Kamis, 10 November 2011

CERPEN KORAN TEMPO



S E M P U R N A
Oleh
Benny Arnas


 
 
 
 
 
APAKAH mungkin ia ke Leoni Hill, menemui perempuan mandul itu? Bukankah ia sudah berjanji, malam ini akan pulang ke Valley Road, menghabiskan malam berdua saja setelah masa haidku habis? Tidakkah ia lupa kalau aku dan dia masih pengantin baru?

Lalu kau mencangking ponsel yang tergeletak di meja rias di sudut kamar. Tak memerlukan waktu lama kau menemukan sebuah nama. Kautekan tombol OK. Kaudekatkan ponsel ke sebelah kanan pipimu, menempelkannya di daun telinga. Kau benar-benar ingin memastikan bahwa panggilanmu tersambung, bahwa ponselnya benar-benar aktif. Nada sambung terdengar. Kau sedikit lega. Kau tak sabar menunggu jawaban di seberang. O tidak, seharusnya kau sudah cukup bersyukur bahwa ponselnya masih aktif (tidakkah itu artinya ia baik-baik saja?). Mungkin ia sedang menyetir, mungkin ia sedang mengobrol dengan kawan lama, mungkin ponselnya sedang dalam silent mode. Hmm, tapi bisa saja ia sengaja tak menjawab panggilan. Siapa tahu ia sedang bersama mantan pacar (yang katanya sering duduk-duduk di Marina Bay), siapa tahu ia sedang asyik berbincang dengan seseorang yang baru dikenalnya di alun-alun air mancur Merlion. Tidak, lebih tepatnya, pastilah orang lain yang merasa pujaan hatinya itu mengasyikkan, mengagumkan. Ya, perempuan mana yang tak terpesona dengan laki-laki tampan seperti dia. Tiba-tiba prasangka dan rasa khawatir mengerubungimu. Jarak antardegup jantungmu makin rapat. Napasmu berkejar-kejaran. Lingerie yang kaukenakan mulai membuatmu gerah oleh keringat. Ponselmu pun terasa lengket karena telapak tangan yang mulai basah. Kau melemparkan ponsel ke spring bed yang baru satu minggu menghuni kamar. Kau membuka pintu kamar. Kau mendongak ke dinding ruang tengah. Beberapa menit lagi, jam tua yang bersandar di sana akan berdentang 12 kali. Kau menuju dapur. Kulkas. Mengambil sebotol air mineral. Langsung menenggaknya seolah rasa dingin yang berselancar di tenggorokan dapat serta merta menghilangkan kecemasanmu. Leher dan lingerie-mu ikut basah oleh air es yang meluap di bibir botol. Kau bermaksud mengirimkan pesan singkat sebelum kau merasa jemarimu tak cukup bertenaga untuk memencet tombol-tombol di ponsel.

O, benarkah kau di rumah mungil di kompleks itu, suamiku? Benarkah kau bersama dengannya? Sedang apa kalian? Apakah kau juga memikirkanku sebagaimana aku merindukan sekaligus mencemaskanmu?


AKU di Mount Sophia, Sayang. Sendirian. Sedang merampungkan beberapa deadline. Oh, kau tak perlu cemas. Aku baik-baik saja. Aku akan pulang segera setelah semuanya beres. Miss u!

Laki-laki itu membalas pesan singkat istrinya. Ia memang sudah satu bulan tak pulang ke Leoni Hill. Sebenarnya ia sadar, apa yang ia lakukan adalah sebuah kesalahan. Tak ada pembenaran untuk sebuah perselingkuhan, bukan? Namun, entah, ia merasa tak sendiri, dan ia merasa jauh lebih baik dari sejumlah laki-laki yang bertabiat sama. Menurutnya, banyak laki-laki yang melakukannya demi seks semata. Termasuk kawan-kawannya yang kerap bersantai di Bugis Street dan Orchard Road. Chris dengan Jane, Lupia dengan Bela, Sutan dengan Grenee…. Tidak dengannya. Ia memiliki tujuan yang menurutnya mulia—memiliki keturunan. Namun, sungguh, ini bukan seabad tahun yang lalu (ketika Suntec City dan Clarke Quay masih berupa padang ilalang, dan saudara tua Neneknya yang seorang kiai termasyhur, dapat beristri “dengan mudah” karena pelbagai alasan––kondisi ekonomi keluarga perempuan yang ambruk, banyaknya janda, menyelamatkan akidah, dll). Hhh…. Ia ke dapur. Menyeduh kopi Klassno dengan air tak terlalu panas. Menyeruputnya seolah-olah kafein yang diselipi rasa manis itu dapat menguapkan semua kegundahan. 

Tiba-tiba ia ingat ada beberapa panggilan tak terjawab. Ia ingin memeriksanya. Ia merogoh saku celana. Ia menekan tombol OK. Enam belas panggilan. Nama yang sama. Nama yang tiba-tiba membuat kegundahannya makin membuncah. Ia meneguk liur yang terasa sepat di kerongkongan. Ia berniat menelepon balik. Namun ia urungkan niatnya. Ia tersenyum sendiri. Senyum yang ia sendiri ragu menyatakannya sebagai tanda apa. Perasaannya memang sedang tak karuan, sedang cemas. Ia kini tahu, bahasa tubuh tak selamanya menunjukkan apa yang dipikirkan. Syaraf-syaraf kadang tak mampu menerjemahkan impuls yang dikirim ke otak; seperti seorang pelayan kopitiam yang harus selalu tersenyum kepada para pelanggan walau kaki sudah capai tak kepalang berdiri di depan kedai, seperti bunga mawar yang keharumannya tak dapat diukur dari jumlah kelopak, seperti air sumur yang tiba-tiba terasa hangat bila diguyur ke badan yang kuyup karena kehujanan… seperti lengkung senyum seorang lelaki yang sedang gundah.
Hmm, aku akan pulang, istriku. Bersabarlah.


SAMPAI kapan aku harus bersabar di sini? Jangan-jangan kabar yang membuat telingaku berdenyar-denyar, benar adanya!

Perempuan itu menggerutu. Ia kirimkan sebuah pesan singkat. Ia tak ingin tampak marah. Ia merangkai kalimat semesra mungkin. Ia bertanya dari hal-hal yang ringan. Di mana, sedang apa, sampai ke inti kegundahan: kapan pulang? Tiba-tiba ia merasa lelah sendiri. Ia berjalan menuju meja rias di sudut kamar. Ia raba wajahnya. Sungguh ia merasa masih cantik. Memang, banyak perempuan yang lebih cantik darinya, tapi ia pikir suaminya tak akan berselingkuh hanya untuk alasan yang terlalu ingusan: seks. Pandangannya beralih ke sebuah foto di sisi me ja. Foto pernikahan. Ia bagai tersadar. Sudah enam tahun berumah tangga. Hingga kini Tuhan belum mengaruniai mereka, oh tidak, lebih tepatnya, belum mengaruniainya keturunan. Ia meremas-remas rambut. Ia ingin menangis tapi tak bisa. Dadanya sesak. Ia beranjak ke spring bed dengan langkah gontai. Ia membenamkan wajahnya di antara bantal-bantal yang kini terasa sangat dingin. Jangan-jangan… jangan-jangan benar kabar itu? Suamiku ke Valley Road. Suamiku benar-benar berselingkuh. Benar-benar menikah lagi. Menikah lagi demi keturunan. Oh, mengapa ia tak bilang saja kalau sudah tak sabar punya momongan. Bukankah kita bisa mengadopsi anak, atau… oh, aku bukan tak mau dimadu, aku hanya tak rela bila perhatian dan kasih sayangnya tiba-tiba harus tercurah berat sebelah. Aku tak rela! Ia menuju dapur. Mengambil sesuatu. Lalu ke kamar mandi. 

Mengunci pintunya rapat-rapat. Terdengar kran dihidupkan. Desis air yang tiba-tiba deras. Debur air yang ribut seperti orang marah sedang mandi. Lalu hening. Sangat hening. Sampai terdengar pintu depan diketuk. Makin lama makin keras, makin serampangan, menyelingi teriakan seorang lelaki:
Honey, I’m coming! Sudah rindu sekali aku kepadamu!


SUDAH rindu sekali perempuan itu kepada suaminya. Ia pikir ia harus segera menuntaskan perasaan itu. (O o, rindu memang sinar kehidupan. Ketika muncul, hanya cahayanya yang tampak.). Pun saat ini, perasaan yang berkecipak dalam dadanya menegaskan bahwa rindu bisa membuatnya silau, gila, bahkan mati seketika. Ia membuka lemari. Mengambil kardigan dan rok sebatas lutut. Mengenakannya. Setelah berdandan sekenanya, ia mengambil kunci mobil di laci meja rias. Ia gegas keluar kamar. Membuka garasi. Mengeluarkan BMW metalik. Setelah memastikan apartemennya telah terkunci, ia lajukan mobil meninggalkan Valley Road dengan kecepatan tinggi. Ia tak sabar lagi menemui suaminya. Aku tahu kau pasti di sana, Sayang? Sebenarnya ia tak ingin menunjukkan: aku tahu bahwa aku dinikahi seorang lelaki beristri! Ya, ia tak bermaksud membuat laki-laki itu terpojok di hadapan perempuan itu. Ia hanya ingin perempuan itu tahu bahwa suaminya sudah memilih seorang gadis yang siap menghadiahinya seorang putra. Atau… bahkan nanti dapat saja ia menempatkan suaminya dalam keadaan terjepit yang sudah lama ditunggunya: Nah, sekarang, pilih aku atau istri tuamu!

Ia sangat masyuk membayangkan apa-apa yang mungkin ia lakukan di tempat tujuan, hingga ia menerobos saja lampu merah yang baru saja menyala di perempatan Orchard Road. Hampir saja sebuah truk kontainer menabrak mobilnya. Ia melepas lenguh, lega. Terbayang olehnya, bila ia telat memutar setir, orang-orang akan berkerumun mengangkat mayatnya di jalan raya Negeri Singa Putih itu.


ORANG-ORANG berkerumun di sebuah rumah mungil di Leoni Hill. Mereka mendapati seorang lelaki meraung di sebuah kamar mandi; bak air yang melimpah, sebilah pisau tergeletak di lantai. Laki-laki itu memangku perempuan yang bersimbah darah. Di antara kerumunan, menyeruak seorang perempuan muda. Cantik. Memakai kardigan dan rok sebatas lutut. Ia mendekati laki-laki itu. Dan laki-laki itu terkesiap. Perempuan itu menepuk lembut bahunya seolah memintanya tak usah menampakkan keterkejutan. Lalu perempuan itu meminta tolong kepada orang-orang yang berkerumun untuk membawa mayat di pangkuan suaminya ke ambal yang terbentang dekat ruang tengah. Orang-orang sedikit tergeragap. Mereka tak mengenal perempuan itu. Mungkinkah ia adik si mayat, atau adik suami si mayat, atau…. Mereka gegas menuju kamar mandi. Laki-laki di sana menatap lindap mayat istrinya yang baru digotong ke atas ambal, lalu beralih menatap perempuan yang tadi menghampirinya. Perempuan itu tersenyum sepat. Ia minta maaf atas semua yang telah terjadi. Ia katakan—bagai mengakui, bahwa ialah yang menyebabkan semua ini. Entah, bagaimana, seolah lupa pada semua rencana yang telah ia susun, perempuan itu mengatakan:

Sayang, ini memang bukan saat yang tepat untuk meluapkan rindu, namun aku tahu, dalam waktu singkat kehadiranku akan membuatmu membisu. Tapi jangan khawatir, aku sudah lama tahu perihal istrimu, istrimu yang mandul, istrimu yang baru saja membunuh kekurangannya dengan menyayat nadinya. Aku pulang dulu, ya. Aku tunggu kau di Fettion Hall. Ya, aku sudah tidak tinggal di Valley Road lagi terhitung lusa. Aku tak ingin merepotkanmu dengan tagihan dari apartment center saban tanggal 11 tiap bulan. O ya, di apartemen baruku, aku tinggal di lantai tiga. Segeralah kunjungi aku setelah urusanmu di sini beres. Mungkin kita bisa membicarakan banyak hal. Hmm, maksudmu membicarakan satu hal yang sangat penting. Tentang pernikahan kita yang masih hangat. Tentang hal yang harus disegerakan. Perceraian!

Laki-laki itu terkesiap; matanya membelalak, mulutnya menganga. Suara orang-orang di ruang tengah masih bergeremengan. Perempuan muda itu meninggalkan rumah duka. Orang-orang di beranda masih menyimpan tanya tentang si perempuan misterius. Perempuan itu menyalakan mobil. Tiba-tiba ia takut sendiri. Takut dirinya mandul. Takut diselingkuhi. Takut ditinggalkan. Takut bunuh diri. Airmatanya tumpah.

Ia menambah kecepatan bagai hendak meninggalkan Singapura.
Ia tak tahu hendak ke mana…. (*)


Benny Arnas lahir dan tinggal di Lubuklinggau. Bergiat di Forum Lingkar Pena di Lubuklinggau, Sumatera Selatan. Kumpulan cerpennya adalah Meminang Fatimah (2009), dan Bulan Celurit Api (2010).








R  U  M  A  H
Oleh
Indah Ariani




 
 
 
 
 
TEMPAT ini masih seperti dua puluh tahun lalu. Saat pertama kali kita pindah ke sini. Kamarnya masih tiga, dengan dua kamar mandi terletak di antara kamar anak-anak yang tak pernah terisi. Dua kamar itu tetap kosong hingga kini. Kita berbagi kamar itu satu-satu, sebagai tempat sembunyi saat ingin sendiri. Kamu dapat kamar di sebelah kanan dan aku di kiri kamar mandi. Kamarmu menghadap ke halaman depan dan aku menghadap halaman belakang. Di kamar persembunyianmu, kamu bisa melihat jalanan lengang yang hanya dilalui pedagang roti pagi hari atau tukang sate langgananmu pada malamnya. Halaman depan yang cukup lapang terisi sebuah pohon mangga besar yang kau tanam dari biji mangga yang kita makan saat pertama kali datang ke sini. Mangga gadung yang manis sekali. Kamu menyirami dan mengajaknya berbincang layaknya kekasih.

Pohon mangga itu tumbuh subur. Batangnya memiliki dahan-dahan kuat yang mampu menopang kita duduk di situ. Meski pepohonan selalu menghirup oksigen malam hari, daun-daun manggamu yang lebat tak pelit membaginya dengan kita. Sepanjang ingatanku, tak pernah kita merasa sesak saat duduk beberapa jenak di dahan pohonnya. Kita berbincang banyak hal di situ. Biasanya aku duduk bersandar di dahan yang lebih tinggi darimu. Kamu tentu ingat tukang sate langganan yang mengira kita hantu malam itu. Celingukan mencari sumber suara bicara di kegelapan, ia terbirit-birit mendorong gerobaknya tanpa menoleh ke belakang. Suara terompetnya ia perkeras, seakan ingin mengusir setan, dan tawa kita pun berderai melihat tingkahnya. Sejak hari itu, kita punya ritual baru saat bulan purnama tiba. Duduk, berbincang di rerimbun daun.

Para tetangga pun sempat mengira pohon mangga kita ada hantunya. Ingat kan dulu kita terpingkal-pingkal setelah Pak Irsan, tetangga sebelah kanan, datang bercerita tentang suara bicara dan tawa yang kerap ia dengar pada malam purnama dari halaman rumah kita. “Sepertinya itu suara Dik Wahid dan Dik Hanum. Tapi saya longok ke teras, kok kalian berdua tidak ada,” kisahnya dengan muka tegang. Kamu juga tertawa hingga sakit perut saat mendengar bagaimana ibu-ibu kompleks dengan gemas menasihatiku saat belanja di warung sayur Mas Bejo yang kini sudah jadi juragan cabe. “Nak Hanum, benar tidak dengar apa-apa?” tanya Bu Rusli yang tinggal di dekat pos satpam penasaran. “Apa ndak takut to Dik, pohonnya ada yang ninggali? Saya kenal orang pinter yang bisa ngusir roh halus. Kalau Dik Hanum mau, saya bisa panggilkan dia datang ke rumahmu,” kata Mbakyu Pardi yang cerewet. Kita diam saja tiap kali mendengar gunjingan-gunjingan itu. Biarlah mereka menduga apa saja. Ini rahasia kita berdua, katamu waktu itu dan aku setuju. Kita punya banyak rahasia. Hantu pohon mangga itu salah satunya. Lainnya adalah kode-kode kasih yang hanya kita yang tahu artinya.

Selain pohon mangga, di halaman depan kamu juga menanam rumput gajah yang menurutmu lebih bandel ketimbang jejarum rumput jepang. Kamu lebih senang rumput gajah yang lebih tahan hidup di berbagai jenis tanah, cuaca dan tak mudah rusak meski rumput liar mengganggunya. Daunnya yang hijau segar dan lebih lebar dari jarum rumput jepang kamu bilang jauh lebih menarik dan bersahaja.
Kemuning dan melati berjajar di pagar, meruapkan wangi nyaris sepanjang musim. Reranting kamboja putih di sudut halaman seperti jemari penari yang senantiasa menaburkan bunga tatkala angin membelainya.

Di kamar yang selalu segar dengan aroma bunga, kamu menyimpan koleksi buku, gitar dan kamera. Sebuah tempat tidur dan meja tulis mengisi salah satu sisinya. Kamu akan mengeram di sana kala kita sedang bermusuhan. Biasanya kamu mengetik artikel, mengolah foto atau memetik lagu cinta di dawai gitarmu hingga aku keluar dari sarangku: kamar di seberang kamarmu. Warna dindingnya biru. Entah kenapa aku lebih senang biru ketimbang merah jambu yang katanya warna wanita. Pernah kuganti warna lain, tapi aku malah merasa tidak nyaman dan akhirnya aku memilih kembali ke biru. Kamar kita berwarna jingga. Warna hangat yang sangat bergairah. Memang kamar jadi terasa sedikit lebih sempit. Tapi aku lebih suka warna cerah untuk kamar kita dan kamu setuju saja. Katamu, aku jadi lebih menerbitkan gairah tiap kali ada di kamar itu. Aku sendiri tak pernah ambil pusing dan cuma ingin kita selalu hangat.


KAMARKU menghadap ke halaman belakang yang mungil—lebih kecil dari halaman milikmu—tapi jauh lebih berwarna. Selain rumput hijau, aku punya rumpun aster marun dan jajaran amarilis merah mencolok di pinggir tembok. Di sebelah aster, aku menanam pisang-pisangan berbunga kuning hingga ke pinggir lantai teras. Aku letakkan sebuah pot teratai putih dan merah muda—yang selalu kuanggap melambangkan kita—di pinggir pintu menuju danau di belakang rumah. Aku membuat pergola yang bawahnya kutanami pohon bunga terompet ungu dan tangkai sulurnya kurambatkan sebagai naungan amarilisku. Bunga-bunga ungunya menyembul dan menjuntai cantik seperti ayunan peri-peri bunga di dongeng yang kubaca saat anak-anak. Aku sering melamun sambil menyimak kupu-kupu dan kumbang yang hinggap di bunga-bunga itu di teras belakang, pagi-pagi saat aku habis bertengkar denganmu.

Pada banyak pagi, aku menyadari bahwa cinta kita memang jelmaan teratai putih dan merah jambu itu. Jiwa kita tumbuh di tanah yang sama, meski memiliki warna berbeda. Kamu pendiam, tenang, tapi periang. 

Sementara aku ceria di permukaan, tapi sebenarnya rapuh dan penyedih. Kita sama-sama suka puisi walaupun kamu tak pernah bisa menulisnya. Aku seringkali membuat puisi untukmu. Tak pernah sebagus puisi Sapardi Djoko Damono, dan cuma berisi curahan hati. Aku tak peduli apakah puisiku indah buat orang lain. Aku menulis puisi hanya untukmu dan diriku sendiri, selalu kataku bila kita tertawa membaca puisi-puisiku yang penuh gerutu.

Dari jendela kamarku yang bertirai putih dengan renda biru di tepinya, aku selalu mengenang perjumpaan kita sambil menatap teratai di pot yang kita gotong berdua. Kita membelinya di tukang kembang di pinggir Senayan, di sebuah siang yang lengang. Hari itu beberapa hari setelah lebaran, kira-kira sembilan tahun lalu. Teratai sedang digemari. Nyaman sekali melihat bunga itu ada di pinggir jalan dan aku memintamu berhenti. Kita turun dan melihat-lihat di satu-satunya kios yang buka saat itu. Aku langsung jatuh cinta pada teratai putih dan merah muda. Paduan keduanya begitu pas dan aku memutuskan membeli bibit teratai, tanah beserta pot yang berukuran agak besar.

Kamu juga membeli kemuningmu di situ. Jadi umur kemuningmu sama dengan umur terataiku. Kamboja putih belum kamu tanam ketika itu. Padahal aku sudah jatuh cinta pada kamboja sejak berusia belasan tahun. Aroma lembutnya selalu menghadirkan perasaan asing yang indah buatku. Bunganya juga cantik. Aku senang menyebut diriku sebagai kamboja dan melati. Keduanya menurutku bunga sederhana yang mudah tumbuh di mana saja. Keduanya juga wangi dan sama-sama berwarna putih. Sayang, kamu sudah memutuskan halamanmu adalah taman dwiwarna. Kamu cuma mau tanaman hijau dengan bunga putih. Maka aku tak boleh lagi menanam tanaman kesukaanku itu di halamanku. Itu sebabnya aku menanami tamanku dengan bunga aneka warna.

Kala sedang bosan dengan taman dwiwarnamu, kamu mengajakku duduk di teras belakang, berbincang banyak hal sambil memandang danau lebar di belakang pagar. Atau kita mengambil binokular, dan duduk di dangau kecil yang kamu buat di pinggir danau, mengintai orang pacaran di sebelah utara danau itu. Sabtu malam, kerap kita berkencan di dangau itu. Aku memasak bistik lidah kegemaranmu—resepnya kudapat dari Mamamu—melengkapinya dengan rebusan irisan wortel dan bayi buncis yang manis, tumis jagung muda dan kentang goreng. Tugasmu menyiapkan tempat kencan. Aku sering dapat kejutan saat membawa masakanku. Selain taplak renda buatanku, piring dan piranti makan, di meja kamu letakkan mangkuk bunga, dan lilin aroma cendana. Kita berdua makan dalam diam menekuri hidangan sambil sesekali berpandangan. Indah. Satu-satunya hal yang tidak indah, selalu saja dengung bising ribuan nyamuk danau yang merasa diundang berpesta.


BILA musim mangga, beberapa sahabat sering berkumpul untuk memanennya. Pesta rujak kita gelar di dangau. Biasanya, sahabat-sahabat kita membawa makanan dan kudapan, hingga aku hanya perlu membuat beberapa cobek bumbu rujak dan menyediakan sebaskom besar buah-buahan. Juga sirup, soda, bir, dan minuman dingin lain. Kalau sedang rajin, aku membuatkan mereka es buah yang selalu mereka tunggu.

Mereka sahabat setia yang sangat memahami aku dan kamu. Mereka tahu persis kisah kita dan tidak pernah menghakimi keputusan yang kita buat. Kisah yang dimulai dua puluh lima tahun lalu. Saat tatapan mulai mengantar pesan singkat yang lantas jadi panjang ke hati kita. Saat akhirnya kita tak lagi bisa menghindar dari berbagai kebetulan yang mempertemukan jiwa kita dengan belahannya. Aku sempat tak percaya ada belahan jiwa. Aku sempat percaya bahwa jiwa kita tak pernah terbelah. Ia hanya memiliki dirinya sendiri. Tapi nyatanya, jiwa kita terbelah dan saling menemukan di saat tak terduga. Celakanya, kita memutuskan memilih risiko terbuang demi jiwa kita. Aku memilihmu dan menerima cibiran dan hujatan bahwa aku wanita tak berperasaan.

Aku memulai kebersamaan kita dalam gamang, dan merelakan sepenggal masaku hilang dari peredaran. Kamu juga mengambil risiko itu. Menerima tudingan sebagai suami tak setia yang mudah tergoda. Menampung segala cemooh dalam palung terjauh di hatimu dan menyimpannya rapat-rapat. Lama kita berusaha membangunkan diri dari mimpi. Tapi ini memang bukan mimpi hingga yang bisa kita lakukan adalah menghadapi kenyataan. Kita berdua saling bantu melewati masa sulit itu. Masa sulit yang menurut orang lain memang kita cari. Aku pun sudah bersuami pengusaha muda, tampan dan mapan kala itu. Tak ada alasan aku perlu meninggalkannya. Hanya wanita gila yang mau meninggalkan pria seperti suamiku untuk seorang pria yang belasan tahun lebih tua darinya. Tapi aku mengambil risiko itu. Aku sadar sekali bahwa hidup adalah pilihan dan aku memutuskan untuk memilih. Mengejar belahan jiwa yang sebenarnya aku sendiri ragukan keberadaannya. Karena kamu juga memilih risiko itu, aku pikir ini cukup adil. Kita pasti bisa mengatasinya berdua.

Nyatanya, kita tak selalu berhasil. Ada banyak hari dan ratusan malam yang harus kita isi dengan pertengkaran, kesalahpahaman, juga kejemuan. Labirin waktu sering seperti tak berujung. Tapi kita sudah memilih dan tak lagi bisa undur diri. Ini pertarungan keyakinan. Kita bertaruh dengan masa lalu, bercita-cita memenangkan masa depan yang entah seperti apa wajahnya. Aku tak mau mundur, begitu pun kamu. Sama keras kepala. Maka kita terus melangkah walau banyak paku terinjak dan melukai telapak kaki kita. Orang-orang yang tersakiti keputusan kita bertepuk tangan melihat luka-luka yang kita peroleh. “Rasakan karmamu,” begitu kata mereka.

Kita terus melangkah dengan hutang karma yang entah kapan akan tunai. Hingga akhirnya kita dapat berdamai dengan segala hujatan. Pelan-pelan kita keluar dari bimbang dan gamang. Seperti tumbuhan cangkok yang sering nyaris mati, cinta kita bertunas lagi bersama rumput halaman yang makin subur hijau melapisi tanah coklat di bawahnya. Masalah dan pertengkaran seperti air dan pupuk yang membuatnya jadi lebih sehat. Kita lewati semua badai yang tak bersahabat pada kita, sepasang pendosa. Kita jalani semua dan di sinilah kita sekarang.


AKU menungguimu di kamar putih bersih. Ruang perawatan yang kau huni sejak berminggu-minggu ini. Selang-selang halus bersilangan di atas tubuhmu. Mesin pencatat detak jantung dengan cermat mendeteksi detak jantung yang telah menderamu dengan pukulan keras, memecahkan pembuluh darah otakmu, dan membuatmu terkapar habis dalam ketidaksadaran. Beberapa tahun lalu kamu pernah juga mengalami serangan semacam ini, hanya jauh lebih ringan; begitu kau pulih, aku sudah memintamu untuk tidak lagi terlalu sibuk memotret dan bepergian mengajar ke mana-mana setelah serangan itu. Kamu sempat mengikuti saranku.
Tapi itu hanya beberapa bulan. Begitu merasa sehat lagi, kamu kembali pada kegiatanmu. Memotret, memberi ceramah di mana-mana. Kamu bahkan mengajakku mewujudkan keinginan kita membuat buku perjalanan. Dua tahun lalu buku itu berhasil diterbitkan dan cukup laku di pasaran. Kita dapat royalti cukup besar dari penjualan buku itu. Tapi kita sama sekali tak berniat menggunakannya sendiri. Aku tak ingin apa-apa lagi. Rumah kecil kita sudah sangat nyaman dan honorku sebagai penulis lepas juga penghasilanmu memotret dan mengajar sudah lebih dari cukup buat kita berdua. Kita cuma perlu makan, membeli buku, CD musik dan peralatan yang bisa membantu kerjamu dan kerjaku. Selebihnya kita tak merasa perlu apa-apa. Maka kita putuskan menyumbangkan royalti buku itu untuk yayasan yang menangani anak-anak penderita kanker.

Keputusan yang ternyata jadi pertanda buatku bertahun-tahun setelahnya. Pada suatu hari aku mendapati bahwa kanker juga tengah menggerogotiku. Dia hinggap di kelenjar getah beningku, menyebar ke banyak organ dan siap membuat tubuhku berhenti berfungsi di hari yang tak jelas kapan. Dokter itu bahkan tak berani memberi garansi berapa lama lagi aku hidup. Tak tega mengatakan ini padamu, aku simpan rapat semua hasil pemeriksaan, juga surat pengantar untuk menjalani kemoterapi. Aku memilih melakukannya diam-diam, walaupun aku tak tahu berapa lama bisa menyembunyikannya darimu. Ternyata alam tahu caranya. Ia buat kamu koma tanpa aku sempat memberitahukan keadaanku. Dalam duka, aku berencana memberitahu saat kamu siuman nanti dan minta dukunganmu menjalani pengobatan yang menyakitkan. Kini aku memilih merawatmu dulu. Tapi kamu belum sadarkan diri dan aku terus saja menanti.

Kita sudah melewati banyak hal dan aku ingin menghabiskan sisa hidup bersamamu, sesingkat apa pun itu. Lintasan peristiwa yang pernah kita lewati kembali terulang di benakku seperti sebuah putaran film. Dihiasi suasana rumah berisi kamarmu, kamarku dan kamar kita. Rumah yang punya dua taman dengan warna berbeda, dengan dangau kecil di pinggir danau lebar. Dengan pohon mangga yang biasa kita panjat dan kini tengah kita duduki. Aku tersentak. Kamu pun kaget menyadari bahwa kita sedang duduk di dahan pohon mangga seperti yang kerap kita lakukan di malam-malam bulan purnama.

Seperti biasa aku duduk di dahan yang lebih tinggi darimu. Tapi kali ini kita tidak bicara. Kita sibuk memperhatikan keramaian orang di rumah. Kita lihat Bimo, putra Pak Irsan sibuk menggelar karpet. Bu Tuning istri Pak Widodo, tetangga seberang rumah sibuk menyiapkan bunga. “Eyang, Eyang, ada kunang-kunang di pohon mangga. Ada dua,” tiba-tiba Sekar, cucu Bu Tuning memekik girang. Sirine terdengar di kejauhan dan makin mendekat. Kita berpandangan dan turun dari pohon mangga. Kamu menyapa Bu Tuning, tapi dia tak menggubris. Malah menangis, bergegas menuju dua ambulans yang beriringan datang dan berhenti di depan rumah. Kamu menarikku ke arah yang Bu Tuning tuju. Ada kita di dalamnya. Terbujur dalam tandu beroda yang ramai-ramai diturunkan. Semua menangis. Kita kembali berpandangan.

“Kasihan ya Pak Wahid dan istrinya. Berdua saja sepanjang umur, sampai meninggalnya pun sama-sama,” aku dengar beberapa tamu bicara. Salah satunya Gilang, sahabat kita. “Kata suster tadi, mereka mengira Tante Hanum sedang tidur sambil memeluk Oom Wahid saat mereka dengar mesin pencatat detak jantung Oom berhenti. Suster mambangunkan Tante. Tapi ternyata….” Bimo tak melanjutkan ucapannya pada Gilang. Kamu memelukku. Aku menangis, kamu juga. Tapi kita tak lagi punya air mata yang biasanya tumpah. 

“Eyang, kunang-kunang yang tadi di pohon mangga masuk ke rumah,” kata Sekar pada Bu Tuning yang kali ini mendengarkan cucunya. “Kunang-kunang?” tanyanya. “ Iya, Eyang. Itu ada dua, terbang di dekat Eyang. Loh, kok tinggal satu ya? Tapi jadi lebih besar cahayanya. Masak Eyang nggak lihat sih? Bagus deh. Sekar tangkap ya?” Bu Tuning menangis. “Jangan, Cah Ayu,” katanya. Memang. Noktah cahaya itu kita, ternyata. (*)


Buat Mong

Indah Ariani, wartawan di majalah mode dan gaya hidup Dewi. Tinggal di Karawaci, Tangerang. Berhimpun dengan Klub Penulis Perempuan Urban.








B R O N G K O S
Oleh
Aant S. Kawisar




 
 
 
 
 
 
 
ADA yang tak habis dipikir oleh Nurlela, yakni rasa sedap brongkos Mbah Put. Seperti puisi, kesedapan brongkos Mbah Put tak hanya sampai di lidah, tapi sanggup menggetarkan sekujur tubuh, yang pada sebagian orang ditandai dengan keringat bercucuran ketika menyantapnya. Karena itu dalam buku yang sedang ditulisnya, Nurlela menyediakan satu bab khusus membahas rasa sedap brongkos Mbah Put. Meskipun rasa sedap itu tak pernah berhasil disalinnya melalui resep yang telah berkali-kali ia praktekkan secara cermat.

“Apakah aku harus mengenakan sanggul, kain, dan kebaya ketika memasaknya, seperti Mbah Put?” Dengan senyum kecut penasaran Nurlela mendorong mangkuk ke tengah meja makan. Sesaat ia sempat menangkap perubahan ekspresi yang hanya sepersekian detik membersit di wajah suaminya, namun cukup jelas mengabarkan kegagalannya. Kemudian setelah berkali-kali mengulangi mencicipi kuah dari ujung sendok, setengah berkelakar namun gemas ia berkata: “Mungkin pancinya yang salah, atau kompornya?”

Wijaya, suaminya, hanya tersenyum.

Sepanjang siang tadi sebenarnya Nurlela telah menyadari kegagalannya. Dari kuah brongkos yang dibuatnya, ia tidak menemukan rasa sedap sebagaimana yang dirasakannya pada brongkos Mbah Put, yang merupakan perpaduan antara kelezatan semur, rawon dan gulai. Padahal ia yakin, semua bahan berikut ukuran dan takarannya sudah sesuai seperti yang diajarkan Mbah Put, tidak kurang tidak lebih. Begitupun cara memasaknya, yakni dengan menumis terlebih dahulu ramuan bumbu yang telah dihaluskan bersamaan dengan potongan daging, yang lalu dituangkankannya di air mendidih; baru kemudian ia memasukkan kacang tolo, kulit melinjo dan tahu. Setelah daging itu lunak, barulah ia memasukkan santan dan beberapa butir cabai rawit. Begitu menurut catatannya, juga seperti yang dilihatnya secara langsung pada apa yang dilakukan Mbah Put. Begitu pula bahan-bahan bumbu yang dihaluskannya: enam siung bawang merah, tiga buah keluak yang diambil dagingnya dan direndam di air panas, dua siung bawang putih, tiga buah cabai merah yang telah dibuang bijinya, empat butir kemiri, seujung jari potongan terasi, satu senti kencur, satu sendok teh garam, dan satu sendok makan ketumbar yang telah disangrai. Termasuk lengkuas, serai, tiga lembar daun jeruk purut, kecap manis dan santan.

“Lalu apanya yang kurang?” Nurlela kembali mendorong mangkuk ke tengah meja makan. Dan suaminya kembali hanya tersenyum. Lelaki asli Jogja itu, yang sejak kecil telah akrab dengan citarasa brongkos, mengakui bahwa brongkos Mbah Put memang sangat istimewa. Entah apa rahasianya. Apakah karena guna-guna seperti yang… ah, Nurlela segera menggelengkan kepalanya, menepis pikiran jahat itu dari benaknya. Tidak mungkin! Lalu ia kembali menarik mangkuk dari tengah meja dan kembali mencicipi kuah brongkos buatannya dari ujung sendok, berulang-ulang, dengan alis berkerut penasaran.


MBAH Put adalah warga dusun Sukosari, sebuah dusun penghasil tembakau di kaki gunung Merapi. Daerah tinggalnya berdampingan dengan kompleks perumahan di mana Nurlela tinggal. Di beranda rumahnya yang cukup luas berlantai tegel Mbah Put menggelar meja dagangannya, dan hanya buka pada pagi hingga menjelang siang hari.

“Mbah sudah berjualan brongkos di meja ini sejak perumahan di mana nak Nurlela tinggal masih berupa kebun tebu dan tembakau. Sudah puluhan tahun mbah jualan. Tapi baru nak Nurlela yang minta diajarin membuat brongkos,” demikian kata wanita tua itu ketika pertama kali Nurlela menyatakan hendak belajar, kira-kira setahun yang lalu, ketika baru seminggu ia dan suaminya menempati rumah baru mereka di kompleks perumahan itu.

“Apa wanita yang giat berorganisasi akan meninggalkan dapur dan tak bisa memasak? Tak tentu benar itu! Bagi mbah, membuat brongkos yang enak sama seperti mengelola organisasi. Ini soal memberikan peran yang pas bagi para anggotanya yang wataknya bermacam-macam. Seperti meracik dan meramu beragam bumbu,” demikian kata Mbah Put pada suatu hari, ketika mengetahui bahwa Nurlela adalah seorang penulis dan aktivis sebuah LSM.

Kata-kata itu membuat Nurlela terperangah, dan serta merta bisa menyimpulkan bahwa Mbah Put sebenarnya bukanlah sekedar wanita tua bungkuk penjual brongkos semata. Akan tetapi ada sisi lain yang selama ini tidak diketahui oleh banyak ibu-ibu di kompleksnya. Bisa jadi hal itu yang menjadi rahasia di balik kesedapan rasa brongkosnya, demikian terlintas dalam pikiran Nurlela. Dan yang lebih mengejutkan Nurlela ketika itu, adalah pengakuan yang keluar dari mulut Mbah Put, bahwa pada masa mudanya dulu, Mbah Put pun seorang aktivis.

“Tapi organisasi yang mbah ikuti, menjadi seperti masakan yang basi karena tangan kotor sebuah rezim yang merebut kekuasaan dengan bedil dan fitnah. Dan mbah sudah terbiasa dengan fitnah. Bahkan fitnah yang sangat besar yang harus ditanggung oleh sekian generasi. Jadi kalau brongkos mbah pernah difitnah memakai guna-guna, bagi mbah itu kecil….”

“Mbah mengetahui tentang fitnah guna-guna itu?” tanya Nurlela, untuk kesekian kalinya terperangah. Di antara para ibu-ibu di kompleknya, soal guna-guna itu sering menjadi bahan gunjingan.

Mbah Put hanya tertawa.

Sejak saat itu Mbah Put mulai sedikit-sedikit menceritakan masa mudanya. Terutama seputar suka-dukanya menghidupi dan membesarkan ketujuh anaknya, yang saat ini telah memberinya puluhan cucu dan buyut, yang kesemuanya memanggilnya Mbah Put, berasal dari kata “mbah puteri”, yang kemudian diikuti oleh seluruh penduduk. Dari ketujuh anaknya, hanya seorang yang masih menetap di Jogja. Selebihnya menyebar di berbagai kota—Jakarta, Bandung, Balikpapan, juga di Irian, dan Kendari.

“Sebenarnya mbah asli Bantul,” katanya suatu ketika, sambil memasukkan kuah brongkos ke dalam rantang yang disodorkan Nurlela. “Mbah sempat bekerja sebagai pegawai sekretariat di sebuah perguruan tinggi. Di situ mbah bertemu almarhum suami mbah yang menjadi dosen di situ.”

Dengan sangat hati-hati kemudian Nurlela bertanya tentang suaminya. Nalurinya sebagai wanita menangkap gurat duka mendalam yang tiba-tiba membayang di wajah Mbah Put. Barangkali berkaitan dengan suaminya.

Dan ternyata nalurinya benar. Setelah sekian detik menatapnya, seperti mempertimbangkan sesuatu, akhirnya dengan nada suara seakan berbisik, wanita tua itu berkata: “Sebulan setelah peristiwa 65 yang menggemparkan itu, suami mbah tiba-tiba ditangkap dan tak pernah kembali. Mbah sendiri juga sempat beberapa bulan ditahan di markas CPM, tapi kemudian dilepas karena belas kasihan salah seorang komandan di situ kepada anak-anak mbah yang ketika itu masih kecil-kecil. Yang tertua baru berumur dua belas tahun.

Bersama ketujuh anak mbah, mbah pindah ke desa Sukosari Sleman ini pada tahun 70-an. Karena di desa asal mbah, mbah terlanjur dicap sebagai perempuan binal yang kejam dan pembunuh, seperti yang digambarkan dalam film yang dulu setiap tahun diputar di televisi itu.”

Meski sangat samar, terlihat oleh Nurlela tawa getir membayang di bibir Mbah Put. Kemudian seperti bergumam ia melanjutkan, “Apa yang salah dengan memperjuangkan kaum buruh dan tani? Suami mbah dan mbah sendiri adalah anak buruh tani. Bukankah untuk itu kami disekolahkan oleh orangtua kami? Dan lagi, mbah ini mendukung perjuangan suami….”

Karena diliputi antara rasa haru dan takjub pada kata-kata yang keluar dari mulut Mbah Put, secara spontan ketika itu Nurlela berkata: “Saya ingin menulis buku tentang Mbah Put….”

“Apanya yang mau ditulis. Tentang brongkos?” Mbah Put tak meneruskan kata-katanya, tapi mendadak memandang Nurlela dengan tatapan tajam menyelidik. Tatapan yang membuat Nurlela sempat gemetar.

Namun Mbah Put segera menyadarinya, karena itu setengah berbisik ia melanjutkan, “…memang harus ada yang menuliskannya. Tapi apakah sudah waktunya?”


PAGI-PAGI sekali Nurlela telah mendatangi meja dagangan Mbah Put. Seperti hari-hari sebelumnya, Mbah Put menyambutnya dengan senyumnya yang khas, dengan kedua mata menyipit dan agak sedikit menegakkan tubuhnya yang bungkuk, seolah memamerkan kebayanya yang setiap hari selalu tampak baru. Juga sanggul bulat kecil yang menempel di atas kepalanya, yang tampak kontras dengan rambut aslinya yang telah putih merata.

“Kemarin saya masih gagal, Mbah,” kata Nurlela sambil menyerahkan tiga buah rantang kepada wanita tua itu. “Saya harus melihat sekali lagi Mbah Put membuat brongkos….”
Mbah Put terkekeh.

“Kebetulan hari ini mbah masaknya agak banyak, karena kemarin Pak Wartoyo pesan minta dibuatkan satu panci untuk arisan di rumahnya besok malam.”

Setelah berjanji akan datang menjelang siang, Nurlela bergegas meninggalkan Mbah Put: tiga rantang brongkos yang kini di tangannya telah ditunggu suaminya untuk dibawa ke kantor, pesanan Pak Suhadi, atasan suaminya yang keranjingan pada Brongkos Mbah Put sejak pertama kali mencicipinya.

Segera setelah menyelesaikan beberapa paragraf sambungan tulisannya yang masih menggantung, Nurlela mendatangi Mbah Put. Karena sudah terbiasa, ia langsung menemuinya di dapur. Wanita tua itu sedang menghadap sebuah tampah besar berisi butiran-butiran bawang merah dan bawang putih yang telah dikupas kulitnya. Juga beberapa batang serai, bongkahan lengkuas, dan bahan-bahan bumbu lainnya.

“Duduk sini…,” Mbah Put menyodorkan dingklik kepadanya.

Nurlela duduk di bangku dingklik itu, mengambil pisau, dan membantu Mbah Put mengupas bawang. Sesaat pikirannya masih tertuju pada bawang merah itu, tapi sesaat kemudian pikirannya melayang pada paragaraf terakhir tulisannya yang barusan ia tinggal di laptopnya: Aungan sirine malam itu menggemparkan seluruh desa, bagai tiupan sangkakala, membuka pintu neraka bagi keluargaku. Neraka bedil dan fitnah yang teramat jahanam. Di tengah kepungan moncong-moncong senjata dan sepatu-sepatu lars yang berdentam di lantai, bahkan di seluruh negeri, sanggupkah aku menyelamatkan anak-anakku dari kekuasaan yang haus darah itu?

“Sanggup. Mbah Put sanggup. Mbah sudah membuktikannya!” Tanpa terasa kata-kata itu meluncur dari mulut Nurlela, dengan mata menatap lurus-lurus ke wajah wanita tua itu, yang seketika membuat wanita tua itu menyipitkan kedua matanya, membalas tatapan Nurlela dengan heran.

“Oh….” Nurlela mengelus dadanya, menyadari luapan rasanya. “Maaf, Mbah. Saya hanya teringat pada cerita Mbah Put tentang aungan sirine yang menggemparkan seluruh desa itu, dan bagaimana kemudian Mbah Put membesarkan dan menyekolahkan ketujuh anak-anak Mbah Put hanya dengan berjualan brongkos.”
Kini Mbah Put ikut mengelus dadanya. “Mbah kira ada apa…,” katanya sambil mengulum senyum, lalu dengan suara lirih melanjutkan, “Ya, karena itu mbah berutang budi pada brongkos. Alhamdulillah, karena brongkos ini pula mbah sudah menunaikan ibadah haji. Karena itu sekarang ini mbah ingin membalas budi.”

“Maksud embah?” Nurlela memandang Mbah Put dengan tatapan serius.

Mbah Put memasukkan bahan-bahan bumbu ke dalam sebuah cobek, kemudian sambil mengulek bumbu-bumbu itu ia berkata: “Brongkos telah menjadi doa bagi mbah. Dulu, setiap kali mengulek bumbu-bumbu ini, mbah selalu berdoa semoga brongkos mbah laku. Karena mbah tidak punya cara lain untuk menghidupi dan membiayai sekolah anak-anak mbah. Bahkan mbah seperti bisa melihat doa itu menyatu dengan bumbu-bumbu di dalam cobek ini. Sekarang…,” Mbah Put menoleh ke arah Nurlela yang dengan mulut setengah menganga memandangnya. “Ada apa, Nak?” Mbah Put kembali menyipitkan matanya, mencoba menangkap apa yang tersirat di balik wajah Nurlela yang tampak melongo.

“Teruskan, Mbah. Saya ingin tahu apa yang ada di hati Mbah sekarang ketika mengulek bumbu-bumbu itu?” tanya Nurlela seperti memohon. Sesaat ia sempat bergidik, tak kuasa membayangkan beban yang begitu berat yang harus ditanggung Mbah Put muda, seorang janda dengan tujuh anak yang masih kecil-kecil, di tengah

“kutukan” masyarakat satu negeri yang mengekang seluruh hak dan ruang geraknya sebagai warga negara.

Karena itu samar-samar terlihat setitik bening di sudut mata Nurlela.

“Sekarang mbah berdoa semoga mbah selalu diberi kesehatan agar mbah bisa terus membuat brongkos.

Mbah sering kasihan kepada orang-orang yang telah menyukai brongkos mbah. Mereka tampak kecewa sekali apabila brongkos mbah habis atau sehari saja mbah tidak berjualan. Mbah tak ingin mereka kecewa. Karena mereka menyukai brongkos mbah, mbah bisa menghidupi dan membiayai anak-anak mbah. Karena itu mbah harus membalas budi. Kesenangan mereka pada brongkos mbah, itu yang membuat mbah merasa hidup mbah masih berarti.”

Sementara Mbah Put kembali pada bumbu-bumbu di dalam cobeknya, untuk sekian detik Nurlela menahan napas, memandangi wanita tua itu dengan wajah kian melongo. Tak sanggup berkata, walau hanya sekadar mengatakan “oh”. Terbayang di matanya empat sampai lima mobil bagus yang diparkir di halaman rumah Mbah Put, sekurang-kurangnya setahun sekali ketika lebaran. Mobil-mobil milik anak-anak Mbah Put yang berdatangan dari luar kota. Jadi, sebenarnya Mbah Put memang tak perlu lagi berjualan.

Ya, tak perlu! Ah, kini Nurlela menarik napas panjang. Ia sangat terpukau pada pernyataan Mbah Put barusan. Baginya pernyataan itu persis sebuah puisi yang tak hanya merupakan rangkaian kata-kata yang indah, tapi begitu sarat dengan makna. Karena itu, ketika kemudian Mbah Put mengajaknya ke depan kompor untuk melihat bagaimana cara menumis bumbu yang telah halus, dalam hati ia berkata: “Saya sudah tahu rahasia di balik kesedapan brongkos Mbah Put. Ya, saya sudah tahu. Dan saya mungkin tidak akan pernah bisa membuatnya.”

Namun, karena rasa hormatnya, ia beranjak juga dari duduknya, mendekati Mbah Put dan melihat wanita tua itu memasukkan bumbu yang telah halus ke dalam wajan di atas kompor yang menyala. Lamat-lamat ia mulai mencium keharuman menyebar dari dalam wajan itu. Keharuman sebuah puisi yang sarat dengan makna. (*)

 

 
 
 

Tidak ada komentar: