Kamis, 10 November 2011

CERPEN KORAN TEMPO



Aroma Terasi
Oleh
Hanna Fransisca



 



POHON beringin itu tumbuh di halaman kantor imigrasi. Tidak seperti beringin yang tumbuh di kuburan atau di alun-alun pusat kota di Jawa. Tak ada angin sejuk yang berhembus di antara daun-daunnya. Barangkali panas Jakarta tidak lagi cocok dengan kesaktian beringin. Ataukah kantor imigrasi yang gersang dan sedikit menakutkan itulah yang membuat angin dari pohon beringin tidak terasa dingin?

Di bawah pohon beringin yang tak sejuk itulah tempat mangkal para pedagang kakilima, segerombolan calo yang merokok, para lelaki dan perempuan calon TKW yang kelihatan susah, dan banyak lagi manusia-manusia berseragam dan tidak berseragam berkeringat sambil minum air es. Jangan berharap ada burung yang bertengger di atas pohon beringin di halaman kantor imigrasi itu. Dan di jalan raya sebelum masuk gerbang kusam, seperti biasa bisingnya jalan raya di Jakarta membuat mabuk kepala. Ributnya minta ampun: raungan knalpot, klakson bertatat-tetet, teriakan kernet, dan entah suara-suara manusia berjenis kelamin apa yang kerjanya bising melulu.

Pagi itu aku dijemput oleh biro jasa yang mengurus segala keperluan urusan paspor. “Sampai paspor tiba di tangan Nyonya. Semua dijamin beres!” begitu penegasan lelaki yang tak mau dirinya disebut calo, dan lebih bangga menyebut dirinya sebagai “pegawai kantoran”.

Persoalan paspor sebetulnya bisa kuurus sendiri. Tapi lantaran terdesak waktu, dan berjibun pekerjaan yang tiba-tiba menyerempet berbarengan waktunya, maka terpaksalah menyewa biro jasa, dan diantar “pegawai kantoran” yang kadangkala terlihat menyebalkan.”Nyonya tidak seperti wanita-wanita lainnya, yang baru saja berumur 34 tahun sudah seperti emak-emak,” kata lelaki pegawai kantoran itu bermaksud ramah. “Nyonya meskipun berumur 34, tapi masih seperti gadis berumur 24. Sungguh lho, saya seringkali melayani ibu-ibu yang seumuran Nyonya, rata-rata cerewet. Tidak seperti Nyonya.”

Kemudian lelaki kantoran itu menambahkan: “Nyonya sangat cantik. Tidak seperti di dalam foto.”

Liburan lebaran kali ini aku sungguh beruntung. Tiba-tiba aku mendapat bonus tiket berlibur ke luar negeri, plus akomodasi lengkap dengan penginapan yang lumayan. Lantaran tidak mau melewatkan kesempatan emas ini, maka aku rela ‘menembak’ paspor dengan harga satu juta rupiah dari harga resmi yang dipatok negara: dua ratus tujuh puluh ribu rupiah. Biro menjamin si penembak tidak perlu tahu proses rumit berlangsung. Dan sebagaimana sikap penembak yang jujur, aku juga mengatakan dengan tegas: “Pokoknya saya terima bersih.” 

Kemudian aku hanya diminta mengenakan kemeja putih, membawa Kartu Keluarga asli, Kartu Tanda Penduduk asli, Akte Kelahiran asli, bukti surat Warga Negara Indonesia asli. Pokoknya semua harus asli. 

“Kecuali diriku sendiri yang boleh tidak asli, dan akan menjadi asli dengan surat WNI,” begitulah kukatakan kepadanya, dan buru-buru lelaki kantoran itu menjawab.

“Bukan seperti itu maksud saya, Nyonya. Seluruh warga keturunan Tionghoa yang sudah menjadi warga negara Indonesia, otomatis adalah asli. Cuma harus dibuktikan dengan membawa surat Warga Negara Indonesia yang betul-betul asli.”

Maka di sinilah aku sekarang, jam sembilan pagi, bersama lelaki “pegawai kantoran” yang tampak seperti penguasa. Di muka gedung kusam kantor imgrasi, setelah memarkir mobil tak jauh dari pohon beringin. Mengapa aku bilang lelaki pegawai kantoran itu tampak seperti penguasa? Sebab ketika melewati pohon beringin, banyak gerombolan lelaki menyapanya dengan hormat, “Selamat pagi Pak Oleng.” Barulah aku tahu, bahwa lelaki penguasa itu memiliki nama yang lucu: o-l-e-n-g. Dan Pak Oleng, demi melihat reaksiku ketika banyak lelaki gerombolan pohon beringin menyapanya dengan hormat, langsung berkata begini. “Mereka cuma calo-calo, Nyonya. Tidak punya kantor. Mereka liar, dan rata-rata mencari mangsa para TKW yang kesasar.”

“Baiklah, saya percaya. Pokoknya saya terima beres.”

“Tentu saja Nyonya. Begini ya, ayo kita masuk.”

Astaga. Begitu banyak orang duduk di kursi-kursi panjang. Begitu banyak loket. Begitu banyak petugas di balik kaca, yang kadangkala bicara keras lewat lubang bundar. Mestinya aku merasa seperti memasuki sebuah bank. Tapi entah kenapa, saat itu aku merasa seperti memasuki sebuah stasiun kereta. Dan bangku-bangku panjang itu dipenuhi para penumpang yang terlantar.

“Silahkan duduk dulu Nyonya. Begini Nyonya. Nanti kalau ditanya apa pun, jawab singkat-singkat saja. Biar cepat selesai. Kalau ditanya siapa yang mengurus surat-surat ini, Nyonya sebut nama saya, Pak Oleng. 

Mereka semua kenal baik dengan saya. Nyonya tunggu di sini sebentar,” Pak Oleng merapikan jasnya dan berjalan mendekati ruang foto. Tangannya melambai-lambai pada seseorang di balik ruang kaca.

“Lho, kok pakai kemeja putih, Ci? Katanya tidak boleh mengenakan kemeja putih. Aku saja disuruh ganti,” seorang perempuan Tionghoa yang duduk di sebelah kiriku bertanya. Ia memandangku penuh heran. 

Memperlihatkan bulu matanya yang ungu lentik, dan tato biru alisnya. Lengkung alis itu tajam menikung seperti alis Sinchan.

“Waduh! yang benar, Ci? Aku justru disuruh biro jasa yang mengurus suratku itu memakai kemeja putih.”

“Nggak tahu tuh, kok peraturan bisa beda begini. Aku disuruh jangan memakai kemeja putih, makanya aku pakai kemeja merah. Ngomong-ngomong, berapa kenanya?” ia kembali bertanya sambil memelintir rambut jagungnya yang terurai di depan bahu.

“Satu juta.”

“Tidak mahal dong. Punyaku satu juta lima ratus. Aku sebetulnya sudah punya paspor, cuma lupa memperhatikan tahun. Pas mau dipakai ternyata paspornya sudah mati. Baru kemarin ketahuan, terpaksalah main tembak. Lusa berangkat liburan ke Eropa. Mana bulan-bulan puasa begini, biasanya kantor pemerintah tutup lebih cepat. Makanya ramai dan mahal. Besok hari terakhir lho, kalau hari ini tidak diurus, mesti tunggu habis lebaran. Eh, ngomong-ngomong, Ci mau cari kerja di luar ya? Di Hongkong prospeknya lebih bagus lho, daripada Taiwan.Temenku kemarin kasih info, katanya gaji pembantu saja sudah….”

“Nyonya Tjhang Chai Ha! Nyonya Tjhang Chai Ha!” terdengar namaku dipanggil berturut-turut.

Sang Penguasa tergopoh mendekat dan memberi kode agar aku segera masuk ke ruang foto. Syukurlah aku tidak salah memilih biro. Buktinya aku cuma perlu menunggu sepuluh menit dan bisa didahulukan dari mereka yang telah menunggu berjam-jam. Betapa enaknya jadi penembak yang jujur. Tak perlu menunggu lama, langsung ditembak. Aku sempat melirik perempuan yang tadi nyerocos, terlihat mukanya masam tiba-tiba.


AKU berjalan memasuki ruangan. Di sana ada beberapa meja dan kamera. Masing-masing dijaga petugas berseragam yang sibuk menunjuk-nunjuk setiap wajah yang hendak dipotret: “Kurang tegak! Agak ke kiri! Rambutnya diatur, jangan sampai menutupi kuping!” Bla-bla-bla, riuh seperti studio foto gratisan.

“Anda mau potret dengan pakaian tidak sopan seperti itu?” petugas yang di depanku tiba-tiba menggertak. 

“Ini kantor pemerintah, Nyonya. Silahkan keluar dan kembali ke sini dengan memakai celana panjang. Ini kantor pemerintah dan semuanya pake aturan.”

Aku terkejut, lha, “Kenapa dengan celana saya, Pak?”

“Anda memakai celana pendek.”

“Lha, bukankah yang diperlukan hanyalah memotret wajah?” aku masih belum sadar bahwa ternyata pertanyaanku bisa membuat rumit. Petugas kamera itu tersinggung, kumisnya yang jarang tiba-tiba bergerak-gerak.

“Anda saya persilahkan keluar, dan ganti celana panjang, paham?”

“Aduh maaf, saya sungguh-sungguh memohon maaf. Bisakah kitaaa… bicarakan saja Pak? Saya akan titipkan Pak Oleng, orang yang membantu saya. Sungguh, kalau saja Pak Oleng memberitahu saya soal peraturan ini, wah, sungguh-sungguh saya sudah berlaku teledor. Bisakah Bapak membantu saya? Saya tidak membawa celana panjang.”

“Duduk di sana! Tegakkan badan!” perintahnya ketus. Kumisnya yang jarang, minta ampun membuatnya sama sekali tidak berwibawa. Ia langsung menjepret wajahku tanpa bicara, dan sepertinya tidak peduli aku siap atau tidak. Kemudian ia memegang jemariku satu persatu, dan melepaskannya setelah bekas sidik jari terekam di layar komputer.

“Silahkan Nyonya keluar, dan bicarakan persoalan selanjutnya dengan Pak Oleng.” Aku kembali ke ruang tunggu dan duduk di tempat semula. Mulai sedikit tegang, melirik ke kiri dan ke kanan mencari-cari Pak Oleng. Lalu apa selanjutnya? Encik yang semula duduk di sampingku kini sudah berganti seorang bapak-bapak.

“Ibu sudah potret? Tinggal tunggu panggilan dari loket sana,” Si Bapak baik hati itu menunjuk sebuah loket, tampaknya ia sudah bisa menebak. Sedikit lega.

“Bapak masih mengantri untuk difoto?”

“Betul. Sudah hampir dua jam. Benar-benar keterlaluan.”

Sepertinya seluruh ruangan tunggu ini dipenuhi muka masam. Pesawat televisi yang berkoar-koar dengan berbagai berita, entah untuk tontonan siapa. Volume televisi tak begitu jelas lantaran riuh suara mulut bicara di sana-sini. Tak ada koran buat bacaan iseng, tak ada majalah seperti di kantor-kantor swasta. Untuk kesekian kali aku seperti merasa berada di sebuah stasiun dan tengah menunggu pengumuman keterlambatan kereta yang entah disuarakan kapan, dan entah bisa terdengar dengan jelas atau tidak. Hal yang sudah pasti jelas adalah Pak Oleng tidak kelihatan batang hidungnya. Di dinding di atas deretan loket terpampang spanduk besar berwarna kuning dengan tulisan besar “Prioritas Pelayanan Sendiri: Cepat, Mudah, dan Murah. Jangan terbujuk Rayuan Calo”. Di dinding loket paling ujung ditempel pengumuman perincian biaya resmi negara, ditulis dengan huruf dan angka yang sangat jelas: dua ratus tujuh puluh ribu rupiah.

Jarum jam merangkak pada angka sepuluh, dan sepertinya orang-orang terus berdatangan dari pintu utama. Bagaimana ruang tunggu ini tidak penuh, kalau orang-orang terus berdatangan. Begitu banyakkah warga negara ini yang mampu bepergian ke luar negeri?

“Nyonya anak di luar nikah, kan?” Astaga! Ternyata makhluk bernama Oleng itu tiba-tiba saja sudah berada di samping dan melemparkan pertanyaan sinting. Serentak aku melotot pada makhluk itu dan bertanya: 

“Maksud kamu?”

“Aduh, mohon maaf Nyonya, begini….”

Aku sungguh merasa terhina.

“Begini Nyonya. Jangan tersinggung dulu. Ini supaya kita sama-sama enak, dan urusan lancar. Cepat selesai.”

“He, saya ini anak sah. Ibuku memegang bunga ketika masuk ke rumah. Mengerti maksudnya? Ibuku dinikahi secara resmi di hadapan para undangan dan keluarga.”

“Saya percaya. Tentu saja saya percaya. Tapi begini Nyonya, maksud saya: Nyonya kan tidak bisa membuktikan dengan membawa surat nikah orang tua. Iya kan? Itu bisa ribet Nyonya. Bisa rumit. Nah, makanya saya sebut Nyonya anak yang lahir di luar nikah. Nah, kalau nanti mereka tanya, bilang saja iya. Kalau tidak, nanti ditanyakan surat ayah, kelengkapan surat ibu, segala macam yang menyangkut ini dan itu. Pokoknya ribet. Percayalah dengan saya.”

Ruang tunggu yang riuh itu tiba-tiba terasa sunyi. Wajah Pak Oleng yang mulutnya bergerak-gerak, lalu menunjuk-nunjuk, “Nyonya sudah dipanggil. Segera ke sana.” Aku masih tak mendengar.

“Nyonya! Nyonya sudah dipanggil!” Pak Oleng menepuk bahuku dengan keras. “Nanti kalau mereka tanya, jangan lupa bilang iya.”

Di ruang yang berbeda, kali ini seorang pegawai muda yang necis, wajahnya bersih dengan mata sempit melihat celana pendekku tak berkedip. Aku berdiri heran, dan sebelum memutuskan segera duduk, pegawai muda necis bermata sempit itu berkata. Suaranya pelan.

“Nyonya tukar celana panjang dulu, baru boleh masuk. Kalau tidak, dengan senang hati saya akan menolak pengajuan paspor Nyonya,” ia menepiskan tangan, tanpa ekspresi. Terasa sangat kejam. Hawa dingin AC yang berhembus dari belakang tubuhnya yang kaku, menerpaku tanpa ampun.

“Bisakah….”

“Nyonya silahkan keluar!”

Gila. Ini betul-betul perlakuan tanpa kompromi. Aku dongkol setengah mati. Tanpa berani menjawab aku keluar ruangan. Petugas muda itu pun langsung memanggil nomor antrian berikut tanpa peduli padaku. Di luar, Pak Oleng tergopoh dan memandang heran, “Kenapa?”

“Anda tidak mengatakan sejak awal, bahwa tidak diperbolehkan memakai celana pendek di gedung pemerintah.”

“Tapi celana pendek Nyonya kan cukup sopan. Terus bagaimana?”

“Lho kok malah tanya saya. Sekarang antarkan saya pulang untuk ganti celana panjang. Atau antarkan ke toko pakaian terdekat.”

“Ya, ampun. Ini tidak biasanya terjadi, Nyonya. Dan tidak mungkin untuk pergi. Sebentar lagi kantor akan tutup. Tidak akan keburu. Atau begini saja, kita tukaran celana.”

“Apa?”

“Tukaran celana, Nyonya, he he….” Pak Oleng tampak menggeleng-geleng. “Tak ada cara lain, bukan?”
Tak ada cara lain, katanya. Aku menggeleng dan bilang, “Tidak dengan celanamu.”


AKU harus nekad berkeliling melihat peluang pada perempuan yang tubuhnya sama denganku. Berkeliling dengan cemas, memutar otak dan melihat-lihat. Pak Oleng Sang Penguasa, pegawai kantoran yang katanya terhormat itu mulai serba salah: “Mohon maaf Nyonya. Ini kok sepertinya peraturan baru dibuat hari ini. 

Biasanya memang peraturan suka berubah-ubah. Ah, padahal celana pendek Nyonya menurutku cukup sopan.”

Aku seperti orang setengah waras, yang muncul tiba-tiba di hadapan beberapa perempuan, mendekati mereka perlahan, lalu meminta sesuatu yang mustahil dan aneh.

“Bisakah saya meminjam sebentar celananya? Kita tukaran sebentar. Sebentar saja. Saya tidak diperbolehkan memasuki ruang wawancara hanya karena celana pendek ini.”

Perempuan-perempuan yang wangi. Perempuan dengan rambut disemir. Perempuan dengan bedak mahal. Perempuan yang mengapit tas dari merek terkenal. Perempuan berkalung berlian. Perempuan dengan banyak aksesoris. Perempuan muda. Perempuan setengah baya. Seluruh perempuan bermartabat dan sopan yang disapa dengan nekad di ruang tunggu. Semuanya menolak. Ada yang menatapku dengan aneh. Ada yang langsung menjerit, “Gila ya kamu!” Maka tibalah pada pikiran sinting berikutnya yang lebih nekad: di WC, petugas kebersihan. Maka ke sanalah sekarang aku berlari. Mudah-mudahan petugas itu berkelamin perempuan.

“Mbak, bolehkah saya pinjam celana? Kita tukaran sebentar. Saya kasih tip untuk kebaikannya. Boleh ya?” aku betul-betul seperti menemukan perempuan yang benar.

Si Mbak lugu memandang. Akhirnya ia menjawab, “ya” tanpa banyak bertanya. Sudah bisa kuduga mereka yang dianggap “manusia kecil” lebih memiliki hati besar. Kami berdua pun memasuki ruang WC. Bau pesing dan kotornya lantai membuatku risih membuka celana. Si Mbak sudah melepas celananya. Aku juga. Kami sama-sama merunduk malu. Bagaimanapun sangat tidak nyaman jika sesama wanita harus memandang celana dalam masing-masing. Perlahan kumasukan kakiku ke celana panjang Si Mbak yang masih hangat. Apa hendak dikata. Cuma masuk sampai batas paha, sesudah itu tidak bisa ditarik ke atas lagi.

Harapan terakhir tinggal tertumpu pada pohon beringin. Tempat orang-orang kecil lain. Ya di bawah pohon beringin, seorang ibu pedagang pecel lele, tampak memakai sarung. Apakah kain sarung sudah cukup panjang bisa diterima? Tak ada waktu untuk berpikir. Aku mulai pasrah, dan tepatnya: putus asa.

“Mau makan, Neng,” aku terpaku pada ibu itu. Besar tubuhnya tidak jauh dari tubuhku, dan kain sarung itulah yang kubutuhkan.

“Makannya nanti ya Bu. Saya sedang butuh celana atau rok panjang, atau sarung ibu pun boleh. Pokoknya asal tidak celana pendek. Saya serius, Bu. Cuma pinjam pakai sebentar saja. Tidak lebih dari satu jam. Maukah Ibu meminjamkan sarung Ibu?”

“Boleh, Neng. Tapi sarung ibu ini kotor sekali. Apa Neng tidak malu?”

“Tidak apa-apa, Bu. Dari pada tidak ada. Yang penting panjang. Itu peraturannya. Rumah saya jauh, sementara kantor imigrasi sebentar lagi tutup. Kita tukaran di WC.”


AKU kini merasa lega dan duduk tenang di ruang tunggu. Pak Oleng sudah kembali memasuki loket wawancara, dan bicara ini itu pada petugas muda yang kejam, entah mereka bicara apa, mungkin berunding soal sarung yang kupakai, ataukah menawarkan harga baru, aku tak mau berpikir. Kipas angin yang berputar di atas kepala sungguh terasa nyaman setelah beberapa saat lalu aku disiram hawa panas lantaran cemas berjalan ke sana ke mari. Tapi beberapa orang yang duduk di samping kiri kananku, semakin lama seperti memandangku dengan wajah tak sedap.

“Sepertinya bau terasi, ya?” Ibu gemuk yang subur, terlihat kaya dari sanggul lebar bikinan salon yang mengkilat, menyindir ke arahku. Tentu saja aku tak peduli. Bau terasi? Sarung buruk dan lusuh? Itu semua aku tahu.

Cuma aku tidak menyangka, bahwa terasi yang mungkin menempel di hampir seluruh bagian dari kain sarung yang kupakai itu, sungguh benar-benar bau.

“Iya. Tadi tidak bau kok, tiba-tiba sekarang jadi bau. Bukan bau terasi, tapi bau bangkai,” encik-encik beruban menggosok-gosok hidungnya dengan jari telunjuk. Ia pasti sengaja menambah kata bangkai untuk menyindir lebih tajam pada kehadiranku.

“Bau busuk,” ibu yang duduk di sebelah encik-encik langsung berdiri. Ya, berdirilah, dan pergilah kalian semua, aku membatin dan tentu saja tak peduli. Baru setengah jam yang lalu mereka yang berdandan wangi tak peduli pada kecemasanku, sekarang giliran aku yang tak akan peduli. Masa bodoh. Bayangkanlah sebuah bau yang aneh dari terasi, yang tiba-tiba menyeruak di antara bau-bau wangi, dan pergi ke mana ia suka dengan dibantu putaran kipas. Pastilah sedap. Dan aku tersenyum membayangkan sebuah ruangan berpendingin AC di hadapan petugas muda yang kejam.

“Nyonya Tjhang Chai Ha! Nyonya Thjang Chai Ha!”

Aku bergegas masuk memenuhi panggilan. Masih berkuasa juga ternyata Pak Oleng pegawai kantoran yang tak mau disebut calo itu. Buktinya cuma lima menit aku menunggu, dan namaku sudah dipanggil.

Aku duduk di depan petugas muda tadi. Kali ini ia mengendus-enduskan hidungnya.

“Kok sepertinya bau terasi ya?”

Pertanyaannya membuat orang-orang yang berada di ruang AC itu saling mengenduskan hidung dan menghentikan wawancara mereka untuk sesaat. Merasa lucu dan tidak ingin lebih lama, aku mulai bicara.

“Ini surat-suratnya.”

Petugas muda itu masih sibuk mengendus-enduskan hidungnya, lalu matanya yang sipit memandang ke arah sarungku. Udara AC menebarkan dengan cepat bau ajaib itu ke seluruh penjuru ruangan. Tentu tanpa ampun. Hidung petugas muda semakin kembang kempis. Ia menatap berkali-kali, dari wajah, ke sarung, kembali ke wajah. Dengan bingung ia segera menyusun pertanyaan cepat: nama ibu kandung, usia, berapa adik beradik, dan tujuan ke mana dengan paspor yang kubikin. Selesai.

Lega rasanya setelah keluar dari kantor imigrasi itu. Secepat mungkin aku berjalan ke arah ibu penjual pecel lele, memberinya uang tip, dan menukar kembali celana pendekku sambil mengucapkan terima kasih: “Sarung Ibu telah membawa berkah untuk kantor imigrasi.”

Pohon beringin yang tumbuh di halaman kantor imigrasi itu entah kenapa tiba-tiba terasa sejuk. Angin yang berhembus di dadaku terasa lapang, meskipun hari berada di puncak siang. Barangkali lantaran aku tengah membayangkan sebuah bau yang akan terus mengendap di sana, meskipun itu hanya bau terasi. Siapa tahu encik-encik beruban yang tadi sempat duduk di bangku sebelahku, kini tengah berhadapan dengan petugas di sana? Lalu ia mengatakan dengan pasti bahwa ruangan wawancara itu bukan bau terasi, akan tetapi bau bangkai tikus. Siapa tahu. Yang jelas aku sekarang duduk nyaman di dalam mobil dan tertawa ketika Pak Oleng berkata: “Kok mobil ini bau terasi ya?” (*)
.

Hanna Fransisca (Zhu Yong Xia) lahir di Singkawang, Kalimantan Barat, 30 Mei 1979, dan kini tinggal di Jakarta. Buku puisinya adalah Konde Penyair Han (KataKita, 2010).








Kafe, Impresi
Oleh
Wendoko


 
 
 
 
 
 
KAFE adalah tempat perhentian. Tempat orang-orang bertemu atau singgah, pada satu jeda waktu. Tetapi pernahkah kau berpikir, berapa orang di kafe yang saling mengenal? Berapa banyak yang tak mengenal? Orang-orang selalu datang ke kafe, lalu duduk—sendiri atau mengelompok—dan berceloteh, pada satu jeda waktu. Atau hanya duduk diam, menyeruput kopi, dan mengamati sebelum akhirnya pergi lagi. Begitu banyak yang terjadi. Seperti waktu dan penggal peristiwa yang datang dan pergi.
Dan di kafe aku bertemu banyak orang, setiap hari. Orang-orang yang sama, dan berbeda. Kadang waktu aku berhenti di depan barista, atau ketika mengangkat muka dan melihat seseorang melintas. Atau ketika saling menatap dengan orang di seberang meja—seolah mengenali—untuk waktu sedikit lebih lama.
Aku katakan orang-orang yang sama, dan berbeda. Kadang orang yang sama, yang pernah singgah, kembali ke kafe. Ia akan datang pada jam yang hampir sama, meminta kopi yang sama, duduk di meja yang sama lalu berkutat dengan laptop untuk waktu yang lama. Kadang ia datang dengan tatanan rambut yang baru diubah, dengan pasangan lain, memesan kopi yang lain, lalu duduk atau berceloteh—tapi selalu berlarat-larat untuk segelas kopi.
Aku katakan, orang-orang yang sama—dan berbeda. Kadang orang yang sama tak kembali ke kafe. Orang lain yang datang, yang melewati pintu kaca, satu-satunya pintu kaca. Ia akan datang pada jam yang acak, tapi selalu mengulang adegan yang sama. Memesan kopi, menunggu di konter pengambilan, duduk diam atau berceloteh, berkutat dengan laptop atau telepon genggam, lalu mengotori meja dengan tisu, kertas gula, sedotan, dan kadang tumpahan kopi….
.
14 MEI.
Pintu kaca itu selalu membuka ke dalam, ketika seseorang mendorong atau menarik—mendorong untuk masuk atau menarik waktu keluar dari kafe.
Kafe tak terlalu penuh. Ada dua anak tanggung di meja dan bangku kayu. Lelaki dan perempuan berjejer di sofa jingga-ungu, di dekat palem kerdil dan rumput plastik dalam pot kayu. Lalu, di sudut yang agak redup perempuan itu termangu. Perempuan bersetelan Chanel warna gelap tapi bukan hitam, yang sesekali menyeruput kopi, dan menyeka mulut. Wajahnya agak bulat dengan rambut legam berserat cokelat dan mata agak sipit dan sedikit menukik di ujung dekat alis.
Tetapi aku tahu, sebulan yang lalu dua lelaki duduk di meja dan bangku kayu. Bercakap dalam suara rendah—lalu diam, sampai kafe hampir tutup. Dua anak tanggung bermain kartu di sofa jingga-ungu, sampai dua anak tanggung lain muncul di kafe. Di sudut yang agak redup, ada lelaki memesan dua gelas kopi. Lelaki dengan ujung kemeja menyembul, dan berdasi miring dengan manset. Wajahnya gembung, dan ia terus menelepon, dengan hanya satu gelas kopi, sebelum bergegas keluar dari kafe.
Kadang aku berpikir, orang-orang hanya masuk ke kafe, tapi tak pernah benar-benar keluar dari kafe. Seolah ada yang tertinggal pada dinding-dinding berwarna krem-muda, plafon cokelat-hitam, lantai separuh kayu dan separuh keramik dan karpet. Atau pada fasade kaca yang membingkai lanskap kota—dengan langit yang meleleh waktu hujan, gelap dan terang bertubrukan, bintik-bintik cahaya yang diam atau melingkar. Seolah coretan di sebuah kanvas berwarna hitam.
Dan pintu kaca itu selalu membuka ke dalam….
Di depanku ada caffe latte. “Campuran 1/3 espresso dan 2/3 susu,” kata barista waktu menyorongkan kopi dengan busa tipis sampai ke bibir cangkir. Lalu ada jazz menyeruak di ruang beraroma kopi—di tengah gradasi lampu-lampu, jingga dan kuning.
.
14 JUNI.
Kafe agak penuh. Suara-suara bergaung di setiap sudut—tapi tak ada yang kudengar utuh. Hampir tak ada bangku kosong. Di dekat kaca, seorang perempuan dengan rambut berserat marun dan kaos yang terbelah di bahu. Di depannya perempuan berkawat gigi dan berambut bop. Ada perempuan dengan anting-anting seukuran gelang, yang berkedip dalam cahaya lampu. Di dekat konter, seorang lelaki dengan pipi mengendur dan rambut tipis di kening yang sedikit berkerut.
Aku terus mengaduk caramel macchiato sambil mengamati warna putih-keruh di dasar gelas. Kukira itu steamed milk, yang perlahan menjernihkan warna espresso. Di muka gelas ada taburan serbuk cokelat, di tengah busa susu. Aku terus mengaduk dengan sedotan sampai susu bercampur, dan tinggal warna cokelat yang lembut.
Aku lalu menyesap kopi itu. Manis. Lebih manis dari cappuccino es.
Di sampingku, seorang lelaki tambun berkaos Lacoste dan celana Cinos. Rambutnya sudah mundur ke ubun-ubun. Mukanya gemuk, dengan kacamata plus. Sedari tadi kepalanya menggeleng, lalu mengangguk. Kakinya mengetuk-ngetuk, sesekali mulutnya melenguh. Ada earphone di telinganya yang juga gemuk.
Tetapi di depanku, di sudut yang agak redup—kulihat perempuan itu. Eh, bukankah perempuan itu juga duduk di sudut itu sebulan yang lalu? Malam ini ia bercelana jins hitam, dengan kaos biru-pekat di balik blazer hitam. Sedari tadi ia kelihatan merenung di bawah dinding cetakan mural di balik dua camgkir keramik mungil di meja. Tapi kopi apa yang diseduhnya dalam dua cangkir itu?
Aku terus mengaduk kopi. Warna cokelat lalu memudar, tapi masih ada endapan susu di dasar gelas. Kopiku tinggal setengah, tapi perempuan itu tak juga menyesap kopinya. Waktu aku masuk, rasanya ia sudah ada di kafe—dan aku lalu mengamati wajahnya yang putih dengan hidung agak mencuat. Tapi dua cangkir di atas meja? Adakah yang ia tunggu, malam ini?
.
14 JULI.
“Ini kopi konsentrat, yang didapat dengan menyemburkan air panas. Hasilnya, cairan mirip sirop yang kental. Larutan lebih padat, dan crema, busa cokelat kemerahan yang mengambang di permukaan.”
Aku lalu mengamati espresso dalam cangkir.
“…Kadar kafein kopi ini juga sangat tinggi. Satu ons cairan setara 1/3 kafein kopi lain dalam cangkir enam ons cair. Ibaratnya kopi tapi tak diseduh dengan air atau susu. Ini hanya satu shot.”
Aku lalu menyesap kopi itu. Agak pahit, dan waktu kuteguk ada rasa atau aroma asam yang tertahan di mulut.
Terdengar Miles Davis menyodokkan Summertime dengan trompet yang melantur, tapi mendesak. Ada ketukan-ketukan drum pada latar, yang menyendat. Satu kerangka musik dalam skala yang seperti pentatonik kukira, dan bernada A minor. Ada progresi harmoni yang lambat, menyarankan blues. Ada juga anasir lagu rakyat pada suara-suara yang seolah menyelusup angin itu.
Lalu kulihat lagi perempuan itu. Perempuan yang duduk sendiri, di sudut yang agak redup. Aku teringat, sebulan yang lalu ia juga duduk di sudut itu, diam, tapi tak menyeruput kopi.
“Perempuan itu sering kemari,” kata barista waktu mengantarkan cairan gula. “Dan duduk di sudut itu. Ia tak mau bangku atau sofa lain. Selalu begitu. Ia akan datang pada jam yang sama, tanggal yang sama, dan memesan dua espresso. Tapi ia tak menunggu siapa pun. Tak menelepon atau bicara pada seorang pun. Ia hanya duduk, dan meneguk satu cangkir. Pernah sekali, waktu ia muncul, sudut itu sudah ditempati pelanggan lain. Ia berbalik, lalu pergi…. Ah, kau juga memesan espresso malam ini?”
Aku lalu memandang perempuan itu. Malam ini wajah bulatnya agak redup. Mungkin karena ia duduk tegak dalam temaram lampu. Ia memakai blazer warna gelap, dan rok yang tertarik ke lutut waktu menyilangkan kaki. Di baliknya blus dengan satu kancing terbuka, memperlihatkan kalung di lehernya yang putih. Sedari tadi ia menatap ke satu titik di kafe, ke fasad kaca yang digelayuti gelap. Di luar hujan melompat liar, memukul-mukul kaca, pecah, lalu mencair.
Aku masih mengamati perempuan itu—meneliti wajahnya di tiap sudut. Juga waktu ia mengusap mulut dengan tisu. Kata orang, sekali kau dilukai, kau akan mampu melihat luka orang lain. Dan wajah itu seperti membuka diri, lapis demi lapis.
Malam terlamunkan di cangkir kopi….
.
14 AGUSTUS.
Kopi ini agak pahit, seperti kopi hitam tapi tanpa ampas. Warnanya juga cokelat-hitam—dalam gelas kertas merah-cokelat.
Americano. Ini espresso yang diseduh dengan air panas. Satu atau dua shots dalam 16 ons air. Americano itu menghilangkan crema. Sama kuatnya dengan drip coffee, tapi berbeda rasa. Ada banyak varian. Lungo misalnya, yang mengekstraksi espresso untuk waktu lebih lama dan dengan lebih banyak air. Atau red eye, seperti drip coffee tapi tak diseduh air panas.”
“Kau tak takut aku mencuri resep-resep ini?”
Barista itu tersenyum, “Sobat, kau bisa membaca di mana saja. Tapi tiap kafe punya ramuan sendiri. Juga soal kecakapan si peramu, aku sendiri.”
Tapi malam ini ada yang berubah di kafe. Ada lemari-lemari merapat ke dinding berisi gelas dan cangkir. Lalu tumbler dan coffee press dalam aneka bentuk dan ukuran. Di dinding samping cetakan mural, ada potret hitam-putih. Juga lukisan bermotif batik.
Selebihnya hanya aneka sofa dan kursi yang ditata dalam pola lingkar baris.
Kafe agak kosong. Perempuan muda dengan kereta bayi di meja dekat pintu. Perempuan lain membaca buku di dekat partisi lengkung. Ia berkaos turtleneck warna ungu, yang terus ditarik-tariknya selagi ia membaca buku. Rambutnya digelung. Hidungnya agak bengkok, dengan pahatan tulang pipi yang menonjol. Jari-jarinya berderap di tepi cangkir, yang mengepul.
Di sampingnya seorang lelaki termangu. Lelaki berotot, berambut cepak, dan sedikit berjanggut. Lehernya menjulur di balik dasi hitam dan kemeja marun. Ia juga membaca dengan mata mengernyit di balik kacamata tanduk.
Perempuan yang membaca buku mulai menyeruput kopi. Lelaki di sampingnya lalu menggeser kursi. Tapi buku apa yang dibacanya sejak tadi? Eh, Sex and the City!
.
SEKARANG, 14 OKTOBER.
Tapi kenapa ada bau rokok di kafe?
Hampir jam 8. Lampu-lampu menyorot di fasad kaca. Juga di pilar-pilar dan dinding krem-muda yang buram. Di muka konter pengambilan, lima anak tanggung di tiga meja yang terpisah masing-masing dengan laptop di meja. Dua perempuan di sofa bundar terus menelepon, berbicara terlalu cepat atau seperti terengah.
Terdengar trompet Miles melantunkan Boplicity, di sela saksofon dan trombon. Satu kerangka musik dalam harmonisasi alat tiup. Piano hanya muncul pada 1/3 terakhir lagu, dengan latar drum yang jauh. Sebuah cool jazz yang rileks, mengalir dalam struktur yang berkelok. Agak ketinggalan pada beat, dengan suara-suara teredam, yang terpola menguatkan akor.
Tapi kenapa ada bau rokok di kafe?
Di luar kafe, malam bertambah gelap pada langit yang dipenuhi lekuk-lekuk awan, yang lebih pucat. Cahaya membercak di rumput, helai daun, dan pelataran yang basah. Tapi ada kelengangan merangkak di dinding kaca. Lewat decit rem, klakson, aliran mobil, gedung-gedung memagar langit, atau siluet orang lalu-lalang tak bersuara.
Lalu ketukan-ketukan drum. Lalu dengung organ dan suara-suara berkelindan. Ada saat drum menghilang dan organ melambat. Saksofon menyodok perlahan. Lalu trompet, dan suara-suara undur ke belakang. Piano dan drum mendedas. Organ mendengung pada nada yang datar. Irama yang kaku, bergoyang tapi tak mengayun. Miles memainkan In a Silent Way yang kental dengan warna rock. Bukan rock, tapi tidak juga jazz yang biasa. Ada elemen sonata klasik. Tapi suara-suara kadang berselisih dalam irama tak standar dan bertumpu pada ekspresi. Suara yang tumpang-tindih. Begitu banyak suara, seolah muncul dari balik kepala. Sebuah gema, dalam disonansi yang retak mengendap, seolah kau masuk ke lorong saat subuh jam 3.
Tapi kenapa ada bau rokok di kafe?
…Eh, lama aku tak melihat perempuan yang duduk di sudut yang agak redup itu.
“Sejak malam itu, waktu kau memesan espresso, ia tak kembali ke kafe,” kata barista, yang malam ini bertopi bisbol dan bercelemek cokelat-karamel.
Hampir jam 9.
“Tapi ia menitipkan kunci di konter, malam itu.”
“Kunci….”
“Ya. Katanya seorang lelaki akan mengambilnya.”
Aku lalu teringat My Blueberry Nights. Hmm, kapan sebetulnya aku pernah menonton film itu? (*)
.
.
Wendoko telah menerbitkan buku-buku puisi Oratorio (edisi kedua, 2011), Sajak-sajak Menjelang Tidur (2008), Partitur, Sketsa, Potret dan Prosa (2009) dan Selected Poems (terjemahan Inggris puisinya, 2010).
 

 

Tidak ada komentar: