Kamis, 10 November 2011

CERPEN SUARA MERDEKA



Rindu di Penghujung Petang
Oleh
Rama Dira









DI pengujung petang itu, lidah-lidah api jingga berkeretap liar, memangsa cepat sejengkal demi sejengkal badan kapal dongfeng berbahan kayu milik Hosni Mubaroq. Dari kejauhan, orang-orang pulau yang bergegas mendekat belum bisa memastikan apakah juragan ikan itu ada dalam dongfeng yang tengah sandar di dermaga itu.

Hanya Hanafi yang mengetahui keberadaan Hosni Mubaroq di sana sebab dialah yang melemparkan dua botol bensin yang sudah tersulut sumbunya ke geladak kapal dongfeng itu, setelah ia melihat Hosni Mubaroq bergegas masuk ke sana, sehabis membeli sekantung makanan ringan dan sebotol topi miring dari warung kelontong Koh Jun sebagai kebiasaan yang selalu ia lakukan sehabis memborong ikan dari para nelayan, sebelum membawa ikan-ikan itu menyeberang ke kota.

Hanafi yakin, tak ada lagi celah bagi Hosni Mubaroq untuk selamat. Dalam bayangannya, Hosni Mubaroq sudah tamat, mungkin hanya tersisa abu kini. Hanafi menyeringai bangga. Ia puas telah menuntaskan misinya. Ia telah melenyapkan lelaki yang sudah berani mengganggu cinta murni Mak yang baru dua tahun ini ditinggal pergi Pak Hanafi, yang hilang setelah tergulung ombak lima meter di lautan lepas.

Bocah Hanafi tidak pernah menyalahkan Mak. Ia selalu yakin, jika Hosni Mubaroq yang telah beristri empat itu tak datang menggoda, Mak tak akan berani menistakan diri, mengkhianati cinta sehidup semati dengan Pak Hanafi. Hal yang semakin menguatkan keyakinan Hanafi untuk tak pernah menyalahkan Mak adalah kenyataan betapa berbagai cara telah dilakukan Hosni Mubaroq demi menundukkan hati dan cinta Mak Hanafi, termasuk mendatangi Mbah Juling, dukun yang terkenal dengan ilmu-ilmu hitam, terutama yang berkaitan dengan permasalahan kegagalan cinta.

Sebenarnya, tragedi pembakaran ini adalah puncak dari semuanya. Adalah sebuah kunjungan mencurigakan yang menjadi awal mula. Tak seperti biasa, di pengujung petang pada hari itu, Hosni Mubaroq, tidak langsung membawa dongfeng menyeberang ke kota. Dari dermaga, ia datang bertamu ke rumah Mak Hanafi. Tentu bukan pemandangan biasa itu. Meski sejak kedatangan pertama itu Hanafi sudah mengetahui ada gelagat tidak baik yang ditunjukkan oleh Hosni Mubaroq, Mak justru tidak memunculkan pikiran curiga.
Baru pada kunjungan kedua kali, Mak Hanafi mulai menaruh curiga setelah mengetahui Hosni Mubaroq datang tidak dengan tangan yang hampa. Ia membawa sekarung beras lima kilo, sebungkus gula, dan sebungkus kopi, serta selembar baju Sanghai bermotif bunga-bunga cantik. Sebagai janda beranak satu yang rentan menjadi gunjingan orang pulau, Mak Hanafi dengan tegas menolak pemberian itu hingga pemberian-pemberian selanjutnya yang semakin hari semakin mewah saja, sampai-sampai amarah Mak Hanafi memuncak hingga berujung pada pengusiran dengan sebilah golok di tangan. Betapa girang Hanafi melihat Hosni Mubaroq lari terbirit-birit. Ia pun bangga memiliki seorang Mak yang berprinsip teguh, sanggup mempertahankan cinta hanya pada seorang lelaki, dan menutup rapat-rapat kemungkinan celah yang bisa dimasuki laki-laki lain, meski dengan cara yang termasuk berlebihan sekalipun, dalam hitung-hitungan jika itu dilakukan oleh seorang perempuan.

Namun, sebuah kunjungan paling mencurigakan pada suatu petang yang lain, ditanggapi dengan begitu berbeda oleh Mak Hanafi. Dengan jelas, bocah Hanafi bisa melihat, Mak sama sekali tak merasa terganggu mengetahui Hosni Mubaroq yang ada di depan pintu. Dengan senyuman paling aneh yang pernah terpampang di wajahnya, Mak Hanafi mempersilakan lelaki itu masuk dan membuatkan segelas kopi manis serta menerima dengan suka cita semua oleh-oleh yang diberikan oleh Hosni Mubaroq untuknya.

Melihat kejadian paling aneh itu, Hanafi tak bisa berpikir jernih. Ia tidak segera bisa menemukan alasan masuk akal mengapa Mak berubah suka pada Hosni Mubaroq setelah sebelumnya berhasrat membunuh lelaki yang berencana ingin mengusik kemurnian cinta itu.

Terhitung lama, Hanafi mencoba menemukan sebab, mengapa Mak semakin lengket saja dengan Hosni Mubaroq. Sampai pada suatu pagi, bermaksud meminta sangu jajan untuk di sekolahan, bocah Hanafi justru menemukan Hosni Mubaroq dan Mak masih tertidur pulas dalam satu selimut di atas ranjang. Hatinya hancur melihat pemandangan menyakitkan itu. Hari itulah bocah Hanafi memutuskan berhenti sekolah. Menanggapi itu, Mak tak ambil pusing. Ini pula yang membuat Hanafi semakin tersiksa.

Tak berselang lama, Hanafi mendapatkan jawaban atas keanehan-keanehan yang menimpa Mak akhir-akhir ini. Melalui desas desus penuh aroma dan warna, Hanafi mendengar cerita mengenai adanya sihir cinta yang dikirim Hosni Mubaroq melalui jasa Mbah Juling. Karena tak begitu yakin dengan kebenaran desas desus itu, Hanafi menemui Mbah Juling dan segera menemukan kebenaran dari mulutnya bahwa memang Hosni Mubaroq telah meminta jasanya untuk menundukkan hati dan cinta Mak Hanafi. Detik itulah Hanafi tahu semata, bahwa seorang laki-laki telah merusak Mak. Sebagai pengganti bapaknya yang sudah tiada, Hanafi merasa wajib menyelamatkan Mak dari cengkeraman lelaki iblis itu. Mulailah ia dalam petualangan mencari cara untuk membuat Hosni Mubaroq tak lagi ada di sekitar mereka.

Mula-mula, ia selalu mengajak empat orang teman sepermainan dalam melakukan aksi-aksi jahil dengan misi membuat jera Hosni Mubaroq. Kali pertama, mereka segera mempersiapkan ketapel sebagai senjata andalan ketika melihat Hosni Mubaroq sudah mendekati kediaman mereka. Dari balik belukar bambu, masing-masing mereka membidikkan biji-biji rambutan sebagai peluru. Dalam sekali tarikan lewat aba-aba Hanafi, meluncurlah lima biji rambutan yang langsung saja mengenai badan tambun milik Hosni Mubaroq. Hosni Mubaroq tentu kesakitan. Karena serangan biji-biji rambutan itu tak henti-henti, ia tak jadi memastikan siapa yang berada di belukar bambu, yang usil mengarahkan biji-biji rambutan itu. Ia memutuskan untuk lari terbirit-birit, segera kembali ke kapal dongfeng. Tak bisa tidak, Hanafi dan kawan-kawan girang seketika itu juga, terbuai dalam aroma kemenangan, telah berhasil mengusir Hosni Mubaroq.

Aksi itu terus mereka lakukan selama beberapa hari kemudian, namun di beberapa hari lanjutannya, sepertinya Hosni Mubaroq sudah kebal dengan serangan biji-biji rambutan. Ia tetap melintas di jalan setapak depan belukar bambu itu hingga mencapai kediaman Mak Hanafi meski serangan biji rambutan terus bertubi-tubi. Rupanya, ia lari terbiritbirit kembali ke dongfeng pada hari pertama hanyalah sebagai pengaruh keterkejutan semata.

Selanjutnya, karena biji rambutan seperti tak lagi mempan, Hanafi dan kawan-kawannya memutuskan untuk mengganti peluru mereka dengan kerikil-kerikil tajam pada hari lain. Ketika sebuah kerikil tajam membuat bocor jidat Hosni Mubaroq dan menyebabkan darah mengucur deras keluar dari situ, Hosni Mubaroq tak lagi bisa menahan. Ia berlari geram menuju belukar bambu, bermaksud menangkap siapa yang melakukan aksi brutal itu. Bocah-bocah itu berlari berhamburan dan dalam hitungan tak berapa lama, Hosni Mubaroq bisa meraih salah satu dari mereka. Tak disangka, itu adalah Hanafi. Dan Hosni Mubaroq bukannya tidak tahu siapa dia. Kemuliaan sikapnya dengan tidak menyalahkan Hanafi, melepaskannya pergi dan tidak melaporkan aksi itu kepada Mak Hanafi adalah taktik setan belaka. Tentu Hanafi tahu, itu dimaksudkan Hosni Mubaroq tidak lain dan tidak bukan supaya Hanafi luluh hatinya dan mau mengaggap Hosni Mubaroq layak sebagai pengganti ayahnya. Tapi, tetap saja, semua itu tak ada pengaruhnya pada bocah Hanafi. Hanafi abadi dalam kebencian pada Hosni Mubaroq dan tak akan berhenti menemukan cara bagaimana mengusirnya.
Dalam rangkaian kunjungan pada hari yang lain, Hosni Mubaroq tak datang waktu petang. Namun, ia datang kala malam, usai mengantarkan ikan ke seberang. Pada malam yang bergerimis itu, Hanafi dan kawan-kawannya telah mempersiapkan aksi yang lain untuk mengganggu Hosni Mubaroq. Mereka menyiapkan selembar kain putih panjang dan memberinya kerangka ranting sehingga jika dipampang di atas pohon akan terlihat sebagai sosok hantu putih, jenis hantu yang paling ditakuti di pulau nelayan itu. Sebagaimana yang mereka harapkan, ketika melihat itu, Hosni Mubaroq yang berjalan seorang diri menuju ke rumah Mak Hanafi memang ketakutan setengah mati. Ia langsung berlari sambil berteriak meski teriakannya tak didengar oleh siapa pun, karena pulau nelayan memang sedang sunyi, karena kaum lelakinya sedang melaut pada musim banyak ikan. Sesuatu yang kemudian menimpa Hosni Mubaroq itu memang memberikan sensasi kesenangan pada Hanafi dan kawan-kawan. Namun, mereka tak pernah mengira yang terjadi kemudian, yakni ketika Hosni Mubaroq datang kembali ke lokasi tergantungnya sosok hantu putih buatan. Kali ini Hosni Mubaroq berlindung di belakang Mak Hanafi. Mengira-ngira kalau itu pasti ulah jahil si bocah Hanafi, Mak Hanafi percaya utuh bahwa apa yang dilakukan oleh anaknya pada Hosni Mubaroq sampai saat itu, tak lagi bisa ditoleransi. Mak Hanafi pun murka dan meneriaki Hanafi yang tetap bersembunyi di dalam belukar bersama kawan-kawan.

Teriakan Mak memang sangat menyakitkan. Ia katakan bahwa ia tahu semua itu adalah ulah Hanafi. Ia juga mengatakan apa pun dan bagaimana pun upaya yang dilakukan oleh Hanafi untuk menghalangi, dia dan Hosni Mubaroq akan tetap menjalin hubungan cinta suka sama suka, sehidup semati. Ia pun menegaskan, demi mempertahankan Hosni Mubaroq, ia rela kehilangan Hanafi sebagai anaknya.

Bocah Hanafi tak mampu membendung tumpahan air matanya mendengar itu. Sepeninggalan Mak dan Hosni Mubaroq serta kawan-kawan yang tak sanggup menenangkan, Hanafi tetap tinggal di dalam belukar, sehari semalam hingga petang pada hari berikutnya, dilanda kegalauan, kesedihan yang bercampur kegetiran. Meski demikian, otaknya terus berjalan menemukan cara untuk mengakhiri semua kerusakan yang telah menghampiri kehidupanya bersama Mak. Dalam hatinya, ia pun yakin, ayahnya yang sudah berada jauh entah di mana juga mendukung upaya terakhir sebagai pemungkas misinya menyelamatkan Mak dari cengkeraman Hosni Mubaroq.

Petang itu juga ia bergegas membawa dua botol bensin dan sekotak korek api. Dua botol bensin itu ia berikan sumbat dari kain dan ia langsung melangkah mantap menuju dermaga.

Setiba di dermaga, ia tidak langsung menuju ke dongfeng Hosni Mubaroq sebab lelaki itu belum terlihat ada di dalam dongfeng miliknya. Sejenak kemudian barulah matanya menangkap lelaki itu datang, tampaknya sehabis berbelanja dari warung kelontong Koh Jun dengan membawa sekantong makanan dan sebotol topi miring. Setelah yakin Hosni Mubaroq sudah masuk dalam dongfeng-nya, dan memastikan tak ada orang lain di dermaga petang itu, Hanafi langsung mendekat dan melemparkan dua botol bensin yang sudah disulutnya itu.

Blep!!! Api langsung menjalar melahap dongfeng itu. Api semakin mejadi-jadi sebab ada begitu banyak angin. Sehabis itu, Hanafi langsung berlari lagi, masuk ke dalam belukar, memperhatikan dari kejauhan.
Tak ada reaksi sama sekali dari dalam kapal. Itu membuatnya senang. Hosni Mubaroq pasti tak lagi berdaya dan dengan begitu, misinya menyelamatkan Mak sudah berhasil ia rampungkan. Beberapa lama setelah itu, barulah ia melihat orang-orang pulau mulai berdatangan panik, melakukan cara apa pun demi mengakhiri amukan api yang menggila pada dongfeng Hosni Mubaroq. Hanafi bergegas pergi dengan maksud mengaburkan keberadaannya di sana.

Ia terus berlari, tak sabar untuk segera mendapati Mak sebab tiba-tiba saja ia merasakan rindu yang teramat pada perempuan itu. (*)









Di Sini, Hujan Turun Deras Sekali
Oleh 
Mashdar Zainal









HUJAN turun deras sekali. Namun, seperti apa pun cuacanya, kau selalu datang tepat waktu. Kini, kubayangkan, kau sedang duduk gelisah di kafe itu, seorang diri. Menatap layar HP yang sinyalnya nyala-mati, sambil menyeruput jus alpokat susu kesukaanmu. Dan kini, mungkin jus alpokatmu sudah tandas. Sudah satu jam lebih dari waktu yang kita sepakati. Dan aku masih meringkuk di kamarku. Sudah tiga kali kau menelepon, tapi selalu putus. Sinyalnya pasti sedang buruk oleh cuaca.

Dari balik jendela kamarku, aku hanya membeku, menatap ruahan air langit yang seperti ditumpahkan dari bejana raksasa. Jalan-jalan tertutup genangan. Rumput-rumput terendam. Daun-daun kering mengambang terbawa arus. Bunga-bunga di halaman, dahannya bergoyang-goyang, seolah tak kuasa menahan tikaman air yang begitu runcing. Jendela kaca di mukaku sedikit buram, berembun. Beberapa kali aku menyekanya. Dan wajahmu yang gelisah seperti terbayang di sana.

Karena itu harus kukatakan: maaf, petang ini aku tak bisa menepati janji—untuk bertemu denganmu. Aku yakin kau maklum. Di sini, hujan turun deras sekali. Aku tak mungkin menerobosnya. Demamku baru enyah beberapa hari lalu. Tak mungkin aku mengundangnya lagi. Tubuhku masih terlalu rapuh untuk melawan dingin. Jadi maaf, aku tak bisa memetik seikat pertemuan yang telah kujanjikan untukmu. Sekali lagi, maaf.

***

KAFE sepi. Beberapa meja paling tepi tampak basah oleh embun hujan. Aku duduk menggigil di meja paling tengah. Ada empat kursi, dua kosong, satu kuisi dengan tas dan kado yang ingin kuberikan untukmu. Tapi kau belum datang. Apa pun cuacanya, kau memang jarang tepat waktu. Tapi itu yang aku suka darimu. Kau selalu membuatku gelisah, gelisah yang sangat mengasyikkan. Karena meskipun kau terlambat, kau tak pernah lupa pada janji.

Hujan terus mericis. Satu gelas jus alpokat susu tanpa es sudah karam di lambungku. Dua potong pisang keju, tinggal separuh. Aku memang sedikit gelisah. Gelisah yang mengasyikkan. Sudah satu jam lebih aku menunggumu. Dan kau belum muncul.

Di sini, hujan turun deras sekali. Barangkali di tempatmu juga. Mungkin sebab itu kau tak bisa (atau belum) datang. Beberapa kali kukirim sms, tapi tidak terkirim. Kutelpon juga putus-putus terus. Hujan begini sinyalnya pasti buruk. Tapi tak apa. Aku akan menunggumu hingga hujan reda. Pun jika hari ini kau tak bisa datang juga tidak apa-apa. Beberapa hari lalu kau baru diizinkan pulang dari rumah sakit. Dan tentu fisikmu belum pulih sempurna. Salahku juga, memintamu bertemu pada musim hujan begini. Ini benar-benar bukan masalah. Tak apa. Aku hanya merindukanmu. Sudah sekitar tiga minggu kita tidak bertemu. Dan tenggang waktu itu cukup membuatku berdebar-debar menahan rindu. Apa kau juga merasakan?

***

MEMANG (rasanya) cukup lama kita tidak bertemu. Terakhir kali kita bertatap muka ialah saat aku terbaring di rumah sakit tiga minggu lalu. Selepas menjengukku dengan separcel buah, kita sempat ngobrol-ngobrol sebentar, setelah saling terdiam agak lama.

“Sudah berapa hari kau opname?” tanyamu lembut.

“Tiga hari.”

“Kata dokter, apa sakitmu?”

“Katanya gejala tipus.”

“Itulah. Pasti makanmu sembarangan dan tidak teratur. Sudah kubilang, jaga kesehatan. Jaga makan.”
Aku hanya terdiam mendengar petuahmu yang lebih terdengar sebagai petuah ibu-ibu.

“Maaf, aku tak bisa berlama-lama. Aku harus kembali ke kantor. Kalau keadaanmu membaik. Tolong SMS aku.”

Aku tersenyum dan berterima kasih, sebelum kau pergi dan mengusap tanganku.

Entahlah! Hubungan kita memang aneh. Barangkali itu karena perbedaan usia di antara kita. Kau perempuan, dan kau tujuh tahun lebih tua dariku. Dan mungkin karena itu pula, terkadang aku merasa, bahwa hubungan kita bukan seperti hubungan sepasang kekasih, melainkan hubungan antara ibu dan anak.

Dalam dirimu selalu terselip jiwa-jiwa keibuan: selalu perhatian, ingin melindungi, mengalah. Dan aku sebaliknya: ceroboh, sesuka hati, manja, dan sifat-sifat kekakanak-kanakan lain. Kau selalu pandai bersikap dewasa, sehingga aku merasa nyaman untuk terus bersikap kekanak-kanakan. Tapi masalahnya, aku seorang lelaki dan kau seorang perempuan. Terasa janggal jika seorang lelaki merengek di bahu kekasihnya, berceloteh manja, meminta ini-itu. Tapi ini sudah seperti diatur. Aku tak bisa berbuat apa-apa, selain satu: mencintaimu dengan caraku—yang mungkin membuatmu nyaman.

***

HUJAN belum juga reda. Dari gelapnya, sepertinya langit telah menyiapkan debit air yang cukup banyak untuk memenggal pertemuan kita. Ini benar-benar seperti tangisan gadis patah hati, terus merinai, tak usai-usai. Suasana beginilah yang acap membuatku melamunkanmu. Melamunkan hubungan kita yang terus mengalir, lancar, tapi bagai tak bermuara.

Kata cinta telah tunai kau ucapkan, namun, tampaknya tanganmu masih gemetar untuk memasangkan selingkar cincin di jariku. Kau masih tampak kanak-kanak untuk melantunkan ikrar sakral itu. Sedangkan usiaku terus merangkak bagai sesosok hantu yang terus menerorkan ancaman.

Hubungan kita pun masih rahasia. Setahu orang tuamu, aku hanya seorang kakak bagimu. Kakak perempuan yang penuh perhatian. Tak lebih. Jadi mereka tak pernah berpikir yang aneh-aneh tentang kita. Entahlah, bagaimana cerita ini nanti akan berakhir. Seolah-olah, sebuah alamat buruk jika seorang perawan tua jatuh hati pada pemuda kencur. Ah, tidak juga. Sebenarnya kau pun bisa bersikap dewasa. Kau sudah hampir 25. Banyak juga pemuda seusiamu yang sudah menimang momongan. Dan mereka baik-baik saja. Barangkali masalahnya, hanya, aku jauh lebih tua.

***

HUJAN masih berdebaman. Apa kau masih di sana? Tiba-tiba aku merasa sangat bersalah padamu. Aku tahu, selama ini, diam-diam kau tersiksa. Selalu kau yang mengalah. Selalu kau yang berkata iya. Lambat laun kusadari juga. Ini tidak sepantasnya. Umurku sudah hampir 25. Aku sudah—sangat—bukan anak-anak. Aku tertawa sendiri menahan malu mengingat sikapku selama ini padamu. Dan satu hal lagi. Hal yang sebenarnya juga mengganggu pikiranku. Ya, tentang muara hubungan kita.

Kau tak akan mungkin bertanya, “Kapan kita menikah?” atau “Kapan kau nikahi aku?” Tapi aku benar-benar tahu, selama ini kau menunggu. Menunggu kata manis itu menyembul dari bibirku. Aku benar-benar tahu itu. Dan lagi-lagi, apa boleh buat, aku pun tak bisa membayangkan bagaimana reaksi bapak-ibuku jika aku berkabar pada mereka, “Pak, Bu, aku ingin menikah.”

Meski usiaku sudah mendekati 25, tapi aku masih pemuda yang belum layak untuk disebut dewasa. Pemuda yang belum bisa memakai kakinya sendiri untuk berdiri, pemuda yang masih “meminta gendhong” orang tua. Semua kebutuhanku mulai dari biaya kuliah, kebutuhan sehari-hari, makan, hiburan… semua masih murni, dari orang tua. Tak sedikit pun ada pautnya dengan keringatku. Maka bagaimana mungkin aku mengucapkan ikrar itu padamu. Begini-begini, aku juga tahu apa kewajiban suami terhadap istri. Karena itulah alasan mengapa aku menunda. Sekali lagi maaf.

***

LAMBAT laun, hujan ini terasa seperti tangisan. Ngilu dan panjang. Apa mungkin kau akan datang, sedangkan hujan sederas ini? Ah, kau. Selalu aku bertanya begini: bagaimana bisa aku jatuh hati padamu? Jujur, terkadang aku merasa sangat bersalah padamu. Aku bagai belati yang sesuka hati memenggal masa mudamu. Kau lelaki, masih muda. Belum habis waktumu menikmati kebebasan sebagai seorang lelaki, pemuda. Tapi tiba-tiba aku menuntutmu untuk turut memperhitungkan kebahagiaanku. Meski tidak secara langsung, aku tahu, itu mengganggu pikiranmu.

Apa boleh buat. Ini masalah perasaan. Apa iya, aku harus melepasmu. Sedangkan hatiku sudah benar-benar matang dalam genggamanmu. Tak apa, sungguh tak apa. Kenapa pula aku harus takut pada usia. Kau menikahiku pada usiamu yang ke tiga puluh pun aku tak apa-apa. Aku terima, asal kau sanggup mempertahankanku. Bagaimana pun aku perempuan—meski kini usiaku lebih matang. Jadi, aku juga punya perasaan ingin dilindungi, didekap, dimanja, seperti layaknya perempuan. Dan rasanya, hanya kau seorang dari sekian banyak lelaki, yang mampu memberikan itu, meski mungkin dalam bentuk berbeda.

***

HUJAN ini seolah tak akan berhenti. Entah sampai kapan. Barangkali, sericis inilah perasaanku padamu, hanya saja, aku tak pandai melukiskannya. Apa pun yang akan terjadi, sepertinya perasaan yang kupikul ini takkan mungkin goyah. Jadi mana mungkin aku melepaskanmu hanya karena masalah usia. Dalam kamus percintaan, tak pernah mencantumkan usia sebagai syaratnya. Jadi semua sah-sah saja. Jikalau pun kau benar-benar memaksaku untuk menikahimu sekarang juga, aku akan melakukannya. Tapi aku senang, kau tidak menuntut itu. Kau memang perempuan paling pengertian setelah ibuku. Tapi apa imbalku?

Selama perjalanan kita, rasanya semua berjalan lancar. Kita tak pernah ada masalah dengan keputusan. Setiap kali aku memutuskan sesuatu kau selalu berkata iya, entah bagaimana hatimu, apa berkata iya juga, aku tak tahu. Lagi-lagi, itu sebuah bukti nyata bahwa aku belum pantas untuk disebut sebagai lelaki. Mengapa begitu? Tentu saja. Lelaki yang selalu ingin menang sendiri dan segala arahnya dituruti, ia bukan lelaki. Karena ia lemah. Dan yang kurasakan selama ini, itulah aku. Karena itu, sesungguhnya aku perlu sesuatu yang baru untuk menyegarkan hubungan kita yang selama ini baik-baik saja (sebenarnya lebih layak untuk disebut datar-datar saja). Bagaimana jika tiba-tiba aku memberikan kejutan untukmu?

***

HUJAN ini sebuah kejutan bagi kemarau panjang. Hei, aku berpikir tentang kejutan. Selama ini, kau tak pernah menciptakan sebuah kejutan pun untukku. Kado ulang tahun? Itu bukan kejutan yang kumaksud. Entahlah, tiba-tiba aku membayangkan jika dirimu menjadi lelaki yang lebih dewasa, lelaki yang sebenar-benarnya lelaki. Meski selama ini aku cukup nyaman dengan perangaimu yang kekanak-kanakan itu, tapi jujur, sebenarnya, sesekali, aku juga ingin merengek padamu. Bersandar di bahumu dan merajuk ini-itu. Seperti yang kukatakkan, aku masih seperti kebanyakan perempuan, yang sebenarnya lebih suka dicumbu-manja, daripada memanjakan.

Kau tahu, kenapa selama ini aku selalu menjadi ekormu? Karena aku tak mau kehilanganmu. Usiamu adalah usia labil, dan aku harus mengimbangi itu, meski diam-diam terkadang aku harus berkorban perasaan. Karena itu, sekali lagi, jujur, aku benar-benar tak mau kehilanganmu. Apa kau juga begitu?

***

SEDERAS apa pun, nanti, hujan ini pasti akan berhenti. Meski seolah tak bisa berhenti. Bicara soal henti-berhenti, aku yakin, aku pun bisa berhenti dari citra lelaki cemeng, yang selama ini kubangun sendiri. Ya, kenapa tidak? Aku lelaki murni, yang seharusnya memiliki sikap-sikap sebagai lelaki murni: tegas, melindungi, perhatian, mengalah… dan sifat-sifat lelaki lain. Benarkah, hanya karena berhadapan dengan perempuan dewasa lantas aku menjelma menjadi anak-anak? Tidak. Akan kubuktikan itu padamu.

Ahai, hujan deras begini membuat darah lelakiku mengalir lancar. Hujan deras ini menjadikan pikiran-pikiran yang selama ini tersumbat menjadi plong, menjadi lebih jernih. Baik, baik, setelah hujan yang deras ini. Aku harus menemuimu dalam keadaan yang sudah berbeda. Tunggu, tunggu, mengapa harus menunggu hujan berhenti?

“Ah, ini hanya hujan!” gumamku, seperti baru tersadar dari sebuah percakapan. Aku berdiri, mengambil jaket kulit yang tergantung di belakang pintu. Semoga kau masih menungguku di sana.
***

LANGIT sudah gelap dan hujan masih mendendam. Menambah langit semakin gelap. Aku menjadi bingung, sebenarnya aku menunggumu datang atau menunggu hujan berhenti. Rasanya tak mungkin kau datang. Jadi? Aku menunggu hujan berhenti? Aih, ini hanya hujan. Mengapa aku tidak pulang saja. Ya, sebaiknya aku pulang saja. Tapi, bagaimana kalau nanti kau datang. Karena, selama ini kau tak pernah melupakan janji, seberapa pun kau terlambat, kau selalu datang. Aduh, kenapa aku jadi gamang begini?

Di sini, hujan turun deras sekali. Kau pun baru pulih dari perawatan. Jadi tak mungkin kau datang. Aku pun tak mengizinkanmu datang kalau tahu hujan begini. Ya, ya, sebaiknya aku pulang saja.

“Huft…!” aku berdiri, menghela napas panjang, seperti baru saja usai dari perbincangan panjang. Aku bergegas menuju kasir. Membayar bon.

“Hujannya masih deras lho, Mbak. Nggak nunggu reda dulu.” Perempuan yang berdiri di depan mesin kasir mengingatkanku. Aku hanya tersenyum, lalu melenggang.
***

HUJAN sedikit lebih jinak. Kukenakan jas hujan ala kadarnya, aku jalan berjingkat menuju teras rumah supaya tidak ketahuan ibu. Dengan degup memburu aku mulai melajukan sepeda motorku. Hujan ini tak seburuk yang kukira, meski hawa dingin mulai menjalar ke kuduk dan pori-pori. Sepanjang jalan aku terus berdoa, semoga kau masih di sana.

Hujan kembali menjadi gerimis ketika aku sampai di depan kafe itu. Bahkan nyaris reda. Namun, kini, detak jantungku yang menderas. Aku menggigil. Gemetar. Apa karena dingin? Bukan. Tapi lihatlah, kafe tampak sepi. Sepi sekali. Tak seorang pun tampak di sana kecuali para pelayan—dengan seragamnya—yang sibuk mengelap meja. Aku lumat dalam sekelumit kekecewaan. Apa kau sudah pulang?

“Aku tahu kau akan datang. Jadi, aku masih menunggumu di sini.” Tiba-tiba suaramu mendekam di telingaku.
Kau sudah berdiri di belakangku. Tersenyum. Kau benar-benar seperti sebuah kejutan. Aku tak bisa berkata lagi. Aku hanya ingin melafaskan sepatah maaf. Tapi bress, tiba-tiba hujan kembali mendendam. Kita berlarian. Kembali ke kafe itu. Kita duduk dan sama-sama terdiam. Agak lama. Seperti tengah sibuk, memilah kata-kata yang ingin kita ucapkan.

“Di sini, hujan turun deras sekali…,” celetuk kita hampir bersamaan. Kita saling tatap sebelum akhirnya tertawa panjang. (*)


Malang, 23 Oktober 2010










Anak Iblis
Oleh
Yudhi Herwibowo











ANACUCU, hari ini biarkan Ame Tua bercerita padamu. Pada waktu singkat, di antara gerimis yang tiba-tiba datang, aku akan bercerita perlahan agar engkau dapat menangkap segala sesuatu yang terungkap. Ini adalah kisah yang harus engkau tahu, karena tak ada lagi yang bisa menceritakan padamu, selain Ame Tua ini….
***

ENGKAU belumlah lahir kala itu. Tapi saat hari terasa begitu muram, ia lahir di kampung kita. Aku masih ingat, kala itu malam tanpa bulan dan bintang. Gumpalan awan yang biasa menyebar, tiada. Hanya lembaran hitam luas yang terlihat di langit. Sementara di kejauhan, suara burung hantu terdengar begitu jelas. Sepertinya jumlahnya tak hanya dua-tiga ekor seperti biasa, tapi sampai belasan. Sungguh, ini terasa aneh, membuat bulu kuduk kami meremang.

Namun heran, tak ada dari kami yang mengucapkan keanehan itu. Ya, tak ada. Mungkin karena saat itu perasaan kami memang tengah tak menentu. Hampir seluruh penduduk kampung ini, tengah berkumpul di depan mbaru niang keluarga kita, untuk menunggu kabar tentang kelahiran seorang yang seharusnya menjadi kae-mu.

Saat itu semua telah tahu, bila sudah lebih dari 20 bulan ini Mamae Lingpo, salah satu saudara terdekat kita, telah hamil besar. Dan semua orang pun tahu, bila ia hamil tanpa laki-laki bersamanya. Inilah yang semula membuat kami berpikir buruk padanya. Namun itu tak lama. Saat dua orang perempuan di kampung kita, yang hamil setelah Mamae Lingpo namun melahirkan lebih dulu, kami langsung menyadari bila perut membuncit pada Mamae Lingpo pastilah sesuatu yang tak biasa!

Anacucu, sejak dulu kampung kita adalah kampung kecil yang semuanya bersaudara. Hanya ada beberapa pendatang dari kampung sebelah, dan itu tak banyak. Ini mungkin karena kampung kita tak cukup menarik untuk didatangi bila di banding Wae Rebo. Namun sebenarnya, kampung kita tak jauh berbeda. Hanya bukit-bukit panjang yang menjulang ke langit tiada bercelah, yang seakan memagari kampung kita. Itu yang membuat orang di luar sana, tak banyak yang cukup tahu tentang keberadaan kampung kita.

Kampung kita adalah kampung berkabut yang di setiap permulaan harinya akan selalu di basuh oleh gerimis. Namun pada hari-hari menjelang kelahiran Mamae Lingpo, baru aku sadari bila gerimis tak lagi datang di kampung kita, juga kabut yang selama ini menyelimuti. Tentu ini mungkin sekadar kebetulan. Dan aku tak akan berpikir sampai sejauh ini, sampai hari kelahiran Mamae Lingpo benar-benar datang!

Di puncak malam, teriakan Mamae Lingpo memecah keheningan. Sangat panjang dan menyayat, membuat jantung kami semua seakan terhenti. Namun sejeda kemudian, gema teriakan itu berganti dengan tangisan bayi. Awalnya kami semua yang menunggu, bersamaan bernapas lega. Namun beberapa perempuan yang keluar dari dalam mbaru niang dengan terburu, membuat kelegaan kami seketika hilang. Terutama saat pembantu dukun beranak itu nampak terhuyung-huyung, dengan muka sepucat mayat.

Waktu itu aku yang menjadi tu’a golo di kampung ini, tentu saja segera mendekati dan bertanya padanya. Namun pembantu dukun beranak itu, hanya menatapku penuh ketakutan. “Bayi itu….” ia benar-benar tak bisa melanjutkan ucapan.

Tentu saja aku segera berlari ke dalam mbaru niang. Para perempuan di dalam sana, segera menepi memberi jalan. Dan begitu kain itu tersibak, aku lihat Mamae Lingpo telah terbaring kaku dengan mata terbelalak. Jelas ia meninggal selepas bayi itu keluar dari rahim karena tak jauh dari kedua kakinya, aku melihat bayi itu bergerak-gerak lemah.

Dan saat itulah, mata Ame Tua terbelalak.

Anacucu, engkau tahu apa yang kulihat di situ? Sungguh, kau tak akan pernah bisa menebaknya. Bayi yang terlahir itu, yang kini tergeletak di dekat kedua kaki ibunya, ternyata bukanlah bayi biasa. Tubuhnya berwarna merah. Tentu semula aku menyangka itu adalah warna bekas darah. Namun pikiran itu segera hilang, ketika dukun beranak itu mulai berdesis pelan. “Itu bukan darah,” ujarnya seakan bisa membaca pikiranku. “Dan jangan kaucoba untuk menyentuh! Tubuhnya… tubuhnya begitu panas….”

Aku terdiam. Mencoba membayangkan sepanas apa tubuh bayi itu. Namun kain yang tersingkap di antara kaki Mamae Lingpo seakan menjawab pertanyaan itu. Ya, di situ, di lubang kemaluan Mamae Lingpo, dapat aku lihat sesuatu yang tampak menghitam dan melepuh, seakan sesuatu… yang baru saja terbakar!
Sungguh, Ame Tua hanya bisa memandang itu semuanya dengan tak percaya. Ini sangat mengerikan. Dan orang-orang yang ada di dalam mbaru niang ternyata juga merasakan hal sama. Terlebih saat sang dukun yang nampak pucat pasi mendesis pelan, “Ia… bayi iblis….” Ia menunjuk bayi itu. “Kita harus… membunuhnya….”
Dan orang-orang tentu saja terpana mendengar ucapannya. Ketakutan tak bisa Ame Tua bayangkan muncul di wajah mereka. Dan sebelum semuanya terjadi, segera aku mengambil keputusan. Aku dekati bayi itu. Lalu setelah membalutnya dengan kain tebal, aku angkat bayi itu dalam pelukan.

“Ia baru saja lahir,” ujarku pada orang-orang di dalam mbaru niang ini. “Belum ada dosa yang ia buat. Apa kita tega menyebutnya dengan bayi iblis?”

***

SEJAK itu, aku mengasuh bayi itu. Sebenarnya aku ingin sekali memberinya nama seperti bocah-bocah lain. Namun orang-orang di kampung telanjur memanggilnya Bakar, sebuah nama yang diambil dari tanda tubuhnya yang merah seakan terbakar!

Maka jadilah ia tumbuh sebagai Bakar, tumbuh seperti bocah-bocah lain. Senang mendengar orang menyanyi, meminum susu, menangis selepas mengompol, dan semua tingkah bayi pada umumnya. Nampak tak berbeda. Hanya, tubuhnya memang selalu mengeluarkan hawa panas, membuatnya jarang sekali mau berpakaian. Maka aku beberapa waktu sekali, akan menceburkannya ke dalam bak air untuk mendinginkan tubuhnya. Kelak, semakin besar, aku membuatkan untuknya sebuah kolam kecil di depan biliknya.

Saat menginjak menjadi anak-anak pun ia bermain dengan bocah-bocah sepantarannya. Bermain kayu, memelihara anak babi, dan berlarian ke dalam hutan mencari sayur hutan. Dan satu lagi yang kemudian membuat orang-orang lain tak lagi membencinya adalah kesopanannya terhadap orang-orang kampung lainnya. Inilah yang lama-kelamaan, membuat gunjingan negatif tentang dirinya hilang dengan sendirinya.
Semula aku merasa lega. Apa yang aku lakukan dulu selepas kelahirannya, ternyata sesuatu yang benar. Namun entah mengapa, pada umur keenam, aku mulai merasakan sesuatu yang lain. Itu terjadi saat aku memarahinya karena sebuah sebab kecil. Tiba-tiba saja tanpa terduga, ia menatap tajam padaku. Sungguh, tak pernah aku merasakan sebuah tatapan yang begitu tajam, seakan sebuah pisau tajam. Mampu menggentarkan hati, dan membuat rasa takut muncul begitu saja.

Bahkan Ame-mu, yang ketika itu turut melihat berkomentar pelan, “Ia… sangat mengerikan….”
Dan aku hanya bisa menggeleng kepala perlahan. “Tubuhnya yang merah yang membuatnya tampak mengerikan. Bila tubuhnya berwarna seperti kita, tatapannya akan terasa biasa….”

Sebenarnya aku mengucapkan itu untuk menenangkan hati. Namun ucapan itu ternyata hanya bisa bertahan beberapa bulan saja. Karena sejak itulah, beberapa kejadian mengerikan terjadi di kampung kita!
Anacucu, pada saat engkau mulai tumbuh dalam janin ibumu, kisah-kisah tentang Bakar, mulai bermula. Kisah pertama yang aku ingat adalah saat ia tengah bermain dengan teman-temannya di ujung kampung. Seorang temannya tiba-tiba saja terjatuh, dan puluhan ular, kelabang dan kalajengking, tiba-tiba merubung dirinya dan menggigit seluruh tubuhnya. Entah di gigitan yang mana nyawanya meregang!

Saat mendengar kabar itu kali pertama, aku tak berpikir apa-apa. Engkau harus tahu bila di kampung kita binatang-binatang seperti itu banyak berkeliaran. Di setiap karang yang kauangkat, engkau pasti akan menemukan. Namun bisikan-bisakan para tetangga, tetap saja akhirnya membuat pikiranku menuju pada Bakar.

“Temannya itu baru saja mengalahkannya dalam permainan kayu,” bisik seorang tetangga. “Tiba-tiba Bakar memandangnya dengan tajam dan membuat temannya terjatuh, lalu… tu’a golo tahu sendiri apa yang kemudian terjadi….”

Aku masih mencoba menggeleng kepala saat itu. Tapi sungguh, gelengan ini terasa berat. Terlebih saat kejadian seperti itu, kembali terulang beberapa bulan kemudian. Kali ini menimpa seorang guru di sekolah Bakar. Entah bagaimana bisa, papan tulis di depan kelas, tiba-tiba jatuh menimpa tubuhnya. Tak hanya jatuh biasa, namun sangat keras, hingga meremukkan kepala sang guru.

Beberapa tetangga tentu saja segera datang padaku. Dengan wajah diliputi ketakutan mereka bercerita tentang itu. “Gurunya itu baru saja hendak menghukumnya karena ia tak membuat peker jaan rumah,” ujar salah seorang dari mereka.

Dan kali ini aku hanya bisa diam terpaku. Walau pada akhirnya aku masih menggeleng tak percaya, namun sungguh, gelengan itu semakin terasa tak meyakinkan.

Dan semuanya kemudian terjawab beberapa bulan berselang. Ame-mu tiba-tiba ditemukan jatuh ke dalam sumur kampung. Saat itu adalah hari ketika engkau akan lahir, dan ia baru saja pergi ke sumur untuk mengambil air bersih untukmu. Entah apa yang kemudian membuatnya memarahi Bakar di sana, namun engkau tahu apa yang kemudian terjadi? Di depan mata beberapa orang kampung ini, tiba-tiba saja tubuhnya terjengkang ke dalam sumur, seakan-akan ada orang yang mendorong tubuhnya dari depan!
Dan seiring teriakan kematiannya yang panjang, tangismu yang pertama pecah.

***

ANACUCU, engkau tahu, aku seharusnya tak menceritakan tentang keburukan keluarga kita, karena kita semua di sini adalah bersaudara. Kau lahir tujuh tahun setelah kelahirannya. Tentu saja engkau belum mengingat semuanya.

Tapi kala itulah aku dengan desakan semua orang-orang kampung, terutama tu’a gendang, memutuskan untuk mengusir Bakar dari kampung kita.

Ini mungkin terasa menyakitkan. Tak ada dari kami yang melihatnya melakukan hal-hal buruk itu secara langsung. Kami hanya tahu, ia menatap begitu tajam, sebelum sesuatu kemudian menimpa korban-korban itu. Tak lebih seperti itu. Kami yang kemudian menyimpulkan sendiri!

Dan Bakar hanya bisa menunduk pasrah, tanpa membela diri. Aku melihat matanya berair. Engkau tahu, waktu itu usianya baru genap tujuh tahun, jadi wajar bila ia menangis. Ingin rasanya saat itu aku memeluknya, seperti dulu, saat kali pertama aku menyelamatkannya.

Tapi aku tak dapat melakukan lagi kali ini. Dan Bakar, hanya bisa menatapku tak percaya. Ia memang sudah mendengar cerita bagaimana dulu ketika aku menyelamatkannya!

Saat itulah aku menyadari bila ia kemudian mengeluarkan sesuatu dari balik celananya. Sebatang lidi, yang juga berwarna merah. Lalu dengan gerakan lambat, ditancapkannya lidi itu ke tanah, di antara aku dan dirinya.
Setelah itu, tanpa berkata-kata lagi, dia pergi. Aku hanya bisa menatap punggungnya yang merah, menjauh ke arah matahari. Lalu selepas tubuhnya tak lagi terlihat, tatapan kami kemudian beralih pada batang lidi yang tertancap itu. Melihat lidi yang berdiri rapuh seperti ini, mengingatkanku pada sebuah dongeng usang tentang seorang bocah yang teraniaya dan kemudian menantang para penduduk yang menganiayanya untuk mencabut lidi yang ditancapkan. Namun tak ada yang bisa menariknya, selain dirinya sendiri. Lalu dari lubang lidi itulah banjir kemudian datang dan menenggelamkan desa itu….

Ya, dongeng itu menggelitikku. Tapi pada zaman sekarang ini, tentu itu tak akan terjadi. Seorang pemuda kampung yang kemudian mendekati lidi itu, tanpa meminta pertimbangan yang lain, sudah menariknya dengan begitu mudah. Tak ada yang bereaksi atas tindakannya. Walau sebelum lidi itu benar-benar lepas dari tanah, ia sempat melirik ke arah kami seakan meminta pertimbangan.

Dan engkau tahu apa yang kemudian terjadi? Dari lubang bekas lidi itu tertancap, tiba-tiba keluar air yang memuncrat ke atas. Aku hanya bisa menatap tak percaya. Semula semburan itu hanya sekecil ukuran lubang lidi itu, namun lama kelamaan semburan air itu membesar dan terus membesar. Sungguh aku hanya bisa tertegun tak percaya. Dongeng usang itu seakan terjadi di depan mataku.

Dan sebelum kami semua benar-benar sadar, air semakin membesar, kotor, berlumpur, dan membuat gulungan yang mengerikan!

Keadaan seketika menjadi panik. Kami semua berlarian menyelamatkan diri. Namun semburan lumpur itu semakin bergerak cepat, membuat gelombang besar yang terus berulang. Menenggelamkan sejengkal demi sejengkal tanah kami.

Satu rumah terdekat kemudan hancur. Ame tua-mu ini masih bisa meraih tubuhmu yang terlepas dari pegangan ibumu, di antara gerimis yang tiba-tiba muncul….

***

ITU adalah hari terkelam bagi kampung kita. Semua seakan menjadi gelap. Hanya aku yang masih bisa bangkit di antara mayat-mayat yang bergelimpangan itu.

Engkau lihatlah, Anacucu! Semua telah mati di sini, juga ibumu. Walau engkau belum cukup bisa memahami semuanya, namun aku yakin kalau kenangan mayat-mayat di antara genangan lumpur yang menggenangi seluruh kampung kita, akan engkau ingat sepanjang hidupmu. Maka itulah aku membuatkan sebuah sampan kecil, agar engkau bisa terus berlayar melihat kampung kita yang kini telah berganti menjadi kubangan lumpur.
Namun…aku tak bisa menemanimu lagi. Sudah kuputuskan untuk mencari Bakar untuk membunuhnya, sebagai cara untuk membayar semua ini. Dan nanti, bila engkau tak lagi mendengar kabar tentang Ame Tua-mu ini. Entah itu karena aku tak juga menemukan manusia itu, atau pun aku yang ternyata terbunuh olehnya, engkau yang harus melanjutkan semuanya. Karena hanya engkau satu-satunya yang tersisa dari kampung kita. (*)


Pawon Solo, 2010


Catatan
Ame : bapak
Ame tua : lelaki tua, bisa sebagai sebutan bagi diri sendiri
Anacucu : sebutan bagi seorang anak kecil/cucu
Kae : kakak
Mbaru niang : rumah asli Manggarai yang bentuknya bulat beratap jerami
Tu’a gendang : pemimpin upacara adat
Tu’a golo : kepala kampung
Wae Rebo : salah satu wilayah di Ruteng, NTT










B O I K O T
Oleh
Putu Wijaya










SEORANG warga memelihara hantu di rumahnya. Berita itu mula-mula menjadi bahan tertawaan. Tetapi ketika beberapa warga mulai datang untuk menengok hantu itu dan diam-diam minta pertolongan, masalahnya jadi berbeda.

Ada yang datang untuk minta kesembuhan. Ada yang ingin kaya. Ada yang minta naik pangkat. Minta jodoh. Anak-anak sekolah juga datang mau lulus ujian tanpa harus belajar. Ada juga koruptor-koruptor teri yang minta jangan sampai ulahnya ketahuan, tapi bukan untuk kapok, malahan mau meneruskan kariernya.
Tengah malam ada wakil rakyat, mau berdialog dengan hantu dan meminta supaya diberikan petunjuk bagaimana mengurus masyarakat agar jangan bergolak. Ia membaca berita dan desas-desus bahwa gerakan menumbangkan Mubarak di Mesir telah mengalir ke seluruh Timur Tengah. Gaddafi yang angker itu juga sudah dikepret. Ia takut teori domino akan menjalar ke arahnya.

Pemilik hantu menikmati kedatangan orang-orang itu. Ia mulai buka warung kecil. Kemudian juga menyediakan kamar bagi yang ingin menginap. Akhirnya ia mengenakan tiket masuk, bagi yang ingin berjumpa dengan peliharaannya. Kabar terakhir, ia memasang plakat di depan rumahnya, bahwa hantunya sudah beranak. Sekarang ia punya sembilan hantu. Masing-masing hantu punya keahlian sendiri-sendiri dan tarif ketemu juga sendiri-sendiri. Ketemu juga sendiri-sendiri.

“Ini kebodohan yang harus dibasmi!” kata Ami memanasi Amat supaya bertindak.

“Masak di negeri yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa ini, masih ada orang yang memelihara hantu. Bapak harus bertindak. Ini penipuan!”

Bu Amat setuju.

“Ya, betul! Sebagai orang yang disegani karena dianggap orang tua di lingkungan kita ini Bapak jangan biarkan tetangga itu memelihara hantu. Kan ada Puskesmas, kalau sakit ya berobatnya ke situ. Jangan minta sama hantu. Lihat, sejak tetangga memelihara hantu, anak-anak tidak mau belajar lagi, padahal ujian sudah dekat! Mereka percaya hantu itu akan membantu mereka lulus!”

Amat hanya ketawa.

“Biarin saja. Kalau dilarang, nanti dikira kita iri. Dia kan banjir uang sejak memelihara hantu. Lihat rumahnya sekarang dibangun. Tiga lantai lagi!”

Memang betul, hantu itu membawa perbaikan ekonomi. Yang datang, tak hanya beli tiket, tapi juga membawa oleh-oleh. Kalau pulang meninggalkan amplop yang tentu saja akhirnya jatuh ke tangan pemilik rumah. Apalagi yang pernah meninggalkan amplop tebal, mengaku seluruh permintaannya terkabul.

“Jangan dikira hantu tidak mengerti duit,” kata tamu yang sudah berkali-kali datang, “kalau duit yang kita masukkan ke amplop itu kotor apalagi palsu, tahu sendiri akibatnya. Mesti duit baru dari bank. Kalau pakai dollar, serinya harus jelas!”

Pemilik hantu itu sendiri tidak punya komentar apa-apa. “Tiket ini gunanya untuk membatasi dan mengatur aliran pengunjung supaya tertib,” katanya memberikan argumentasi, “kami sama sekali tidak mengomersialkan hantu. Uang tiket itu kan untuk kebersihan. Adapun amplop-amplop yang ditinggal pengunjung itu, ya itu urusan pengunjung itu sendiri dengan hantu. Kami hanya menyiapkan tempat pertemuan. Silakan berdialog sendiri. Amplopnya karena ditinggal, ya kami tampung saja sebagai tanda persahabatan. Tidak seberapa kok!”

Dia bohong. Orang segera tahu berapa besar isi amplop-amplop itu, sejak di depan rumahnya mulai nangkring mobil Kijang Inova. Istrinya tidak pernah lagi jalan kaki keluar rumah. Ke tetangga pun ia diantar Inova.

“Supaya cepat. Habis kalau lama ditinggal nanti hantu-hantunya tidak ada yang ngurus. Sekarang sudah beranak lagi. Jumlahnya sudah 21.”

Sukses membuat tetangga juragan hantu itu, masuk ke dalam koran. Dengan nada sinis beberapa wartawan serentak mencerca ulah memelihara hantu itu sebagai tanda kebodohan masyarakat. Mereka mengundang petugas agar bertindak. Jangan sampai terlambat karena itu jelas-jelas menenggelamkan masyarakat ke dalam alam mimpi….

Tetapi serangan oleh koran itu malah membuat hantu-hantu yang dipelihara itu semakin terkenal. Orang-orang dari kota lain mulai berdatangan. Bahkan dari Bandung dan Jakarta. Juga tamu dari Kalimantan dan Sulawesi membanjir.

Masyarakat ikut menikmati kedatangan orang-orang itu. Tukang-tukang ojek, angkot dan warung-warung jadi panen. Beberapa penduduk ambil kesempatan menyediakan fasilitas parkir dan menginap bagi tamu-tamu.
Tapi para mahasiswa mulai bertindak. Dimotori oleh Ami dan kawan-kawannya, mereka menyelenggarakan gerakan antihantu. Beramai-ramai mereka mencoba menghalang-halangi pengunjung dengan memberikan keterangan bahwa semua itu isapan jempol. Tapi usaha itu gagal, yang datang tidak peduli.

“Bukan soal percaya-atau tidak pada hantu,” kata mereka, “kami hanya mencoba mencari jalan alternatif untuk membereskan persoalan-persoalan kami yang sudah tidak sanggup kami hadapi sendiri. Siapa tahu ini akan berhasil. Saudara-saudara mahasiswa tidak berhak melarang kami! Jangan pikir karena kalian mahasiswa, kalian yang paling benar! Kami juga warga negara!”

Para mahasiswa keki. Mereka tak bisa lagi menahan beberapa anggotanya menyerbu rumah hantu itu dengan lemparan batu. Tapi itu sama sekali tidak membuat rumah hantu itu ditutup. Malah tetangga itu menyediakan beberapa tukang pukul, menjamin kenyamanan para pengunjungnya.

“Ini negara merdeka dan tidak ada larangan untuk memelihara hantu!” protes pemilik hantu itu pada Amat.

“Saya sudah difitnah! Suara-suara negatif dari mahasiswa dan koran-koran itu semuanya dimotivasi kebencian, kedengkian karena iri hati. Mereka cemburu. Apa salahnya kalau hantu-hantu itu mendatangkan rezeki buat kami? Apa bedanya usaha saya ini dengan usaha jasa yang lain. Coba lihat, ada yang sudah 10 kali datang ke mari. Itu kan jelas membuktikan, usaha saya ini membantu masyarakat!”

“Apa mereka pikir enak memelihara hantu? Sekarang kehidupan pribadi saya sudah terganggu karena setiap detik rumah penuh dengan tamu. Saya sudah hampir tidak bisa bernapas lagi karena ngurus tamu. Sementara hantu-hantu itu terus berkembangbiak cepat. Sekarang jumlahnya sudah 100. Saya sekeluarga sudah capek. Saya sudah mau berhenti. Tapi karena dicaci, dicerca, dipojokkan, saya jadi berbalik. Itu semua bukan kritik, itu fitnah! Kritik itu berisi pikiran sehat. Tapi mereka hanya mencaci-maki, menjelek-jelekkan , menghasut masyarakat, menggiring opini publik untuk membenci saya! Saya akan lawan fitnah itu! Rumah hantu ini akan saya lestarikan, biar hantunya terus berkembang sampai jutaan!”

Para mahasiswa yang memprotes tetangga yang memelihara hantu itu semakin garang. Setiap kali ada saja usaha mereka mengganggu yang mereka sebut “bisnis terkutuk” itu. Kadang-kadang sampai terjadi perkelahian antara mereka dan para tukang pukul yang berusaha melindungi para pengunjung yang ingin berdialog dengan hantu.
 
Penduduk menjadi resah karena kenyamanannya terganggu. Akhirnya mereka lapor pada Pak RW yang rumahnya bersebelahan tembok dengan tetangga pemilik hantu. Pak RW langsung bertindak. Rupanya ia juga sudah lama kesal.

“Memelihara hantu itu perbuatan yang terkutuk. Apalagi mencari nafkah, memperkaya diri, membeli mobil, membangun rumah loteng sehingga menutup pemandangan rumah tetangga, dari hasil menjual jasa bertemu dengan hantu, itu perbuatan kriminal. Kita harus memboikot perilaku asosial itu. Boikot!”
Pernyataan Pak RW terdengar oleh wartawan . Langsung dikibarkan di koran lokal. Masyarakat jadi ramai. Mereka ingin tahu apa yang dimaksudkan dengan boikot. Apakah itu berarti tetangga itu akan dikucilkan dari lingkungan. Atau diusir? Atau hanya sekadar digertak.

Dilalah seruan boikot itu membuat rumah yang memelihara hantu itu semakin ramai dikunjungi. Yang semula menganggap itu dagelan, karena penasaran akhirnya datang. Mereka beli tiket. Membawa oleh-oleh seperti yang lain. Dan setelah jumpa dengan hantu, meninggalkan amplop. Ada juga yang datang kembali, seperti ketagihan ketemu hantu.

Para mahasiswa pun meningkatkan kegiatannya. Mereka mendirikan posko dan gencar memberi informasi kepada para tamu. “Sudah waktunya dunia mistik, klenik dan semacamnya disikat habis. Manusia Indonesia harus hidup rasional, realistis dan bekerja kalau mau maju. Jangan meminta pertolongan hantu.”

Omzet rumah hantu itu melonjak. Tetangga pemilik hantu kebanjiran duit. Tukang pukulnya bertambah. Mereka sudah diperlengkapi dengan walkie-talkie dan pakai motor dalam menyambut dan mengamankan tamu-tamu yang mau diskusi dengan hantu.

“Sudahlah hentikan protes dan demo,” kata Bu Amat menasihati Ami. “Lihat hasilnya, malah hantunya semakin laris dan pemiliknya tambah kaya. Jangan-jangan nanti kalian dituduh kerja sama, menolong mengiklankan dagangan hantunya!”

Ami terkejut.

“Amit-amit, kami mau memberantas irasionalitas dari negeri ini, mana mungkin kami membantu orang yang memperdagangkan hantu?”

“Ibu mengerti. Tapi protes-protes kalian sudah membuat pengunjungnya tambah banyak. Nanti kalau ada wartawan dari Jakarta, kalian bisa dituduh sudah kongkalikong. Perjuangan kalian yang suci akan ternoda, Ami!”

Ami marah. Bersama kawan-kawannya dia mendesak Pak RW untuk mengambil tindakan. Pak RW lalu mengumpulkan warga dan sekali lagi menyerukan: boikot. Tak cukup hanya di lingkungan sendiri, para mahasiswa mengajak Pak RW menghadap yang berwenang.

Lalu tetangga yang memelihara hantu itu datang lagi ke Pak Amat, curhat.

“Pak Amat,” katanya panik, “maaf beribu maaf, saya tidak paham, mengapa saya dicaci-maki dan difitnah seperti ini? Boikot itu kan hukuman keras yang berat sekali. Itu lebih kejam dari pembunuhan. Dan yang lebih mengherankan saya, kenapa Pak RW yang mengatakannya? Kalau Ami dan adik-adik mahasiswa itu, saya mengerti, karena itu merupakan aspirasi kaum muda yang kelebihan energi. Tapi seorang RW yang bertugas mengayomi warganya, kok sudah mengucapkan sanksi sosial yang sangat keji seperti itu. Boikot itu kan bukan main-main, Pak. Padahal hasil dari usaha memelihara hantu kan sudah saya sumbangkan, untuk memelihara jalan, kebersihan dan juga pendirian sekolah? Kenapa saya dihujat, Pak Amat?” Amat tak sanggup menjawab. Dia lama terdiam. Akhirnya hanya bisa menatap. Tetangga itu merasa tetapan itu memberinya angin.

“Betul, Pak Amat, saya punya catatan. Kalau dijumlahkan, sejak memelihara hantu, saya sudah menyumbang hampir Rp 50 juta kepada Pak RW untuk dimanfaatkan buat lingkungan kita. Itu semuanya saya dapat dari mereka yang berkunjung mau ngobrol dengan hantu. Tetapi kenapa saya dikutuk terus oleh pejabat yang saya hormati seperti Pak RW? Lho, Pak Amat tidak keberatan kan saya memelihara hantu? Ini kan wiraswasta yang tidak memberikan dampak polisi. Ya kan, Pak Amat? Setuju Pak Amat?”

Amat manggut-manggut. Sebenarnya tidak berarti membenarkan, hanya bermaksud menunjukkan ia paham jalan pikiran tetangganya itu. Tapi tetangga itu seperti dapat angin.

“Orang seperti Pak Amat ini, yang saya hargai objektivitas, kenetralannya yang tanpa pamrih, punya partisipasi besar pada perjuangan. Pak Amat saja tidak protes, kok Pak RW yang saya harapkan akan melindungi saya sebagai salah seorang warganya, kok ngomong boikot. Lho saya bukan orang yang supersensitif yang tidak bisa menerima kritik. Sama sekali tidak. Saya orangnya terbuka kok. Pak Amat lihat sendiri kan, itu bukan kritik, saya sudah jadi korban, itu cercaan, fitnah, saya dijelek-jelekkan. Kenapa? Karena saya dapat keuntungan? Tapi saya sudah menyumbang Rp 50 juta kan? Bagaimana pendapat Pak Amat? Apa saya harus menghentikan memelihara hantu? Ini kan sumber penghidupan saya sekarang? Sumber pemasukan buat lingklungan juga! Bagaimana Pak Amat?”

Amat menggeleng-geleng tak tahu harus menjawab bagaimana. Tapi tetangga yang punya usaha hantu itu menganggap gelengan itu sebagai dukungan.

“Ya hanya Pak Amat yang bisa saya ajak bicara. Hanya Pak Amat yang mendukung saya… Perkara tidak suka, boleh saja. Tapi kita kan sudah merdeka dan hidup di alam demokrasi. Boleh dong saya juga punya pendapat dan kebebasan berusaha. Kok diboikot? Tindakan saya bener kan Pak Amat.”

Amat mengangguk, tapi bukan membenarkan. Dia sudah mulai tahu bagaimana harus menanggapi. Dia menatap tetangga yang memelihara hantu itu dengan pandangan bahwa dia sudah mendengar semua keluhannya, tapi bukan berarti dia setuju. Mereka berpandang-pandangan. Ketika Amat mau membuka mulut, tiba-tiba tetangga itu meraih tangan Amat dan menjabatnya sangat erat.

“Terimakasih, Pak Amat. Pak Amatlah satu-satunya yang orang yang sudah memberikan kritik pada saya. Yang lainnya itu hanya fitnah orang yang iri karena tidak kebagian. Terima kasih!”

Tetangga itu cepat-cepat pergi. Tapi esoknya dia langsung menghentikan bisnis memelihara hantunya, sehingga lingkungan aman kembali. (*)


Jakarta, 26 Pebruari 2011

 

 

 


 

Tidak ada komentar: