I N A
OLEH
LYA ADONARA
JARI-JARI kakinya disentuh satu-satu. Kemudian, gelas sirupnya ditulisi dengan telunjuknya. Entah apa. Kemudian, tangannya berpindah ke tiang-tiang. Menulisi sesutau lagi. Istriku mengelus-elus punggungnya, lalu beranjak ke dapur. Meyiapkan makan malam, mungkin.
Wajahnya ditutupi gerai rambutnya yang ikal. Terutama pada keningnya sebelah kanan. Aku tetap saja meliat bekas cabikan yang hampir kering pada keningnya.
“Ayah… jangan memandangiku seperti itu! Tidak suka aku.”
“Wajahmu tetap cantik, Ina. Luka-luka itu tak mengganggu sama sekali. Kau tetap gadisku yang paling cantik.”
Kami kemudian terdiam. Agak lama. Lama memang.
“Iya, Ayah. Dia yang melakukannya. Tapi, aku yang salah. Jangan marah padanya. Kumohon.”
Dia menjawab pertanyaan yang bahkan tak sempat kusuarakan. Sebenarnya aku marah. Marah kepada diriku sendiri. Bukan kepada lelaki yang melukainya.
Lalu aku bermain di masa lalu. Ketika Ina kecil menjadi cahaya yang membangkitkan. Ketika aku dan istriku sudah resah belum juga dikaruniai buah hati. Tak ada mimpi atau semacam supertisi yang meyakinkan. Bintang itu jatuh di saat kami mulai merasa Tuhan tidak adil. Inalah bintang itu. Terjatuh dari langit.
“Kami menyebut kelahiranmu sebagai keajaiban. Tiga tahun aku dan ibumu menanti kelahiranmu. Kau adalah doa yang terjawab. Bahkan, saat kau lahir tanpa detak jantung, aku dan ibumu tetap percaya akan ada keajaiban berikutnya. Dan benar terjadi.”
Dia hanya diam. Tak menjawab. Tak menatapku. Jari-jarinya menulusuri apa saja di dekatnya. Mata itu bercahaya. Seperti dewi. Bahagia. Tidaklah luka itu menyisakan sedikit saja luka lain pada hatinya?
***
Dua puluh lima tahun yang lalu. Dia hadir dengan tangis yang tak kalah keras dari seorang bayi laki-laki. Padahal, waktu itu usia kandungan istriku sudah sembilan bulan dua belas hari. Tapi putriku lahir dengan berat 1 kilo 8 ons. Seperti bayi prematur. Jantungnya tak berdetak normal, waktu itu. Bayi perempuan di inkubator tersebut kemudian kunamai Ina. Ratu agung, artinya. Nama itu adalah doa agar dia dicintai dan dipuja orang-orang di sekitarnya kelak.
Aku lalu mendidik ratuku menjadi sosok yang tangguh. Kuajari kakinya yang kecil-kecil tegak berjalan. Kemudian berlari di antara rumput-rumput. Pasir. Kerikil-kerikil. Dan akhirnya dia sanggup berlari di antara bebatuan. Setiap malam, kudongengi dia dengan cerita-cerita tentang orang-orang hebat. Kartini. Bung Karno, Bunda Theresa, Gandhi, Romo Mangun juga. Kubelikan dia macam-macam buku. Kuajari dia membaca dan menulis. Keceritakan padanya realitas kehidupan. Yang seirama, juga yang kontras. Lalu, tentang air, api, bintang, pelangi, langit.
“Ayah, aku ingin menjadi langit saja. Aku ingin setia. Pada ayah, juga pada ibu. Setiap saat aku selalu ada di atas sana untuk ayah dan ibu.”
Ah! Itu hanya kata-kata seorang bocah 8 tahun. Karena 15 tahun kemudian aku menemukan foto lelaki pujaannya di antara buku-buku sejarah kesukaannya. Juga, kudengar dia bercerita kepada ibunya. Aku dikhianati? Mungkin.
“Dia sangat mirip dengan ayah. Cerdas. Berwibawa. Ayah pasti menyukainya kan, Bu?”
Ternyata, dia jatuh cinta. Dia tidak kecil lagi. Tapi, bagiku dan istriku, dia adalah belahan jiwa yang tetap harus diamati agar jantungnya tetap berdetak normal. Sama seperti saat tubuh telanjang itu terbaring diam di inkubator. Tetapi, gadisku benar-benar jatuh cinta kepada lelaki itu.
***
Baru tiga bulan setelah perayaan penuh foto-foto itu, Ina tampak anggun dengan gaun putih gading. Semua bahagia. Tapi, tidak dengan diriku. Ada perasaan lain yang menyusup di balik rusukku. Bukan perasaan bahagia tentunya. Entah apa. Sama seperti aku, istriku juga merasakannya. Dan kami sama-sama tak tahu cara menjelaskan rasa itu. Tapi, kami mengerti. Hanya, Ina tak boleh tahu. Yang boleh dia ketahui hanyalah orang tuanya bahagia. Untuknya. Karenanya. Tanganku gemetar menggandengnya menuju altar.
Baru tiga bulan dan gadis kecilku sudah empat kali datang ke rumah dengan memar dan luka. Dan dia terus menerus menyalahkan dirinya atas luka-luka itu. Entah dia mengatakan yang sebenarnya atau dia sedang membela lelaki pujaannya itu. Ambigu. Membingungkan. Apalagi melihat binar kebahagiaan di mata itu.
“Ina, apa kau bahagia, Anakku?”
Diam. Hening.
Masih diam. Masih hening.
“Tahukah, kau, anakku? Luka-lukamu melukai aku dan ibumu. Apa benar lelaki itu mengasihimu?”
Brakkk!!! Prakkk! Hancur! Gelas yang sedetik lalu di tangannya kini tinggal keping kaca di ujung jemari kakinya. Mata yang tadi bahagia sekarang menyala-nyala marah. Semua benda di hadapannya dilemparkan sembarangan. Gelasnya. Gelasku. Buku. Bahkan kursi bambu, dilemparnya ke luar teras. Bulu kudukku merinding mendengarnya meraung-raung.
“Sakit… sakit… sakit!” sambil tanganya mencakar-cakar wajahnya sendiri.
Istriku belari ke teras rumah. Aku diam. Istriku diam. Tapi, gadis kecilku meraung galau. Sakit katanya.
Dan… brakk! Kali ini tubuhnya yang rebah. Lemah. Aku semakin diam. Istriku tidak. Dia baru terdiam saat duduk di samping tubuh koma putriku dalam ambulans yang diteleponnya tadi.
Ampun!
***
Nyiur-nyiur bunyikan senandung
Buai-buai sang putri
Rias-rias di senyum lalu hilang
Luka-luka yang mengganti
Orang-orang mulai jalang
Cabik-cabik hati mentari
Napas-napas di ujung mendung
Sepi-sepi telah tak ramai
Lirih istriku bersenandung. Kucium-cium kening itu. Kupeluk dia kuat-kuat. Kami sama-sama sedang takut. Kulihat hati yang tersayat-sayat karena sang jantug hatiku terbaring kaku. Hanya napas. Tanpa gerak. Tanpa suara. Tubuh itu kaku.
“Aku berharap dia terus di rahimku seumur hidup. Agar terus kujagai dia. Biar tak ada luka di kening dan di hati itu. Dengarkah kau, Ayah? Sakit katanya tadi. Padahal, tak sudi aku membiarkan sehelai rambut saja jatuh dari kepalanya.”
Dan, hening….
“Ingatkah kau natal itu, Ayah? Waktu Ina masih tiga tahun. Lucu sekali dia. Berlari dengan kakinya yang belum mantap. Lalu jatuh. Menangis. Kurobek renda rok merah kesayanganku untuk membalut luka di lututnya. Aku ikut menangis. Ingatkah?”
Kuat-kuat kupeluki istriku. Aku merasakan getir itu. Getir hati seorang ibu yang mendengar anaknya menjerit kesakitan. Dan aku, hanya ayah yang ketakutan. Tidak dapat berbuat banyak. Ampuni ayahmu, Ina….
***
Gadisku seperti malaikat. Pakaiannya serba putih. Ada sepasang sayap kecil di punggungnya. Binar-binar matanya menceritakan kebahagiaan masa ke masa. Sinar merah muda menaungi kepalanya. Rambutnya tergerai. Dua kali lebih panjang dari yang kemarin. Lalu, lelaki berbaju hijam datang. Menarik-narik sayap itu. Terlepas semua bulu-bulu yang indah putih. Lelaki iut terus menyeret putriku. Di pipinya mengalir butiran bening. Tapi, bibirnya tetap tersenyum. Putriku tetap cantik. Isyarat matanya memintaku diam. Padahal, aku ingin menolongnya. Lalu, malaikat-malaikat nan cantik mengelilingi putriku. Heran. Mereka tak jua menolongnya.
Aku tetap terduduk. Lalu, datang istriku berkerudung putih laksana wanita Yerusalem. Pada dadaku dia bersandar.
Katanya, “Biarlah dia, Ayah. Mungkin dia bahagia.”
Demi Tuhan, aku tak setuju. Ingin kubantah. Tapi, lidahku kelu. Mulutku rapat terkatup. Malaikat-malaikat masih bersamanya. Masih tak menolongnya. Tubuhnya terseret pada butiran pasir. Dari kejauhan putriku menoleh. Lalu… tersenyum.
Gusti! Mimpi! Di siang bolong pula. Jam 1 siang. Panas.
***
Panjang umurnya….
Panjang umurnya
Teras itu masih baru. Kubuat tiangnya dari kayu maja. Kayunya kutebang di bukit dekat sebidang tanah peninggalan ayahku. Kayunya lalu kukeringkan. Kuukiri. Dan jadilah tiang yang megah menopang atap jerami. Etnik. Postmodern. Sejuk sekali teras itu. Ina kecil tak peduli pada kue coklat yang dihiasi dua lilin di atasnya. Ina belum mengerti arti sebuah perayaan syukur. Bagi dia, yang penting teras itu sejuk. Rindang pohon mangga di samping teras menyegarkan. Luasnya pun cukup untuk belajar berjalan. Tertatih-tatih pun Ina tetap belajar berjalan. Penasaran melihat yang lebih tua berjalan mungkin.
Bahkan, saat teman-teman sebayanya merengek-rengek bermain sepeda di tanah lapang, Ina masih suka mengayuh sepeda di teras rumah yang mulai sempit oleh tubuh, juga sepedanya. Di teras itu aku mendengar Ina bercerita tentang hatinya yang jatuh cinta kepada ibunya. Waktu itu aku di ruang tamu. Angin mengantar suaranya lewat kisi-kisi.
Pernah teras itu kubongkar karena jeraminya telah rapuh. Padahal, kayu maja belum lapuk. Ina memintaku tetap mengatapinya dengan jerami. Susah payah kucari sampai ujung desa kecamatan sebelah. Kubeli dari seorang peternak sapi yang punya tanah luas di dekat pantai. Kata orang, tanahnya banyak ditumbuhi jerami. Bagus jeraminya. Teras ini penuh kenangan. Terakhir dua bulan yang lalu. Di tempat yang sama putriku ambruk. Tak bernyawa hingga detik ini.
***
Aku sedang menengok rumah. Aku dan istriku bergiliran. Tiga hari sekali. Halamannya sudah kotor oleh jatuhan daun mangga yang telah kuning mengering. Ada sepasang sandal jepit. Mungkin milik anak tetangga yang masih kelas 3 SD. Rupanya, dia senang bermain di sini karena gelangnya juga terjatuh beberapa hari yang lalu.
“Sore, Pak. Singgah dulu. Ngopi di sini.”
Pak Lukas, tetanggaku. Aku tersenyum saja.
“Apa kabar Ina?”
“Baik. Masih diam saja dia. Marah pada aku dan ibunya barangkali. Ngambek,” aku bergurau.
Parau. Garing.
“Sabar, Pak. Pasti ada hikmahnya.”
Lalu istrinya tergopoh-gopoh dengan rantang tiga lapis di tangannya.
“Untuk makan malam nanti, Pak. Salam buat ibu. Semoga Ina cepat sembuh. Anak-anak sudah rindu pada Bu Guru katanya.”
Lalu, keduanya tersenyum. Ikhlas. Aku juga. Lalu acara kopi sore. Tidak di rumah Pak Lukas. Tapi, di teras rumah kami.
***
Tepat dua purnama. Ibu mertuanya tadi datang. Menyerahkan segepok uang kepada istriku, lalu buru-buru pergi. Gadisku masih koma. Memar-memar di fisiknya telah menyisakan trauma psikis. Sabar, kata dokter. Tiap hari kutanyai dia tentang anakku. Istriku menghitungnya.
“Ayah sudah 61 kali bertanya kepada dokter,” katanya.
Mengingat matanya yang bahagia, aku jadi khawatir. Lalu, sekarang dia terbujur kaku. Lalu, kata dokter, dia trauma. Lalu, istriku semakin kurus. Lalu, tiap hari kami bicara pada tubuh kosong itu. Lalu, bajing itu telah hilang ke mana. Lalu, aku merindukan ceria tawa putri kecilku. Lalu?
“Tidur dulu, Ayah.” Ketiga kalinya istriku meminta dalam waktu tak lebih dari sejam. Sudah ribuan kali sebelumnya.
Aku dan istriku mencintai buah hati kami dengan cara yang berbeda. Sama sekali! Istriku yang lembut mengajari Ina mencintai dengan tanpa batas. Karena cinta memang tak punya batas. Abstrak. Aku menginginkan anakku menjadi sosok tangguh. Mandiri. Istriku menjagai Ina agar tidak terjatuh. Aku suka melihat Ina bangkit sehabis terjatuh. Apa pun… itu karena kami mencintai Ina. Cinta sepanjang jalan….
“Lihatlah ayahmu, Ina. Sejak semalam tak mau tidur. Ibu tidak berhasil membujuknya. Ayahmu itu keras kepala. Sudah ibu ingatkan dia sejak kelahiranmu. Tidak boleh kami terlalu memuja dan mencintaimu. Toh, kau akan pergi meninggalkan kami,” lirih parau suara istriku.
Tak ada air mata. Titik-titik itu jatuh membasahi hatinya. Tidak pipinya lagi. Aku merangkul istriku. Kuciumi keningnya seperti malam pertama kami. Dan kami tersedu-sedu. Terisak-isak. Kemudian menjadi-jadi.
Luka dukaku
Dukaku dilukai
Membenci itu tabu
Tetapi hujan tak jua pergi
***
Dua bulan tujuh belas hari….
Ina menggerakkan jari kelingking kanannya. Aku terlonjak. Ibunya juga. Tiba-tiba, dia terbatuk. Aku memanggil dokter. Paramedis segera datang. Harapan. Kugendongi istriku tinggi-tinggi. Kami bahagia. Sungguh.
Berita bahagia untuk seisi jagat. Ratu agung itu telah bangun. Para sahabat datang berkunjung. Sebelumnya, pun mereka selalu datang. Hanya hati terlalu kosong untuk menyadari kehadiran mereka. Hari ini semua berdatangan. Oleh-oleh. Bunga-bunga. Tawa. Semua memenuhi ruangan putih ini. Banyak yang mencintai Ina. Semua bahagia melihat mata indahnya terbuka akhirnya. Tapi, suaranya yang serak tidak terdengar. Juga, tak ada lambai-lambai lentik jari-jarinya. Dan lelaki yang melukai Ina hilang seperti ditelan bumi.
Tapi, semua tetap bahagia. Ina yang tertidur kini telah bangun.
***
Di teras rumah kami….
Daun-daun mangga tumbuh baru. Putri kecil Pak Lukas mengejar kupu-kupu. Gerimis Desember menitik kecil. Awan tak banyak. Tak gelap juga. Rayap berbaris di batang maja tua. Teras ini semakin sejuk.
Krik… krik…. Bukan jangkrik itu. Hanya bunyi kursi roda. Ada perempuan tua yang mendorongnya dari dalam rumah. Krik… krik… satu lagi kuris roda. Folie a duex, kata dokter. Iu karena trauma psikologis pada dua orang yang terasosiasi sangat dekat. Seperti aku dan Ina. Kami sama-sama lumpuh. Paralysis agintas. Lumpuh dan gemetar. Tapi, semua bahagia. Istriku tak berkeberatan menyuapi dua orang. Uang pensiunan masih cukup untuk membeli beras.
Kami sedang di teras rumah. Istriku mengenakan baju merah. Ina memilih yang hitam. Ina dan istriku sama cantiknya. Hanya senyum istriku lebih lembut. Ina memberikan kesan tegas. Hampir keras. Mereka sangat mirip. Karena itu, aku mencintai keduanya. Yang satu tulang rusukku. Yang satu jantung hatiku. Aku lalu berjanji tak ada satu tangan pun yang boleh melukai Ina lagi. Seperti aku yang tak pernah melukai istriku. Tak satu pun! Sumpah!
***
Dingin. Ada salju di negeri tropis. Para wanita dan anak-anak tengah memanen bunga di depan teras rumah kami. Ina dan istriku juga. Kursi rodanya berderik-derik. Aku tidak ikut? Iya… malaikat melarangku ke sana. Kami telah terpisah ruang dan waktu. Tapi, mereka bahagia. Aku juga. Tentu karena mereka bahagia.
Pada bibirmu terpatri bait-bait cinta
Bersama jagat cerita cita mimpi kita
Keajaiban kita di sisimu
Lalu kau lupa pada janji musim semi
Bolehkah aku memintamu datang?
Aku rindu jemarimu….
Kenakan rangkaian kata jiwa di lehermu
Sampai bumi mendebu!
Yang ini bukan syair untuk Ina, tapi, perempuan tua di sisinya. Istriku. Perempuan terhebatku. Sayangnya, tak satu pun di antara mereka mendengarnya. Tapi, aku tetap bahagia. (*)
.
.
Surabaya, 2011
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar