan juga ruhku akan terbang seperti kupu-kupu.

Ini mungkin karena aku sering melihat kakek-nenek itu melintas menyapa sambil menundukkan kepala dan tersenyum. Nenek itu matanya agak sipit. Walau kerutan-kerutan itu membekas, namun aku tahu bahwa nenek itu semasa muda memiliki kulit yang putih. Dia menyapa dengan huruf-huruf yang tak fasih, namun aku masih mengerti dan paham. Ia selalu pergi bersama seorang kakek yang tak terlalu ada keistimewaan apa pun pada tubuhnya, selain bibir yang berusaha memberikan senyum.

Mungkin usia nenek itu setara dengan pohon jati yang berada di pekarangan rumahnya. Dari rumahku, aku menatap pohon jati yang mulai meninggi kembali, walau dalam beberapa kali dipangkas ranting-rantingnya dengan alasan angin bakal merobohkan. Batang bawahnya, dua pelukanku tak cukup. Akar-akarnya seperti tulang raksasa yang dibaringkan. Kuat mencengkeram bumi. Dan dari sebuah pintu teralis, seorang pembantu berlari-lari kecil sambil bergegas dengan nafas yang tersengal-sengal. Ia keluar dari sana dan menghampiriku. Wajahnya seputih awan yang mendung. Tangannya agak gemetar. Ada yang ingin disampaikan dari mata yang menatapku dengan serius, tapi sopan.

“Sudah tiga hari ini, majikanku tak di rumah,” katanya.

Aku tahu dia sedang cemas, dan biasanya kecemasanku akan hilang dengan senda gurau oleh kawan-kawanku.

“Dia sudah jadi kupu-kupu, tadi menyapaku. Sekarang hilang di antara pohon jati dan bambu,” jawabku sambil tersenyum, tapi pembantu itu tidak bicara apa-apa.

Matanya menjadi melotot. Pipinya yang putih jadi agak merah. Ototnya mengeras. Aduh, aku jadi gemetar.
Aku mencoba menenangkan bahwa tidak terjadi apa-apa. Segenap kemampuan berpikir kukerahkan untuk memberi keyakinan agar percaya dengan kata-kataku. Kini aku tidak bercanda lagi. Aku tahu, konon majikannya punya anak di Jakarta atau Surabaya yang tak pernah menjenguk. Pastinya mereka pergi menemui anaknya, atau justru anaknya yang menyuruh pindah. Biarpun, dalam cerita yang kuingat dari ibuku juga para tetangga bahwa mereka berdua tak ingin beranjak ke mana pun sampai ajal menjemput. Bahkan, mati pun ingin dikubur di pekarangan rumah, bagian belakang.

Ah, rumah yang sendiri, dengan pekarangan yang cukup luas. Ada pohon jati dan bambu kecil berbaris yang merindangi bagian belakang. Di halaman samping tampak bunga-bunga, yang ketika kau melihatnya di agak pagi akan banyak kupu-kupu berhinggapan. Kupu-kupu yang entah datang dari mana sebab tak ada kepompong maupun ulat di sekitarnya. Kupu-kupu yang bermain dengan matahari dan tak terlihat di malam hari. Matahari yang biasanya menyengat, namun di halaman itu udara terasa sejuk, maka kau akan merasakan berada di taman hutan atau seperti berada dalam dongeng tentang rumah peri atau semacamnya.

Kalau kau berkunjung di pagi, kau juga akan menemukan seorang nenek yang menyapu daun-daun kering sambil meneteskan air mata di dekat pohon jati dan beberapa bambu kecil berbaris. Ia akan merenung di situ, bergumam sendiri, kemudian tersenyum dan berbalik sambil menaburkan percikan air yang harum ke segala penjuru arah. Ciumlah aromanya. Benarlah seperti berada dalam cerita musim semi, di mana segala kebajikan doa akan tumbuh dan membuat hati merasa senang karena kesejukan pohon-pohon dari daun, juga sisa embun yang tetap bertahan di situ.

Nenek itu bersama seorang kakek yang sudah tidak bisa berjalan lagi dan seorang pembantu. Kakek itu hanya duduk di kursi roda. Bila nenek itu menyapu, maka kekek akan berada di antara kupu-kupu sambil menengadahkan tangan. Sedang pembantu akan sibuk masak dan mengurusi seisi rumah, menyapu lantai, mengepel, membersihkan debu, mengelap kaca, juga memasak. Pernah pembantu itu menyapu halaman dan menyirami tanaman ketika kemarau tiba, tapi nenek dan kekek itu marah. Pembantu dimaki-maki, tak lama mereka berdua meminta maaf dan berpesan untuk pembantu itu agar tidak mengulangi lagi. Dan pembantu itu mengangguk dengan sambil terus menunduk cukup lama.

***

SEMINGGU sekali, mereka berdua akan pergi jalan-jalan yang jaraknya tidak jauh dari rumah mereka. Di pagi yang benar-benar pagi. Nenek akan mendorong kursi roda sambil menyapa tetangga atau pun orang yang dikenal. Mereka berjalan pelan. Aku sering menatap mereka dari jendela rumah. Kemudian meledek mereka. Lama-kelaman menjadi akrab. Ketika aku kecil, mereka sering membelikan jajan pasar. Membelai rambutku dengan tersenyum. Kemudian pergi setelah dari pohon jati dan bambu turun beberapa ekor kupu-kupu.

Ibuku marah kalau aku menerima jajan pasar yang mereka berikan. Takut untuk tumbal. Takut ada racunnya. Takut ini dan itu. Yang jelas tidak boleh. Dan aku akan serba bingung. Dalam marah, ibu pernah bercerita jika mereka berdua bukanlah warga asli dari sini. Mereka datang dari kota yang jauh karena melakukan hubungan di luar nikah, orang tuanya marah kemudian mengusir, namun sudah terlanjur punya anak. Dan mereka tak boleh mengasuh anaknya.

“Nenek Ming dan suaminya itu memang kaya, tidak ada yang tahu pasti dari mana berasal. Lha, tidak kerja saja bisa bayar pembantu. Punya rumah bagus. Aku tidak ingin kamu nanti jadi tumbal.”

Ibu membanting seplastik cenil yang belum sempat kucicipi.

Nenek Ming dan suaminya datang ketika masih muda, kemudian membeli rumah bekas kawedanan yang dipakai oleh Landa. Mereka tertarik rumah itu bukan karena bagusnya, tapi karena ada pohon jati dan bambu kecil berbaris yang merindangi bagian belakang. Itu selalu mengingatkan pada tempat tinggalnya dulu, di mana leluhurnya dimakamkan dengan diberi asap dari semacam lidi, kemudian ditaburi oleh minyak wangi.
Nenek Ming dan suaminya hidup dengan sederhana. Hingga aku besar sampai sekarang ini tidak ada yang berubah padanya. Hanya cara berjalannya yang mulai makin membungkuk dan mulai sering batuk-batuk. Mereka tidak berobat, tapi membuat ramuan dari tanaman-tanaman yang ada di pekarangan rumah. Ada kunyit, jahe, kencur, dan semacamnya. Mereka rajin meminum semacam jamu dari tanaman, bahkan rajin makan daun yang masih hijau. Sesekali mereka membeli madu asli dari pasar. Aku pernah dibuatkan obat batuk dari semacam akar-akar yang penuh dengan serbuk, kuminum setelah itu bumi terasa di bolak-balik dan pandangan gelap hingga benar-benar tak berdaya. Aku bermimpi sepasang kupu-kupu di antara pohon jati dan bambu mengitariku kemudian pergi, bahkan kemudian aku merasa punggungku ditumbuhi sayap dan pergi meninggalkan ibuku. Kata Ibu, dalam itu, aku tertidur seharian, dan setelah terbangun aku benar-benar sembuh dari batuk.

“Segala yang sakit, segala yang sehat itu ada pada alam dirimu. Kau akan melihat pengetahuan sejati bersama bumi sebagai tubuhmu, dan yang lainnya mengisi,” jawabnya ketika aku bertanya tentang rahasia obat yang diberikan padaku. Aku sendiri sampai sekarang tidak paham maksudnya. Aku malah pusing sendiri memikirkannya. Jangan dipikirkanlah.

“Lihatlah yang terbang.” Aku mencari-cari yang terbang, walau tak ada apa-apa selain desir angin di daun bambu.

“Kau dengan pohon apa bedanya, jadi kau harus merawat karena telah menanam, sebagaimana ia memberikan buah untukmu.” Aku makin bingung saja. Ini lebih membingungkan dari ujian pelajaran di sekolah.

Tanpa sepengetahuan Ibu, aku sering sembunyi-sembunyi menemui nenek Ming dan suaminya. Aku tidak melihat diri yang jahat pada mereka. Toh, pembantu rumah itu pun tetap selamat. Setidaknya sampai sekarang. Tak ada teriakan apa pun dari rumahnya. Tak ada keanehan.

“Nenek Ming dan suaminya itu menyembah pohon. Apanya yang tidak aneh.” Ibu menghardikku. Aku merinding. Bingung mau bicara apa. Terbayanglah aku pada film kartun tentang nenek sihir yang hidup di dalam kastil yang besar. Terbayang pula aku pada….

***

“HEI, hei, kenapa bengong.” Pembantu itu membangunkan lamunanku. Mengajak buru-buru untuk masuk ke rumah nenek Ming.

Aku menurut saja mencoba mengikuti pembantu itu, menelusuri rumahnya tanpa peduli ibu akan marah. Ada banyak jendela yang terbuat dari kayu jati. Jendela lama yang tetap utuh. Dari situ cahaya matahari samar-samar menembus ruangan. Aku berjalan dalam terpaan bayanganku sendiri. Sedikit merinding. Ada sunyi yang hangat berhembus. Pelan dan hati-hati sambil melihat atap dengan gapit bambu yang cukup rapi, aku terkesima pada lukisan seribu kupu-kupu dalam terpaan cahaya. Semuanya bersih, bahkan almari yang kuraba tak kutemukan debu. Dan, ternyata sebagian rumah ini tersusun atas pohon jati dan bambu yang utuh tanpa tersentuh rayap.

Di dalam kamar tak ada siapa-siapa. Hanya ada bulu-bulu halus yang bertaburan di lantai dan dinding. Aku mencium ramuan obat batuk dari Nenek Ming, yang cukup membuat pusing dan mengaburkan pandangan menjadi gelap kemudian melihat diriku menjadi keriput, berjalan dengan terbungkuk dengan ada bulu-bulu halus yang rontok dan tumbuh. Perutku gendut. Bumi serasa terbalik. Dalam begitu, aku pulang ke rumah dengan sisa tenaga yang kukerahkan untuk merambat di jalan, ibu tak mengenali, malah membuang tubuhku ke kebun dengan jijik. (*)
 .
.
Arif Hidayat, lahir di Purbalingga 7 Januari 1988. Tulisan alumnus Universitas Muhammadiyah Purwokerto ini pernah dipublikasikan di beberapa media massa. Buku antologi puisinya Syair-syair Fajar, Pendapa 5: Temu Penyair Antar Kota, Anak-anak Peti, Puisi Menolak Lupa, Rendezvous dan Catatan Perjalanan. Buku esainya: The Spirit of Love, Kekuasaan dan Agama, Manusia = Puisi, dan Dari Zaman Citra ke Metafiksi.

Sabtu, 26 November 2011

CERPEN SUARA MERDEKA



Hari Terakhir Seekor Biawak
Oleh
Indrian Koto










IA tak lagi punya kuasa apa pun untuk melepaskanmu dari ancaman maut yang sedekat urat lehermu. Kau terbaring tanpa daya dengan tubuh terikat tali. Beberapa remaja siap menghantamkan apa saja ke tubuhmu jika kau melakukan gerakan sekecil apa pun.

Kau menatapnya dengan iba. Kau merasa ia telah mulai mengenalimu sebagai makhluk yang pernah berhubungan dengannya sebelum ini. Kau tak bisa membaca hati seseorang, tapi kau bisa merasakan lewat pandangan mata.

“Aku kenal dia. Doni, kau masih ingat lubang galian di samping rumah? Kau ingat bekas luka di punggungnya ini?” Ia berteriak nyaring memanggil temannya yang bertubuh kurus-bungkuk, sambil mengusap gores putih panjang di punggungmu. Bocah seumurannya itu mendekat, ikut memperhatikan bekas luka di tubuhmu. Beberapa anak lain ikut merubung memperhatikan.

“Ya aku ingat,” ucap bocah yang dipanggil Doni itu terperangah. Kau berdebar menahan nafas.

“Sayang memang,” desis Doni setengah menyesal. “Bekas luka ini membuat harga kulitnya jadi turun.”
Ia menatap si teman dengan perih. Semula ia berharap ada pembelaan dari kawannya itu. Kau benar-benar tak punya alasan untuk bisa bebas. Jika pun mampu, kau tak hendak melakukannya lagi. Ia pernah menyelamatkanmu, memberimu hidup yang jauh lebih panjang. Kalau pun kini hidupmu selesai, di tangan bocah yang kau kenali itu, kurasa inilah ujung kisah kalian: singkat dan tak banyak menyimpan kenangan.

Kau sudah memikirkan bagian-bagian tersulit dari kisah ini. Apa yang terjadi hari ini tidak akan menyimpan dendam di hatimu. Setelah ini, kau berharap, tak ada kelahiran lagi. Cukuplah hidup singkat ini sebagai penebus dosa dan sekadar melanjutkan usia yang sebenarnya masih tersisa.

                                                                               ***

KAU masuk ke kamarnya ketika dia sedang tiduran sambil membaca majalah bekas. Kau masuk dengan sangat hati-hati agar remaja yang ada di ruang depan tak bisa melihatmu. Kau sudah lama mengintai kesempatan ini, berdekatan lebih lama dengan dia. Sejak ibunya meninggal setahun lalu, rumahnya nyaris tanpa perempuan. Rumah dengan dua kamar itu dipenuhi anak lelaki yang menginap dan berkumpul di sana. Anak laki-laki tak pernah punya tempat sendiri. Mereka bergerombol tidur di rumah-rumah yang tak memiliki anak gadis.

Kau telah mengejutkannya. Majalah di tangannya terlepas dan seketika dia berteriak kaget. Kawan-kawannya yang berada di ruang depan, tidur-tidur ayam di siang yang terik, berlari masuk kamar dan terhenyak melihat bocah itu pucat di bibir ranjang.

Kamu juga kaget setengah mati, mencari celah untuk lari. Jendela terlalu tinggi untukmu melompat. Pintu kamar satu-satunya bukan lagi jalan keluar bagimu. Mereka mulai mengejarmu dengan geram. Kau melompat ke bawah kolong, sebagai perlindungan yang paling akhir. Mereka, setengah takut dan kaget menjulur-julurkan palang pintu dan sapu. Kau terkepung di pojok. Ranjang ditarik, kau berkelit dan satu kesempatan kau melompat ke ruang tengah. Remaja-remaja itu lebih lincah darimu. Mereka mengepungmu di ruang tamu yang terbuka dan lapang.

Lelaki tua gemuk itu, entah dari mana datangnya, berteriak-teriak sambil membetulkan sarung ketika mendengar teriakan para remaja itu.

“Tangkap… tangkap… kulitnya lumayan kalau dijual,” ia berteriak-teriak dari luar. Anak-anak yang setengah takut itu kembali mendesakmu.

“Tidak menggigit, dia tidak menggigit. Tangkap saja.”

Salah satu dari mereka menghajar punggungmu dengan palang pintu. Sekali, dua kali, dan tubuhmu tak kuat menahan sakit. Lelaki tua gemuk itu segera melerainya. “Nanti kulitnya rusak, tak laku kalau dijual,” dan itu cukup menghentikan amarah para remaja tanggung itu.

“Ikat, ikat saja,” kembali lelaki tua itu memberi perintah.

Diam sejenak. Kau terkapar tanpa daya. Para remaja itu bersiaga di sekitarmu. Beberapa dari mereka mengambil tali plastik dan mengikatmu.

Ia mendekat, ingin rasanya kau mendekap. Sesaat ia tertegun memandang dirimu. Ia berusaha mengingat sesuatu tentang kalian. Kemudian ia terpekur di sampingmu, mengusap punggungmu yang memiliki bekas luka, meninggalkan goresan panjang berwarna putih di punggungmu. Sebentar, kalian saling bertatapan. Kerinduanmu tumpah padanya.

“Kupikir kita tak harus menjualnya dalam keadaan begini,” ia berucap setengah menyesal.

“Kupikir memang tidak,” Doni, teman si bocah itu yang menjawab. “Akan lebih baik kita saja yang mengupas kulitnya, dijemur dan harganya mungkin akan lebih mahal ketimbang kita jual hidup-hidup begini. Hanya saja, apakah teman-teman mau menunggu beberapa hari lagi dan bekerja agak berat, memotong hewan ini, mengupas kulitnya, menjemur dan….”

“Bukan itu maksudku,” ia cepat menyela. Kau sungguh terharu karenanya. “Kasihan. Apa tidak sebaiknya kita….”

Beberapa anak-anak saling pandang.

“Mau dilepas lagi, biar ayam-ayammu mati dimakan? Sudah berapa ekor ayammu yang hilang sebulan ini? Sudah berapa ayam yang lain jadi korban makhluk ini?” Budin, lelaki tua bertubuh tambun yang tadi memerintahkan mengikat dirimu berucap garang. “Sudah, Kudil dan Beben nanti cari karung dan motor, bawa biawak ini ke rumah Parakai. Dikilo saja, bilang aku yang menyuruh. Jangan lupa Lintang Enam dua bungkus untukku. Sisanya kalian bagi-bagilah dengan yang lain.”

Kau marah sekali mendengar mulut besar lelaki itu. Jika mampu, kau ingin menerkamnya sekarang ini, sebelum hidupmu benar-benar selesai. Kau berontak beberapa kali, marah sekaligus kecewa. Marah atas sikapnya menghasut para remaja belia ini, kecewa dengan dirimu yang tak bisa mengatakan kebenaran apa pun saat ini.

“Lihat, ia mulai berontak. Nanti ikatannya bisa putus. Kudil, cepat cari karung….” Kembali lelaki tua gemuk itu memberi perintah. Kudil, dibantu Beben bergegas keluar dari ruangan.

“Ada-ada saja kau ini Ntan, Ntan. Makluk pembunuh begitu kok mau dilepas,” ucap Budin sekali lagi, seakan mengejek tindakan bijak yang baru saja ia sampaikan.

Bocah itu tertunduk di sampingmu. Ingin rasanya kau memeluknya dan mengatakan, “Tak perlu menyesal, Nak. Tak ada yang perlu kau sesali.”

Ia menatapmu dengan rasa bersalah. Rasanya itu tak perlu lagi kini. Kau sudah berpikir kisahmu akan berakhir begini: tubuhmu dikuliti, kulitmu akan dijemur dan ditimbang, dagingmu akan menjadi rebutan anjing. Jika pun tidak sekarang, waktu itu pasti juga akan tiba.

Setelah kematianmu yang pertama, kau tak ingin dilahirkan lagi. Apalagi menjadi binatang pemakan daging, berkaki empat semacam ini. Kenapa tidak buaya atau harimau saja sekalian biar tunai segala benci?

“Aku tak bisa menyelamatkanmu lagi. Aku minta maaf, aku minta maaf,” parau suaranya semakin menguatkan bahwa tak ada lagi yang akan bisa menyelamatkanmu. “Kau mengagetkanku tadi sehingga teman-teman mengeroyokmu. Tubuhmu pasti sakit sekali.”

Mendengar itu kawan-kawannya tertawa terbahak-bahak.

“Kalian tidak tahu dia pernah kuselamatkan dulu, di kolam samping sana. Dulu dia masih kecil, tubuhnya dilempar batu anak-anak kecil. Lihat, aku kenal bekas lukanya itu. Dia pasti datang untuk berterima kasih,” suaranya terdengar bergetar, penuh rasa sesal, tapi tawa teman-temannya terdengar semakin besar.

***

SETELAH semalaman kau tak pulang, orang-orang menemukan tubuhmu terbenam di lumpur sawah. Kabar langsung beredar, bahwa kau mati entah karena kelelahan bekerja seharian, entah karena tersapa jilawik dan ubilih yang selalu keluar di malam hari. Semua orang tahu, kau janda dengan satu anak, terlalu keras dalam bekerja. Di musim bersawah, musim di mana kau ditemukan mati, kau sedang melunyah lumpur sawah sendirian. Setelah bekerja seharian di sawah orang, kau menyelesaikan pekerjaan di sawahmu. Untunglah kau punya sejenjang sawah warisan yang bisa ditanami. Meski hanya dua piring, tapi cukuplah. Ada banyak keluarga yang hanya menjadi buruh di musim sawah. Dengan sawah dua piring itu, setahun sekali teronggok juga enam sampai delapan karung padi di rumahmu. Di musim panen, kau, ibumu dan anakmu bisa pula menikmati beras baru.

Kau menggarap sawah itu sendirian, mulai dari menaikkan pematang, membalik lumpur, menyebar benih, menanam dan menyiangi. Kau selalu lakukan seusai bekerja di sawah orang. Bagi perempuan yang tak memiliki laki, tentu mesti bisa mengerjakan. Ibumu, ikut membantu mencabut benih, bertanam, dan bersiang.

Dulu kau sering membantu suamimu bekerja di sawah. Meski dia sering melarangmu ikut melunyah dan membaduk, kau selalu keras kepala. Ternyata ada hikmahnya. Dua tahun lalu laki-laki itu pergi dari rumah setelah menceraikanmu. Ia terpikat perempuan di lain kampung. Sejak itulah kau menggarap sawah sendirian. Kau butuh satu-dua kawan perempuan ketika musim bertanam dan tiga orang lelaki ketika musim panen tiba. Si kecil juga sudah bisa membantu mengangkut benih. Kau baru pulang dari sawah ketika Maghrib nyaris berganti Isya.

Sawahmu tak terlalu jauh dari perkampungan. Banyak yang kasihan padamu, tentu banyak pula yang menyayangkan sikapmu itu. Waktu maghrib adalah masa-masa ubilih lewat, setan-setan bergentayangan. Lagi pula sungguh tak bagus bagi perempuan tak bersuami bekerja di malam buta.

Kematianmu menjadi pembicaraan banyak orang. Tak ada yang pernah berpikir bahwa sebenarnya kau dibunuh seseorang. Setelah itu, sebagaimana kematian yang lainnya, kau tenggelam di antara banyak kesibukan dan beban hidup tak tertanggungkan.

Lelaki tua gemuk itulah yang melakukannya. Seminggu kau bekerja di sawahnya dengan janji kau akan dibayar jika masa bertanam di sawahmu akan tiba.

Senja itu, kalian bertemu di sawahnya, ketika lelaki itu hendak pulang. Ia baru saja memeriksa air sawah, dan kau hendak melepaskan pakok banda agar air mengalir ke sawahmu barang sedikit. Ia semakin marah ketika kau menagih utang, mengingat dua hari lagi benihmu akan dicabut dan akan segera sawahmu ditanam padi.

Dia merayumu. Kau membalas dengan makian. Kalian beradu mulut. Ia lelaki yang suka memanjat istri orang. Janda sepertimu tentulah santapan yang bagus pula untuknya. Keras hatimu telah membuatnya menaruh dendam diam-diam. Dan petang itu, ketika sawah sudah sepi, ia semakin berani menggodamu. Ketika ia mendekat, kau menendang tajangnya dengan kencang. Ia terpekik memegang selangkang.

Maghrib mengapung dari masjid kampung. Orang-orang sejak beberapa jenak yang lalu sudah meninggalkan sawah masing-masing. Kau kembali ke sawahmu, mengambil cangkul dan bersiap pulang. Ia datang dengan mata nyalang. Tanpa banyak bicara ia langsung membekap mulutmu, meremas apa yang bisa ia remas. Kau terus melawan, mencakarnya sebisa mungkin. Di petang hari, di masa pertukaran waktu ada banyak setan berkeliaran. Dan lelaki itu seperti dirasuki sesuatu. Ia membenamkan kepalamu ke dalam lumpur. Begitulah cara yang pantas menurutnya membalasmu.

“Mati kau, mati kau, mati kau…,” geramnya dengan gigi gemeretuk sambil menekan kepalamu dengan kakinya.

Puas begitu, dia meninggalkanmu begitu saja. Dia tak tahu jika itu membuatmu benar-benar mati. Tapi begitulah, semalaman kau tak pulang. Laki-laki itu pula yang dengan cemas mengabarkan ke orang kampung soal ketidakpulanganmu itu.

Pagi itu, tubuhmu yang terbenam lumpur diarak ke perkuburan, dengan tanpa luka sedikit pun.

***

KAU merasa ia telah mengenalimu, mengenali sedikit kenangan tentang kalian. Kau merasa cukup bahagia meski pun kau tahu, ia tak akan pernah menyadari dirimu sebagai jelmaan ibunya yang dulu mati tenggelam di tengah sawah.

Orang naik, begitu biasanya orang menyebut kehidupanmu. Orang-orang yang mati sebelum ajal akan kembali dilahirkan ke dunia. Kematian itu berupa kecelakaan dalam bentuk apa pun. Mereka percaya orang naik mengenal semua lekuk kehidupannya yang dahulu. Bisa saja dulu dia pernah punya anak, punya suami atau istri. Bisa saja mereka adalah para dara dan anak bujang. Anak-anak yang dianggap orang naik biasanya akan dilimaukan agar ingatannya pada masa lalu segera dihapuskan. Dengan begitu ia akan tumbuh menjadi anak-anak normal, tak terganggu ingatan dan kerinduan pada hidup yang lampau. Konon, kemati an semacam ini akan berulang sampai tujuh kali, biasanya berwujud macammacam hewan. Kelahiran pertama biasanya berwujud makhluk kecil, macam lalat, nyamuk atau ulat, yang segera mencari perempuan hamil untuk menumpang di rahimnya. Bisa saja menjadi ayam, burung, katak, ular, kupu-kupu, jangkrik, lalat dan semacamnya. Hanya sekali kesempatan menjadi manusia.

Tapi kelahiran pertamamu berwujud seekor biawak. Biawak betina yang terseok-seok mencari rumah yang lama, dengan rindu yang menggebu.

Ah, ia tentu ingat ketika pertama kali ia menemukanmu yang masih kecil dan lemah itu. Kau terperosok ke dalam lubang galian tetanggamu untuk menguruk rumahnya itu.

Berhari-hari kau terkurung. Beberapa bocah kecil menemukan mainan. Mereka melemparimu dengan batu dan menusuk-nusuk dengan bambu. Kau sudah tak berdaya dan tak kuasa lagi menghindar. Kau terpojok di sudut lubang yang serupa kolam dan siap menunggu ajal yang datang pelan-pelan. Sekarat, kelelahan, lapar dan kehidupan yang segera padam.

Mendengar keriuhan anak-anak ia keluar dari kamarnya, ia mendekat dan menemukan dirimu yang terjepit. Untuk pertama kalinya kalian saling pandang. Seketika ia mengambil keputusan yang membuatmu semakin mencintainya dan tidak lagi menyesali takdir. Ia mengusir anak-anak dan memanggil Doni, temannya yang ikut bertumpuk di keramaian untuk mengambil jaring dan ia segera masuk ke dalam lubang galian.

“Tenang ya, biawak kecil. Kami akan membebaskanmu.”

Kau ingin menyerah dalam pelukannya. Tapi bocah sepertinya akan gampang kaget dan akan melakukan tindakan-tindakan spontan jika kau bersikap gegabah. Kau diam saja ketika ia mendekatkan jaring itu ke arahmu. Kau melangkah tertatih masuk ke dalamnya. “Lihat,” teriaknya pada Doni yang termangu-mangu dari atas sana. “Cerdas sekali biawak ini. Dia mengerti keinginanku. Boleh tidak ya aku memeliharanya?”

Ia mengangkat jaring yang berisi tubuhmu dengan hati-hati. Ia menaikanmu ke rumput-rumput. Kau bisa melihat jendela kamarnya yang terbuka.

“Kenapa kau diam saja? Pergilah, kau sudah bebas sekarang….”

Kau menatapnya penuh haru.

“Sepertinya dia sangat lelah,” ia bergumam sendirian. Sementara Doni mencakmencak atas tindakannya mengembalikanmu ke dunia luas ini. “Lihat, punggungnya luka….”

Berhadapan dengan anak sendiri, membuatmu semakin tak kuat menahan debar.

***

JIKA saja bisa bicara, ada banyak hal yang ingin kau katakan padanya. Jika saja bisa, ingin sekali kau mencekik leher lelaki tua yang kini di depanmu itu untuk membalas semua sakit hatimu.

“Ayam-ayammu yang hilang, biawak inilah yang memakannya,” Budin yang masih berdiri di situ seakan punya pembelaan. Bocah itu hanya diam sambil mengusap punggungmu. Mungkin ia percaya hasutan lelaki jahat itu, mungkin juga tidak. Kau berlinang air mata.

Beberapa bocah datang membawa karung. Tubuhmu diseret dengan kencang. Rasanya, inilah terakhir kali kalian bisa saling memandang. (*)
 .
.

Rumahlebah 2009-2011
 

CERPEN SUARA MERDEKA



Terserah Apa Kata Bagong
oleh
Gunawan Budi Santoso




Cerpen Gunawan Budi Susanto (Suara Merdeka, 9 Oktober 2011)






BAGONG sakit. Kabar itu cepat sekali menyebar dari mulut ke mulut, dari satu SMS berbiak jadi ribuan. Orang-orang pun geger.

“Masa sih? Kukira dia seperti Firaun, yang mengaku tak pernah sakit, tak bisa sakit, dan terus-menerus bekerja. Bahkan ketika semua orang telah terlelap tidur,” ujar Gurun.

Sungguh, Gurun tak sedang bercanda atau pura-pura tak tahu bahwa Bagong sakit. Bahkan sudah sepekan.
“Kukira seperti biasa dia berada di luar negeri. Pantas seperti ada yang kurang, seperti ada yang hilang. Entah apa. Ternyata…,” lanjut Gurun. Wajahnya mengunjukkan rasa heran.

Sebenarnya tak aneh bila salah seorang di antara kami tak muncul di kantor, entah berapa lama. Kini, karena ketersediaan sarana internet, ada kawan pilih merampungkan pekerjaan di rumah dan datang ke kantor cuma saat penataan halaman. Semua tulisan dan gambar toh bisa diakses dari dan dikirim via e-mail atau jejaring Facebook.

Ada pula kawan yang lama tak muncul ke kantor, lantaran “dirumahkan” sementara. Itulah salah satu wujud hukuman, misalnya, atas suatu tindak ketidakdisiplinan. Seorang kawan lain yang beberapa minggu menghilang, ternyata bertugas ke luar negeri, meliput sesuatu atau mengikuti program pertukaran pekerja antarmedia.

Ya, macam-macamlah. Tak selalu setiap orang tahu apa yang telah, sedang, atau bakal dikerjakan kawan sekantor. Dan, Bagong adalah salah seorang kolega kami yang acap kali menghilang. Namun, itulah hebatnya, pekerjaan yang jadi tanggung jawabnya senantiasa terkerjakan secara paripurna. Bahkan, karena dia mempunyai keluasan wawasan intelektual dan jaringan kerja sebagai wartawan sekaligus pekerja seni, halaman yang jadi tanggung jawabnya acap dipuji dan diberi penghargaan oleh berbagai kalangan. Tak terbilang anugerah telah teraih dan, antara lain, berwujud kesempatan bagi dia diundang ke berbagai perhelatan seni, festival, atau program residensi di berbagai negara.

Bukan bermaksud sombong jika saya menyatakan media kami, jurnal seni dan budaya, adalah rujukan, anutan, patron bagi kalangan pekerja, peminat, penikmat, kaum intelektual seni serta para kurator, kolektor, dan kolekdol terutama jika berkait dengan isu kesenirupaan. Itu kenyataan. Dan, kami semua mengakui, posisi sebagai acuan referensial, sebagai pencipta kecenderungan itu tak bakal teraih tanpa kontribusi Bagong. Bagong, sesungguh benar, nyaris identik dengan media kami. Tanpa Bagong, media kami bukan apa-apa. Cuma media. Titik. Tingkat keterbacaan tinggi yang berarti tiras membubung sebagian besar karena peran kontributif Bagong.

Dia redaktur biasa, seperti kebanyakan di antara kami. Ya, karena cuma ada satu pemimpin redaksi, satu wakil pemimpin redaksi, dan satu redaktur pelaksana. Sebenarnya, secara kepangkatan dan terutama prestasi kerja, Bagong setidaknya bisa menjabat kepala desk. Namun, itulah, dia tidak mau. Dia tetap ingin jadi redaktur, pemegang halaman, bahkan jika mungkin sebagai wartawan di lapangan. Karena posisi itu, menurut pendapat dia, justru lebih menantang, lebih memicu adrenalin, lebih mengunjukkan kecergasan jurnalisme sastrawi bersendi investigasi. Ketimbang, lagi-lagi kata dia, duduk manis di depan komputer sebagai penyunting naskah.

“Tipe pekerja yang acap teridap virus kesuntukan dan nggak gaul. Itulah kebanyakan kawan redaksi media kita. Dan, aku tak mau sakit, kemudian mati sia-sia sebagai redaktur majalah seni seperti itu,” ujar Bagong suatu ketika.

Saat itu, seperti kebanyakan kawan, saya mengangguk-angguk. Mengerti atau tidak, toh sama saja. Bukankah memang nyaris semua bahan, sumber, isu adalah representasi pemikiran dia? Dan kami, para redaktur, sesungguh benar jujur atau tidak cuma jadi penyunting tanpa hati, tanpa empati, terhadap segala kemungkinan yang bakal terjadi dengan pemberitaan atau aktualisasi isu yang terekspose media kami setiap kali terbit, sepekan sekali. Bekerja, jika perlu tanpa pikiran, tanpa perasaan. Itulah sikap kebanyakan di antara kami. Dan, setiap awal bulan menerima gaji dengan ucapan terima kasih dalam hati karena masih bisa memperoleh nafkah di tengah kemembeludakan penganggur yang terus bertambah.

Maka, tak terhindarkan, kami pun sepakat setiap saat untuk memercayai dan mengikuti saja apa kata Bagong. 

“Ya, terserah apa kata Bagong,” itulah sikap paling nyaman dan aman bagi kami. Ketimbang disuruh berpikir, bersusah-susah memeras otak, tetapi akhirnya toh tetap pendapat Bagong yang dijadikan pedoman? Jadi, kenapa tak menunggu Bagong datang?

Maka, ketika Bagong sakit kenyataan yang amat terlambat kami sadari: bahwa Bagong toh tetap manusia dan karena itu bisa sakit media kami terancam tidak terbit. Tak ada yang mampu menyodorkan isu untuk digarap. Tak ada yang mampu membuat outline liputan dengan angle canggih sekaligus laku, kumedol.

Tak seorang pun mampu membayangkan dari mana mesti memulai investigasi suatu kasus yang tergolong crime art konon, karena ada perupa menyayat-nyayat lukisan perupa lain yang dia tuduh acap “mencuri” karyanya dan kenapa hampir semua pemangku budaya kesenirupaan diam saja.

Saat itulah kami semua menyadari, Bagong sesungguhnya adalah otak kami. Bagong sesungguh benar adalah otak media kami. Tanpa Bagong, kami tak mampu bekerja. Tak ada Bagong, kami kehilangan kemampuan berpikir. Padahal, bukankah justru ketika Bagong ada, kami pun tak pernah berpikir? Tak perlu berpikir!

“Kenapa dia sakit? Kenapa tak bilang-bilang?” gumam Gunung.

“Pernyataan konyol dari mulut bocor,” batin saya. “Ya, apakah dia tak tahu bahwa kita tak mungkin bekerja tanpa dia?” timpal saya. Kawan-kawan mengangguk-angguk.

“Sakit apa? Dirawat di rumah sakit mana?” tiba-tiba Guruh bertanya. Kami saling pandang. Tak seorang pun menjawab. “Tak ada yang tahu?”

Kami menunduk. Malu. Ya, bagaimana mungkin kami baru tahu bahwa Bagong sakit? Dan ketika tahu dia sakit, tak seorang pun tahu di mana dia dirawat. Sakit apa? Kenapa? Berapa lama? Uuuhh….

“Siapa kali pertama tahu Bagong sakit? Siapa yang bilang Bagong sakit?” Suara Guruh meninggi. Kami tertunduk, seraya saling mencuri pandang.

“Tak ada yang tahu? Bagaimana mungkin?”

Ya, bagaimana mungkin tiba-tiba tersebar kabar Bagong sakit? Tiba-tiba muncul sejenis pengharapan samar-samar: semoga Bagong tidak sakit. Namun, jika benar tidak sakit, sekarang dia berada di mana? Kenapa pula itu jadi penting? Bukankah selama ini tanpa pernah tahu Bagong berada di mana pun, kami merasakan sesungguhnya Bagong selalu ada, selalu bersama kami. Dan, karena itulah kami selalu bisa bekerja sesuai dengan tenggat, tak pernah meleset, sesuai dengan target. Apa kata Bagong adalah pedoman kami, penunjuk arah untuk mengayun langkah, tanpa takut tersesat.

“Siapa kali pertama mendengar kabar Bagong sakit?” ujar Guntur. Kami saling pandang. Semua terdiam. Pertanyaan Guntur adalah pertanyaan saya. Saya yakin, itu pula pertanyaan semua kawan. Kami masih saling pandang, tanpa kata-kata, tanpa suara.

“Bagaimana jika kita cek ke setiap rumah sakit di kota ini?” Entah suara siapa.

“Baik!” sahut kami nyaris serentak. Kami bergantian menelepon setiap rumah sakit, klinik, dokter praktik. Jawaban yang kami terima selalu sama. “Tidak, kami tak pernah memeriksa atau merawat pasien bernama Bagong,” jawab penerima telepon kami.

“Jangan-jangan, Bagong berobat ke paranormal, orang pintar, atau dukun? Apakah kita harus mengecek pula ke semua penyembuh alternatif?” Entah suara siapa. Kami saling pandang. Musykil!

“Atau kita cek ke setiap rumah sakit di seluruh pelosok negeri ini? Seluruh dokter dan klinik?” Entah suara siapa. Kami terdiam.

“Jangan-jangan, Bagong dirawat di luar negeri? Singapura , Australia , Amerika, Jepang?” Entah suara siapa. Kami tak berminat lagi menanggapi. Makin lama kami kian tak mengerti apa yang mesti kami perbuat, bahkan apa yang mesti kami pikirkan.

“Kenapa tak kita tanyakan saja pada Bagong? Siapa tahu nomor hp-nya? Siapa tahu rumahnya?” Entah suara siapa. Kami diam.

Hah! Jadi tak ada yang punya nomor hp Bagong? Tak ada yang tahu di mana selama ini dia tinggal? Lalu, keluarganya? Siapa?

Lama kami terdiam. Semua menunduk atau pura-pura menunduk.

“Maaf,” tiba-tiba Gunawan, redaktur paling yunior, bertanya, “Bagong itu siapa sih?”

Astaga! Ternyata ada pula terselip di antara kami seseorang yang tak tahu siapa Bagong. Gila!
Namun…, ya, siapa sih Bagong? Selama ini kami cuma tahu apa kata Bagong. Sekali lagi, itulah pedoman kerja kami, itulah penunjuk arah ke mana kami mesti melangkah. Bukankah setiap kali Bagong bicara, entah lewat siapa dan memang bisa siapa saja seperti biasa, itulah perintah kerja yang harus kami tuntaskan, kami kerjakan? “Siap, Bos! Beres, Bos!”

Bagong hadir atau tidak secara fisik toh tiada beda?

Jadi, kenapa kini kami mesti merisaukan kemungkinan ketidakhadiran Bagong? Kenapa kami khawatir Bagong sakit?

Toh akhirnya, seperti biasa, dia ada atau tidak di kantor, apa kata Bagong pula yang jadi acuan?

Tanpa sepenuhnya menyadari, satu demi satu kami kembali ke meja masing-masing. Bagong tersenyum di layar monitor setiap komputer kami sebagai wallpaper. Itulah wajah yang setiap kali muncul begitu kami menyalakan komputer.

Seperti yang lain-lain, saya menatap mata Bagong dan mencari-cari kemungkinan apa yang bakal dia katakan atau lakukan menghadapi situasi seperti ini. “Apa kata Bagong?” batin saya sembari terlongong di depan layar monitor yang terus-menerus berkeredip. “Terserah apa kata Bagong? Tapi apa…?” (*)
 .
.


Catatan:
Judul cerita ini berasal dari ucapan Koesnan Hoesi, karikaturis, yang meminta saya menuliskannya menjadi apa saja—terserah saya. Dan, akhirnya jadilah cerpen ini.
 








Kisah Pemetik Dadi
Oleh
Muhammad Amin










SEOLAH bebunyian itu muncul dari segala penjuru. Menyerupai suara gaib yang mengembara di padang-padang, menguncup di pepucuk tanaman, menyeberang di kelok sungai, meningkahi ricik air yang pecah di bebatuan. Kadang terdengar bagai dendang kesunyian, nyanyian yang menggeletar di kelopak mawar yang basah dan mekar. Kadang bagai anak kijang yang melesat di tengah luas padang savana, meloncat-loncat sampai ke kejauhan. Atau bagai burung yang melayang di atas punggung bukit-bukit, lalu menukik ke ceruk lembah-lembah.

Suara yang membuat burung-burung tercenung, menyimak di pokok dedahan. Suara yang menghentikan gerak cekat para peladang menderas tubuh damar. Atau pengantar kidung gadis-gadis turun ke sungai. Kadang saling berkejaran dengan anak-anak yang riang berlarian di halaman. Dan melepas setandan lelah dari punggung para peladang.

Suara itu mengalir dibawa embusan angin. Ia berkunjung untuk menumpang singgah di telinga orang-orang yang lelah.

“Suara apakah gerangan?”

“Seperti suara dadi yang dipetik dengan segenap penghayatan.”

Tak ada yang tahu dari mana datangnya. Suara itu seolah muncul begitu saja sejak musim kemarau beranjak menghilang. Saat kaki-kaki hujan mulai menjejak tanah-tanah yang kerontang. Sejak bunga-bunga berkelopak mekar, tanah-tanah subur menyembulkan bakal-bakal tanaman. Daun-daun merimbun, buah-buah meranum. Bertunas, berumpun, berjuntai, bertandan. Ladang-ladang menghijau bagai hamparan permadani yang terbentang hingga ke lereng-lereng bukit, hingga ke kaki-kali langit.

Orang-orang lebih memilih menikmati ketimbang peduli darimana asalnya. Suara itu selalu berkunjung ke sana tiap sore hari, saat burung-burung beterbangan kembali ke sarang. Saat peladang hendak menyelesaikan pekerjaan. Saat gadis-gadis hendak turun mandi ke sungai. Saat anak-anak berlumur debu bermain-main di halaman. Demikianlah berulang-ulang, hingga mereka lupa bahwa suara itu tetap ada yang memainkan. Entah siapa.

Ia selalu berhenti di perbatasan, saat azan berkumandang, bunyi itu pun menghilang. Seperti di telan gelap malam. Atau bergegas pulang ke muasalnya di tengah padang kesunyian.

***

LELAKI-lelaki pencari damar membawa hasil getah yang telah mengering itu dikumpulkan ke bawah rumah-rumah panggung mereka untuk kemudian akan dijual kepada pengepul. Getah damar berwarna putih bening itu—dinamai damar kaca, memiliki nilai harga lebih tinggi ketimbang jenis damar yang lain. Para perempuan pencari kayu bakar mengumpulkan dan membawa pulang kayu-kayu kering dari dalam hutan untuk dijajakan ke tengah pasar keesokan paginya.

Lalu setiap kali warna senja akan menghilang, bunyi denting dadi seolah hendak mengajak sejenak orang-orang bercengkarama dalam sendu-merdunya. Bersama kesiur angin, gemerisik rumpun daun-daun bambu, dan renyah ricik air sungai melewati celah bebatuan yang jeram, melahirkan harmoni yang indah dan nikmat di pendengaran.

Hingga suatu hari, para peladang menemukan seseorang pemuda duduk di atas seonggok batu tepi kali sembari memetik senar-senar dadi yang terbuat dari tulang binatang itu. Para peladang itu menyapa si pemuda. Mereka bercakap-cakap dan mengajaknya singgah ke rumah. Meski semula pemuda itu menolak, setelah berusaha mereka membujuknya, akhirnya ia mengalah juga.

Maka dengan cepat menjalar kabar ke seluruh pelosok kampung, bahwa seorang pemetik dadi yang mereka rindui akan bertamu di kampung mereka. Ia dipersilakan tinggal bersama mereka, di mana saja tempat yang ia suka. Tak perlu sungkan, anggaplah sebagai rumah sendiri, kata mereka. Anggaplah kami sebagai saudara sendiri, sahut yang lain. Tak perlu lagi memetik dadi di tengah rimba sunyi, memetik sepi di bawah pohon-pohon besar di dalam hutan.

Orang-orang merasa senang menjamu si pemuda. Mereka menyukainya. Gadis-gadis cantik yang ranum itu bersemu merah rona mukanya bila bersitatap dengan si pemuda. Semua laki-laki merasa sempurna hidupnya apabila telah mendengarkan si pemuda memetik dadi.

Dua puluh tahun sebelumnya, suara denting petikan dadi terakhir kali terdengar. Sejak orang-orang tua yang pandai melagu dan bubiti mulai memetik dadi tiap kali panen raya tiba, seolah menjadi candu dan sihir buat mereka. Suara dadi seolah menjadi cara mereka sendiri merayakan sesuatu. Sebagai ritual menyambung doa dan syukur kepada Sang Semesta. Di tanah lapang, mereka membuat unggunan api, diiringi musik petikan dadi mereka menyanyi, ber-adi-adi, ber-segata, berpantun simbatan. Atau menari Bedana berpasangan, memutari api unggun.

Setelah orang-orang tua yang pandai memetik dadi meninggalkan dunia yang fana, perayaan panen hasil ladang tak pernah terdengar lagi suara dadi. Segalanya berjalan sebagaimana biasanya, namun terasa hambar. Tak ada yang menghibur hati yang lelah setelah susah payah mengurus ladang sejak menuai benih hingga panen tiba. Begitu lama. Begitu terasa. Kadang jemu menggumuli hati mereka.

***

“MAINKANLAH, wahai Pemuda. Mainkanlah petikan dadimu untuk kami,” kata seorang di antara mereka yang paling tua. Ia bergelar Batin Utama.

Maka si pemuda memainkannya dengan sepenuh hati. Mereka menikmatinya, seolah sambil minum anggur perasan dari taman surgawi. Mereka berbahagia. Anak-anak menari-nari. Lelaki dan perempuan tertawatawa. Gadis belia tersipu-sipu.

Apabila panen raya tiba, sebagaimana sebelumnya, mereka membuat unggunan api di tengah tanah lapang, menyelenggarakan semacam ritual, dan diiringi petikan dadi. Mereka bernyanyi, beradi-adi, bersegata, berpantun simbatan, menari Bedana berpasangan. Mereka bergembira dan bersuka-cita. Hingga puncak malam tiba.

Setelah panen raya selesai, mereka mulai merencanakan sesuatu untuk si pemuda. Mereka menawarkan dan menyilakan si pemuda memilih anak perawan mereka yang paling cantik dan paling pantas untuk dijadikan istri. Kelak diharapkan anak-anak mereka dapat menebar benih di ladang-ladang yang subur serta mewarisi kepiawaian memetik dadi. Sebuah kehormatan besar bila si pemuda dapat memenuhi permintaan ini.

Setelah mendapat hasil panen yang makin melimpah, mereka akan mengadakan sebuah pesta besar-besaran, untuk merayakan perkawinan si pemuda dengan anak gadis siapa saja yang terpilih. Maka berdebarlah setiap hati kembang perawan desa itu. Dan berharap-harap cemaslah mereka semua, memohon kepada Yang Maha Kuasa agar pilihan itu jatuh kepadanya.

Si Pemuda, dengan berat hati, menyampaikan ketakkuasaannya memenuhi permintaan yang satu ini.

“Bagaimanakah hamba akan mengawini anak perawan kalian jika sebentar lagi hamba akan mati?” kata si pemuda. Orang-orang terperangah. Hampir-hampir tak percaya dengan apa yang barusan mereka dengar.

“Apa maksudmu, wahai Anak Muda?” ujar Batin Utama.

“Maafkan jika sekarang dan kelak hamba akan merepotkan kalian semua,” katanya. “Hamba tak bisa menjelaskan ini, tapi kalian akan melihat sebentar lagi hamba akan tertidur untuk selamanya, tepat pukul sepuluh malam nanti.”

“Janganlah bergurau, Anak Muda. Kamu masih muda dan segar, mana mungkin akan mati secepat itu.” Kata seorang lelaki tua.

“Hamba tak sedang bergurau atau bermain-main, Pak Tua. Namun apa yang hamba katakan ini benar adanya.”

“Kenapa kamu ingin mati di sini?” Tiba-tiba seseorang tak tercegah dari mulutnya melontarkan pertanyaan itu.

“Sekali lagi, maaf. Hamba memilih tempat ini karena tercium aroma kedamaian yang pekat dan khusyu’ menebar ke dalam kalbu. Tak butuh lagi kesunyian untuk mendapatkan sebuah kedamaian karena hamba telah merasakannya di sini, di tengah-tengah kalian.”

“Anak Muda, kamu tidak boleh pergi. Tetaplah bersama kami. Tetaplah memetik dadi untuk menghibur kami,” pinta mereka dengan setulus hati.

“Tidak bisa, hamba tidak bisa melakukan apa pun atas takdirku. Tak ada yang mampu menghalangi kematian hamba.”

Mendadak dunia terasa gelap pekat. Tak pernah terasa semuram ini. Bumi bertudung awan mendung. Jeritan gagak-gagak merobek langit. Dan waktu seperti merangkak, seolah memperlambat diri. Seperti langkah kucing hitam yang lamban, mengendusendus sesuatu yang abadi dari kejauhan.

Kemudian Batin Utama yang lamat-lamat mulai mengerti dan seolah mencium aroma kedamaian yang pekat itu pelan-pelan mendekat, ia menyuruh istrinya menyiapkan segala sesuatunya. Tak boleh terlambat.

“Cepat siapkan perjamuan terakhir buat pemuda itu. Siapkan juga pakaiaan, kain, seprai paling baik yang pernah kita miliki. Siapkan dan rapikan tempat pembaringannya nanti.”

Meski bingung, si istri melaksanakan perintah suaminya. Setelah selesai menyiapkan segalanya, mereka menyilakan si pemuda makan malam terlebih dahulu. Si pemuda menghadapi hidangan sambil berdoa.
Lalu malam itu, menjelang detik-detik yang mendebarkan, banyak orang yang berdatangan. Mereka melayat sebelum yang dilayat menjadi sekujur mayat. Tak pernah terjadi semacam ini. Mereka menangisi orang yang sebelumnya tak pernah mereka kenali, namun amat mereka cintai.

Dan detik-detik sakral itu pun hampir tiba. Setiap orang merasakan suasana muram yang tak biasa. Terasa denyut-denyut itu menjalar dan aroma asing memenuhi ruangan. Si pemuda mulai berbaring. Waktu terasa kian melambat, seperti siput yang enggan beranjak.

Dan ketika sempurna maut menjelang nyawa si pemuda, tubuh itu seketika jadi hening. Kosong, tak ada apa-apa di sana. Hanya tubuh yang terbujur kaku, tak bergerak. Seperti batu hitam yang dingin. Angin mendesir. Aroma duka makin terasa. Makin pekat. Setiap makhluk terasa bersungkawa. Burung-burung hinggap, menunduk dan berkabung. Di langit awan berarak murung. Pepucuk tanaman menguncup, terasa takzim seluruh makhluk dalam hening-cipta. Sebuah kepergian yang tak biasa.

Dan ruangan itu sesak oleh duka dan banjir air mata. Perempuan-perempuan meraung, seolah kehilangan sesuatu yang paling berharga melebihi sanak keluarga sendiri. Gadis-gadis yang tak tahan oleh kesedihan, berlari ke rumah dan menghempaskan diri di pembaringan sambil beruraian air mata. Lelaki dan orang-orang tua pun tak kuasa membendung kesedihan. Malam itu mereka tak ada yang terpejam matanya. Hingga pagi tiba.

***

LALU siapakah yang memainkan petikan dadi yang menggeletarkan hati jika pemuda pemetik dadi telah lama mati? Begitulah pertanyaan yang ada di dalam benak orang-orang.

Mereka selalu berusaha mencari tahu. Namun misteri tentang si pemetik dadi tetap menjadi rahasia yang terkubur di selubung hutan yang terdalam, dijaga oleh sekelok sungai, akar-akar pohon yang bergerak di kedalaman tanah yang lembab, desis ular yang berdiang di ceruk jurang, para liliput dan lelembut, tersimpan di alam orang bunian.

“Jadi, kau benar-benar tak tahu siapa sebenarnya si pemuda pemetik dadi itu, Kisanak?” tanya salah seorang pengunjung kedai tuak.

Lelaki muda itu hanya tersenyum, seolah senyumannya merupakan jawaban dari pertanyaan yang barusan terlontarkan. Setelah membayar makanan dan minuman yang telah ia pesan, ia beranjak begitu saja.
Pemuda itu berjalan semakin menjauh, tanpa menoleh ke belakang sedikit pun. Ia tergesa-gesa. Samar-samar mereka seolah melihat bonggol dadi di punggung pemuda tadi. Ya, mereka melihatnya. Namun, hanya samar-samar sebelum ia menghilang di tikungan jalan. (*)
 .
.

Kotaagung, Januari-Mei 2011
.
Catatan:
Dadi: sejenis gambus kecil.
Bubiti: mengungkapkan rasa sedih
Adi-adi: pantun
Segata: nyanyian gembira
Pantun Simbatan: pantun bersahutan
Tari Bedana: tari khas Lampung yang biasa digunakan saat pesta adat.
 .
.
Muhammad Amin, lahir di Kotaagung, Lampung, 31 Juli 1990. Menulis sejak di bangku SMA dengan berapresiasi di berbagai lomba. 2008, mendapat juara Sayembara Cerpen Tingkat Nasional Festival Bulan Bahasa Indonesia (Falasido) yang ditaja oleh Universitas Indonesia (UI). 2009, mendapat juara sayembara cerpen remaja yang diselenggarakan oleh Kantor Bahasa Provinsi Lampung (KBPL). Karyanya tersebar di beberapa media massa. Puisinya dimuat dalam antologi bersama Memburu Matahari (Bisnis2030, Jakarta 2011). Kini tinggal di Tangerang.