Senin, 14 November 2011

CERPEN SUARA MERDEKA



Salju di Lempuyangan
Oleh
Sungging Raga










TANPA pernah diduga sebelumnya, tiba-tiba Stasiun Lempuyangan Yogyakarta diguyur hujan salju lebat sekali. Langit memutih bersama butiran salju yang turun terus-menerus. Pemandangan ini membuat semua orang heran, sebab hujan salju ini hanya terjadi di seputar Lempuyangan, bukan di seluruh Kota Yogya. Bahkan kalau bergeser beberapa puluh meter ke luar stasiun, cuaca kembali normal, seperti tak pernah terjadi keanehan apa pun. Seolah hujan salju ini dikirim dari langit hanya untuk Lempuyangan.

Tak butuh waktu lama bagi salju itu untuk meratakan seluruh area stasiun, mulai dari gerbong-gerbong yang teronggok bisu di bagian utara, sampai rel dan juga atap stasiun, kini berwarna putih merata, bahkan hujan salju semakin lebat saja, sesekali tumpukan salju tebal jatuh dari atap stasiun. Para petugas kereta api pun kebingungan, mereka tak terbiasa menghadapi yang seperti ini. Salju yang turun membuat perjalanan kereta api terganggu, butiran yang menumpuk itu menyebabkan terjadinya gangguan pada wesel yang biasa digunakan untuk menggeser rel agar berpindah jalur.

Dengan mantel dan jaket, para petugas mulai bekerja keras menyingkirkan salju-salju itu dari bantalan rel agar kereta api bisa masuk. Mereka berkejaran dengan butiran salju yang nyatanya terus saja menggguyur rel.

“Jadi seperti di Jepang saja,” ucap salah satu petugas yang kebetulan pernah membaca Snow Country karya Yasunari Kawabata.

Para penumpang pun kebingungan, mereka menumpuk di emplasemen stasiun, peron, dan bangku. Mereka bertanya-tanya tentang apa yang terjadi. Petugas memandang heran, butiran salju terus jatuh, jatuh, dan jatuh.
Beberapa orang mulai berspekulasi. Seorang calon penumpang yang kebetulan mahasiswa Fisika tingkat akhir mengatakan bahwa ini adalah gejala alam, yakni sebuah aksi-reaksi di langit yang perlu dijelaskan secara spesifik dengan rumus-rumus tertentu, membuat awan kemudian mendingin, menggumpal, membeku, dan menjatuhkan salju, lantas kebetulan, pusat terjadinya reaksi awan itu berada di atas Stasiun Lempuyangan. Dia tambahkan lagi, ini seperti proses terjadinya puting beliung. Bedanya, kalau angin selalu berjalan sambil berputar, tetapi hujan salju ini tidak berpindah, hanya turun di satu titik. Sebagian penumpang yang kebetulan mendengar penjelasannya mengangguk-angguk setuju, apalagi si mahasiswa Fisika itu memakai kacamata yang tebal sekali, menandakan seberapa tebal waktu digunakan untuk membaca buku, menandakan berapa lama ia mempelajari kehidupan lewat rumus dan teori-teori. Namun ada juga beberapa orang yang tak setuju. Terutama seorang berperawakan kurus yang mengenakan jaket yang bagian punggungnya bertuliskan “edansepur”. Ia memiliki pandangan lain tentang fenomena ini. Karena kebetulan ia adalah seorang penyair gagal, maka dengan nada romantisme yang didramatisasi, ia menjelaskan kepada beberapa orang di sekelilingnya, bahwa fenomena hujan salju ini adalah kutukan kepada Stasiun Lempuyangan yang selalu memisahkan sepasang kekasih yang dimabuk asmara. Stasiun ini selalu menjadi tempat perpisahan yang tak diinginkan. Mungkin ada beberapa pasang kekasih yang hingga kini tak rela dipisahkan, dan menyimpan kekesalan pada Stasiun Lempuyangan. Maka terjadilah kutukan salju. Pemuda ini lantas membuat puisi secara spontanitas yang dibacakan di depan banyak orang.
 .
kepada salju
biar kutaburkan lagi dirimu
di atas hangatnya
air mata perpisahan itu
 .
Puisi yang dibacakan itu memang tak memiliki diksi yang kuat serta tak mencerminkan kedalaman perenungan si penyair untuk memahami dan mengungkapkan kejadian puitik dalam jiwanya. Namun para penumpang nyatanya terharu juga. Sebagian besar setuju, pendapat si penyair lebih masuk akal dan lebih humanis dibanding pendapat si mahasiswa Fisika. Beberapa orang pun sesaat mulai sibuk dengan kenangannya, mengingat-ingat kembali, apakah Stasiun Lempuyangan pernah memisahkan mereka dari kekasih-kekasih mereka.

Lantas si penyair pun menemukan ide, ia menyuruh para petugas kereta api untuk menginterogasi setiap calon penumpang, apakah mereka pernah dipisahkan dari kekasih tercinta di stasiun ini. Dan kalau itu benar, maka mereka yang pernah dipisahkan itu diminta untuk ikhlas saja. Si penyair berharap, salju akan berhenti seiring dengan keikhlasan orang-orang yang pernah dipisahkan oleh Stasiun Lempuyangan.

Namun ternyata, ide yang terkesan konyol ini membuat petugas kereta hanya geleng-geleng kepala. Si penyair tadi lantas digiring oleh petugas keamanan karena dianggap sebagai orang gila yang puisinya cenderung subversif melankolis untuk menimbulkan keresahan warga masyarakat stasiun. Si penyair itu meronta-ronta, namun badannya yang kurus membuatnya tak bisa lari. Ia hanya berteriak-teriak tak keruan, bukan memaki petugas, melainkan—lagi-lagi—meneriakkan puisi….
 .
kepada salju
butiranmu menjelma waktu!
 .
Dan waktu memang berlalu bersama salju. Hari demi hari, siang dan malam, salju belum juga reda. Memang sempat beberapa saat salju menipis seperti memunculkan harapan untuk reda, namun kembali lebat. Para petugas terus membersihkan tumpukan salju dari rel secara bergantian. Kereta-kereta yang terlambat itu tak ubah seperti kereta musim dingin. Beberapa pejabat terkait dan stasiun televisi juga sudah mengunjungi stasiun ini. Para ilmuwan, sastrawan, pelukis, pemabuk, pelajar, mahasiswa, pengangguran, semuanya memahami kejadian ini dengan cara mereka sendiri, namun fenomena hujan salju tetap tak terpecahkan. Hingga pada akhirnya, diputuskan Stasiun Lempuyangan ditutup untuk sementara. Ini dilakukan demi mengurangi pekerjaan petugas yang membersihkan jalur rel. Kini mereka tak perlu sibuk memindahkan jalur. Mereka cukup menyingkirkan salju di jalur utama. Semua aktivitas naik turun penumpang selanjutnya dipusatkan di Stasiun Besar Tugu, Yogyakarta, yang berjarak sekitar dua kilo meter dari Lempuyangan.

Jadilah Lempuyangan sebagai stasiun mati, meski setiap hari ada puluhan orang yang mendatanginya untuk menyaksikan fenomena hujan salju ini. Mereka ada yang berkumpul di teras stasiun, ada juga yang menyaksikannya di bawah jembatan layang di bagian timur stasiun. Setiap orang datang dengan pertanyaan di kepala masing-masing. Bagaimana ini bisa terjadi?

Apakah benar ini sebuah kutukan akan sebuah perpisahan yang terabaikan? Mungkin terlalu aneh kalau hal semacam ini dikaitkan dengan semacam kisah cinta picisan. Tetapi toh memang ada seorang pemuda yang setia mengunjungi Stasiun Lempuyangan menjelang sore hari. Ketika sore tiba, pemuda ini akan berdiri di seberang stasiun, membiarkan dirinya diselimuti hawa dingin, menatap salju yang membenamkan segalanya di Stasiun Lempuyangan, lalu mengulang-ulang sebuah kalimat:

“Jika kamu memang enggan kembali padaku, maka biarkan salju-salju itu membuat keretamu tak akan pernah tiba.”

Apa yang sesungguhnya sedang terjadi. Siapakah pemuda itu? Adakah yang mengenalnya dan menafsirkan apa yang diucapkannya? Apakah memang ada hubungan antara perbuatan manusia dengan kejadian alam? 

Tak seorang pun tahu. Dan lama kelamaan, seiring beranjaknya waktu, tak ada lagi yang berniat untuk memahami segala keanehan di stasiun ini. Salju dibiarkan jatuh, ingatan dibiarkan runtuh. Semua orang lantas pergi. Sementara Stasiun Lempuyangan terus diguyur salju, semakin dingin….

Semakin tidak dimengerti. (*)
 .
.
Sungging Raga, cerpenis kelahiran Situbondo. Ia suka naik kereta dan menulis.

 

Tidak ada komentar: