S i h
OLEH
AJIB PURNAWAN
SETUMPUK bibir menyunggingkan senyum. Sih puas dengan jerih payahnya setiap pagi. Ia hanya tidak puas pada derita jiwa yang masih dikekang raga.
Telapak kaki yang ia gunakan untuk berpijak telah menebal beberapa centi. Langkahnya pasti, berangkat sebelum subuh ke hutan jati. Rombongan pencari kayu yang dulu ramai, kini tinggal Sih sendiri. Langkah-langkahnya biasa didahului kawan-kawan pengumpul ranting jati, dengan Hember tua, Gazelle tua, dan Vesting keluaran RRT yang mereka naiki. Sih tidak punya, bukan karena tak kuasa membeli.
Ia pulang ketika matahari menyinari dahi. Di punggungnya sebongkok kayu bakar dari ranting-ranting sisa pencuri. Jarik gendong yang dulu melingkar di tiga perut bayi, memeluk erat puluhan kayu bakar di punggung Sih. Bukan karena sedang melacak dompet yang tercecer bila ia berjalan membungkuk, lebih karena beratnya beban ranting basah seukuran betis.
Jika hari sedang mengikuti kata hati, Sih tak perlu jauh membawa kayunya pulang ke rumah. Lambaian tangan bisa segera meringankan beban di punggung. Tujuh ribu rupiah sudah cukup mampu menghilangkan rasa pegal di badan.
Sih letih, namun tidak heran. Ia memang perempuan yang tak pernah makan bangku sekolahan. Kata orang-orang, uang kertas dalam kepalanya berakhir di angka sepuluh ribu. Dua puluh ribu? Lima puluh ribu? Seratus ribu? “Itu bukanlah uang, hanya kertas yang tidak laku,” katanya.
Ia duduk sore itu. Di hadapannya sebuah meja segi empat dari kayu Trembesi seharga empat kali ia menjual kayu bakar jati. Kursi yang menyangga pantatnya kini harganya empat kali ia berjalan ke hutan. Sih tidak sadar, di bawah kursi-kursi yang mengitar meja pada empat sisinya seekor undur-undur sedang membuat rumah.
Iringan air mata langit sedikit-sedikit memercik dahi, melewati sela-sela genting tua dari tanah liat warisan budaya Babylonia. Langkah-langkah para petani pulang kandang juga turut serta mengalir masuk ke telinga Sih. Pijakan di tanah basah mambuat suara yang melewati lubang kecil-kecil di antara bambu-bambu tipis yang telah dianyam.
Janda itu masih duduk menyangga dagu dengan tangan kiri. Sikutnya menempel di meja, tangan lainnya sesekali mengambil intip lalu memasukkan ke mulut berbibir hitam. Tiang penyangga rumah hanya diam berdiri tegak, semuanya tak mampu mengajak bicara. Tetaplah Sih dalam kesendirian, namun tidak membosankan.
Suaminya? Tidak mungkin pecundang itu datang. Dua anak lelakinya, biarlah masing-masing mencari makan. Sang Hyang Lawu masih sayang, tak mungkin menelantarkan dua kepala yang belum mencapai lima belas tahun. Wo Imai sudah pasti bernasib baik. Si bungsu sejak masih berumur tiga bulan sudah dibawa mobil sedan. Sih menerima emas berupa kalung dan gelang sebagai imbalan, belum lagi tiga ratus uang sepuluh ribuan.
Sambil duduk, Sih masih belum paham, kemana emas dan uang. Meski ia sadar semuanya telah menjadi pembungkus tulang di tubuhnya. Tanpa ia sadari, zaman telah berganti. Di luar kemampuan kepala Sih, kayu bakar menjadi korban konversi. Pikirannya tak mampu menjangkau berita di televisi, walaupun sekadar mambayangkan. Maklum, ia satu-satunya janda setengah baya buta aksara di Banyubiru.
Sih beranjak ke belakang rumah. Kayu bakar yang ia kumpulkan telah memenuhi belakang rumah. Tak seorang pun dalam bulan ini orang sudi membeli.
Seeor tokek berbunyi delapan kali sebelum pintu reot rumahnya diketuk seseorang. Sih beranjak ke depan, sandal japit di kakinya menginjak rumah undur-undur yang belum selesai dibangun. Ia menarik slot pengunci pintu yang terbuat dari kayu. Pintu terbuka sebelum Sih sempat menariknya.
Ia masih ingat siapa pria di depannya meski hari mulai petang dan lampu bohlam lima watt tak begitu menyala terang. Siang tadi, pria itu tersenyum lalu mengedipkan mata kiri saat Sih sedang menjemur kayu bakar di bawah pohon pisang. Sih tersenyum juga dan membalas kedipan, mengaggukkan kepala ketika pria itu sore nanti akan datang.
“Aku dari sawah, langsung kemari,” menyelonong masuk melewati tubuh Sih sambil tangannya sibuk membuka kancing baju. Sih masih berdiri di depan pintu tatkala pria itu menjereng baju di sandaran kursi. Pria itu juga tidak tahu tetasan air dari bajunya memaksa undur-undur pindah tempat untuk membuat rumah.
“Eh, tutup pintunya,” yang diperintah baru saja ingin menghampiri pria itu, namun ia balik kanan dan menuju ke pintu.
To, pria yang datang di waktu hujan, adalah orang pertama yang sudi masuk rumah Sih. Ia tetangga RT, jika berjalan kaki ke sawah selalu melintas di depan rumah Sih yang lebih pantas disebut gubug reot pinggir sawah. Istri To perempuan yang cantik, tidak seperti Sih.
“Ayo,” tatapan mata To menggerayangi sekujur tubuh Sih. Perempuan itu tak biasa menerima tamu, tapi sering bertamu. Ia ingin mencontoh tiap orang yang pernah menjamunya ketika mengantar kayu bakar: membuatkan minum.
“Tidak usah,” kata To.
Polos, lugu, jujur, namun tumpul, seperti ketika ia membalas kedipan mata To. Tak paham artinya, tak tahu maksud kedatangan To juga. Lalu ia mendekat dan duduk berhadapan dengan lelaki yang masih basah kuyup.
“Satu kuintal padi akan kuantar ke rumah ini, musim panen masih dua bulan lagi,” To berbicara seperti itu sambil berdiri menarik tangan Sih, membawanya ke sebuah bilik ranjang yang disekat dengan anyaman bambu berpintu kain kelambu.
Sih mengikuti tangan yang menariknya, sejenak ia berhenti sebelum menyibak kelambu. “Satu kuintal, benarkah?” tanya Sih dengan girang. To hanya mengangguk penuh birahi. Sedangkan Sih masih belum tahu apa yang sebentar lagi terjadi, ia hanya mengikuti.
***
Undur-undur yang terganggu, cicak yang diam, dan tokek yang tadi berbunyi menjadi saksi petang itu. Mereka tidak akan bercerita kepada siapa-siapa. Seorang Sih memang sunguh-sungguh tak mengerti makna dosa, tak tahu arti neraka, sebab tak ada yang memberi tahu. Sedari kecil ia senantiasa bekerja, melakukan sesuatu untuk mendapat upah, menjual barang akan mendapatkan uang. Orang tua Sih tak memperkenankan anaknya sekolah, takut menjadi orang yang tidak jujur.
Para tetangga juga tak mendidiknya. Sih adalah kayu bakar, jika butuh memasak, barulah mereka ke rumah Sih, sebatas membeli kayu lalu pulang. Begitupula dengan Sih, tak pernah merumpi dengan para ibu. Ia tahu hidup untuk bekerja, hidup tidaklah untuk bicara saja, itu pesan orang tua Sih.
Peristiwa di balik kelambu malam itu adalah pengalaman baru bagi Sih. Ia ikuti kemauan To melepas gejolak pangkal pahanya. Toh, To memberinya satu kuintal, meski menunggu panen. Sih juga tahu kebiasaan itu, para manusia di desanya bilang masa panen adalah masa membayar. Mereka akan membayar pupuk yang sebelumnya telah mereka pakai, mereka akan membayar biaya SPP anak-anak, mereka akan membayar hutang di warung, bahkan membayar kayu bakar milik Sih juga di waktu panen. Sih maklum dan percaya.
Sih seakan mendapatkan pengalaman berharga. Tapi ia tak mungkin menawarkan auratnya dengan cara berteriak seperti menjual kayu bakar. Selugu-lugunya janda itu, ia tahu bawah perutnya tak boleh dibicarakan dan dipertontonkan. Namun boleh diapa-apakan di tempat yang tertutup, toh dulu suaminya juga melakukan hal yang sama.
“Ia akan memberiku satu kuintal, dulu suamiku tak memberi apa-apa,” batin Sih suatu siang. Sejak itu, berkali-kali To datang ke rumah Sih. Terkadang dua hari sekali, seminggu sekali, asal lingkungan sedang sepi, meski tak harus ada hujan.
Man dan Basu, pria bercucu dan beranak satu, mengikuti jejak To. Bagi Sih, itu melegakan hati, kayu bakarnya sudah tak bisa diharapkan. Perempuan itu membuat satu kuintal sebagai sebuah patokan. Tidak kurang, boleh lebih. Segalanya terjadi setelah mereka berdua mengangguk. Namun Sih masih bingung satu hal, mengapa ketiganya berpesan pada dirinya agar tidak menceritakan yang disaksikan undur-undur, tokek, dan cicak kepada siapa pun? Sih hanya mengikuti.
Dua bulan dinanti Sih dengan menghitung kusen pada langit-langit rumah yang sebenarnya adalah genting. Besoknya lagi ia menghitung genting, lalu jumlah nyamuk yang mengiang di telinga seperti mengejek saja tanpa menggigit. Bukan jumlah sebenarnya yang didapatkan Sih ketika berhenti menghitung, namun hasil yang diinginkannya. Hidup penuh hitungan, berhenti ketika lelap menjemput mimpi.
Pagi itu Sih tak ke hutan. Ia menyapu, dilihatnya banyak rumah undur-undur di lantainya yang berdebu. Jogan tempatnya berpijak memang tempat yang membahagiakan bagi binatang itu. Sih melihat satu rumah undur-undur yang besar, berbentuk kerucut terbalik sempurna, tepat di bawah tiang dalam rumahnya yang dekat dengan kelambu.
Sih girang, ia mengangkat sapu, mengembalikan ke belakang rumah, lalu balik lagi di atas rumah undur-undur. Sih memperhatikan seekor belalang sangit mati terperangkap dalam jebakan rumah undur-undur. “Musim panen tiba,” girang Sih setengah berbisik.
Sih keluar rumah, bertanya kepada Wo Min yang kebetulan membawa dua sak padi di atas sepedanya. Jawaban yang Sih terima, “Belum, baru beberapa sawah, seminggu lagi panen besar.”
Panen pertama hingga panen raya membuat Sih sedemikian sibuk. Ia memberikan jasanya membantu pemilik sawah memanen padi. Bermodalkan sabit kecil untuk memotong tanaman padi, batu seukuran kepala manusia untuk merontokkan padi dari tangkai, dan layar tempat memukulkan tangkai-tangkai padi ke batu, ia berangkat pagi, meninggalkan kesehariannya di hutan jati.
Sepuluh kilogram yang ia kumpulkan, mendapatkan upah satu kilogram padi. Sayangnya Sih tidak tahu hitung menghitung. Setahu Sih, bawon [1] yang ia dapatkan berjumlah satu sak, itu saja. Padahal kalau ia tahu, selama satu minggu, ia hanya diupahi 60 kilogram, itu pun setelah derep [2] di sawah Wo Min, Bupad, dan Panut. Belum lagi harus mengusung dari sawah ke rumah, tentu begitu lelah.
Sih sebenarnya juga tak mampu membayangkan, satu kuintal itu berapa sak. Yang ia tahu jumlah itu banyak, bahkan sangat banyak. Sambil duduk di kursi, bawon satu sak yang kini sudah bersandar di tiang rumahnya ia perhatikan. Lalu angannya melayang ke mulut To di petang pertama singgah di rumah Sih. Seperti sebuah kaset ia memutarnya kembali, “Satu kuintal,” ia lanjutkan memutar kaset kedua dan ketiga, bunyinya sama.
Setiap sore Sih duduk di kursi, persis saat hujan ia mendengar langkah langkah petani pulang dari sawah seperti dulu. Setiap sore juga, tak ada langkah kaki mendekat, terdengar lalu hilang. Penantiannya mencapai dua purnama. Musim panen berganti tanam, masih tak ada ketukan di pintu.
Suatu saat seorang perempuan datang ke rumah Sih, membeli kayu bakar. Ia bernama Warti, sebelum beranjak pulang, Sih berpesan kepadanya, “Suamimu punya hutang gabah satu kuintal.” Dan Sih menjawab dengan polos berondongan pertanyaan yang muncul setelah pernyataannya.
Sih tak tahu etika itu, Sih tak tahu cara berbohong. Umpatan yang ia terima dari istri To ia anggap ocehan burung pentet yang diam jika sudah makan belalang. Namun makian dan tamparan yang datang dari To beberapa saat kemudian, membuatnya menjadi linglung. Sih tidak bisa menangis karena Sih benar-benar tidak paham etika pangkal paha.
***
“Musyawarah pada malam hari ini akan diawali dengan pengakuan dari Sih,” ujar Kamituwa di tengah warga kampung. Acara malam itu memang heboh, tidak sepi seperti rapat biasa.
Sih melakukan yang diperintahkan Kamituwa, membuat pengakuan. Selama seperempat jam ia berbicara dengan bahasa Jawa dan raut muka menunduk. Tangannya mengelus-elus perut yang kini sudah tampak mengendut.
Manusia-manusia yang disebutkan dalam ceritanya tidak ada yang datang, tidak masuk wilayah pemerintahan Kamituwa. Detik itu juga puluhan pemuda menuju rumah-rumah manusia dalam cerita. Tak lama ketiganya tiba, diseret di tengah-tengah telaga manusia yang marah, akibat saling tuduh antar sesama tak pernah terbukti kebenarannya. Kini kebenaran itu telah duduk bersila di depan Sih, di samping Kamituwa, di tengah kepungan warga.
“Apakah kalian bertiga?” suara Kamituwa parau. Hanya To yang mengangguk, Basu menggeleng marah dan membentak Kamituwa. Tak disangka lemparan air ludah meluncur dari mulut-mulut warga yang sedang butuh sasaran amarah. Sedangkan Man malah menangis.
“Penuhi janji kalian kepada Sih sekarang juga,” para pemuda membawa mereka pulang ke rumah masing-masing. Sebentar kemudian ketiganya kembali ke rumah Kamituwa membawa sembilan sak gabah, masih di bawah ancaman para pemuda.
Kamituwa menyuruh semua orang untuk diam. Ia melihat Sih, lalu menyapu ketiga wajah laki-laki terhukum dengan mata yang dibuat bijaksana, “Kalian bertiga adalah ayahnya, biayai persalinan Sih.”
“Aku yang akan membesarkan bayi di perut itu,” tutup Kamituwa. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar