Kamis, 10 November 2011

CERPEN KORAN TEMPO





Yang Menjadi Akar Kayu
Oleh
Alizar Tanjung




 

“KITA akan menjadi akar, Sayang. Kemudian berurat ke dalam tanah. Terus menuju inti bumi. Menjadi akar tunggang yang tidak terduga-duga.”

Kemudian kamu berdiri memeluk tubuhku dari belakang. Jilbabmu mengenai pundakku.

“Kita akan diselimuti akar serabut. Akar itu makin lama makin menyebar dan membesar dan kita benar-benar telah menopang batang yang kokoh. Kemudian kita terkurung dalam tanah. Lambat laun menjadi tanah.”
Tubuh kita menggigil terkena angin malam. Diam-diam kita telah menjadi sepasang makhluk yang mesra. Cahaya bulan cemburu. Pohon-pohon yang seperti hantu di lereng tebing Gunung Talang membuat segala sesuatu begitu dekat, begitu akrab.

“Sekarang kita masih manusia. Kita memiliki sepasang kaki, sepasang tangan, sepasang mata, sepasang telinga, satu mulut, satu hidung, dan satu kepala. Lengkapnya tubuh yang sempurna. Lengkap dari apa yang Abang bayangkan,” katamu. “Segala yang ada sempurna menjadi milik kita. Kecuali, ya, kecuali hanya tubuh kita yang milik Tuhan.”

Tanganmu masih berdiam di lingkaran pinggangku.

“Kau tidak akan mengerti, Sayang. Hidup begitu sempurna. Hingga kita tenggelam dalam kesempurnaan.”

“Hsss,” katamu. Jemarimu yang menempel di dua bibirku. Tangan itu telah lebih dahulu menjadi akar-akar kayu yang berserabut. Lebih dari apa yang aku bayangkan. “Dengarkan! Ada sesuatu yang bicara dengan kita. Sesuatu yang amat sempurna di balik daging kita.”

Kita kemudian terdiam. Lama.

“Tidak ada, Sayang.”

“Percayalah. Sesuatu yang membisik kepada kita!”

Kita diam.

“Tidak ada, Sayang. Itu hanya suara angin.”

“Suara daging.”

“Ya, suara daging, Sayang. Suara daging yang bercerita.”

“Coba Abang duduk?” katamu menarik dua tanganku sambil memutar badanku. Lalu mendudukkan aku di kursi yang membelakangi jendela yang terbuka. Kau duduk bersimpuh di depanku.

“Di mana kau mendapatkan jilbab secantik ini? Jilbab hitam yang sesuai dengan malam.”

“Tidak penting, Abang. Hal terpenting, aku tampil anggun di depan Abang.”

“Sudahlah kalau begitu.”

“Percayalah Abang kita masih sepasang manusia. Kita sepasang manusia yang melebihi kesempurnaan malaikat dan bidadari.”

“Aku tidak percaya, Sayang.”

“Kenapa?”

“Aku telah lama menjadi akar kayu.”

“Aku tidak percaya.”

“Aku telah menjelma jadi akar tunggang dan akar serabut. Aku telah menembus inti bumi. Telah aku temukan mata air.”

“Barangkali hanya mimpi. Saat ini Abang benar-benar menjadi manusia yang sempurna.”

“Kemudian aku menjelma jadi akar yang semakin lama semakin keras dan dalam, semakin lama semakin bercabang. Abadilah aku menjadi akar.”

“Abang sebaiknya duduk dengan tenang. Coba Abang rasakan degup jantungku. Ada suara halus yang begitu sempurna dan tulus.” Kamu merabakan tanganku ke dadamu.

“Aku masuk dalam serat-serat batu. Menembus dari tanah-tanah keras. Masuk lebih jauh menembus kegelapan.”

“Hsss.” Kamu merapatkan dua cinta bibirmu. Kita diam. Aku merasakan kehangatan balutan jilbabmu. Kita sepasang akar kayu yang makin lama makin menyatu. Kamu menyelinap ke dalam hatiku sebagai sayap putih.

“Abang,” katamu memegang dua tanganku.

Dua tanganmu terasa sangat halus. Aku pernah memegang pucuk daun kulitmanis. Ayah dahulu suka memintaku mengambil pucuk kulitmanis yang bewarna merah hati ayam. Pucuk muda. Pucuk itu untuk benda bermain adikku. Adikku akan sangat suka merobek-robeknya. Kemudian ia akan memintaku, melalui ayah, untuk kembali mengambilkannya. Oh, Sungguh lembut pucuk itu. Kelembutan kulitmu melebihi kelembutan pucuk kulitmanis.

“Aku sungguh menikmati malam ini, Abang. Burung-burung melintasi bulan. Sayapnya menari di antara bulat bulan. Kabut-kabut menjelma melati dan anggrek putih dalam bulan.”

“Oh, Sayang, kau saksikanlah. Tanganku telah mulai berakar. Akar itu tumbuh dari sela-sela jari. Akar-akar itu tumbuh serabut dan berjuntai-juntai. Tidakkah kamu saksikan tanganku yang mulai berbentuk kayu. Mengeluarkan aroma batang kulitmanis. Aroma itu menyibak jilbabmu.”

“Tidak, Abang. Tangan Abang tetap kuning langsat. Seperti kulit orang-orang kita. Tangan Abang memiliki kelenturan kabut bulan. Percayalah Abang. Jemari Abang seperti jemari yang pernah mengeluarkan air susu untuk nabi Ibrahim.”

“Perhatikanlah, Sayang. Kakiku mulai bertumbuh akar. Tidakkah kau lihat akar-akar itu telah melilit betis dan pahaku. Akar-akar itu menjalar dan melingkar serupa ular. Akar itu bercabang-cabang dan terus membiak.

Betapa akar-akar itu telah kayu. Ia telah mulai menembus lantai dan mencari tanah. Akan terus semakin dalam dan sebentar lagi memaku diriku di kursi ini, Sayang.”

“Abang, lihatlah kaki Abang tetap utuh berjuntai di kursi ini. Kaki Abang akan tetap lentik, bagaikan kaki burung elang yang bebas Abang bawa terbang tinggi kapan pun Abang mau. Rambut kaki Abang, bulu kaki cendrawasih. Tentulah akan tetap menawan.”

“Tidakkah kau perhatikan, Sayang, kini seluruh tubuhku adalah akar yang menjulai-julai? Rambutku adalah rambut-rambut akar serabut. Dari mataku telah keluar dua akar yang sama-sama mencari tanah. Mataku telah melekat pada akar. Tinggal mulutku yang tetap bicara padamu, Sayang.”

“Abang, kau bermata hitam cantik. Bertitik putih mutiara di tengahnya.”

Kemudian kita berbicara bisik-bisik. Hanya hati kita saja saling mendengar. Dan akar itu telah menjalar kepadamu. Aku terkesiap melihat tubuhmu yang mulai berubah. Tangan-tanganmu menjelma akar. Jemari-jemarimu jadi akar yang mencari tanah menembus lantai. Dua kakimu menjadi akar tunggang yang menyatu. Dalam sekejap hidung, mata, kepalamu telah pula menjadi akar. Apa kau tidak menyadari kesempurnaan telah mencukupkan takdir kita?

“Ah, Sayang kita berdua telah sempurna menjadi akar. Tapi apa gunanya akar kayu tanpa ada batang.”

“Untuk apa gunanya batang, Abang? Batang hanya melihatkan kepongahannya saja. Batang mengeliat-ngeliat kepada langit. Kemudian menunjuk-nunjuk kepada angkasa, seolah akan ia menembus cakrawala. Padahal ia hanya setinggi pucuk daun.”

“Batang bagian dari akar, Sayang. Batang yang melahirkan akar.”

“Bukankah tubuh kita yang telah melahirkan akar. Tanpa akar tidak akan tegak batang. Batang hanya bagian dari simbol kecil kehidupan atas. Kemudian batang akhirnya akan lapuk dan kembali kepada tanah.”

“Tanpa batang tidak akan ada akar.”

“Batang telah cukup dengan tubuh kita, Abang.” Jilbabmu meliup-liup di atas akar. Sebentar-sebentar dibalut dingin angin malam. Kemudian kita berdiam untuk sesaat. Tubuh kita makin merapat. Kaki kita menyatu menjadi akar tunggang yang semakin besar dan dalam.

“Sangat ibalah daun dan batang, Sayang. Batang akan mati, daun akan gugur. Terpisah batang dan daun. Daun jatuh ke bumi meninggalkan batang dan ranting. Batang dan ranting tidaklah kita izinkan di akar kita.”

“Duhai Abang, batang dan daun adalah pecinta siang. Sebab itu bergerak ke matahari. Kita adalah pecinta malam, sebab itu kita bergerak ke dalam gelap bumi. Aduhai kasihanlah kita yang jadi akar, Abang.”

“Beruntunglah kita, Sayang. Kita tetap lembab dan tumbuh menjalar dalam.”

“Tersiksalah kita menembus keras tanah dan batu.Tersiksalah kita karena lembab tanah dan dingin air.”

“Itu sudah takdir, Sayang.”

“Oh, betapa Abang yang penyabar sekarang. Mari kita terus menjalar dan mengakar, Abang. Tunggu sebentar, Abang. Bagaimana kiranya kalau kita dipisahkan batu atau para penggali lubang?”

“Maksudmu penggali batubara atau pembuat terowongan jalan kereta api bawah tanah?”

“Sejenisnya.”

“Oh, jangan kau baca itu, Sayang. Kau tahu….”

“Hsss.” Kamu merapatkan akar tanganmu ke akar bibirku.

“Bagaimana kalau itu terjadi. Oh, sempurnalah menjadi akar yang tersiksa. Kita lari dari kemanusian karena tersiksa atas kesempurnaan.”

“Itu hanya andai-andai, Abang. Kita akan semakin dalam ke dalam inti bumi. Tidak akan ada yang akan menggangu. Kecuali….”

“Kecuali apa, Sayang?”

“Kecuali, kecuali kita sempurna jadi akar. Kita akan bertemu panas bumi. Kita lumat jadi abu.”

“Oh, Sayang. Atas kesempurnaan akar pulakah kita akan menjadi abu?” (*)
 .
.
Alizar Tanjung lahir di Dusun Karang Sadah, Solok, Sumatera Barat, 10 April 1987. Mahasiswa IAIN Imam Bonjol, Padang.









Anakku dan Gajahnya
Oleh
Mardi Luhung




 
 
 
 
 
 
 
INI adalah sebuah cerita yang biasa. Sebiasa ketika aku berada di warung kopi ngomong ngalor-ngidul. Ngomong yang tak jelas juntrungannya. Habis ngomong bensin, ngomong sekolahan. Habis ngomong harga lombok, terus berbelok ke soal gajah yang kabur dari kebun binatang. Gajah yang besar. Gajah yang jika berjalan—bum, bum bum! Yang membuat setiap yang ketemu pasti takut dan bergegas menjauh. Gajah, yang ketika ada di mimpi anakku, anakku yang masih berumur lima tahun, adalah kawan bermain yang baik hati dan tidak sombong. Kawan bermain yang selalu dipanggil: “Jah, Jah, Gajah!”

Ini adalah sebuah cerita yang biasa. Sebiasa ketika aku melihat hujan yang turun dari angkasa. Hujan yang digambar oleh anakku selalu dengan warna biru. Warna yang kata anakku adalah warna yang mengusung demam dan sakit kepala. Oleh karenanya, anakku, sebelum berhujan-hujanan, selalu meminta disediakan obat penurun panas. Dan ini membuat aku kaget tapi membuat istriku senang. Sebab, ketika istriku menjawab, “Ibu tidak sempat membeli obat,” anakku pun tak berani untuk berhujan-hujanan dan terus tidur.

Ini adalah sebuah cerita yang biasa. Sebiasa ketika aku melihat mata anakku ketika tidur. Mata yang terpejam. Terpejam rapat dan bermimpi. Tapi, entah kenapa, rasanya aku dapat memasuki mimpinya itu. Dan di mimpinya itu, aku bisa ketemu anakku yang berlarian di padang rumput. Berlarian dengan gajah yang disayanginya itu. Kadang anakku yang ada di depan. Kadang pula sebaliknya, gajah yang ada di depan. 

Keduanya ketawa. Keduanya berbahagia. “Jah, Jah, Gajah!” panggil anakku lagi. Dan: “Guh, guh, guh,” angguk gajah. Waktu itu, aku merasa, matahari tak seganas seperti adanya.

Sampai pada suatu pagi.

“Ayah jahat, Ayah jahat!”

“Jahat?”

“Iya, Ayah jahat!”

“Loh?”

“Iya, Ayah jahat. Sebab membuat gajahku takut. Terus pergi!”

“Gajah yang mana?”

“Gajah yang ada di dalam mimpiku! Yang diintip Ayah kemarin!”

“Astaga….”

Dan siangnya, anakku ngambek. Mengunci kamar. Tak mau makan. Tak mau keluar. Dan istriku bingung. Segala rayuan pun dikeluarkannya. Dan segala pemberian serta janji ini dan itu pun diucapkan di depan pintu kamar. Tapi tetap saja anakku ngambek. Tak menjawab. Cuma sesekali, terdengar suaranya yang memanggil: “Jah, Jah, Gajah, ayo ke sini dong. Ayah tak akan membuatmu takut lagi, kok….”

Dan itu makin membuat istriku bingung.
 .

“MAS, ini gimana? Sejak  pagi anak kita belum makan.”

“Entahlah. Masak aku mesti mencari gajahnya. Dan itu pun gajah yang ada di dalam mimpinya.”

Dan istriku tercekat. Aku pun ikut tercekat. Sepertinya kami tak bisa berbuat apa-apa. Buntu. Dan rasanya, semua yang ada di dalam pikiran kami seperti labirin yang ruwet. Mau ke kiri tak bisa. Ke kanan pun sulit. Sedangkan, jika kami tetap diam, kami seperti berdiam di sebuah tempat yang begitu menggelisahkan. Dan begitu membuat kami menjadi bimbang.

“Cari akal, Mas.”

“Akal?”

“Ya, akal. Atau barangkali, Mas pernah janji sesuatu, tapi belum memenuhinya?”

“Tidak pernah.”

“Atau yang lainnya. Atau? Ya, pokoknya cari akal.”

Akh, aku tak tahu lagi, akal yang bagaimana yang mesti aku cari. Tapi karena ini adalah persoalan mendesak, maka saat itu juga, aku mandi, keramas dan pergi ke ranjang. Bersiap-siap untuk tidur. Istriku, yang melihat ulahku, pun kaget dan bertanya:

“Loh, kok tidur?”

“Lah, iya, kan disuruh cari akal.”

“Maksud, Mas?”

“Karena gajah anakku adalah gajah mimpi, maka aku akan menggantinya dengan gajah yang juga dari mimpi. Mimpiku. Tenang saja.”
 .

INI adalah sebuah cerita yang biasa. Sebiasa ketika anakku kembali mau membuka pintu kamarnya, lantas keluar dan makan. Dan wajahnya pun ceria. Tak lagi ngambek. Malah kini mulai lagi bernyanyi-nyanyi. Tentu saja bernyanyi tentang gajahnya yang telah kembali itu. Gajah yang merupakan pemberian dariku. Atau lebih tepatnya gajah dari mimpiku. Gajah yang mungkin agak berbeda, tapi itu cukup membuat anakku senang. Malah, diam-diam, dia telah mengarang lagu untuk gajah barunya itu.

Jah, Jah, gajahku yang baru.
Jah, Jah, gajahku yang satu
Meski dirimu agak lain tri-lili-lili
Tapi aku begitu bahagia tri-lili-lili

Dan lewat lagu karangan anakku itu (lagu yang ceria dan menggemaskan), aku dapat melihat langit masih begitu biru. Dan tanah masih begitu coklat dan gembur. Semua yang terpampang, pun silih-ganti tanpa bersalipan dan bertindihan. Dan rasanya, tak ada yang percaya, jika kelak, akan ada sekian musibah yang bersusulan. Musibah yang pelan atau cepat menyeret semuanya. Baik yang menegak atau yang tiarap. Yang diam tak percaya atau yang selalu bertanya: “Kenapa guncangan itu terjadi. Dan kenapa, yang dulunya ada di kedalaman tanah dilemparkan ke permukaan? Dan yang ada di ketinggian langit dijatuhkan ke hadapan kita. Kenapa?”

Ini adalah sebuah cerita yang biasa. Sebiasa ketika pagi hari kita bangun. Membuka jendela. Menghirup udara pagi. Dan kembali bersiap untuk kerja. Ke kantor, ke pasar, ke pelabuhan atau ke sekolah. Dan di sela kegiatan itu, barangkali ada yang mencong-mencong atau lurus-lurus, itulah garis yang ada. Garis yang mungkin telah ditakdirkan dari sononya. Garis yang tidak bisa dihapus. Garis yang kadang-kadang ketika muncul begitu mengejutkan. Dan begitu membuat kita seperti berada di sebuah kota besar. Kota besar dengan sekian tanda jalan yang mesti dipatuhi agar kita tidak tertabrak.

Dan karena garis itulah, suatu hari saat pulang dari kantor aku kaget. Sebab, hampir seluruh dinding rumahku dipenuhi garis-garis panjang. Garis-garis panjang yang bersambungan. Bersambungan mulai dari dapur, ke kamar tidur, kamar tengah, beranda dan terus sampai ke trotoar depan rumah. Kemudian berbelok balik ke rumah lagi. Tapi tidak lewat pintu depan, melainkan pintu belakang dan bablas ke loteng. Anehnya, garis-garis panjang itu begitu lurus. Seperti ada penggaris yang meluruskannya.

“Ada apa ini, ada apa ini?” tanyaku.

Istriku menggeleng. Katanya, garis-garis itu sudah ada ketika dia tadi datang dari menjenguk ayahnya di kampung sebelah. Dan, katanya lagi, waktu datang, anak kami pun sedang tidur nyenyak. Jadi, pasti ada orang lain yang melakukan ini semua. Tapi siapa? Toh semua barang yang ada di rumah tak ada yang hilang. Semua masih tertata di tempatnya. Bahkan, kunci, grendel dan lubang-lubang yang ada pun tak rusak sama sekali. Dan, wah, tiba-tiba perasaanku jadi tak enak. Dengan kebat aku pun menuju kamar anakku. Anakku sedang tidur di ranjangnya. Matanya terpejam. Terpejam rapat. Dan aku tahu, di balik mata yang terpejam rapat itu, anakku sedang bermimpi. Bermimpi ketemu gajahnya. Gajah pemberianku itu.

Gajah yang berwarna ungu kebiruan. Dengan gading kuning keemasan. Sedangkan mata alitnya bulat-bundar-gilap. Sebulat-bundar-gilap mata kucing ketika tersorot terang. Dan gajah pun tersenyum. Ada bunga warna-warni yang beterbangan di sekitar kepalanya. Hup! Gajah pun melompat, dan ikut juga beterbangan. Astaga, belalai gajah dapat memendek dan memanjang. Seperti pendek-panjangnya selang yang terbuat dari karet. Kenyal tapi lembut. Lembut tapi cergas.

“Lihatlah, aku juga bisa terbang. Meski tak bersayap!” sergah gajah sambil memasuki jendela. Terus ke ruang dalam. Dan ya, tubuh gajah pun memipih dan mengecil. Lalu kembali ke semula. Jadinya, celah atau lubang, seberapa kecilnya, pun bisa diterobosnya.

“Hai, kenapa tubuhmu jadi begini?” teriak anakku. Sambil terus mengejarnya. Dan tangannya yang mungil, memegang kapur tulis hitam. Dan kapur tulis hitam itu pun digariskan ke setiap dinding yang ada. 

Membekaskan garis-garis panjang yang lurus. Garis-garis panjang yang tadi aku temui hampir memenuhi seluruh dinding rumahku.

Tapi, hmm, gajah tak menjawab. Hanya menggerakkan belalainya. Seperti menggerakkan huruf-huruf. Huruf-huruf yang jika disimak, berbunyi: “Aku tak tahu. Atau barangkali, karena aku baru saja pulang dari kampung bianglala. Kampung para penyihir dan penenun. Para penerbang dan perangkai. Kampung yang ada di dalam mimpinya mimpi!”

Dan gajah pun terus terbang. Anakku pun terus mengejarnya. Dan terus menggariskan kapur tulis hitamnya. Dan gajah pun sesekali menempel di langit-langit. Sesekali yang lain menengkurap di pojok sempit. Dan anehnya, setiap menempel dan menengkurap itu, sekian cahaya pun bersilangan. Elok dan memesona. Aku jadi kagum. Dan yang lebih mengejutkan, bunga warna-warni, yang beterbangan di sekitar kepala gajah pun makin bertambah, bertambah, dan bertambah.

Dan di antara semua yang sedang aku lihat ini, tiba-tiba ada sebuah sentuhan di pundakku. Sentuhan yang begitu aku kenal. Sebab selalu menyiapkan menu serbuk yang aku benci. Menu serbuk, yang jika aku minum, akan membuat aku terlelap dan dikirimi suara ganjil seperti ini: “Wah, keseimbangan hidupnya makin menurun.” Suara ganjil milik si dokter putih. Si dokter putih, yang antara menangis dan tertawa, terlihat semakin putih. Ah, sebelum benar-benar terlelap, aku merasa anakku, gajah, ruang dalam, cahaya, garis-garis panjang dan semua apa yang ada, pun berdikit-dikit lenyap. Betapa lengangnya dunia!
 .

INI adalah sebuah cerita yang I biasa. Sebiasa ketika aku (yang sudah setahun dirawat di rumah rehabilitasi jiwa), berdiri di depan dua gundukan kuburan. Kuburan istri dan anakku. Dua manusia yang paling aku sayangi. Dua manusia, yang setahun lalu, ketika menyeberangi jalan sehabis belanja, terlindas truk. Tubuh keduanya pun hancur. Lengket ke aspal. Konon kata orang, sopir truk dalam mengantuk. Sebab, hampir dua hari, dua malam, terus-menerus mengemudi tanpa istirahat. Dan konon kata orang juga, sopir truk berbuat seperti itu sebab anaknya sedang sakit. Dan dia mesti mengejar setoran agar dapat menebus obat anaknya yang harganya mahal itu. Ah, adakah yang salah? Jika sopir truk berbuat seperti itu? Berbuat demi anaknya? Tapi kenapa mesti menjadikan istri dan anakku sebagai korbannya?

Ini adalah sebuah cerita yang biasa. Sebiasa ketika aku (yang saat itu langsung terjun ke dalam ketakseimbangan) terserang histeria. Meratap. Memukul-mukul angin. Mengutuk ini dan itu. Menyumpahi polisi, jalan raya, sopir truk, lalu lintas, manusia-manusia, dan terus bablas sampai ke sorga dan neraka. Oh, inikah yang disebut sebagai garis yang mungkin telah ditakdirkan dari sononya itu? Garis yang tidak bisa dihapus. Garis yang kadang-kadang ketika muncul begitu mengejutkan. Dan begitu tak pernah memandang pada apa yang sedang dan akan dilaluinya? Oh, semua apa yang sumpahkan itu pun cuma memantul. Memantul dan memantul. Sampai aku lelah. Sampai aku merasa, tenggorokanku melar, sebelah dadaku rengat. Dan apa yang aku rasakan pun berpusaran. Berlingkaran. Dan seperti ulur-ulur di tengah laut, pun menyeretku tanpa ampun. Terus menaikkan tubuhku ke keketinggian yang paling tinggi. Tinggi!
Akhirnya: “Istri dan anakku, ini aku, aku yang tak bisa menjaga kalian….”

“Ini aku, aku yang baru pertama kali menjenguk kalian….”

“Ini aku, aku yang setahun telah hilang….”

Ini adalah sebuah cerita yang biasa. Sebiasa ketika aku beranjak dari pekuburan. Lalu gerimis turun. Gerimis yang makin lebat. Lalu jadi hujan. Hujan (yang entah kenapa, seperti anakku dulu) pun ingin aku gambar dengan warna biru. Warna yang mengusung demam dan sakit kepala. Warna, yang membuat anakku tak berani berhujan-hujanan, jika istriku berkata, “Ibu tidak sempat membeli obat.” Dan ya, ketika aku melayangkan tatapanku ke arah timur, ke arah tanah lapang yang luas, aku melihat, aku melihat anakku asyik berlarian dengan gajahnya di sana. Gajah pemberianku dulu. Dan di antara derai tawanya yang renyah, aku merasa anakku melambai. Terus berseru: “Ayah, lihat, lihatlah, aku kini berhujan-hujanan. Berhujan-hujanan!”
Sejenak aku pun menggigit bibir. (*)
 .
.
Mardi Luhung tinggal di Gresik. Buku puisinya berjudul Ciuman Bibirku yang Kelabu (2007) dan Buwun (2010), yang beroleh Hadiah Sastra Khatulistiwa.
 
 
 
 
 

Tidak ada komentar: