Di Persimpangan Pantura
TAK pernah sekalipun aku tampil dengan rok mini dan paha mengundang apalagi bahu terbuka dan dada menantang, tapi mengapa nasib tak berpihak juga?
Namaku Limbuk, asal Dukuh Menjangan. Hidupku isinya cuma kesedihan. Keceriaan adalah hal yang absurd bagiku. Lagipula tak ada yang aneh dengan kesedihan di negeri ini bukan? Namun aku selalu ingat kata simbok dulu, hidup ini memang sekadar mampir ngombe, singgah untuk minum.
Tak pernah aku mengerti arti perawan sampai suatu hari simbok bilang aku tak perawan lagi. Padahal hanya sedikit noda darah pada celana dalam, tapi mengapa nasibku jadi berputar seratus delapan puluh derajat?
Sebelas tahun usiaku waktu itu, ketika dengan kejamnya Lik Sol mengenalkan arti perih sesungguhnya. Ego yang berbalut nafsu itu biang keladinya.
“Untung kamu masih bau kencur….” Istri Lik Sol ketus memarahiku sambil panjatkan seribu syukur. Benih suaminya tak bisa membuahiku. Bibirnya mencang-mencong tak mengerti apa yang menarik dari tubuh kurus keringku.
Perempuan-perempuan muda penumbuk padi jadi aneh memandangiku. Tatapan mereka seperti menelanjangi dari kepala sampai kaki. Alu besar tetap dihunjamkan ke dalam lumpang, tapi lirikan dan bisikan mereka tak bisa mengelabuiku. Pemuda-pemuda desa menggodaku dengan kata-kata kotor. Mata mereka isyaratkan birahi.
Tak tahu aku ada kesepakatan apa antara simbok dengan keluarga Lik Sol, tapi sejak saat itu tak pernah lagi aku melihat Lik Sol berkeliaran di desa. Kata orang, ia mengadu nasib di kota dan kadang-kadang pulang tengah malam. Esok hari pagi-pagi buta, ia telah menghilang. Istrinya tak peduli asal dapurnya bisa tetap berasap.
Aku tak mau lagi pergi bermain, keluar rumah hanya untuk sekolah atau disuruh simbok ke warung. Limbuk kecil makin terpuruk tak tahu bagaimana bersihkan lumpur yang melekat. Aku ingat selalu mandi berlama-lama karena merasa tak pernah bisa bersih lagi. Tidur bagai kepompong, berbalut seprai putih sambil berharap tak bangun lagi esok pagi. Godaan untuk bunuh diri bukan tak ada, sayang uang jajanku tak pernah cukup untuk beli obat serangga. Gantung diri jelas tak menarik minat. Pasti sakit sekali mati dengan cara seperti itu.
Ketika tawaran Yu Silam datang, aku seperti kejatuhan bintang. Ia mengajak ke kota untuk sekadar bantu-bantu di rumahnya. Aku tahu simbok berat hati melepasku. Apa daya bayangan uang kirimanku kelak begitu menggodanya. Apalagi bapak sudah lama lari dengan perempuan nakal. Penghasilan simbok sebagai buruh tani tentu jauh untuk dikatakan layak.
Mungkin saja simbok lega dengan kepergianku, tak ada lagi aib yang ditutupi. Aku tahu, ia sering menangis diam-diam ketika mengelus-elus kepalaku di tengah malam. Tentu ia paham penderitaanku, bukankah selama sembilan bulan kami pernah berada pada raga yang sama?
Ternyata bayangan kota di benakku selama ini amat jauh dengan kenyataannya. Meski rumah-rumah di sana lebih bagus daripada di desa, tapi tak ada gedung bertingkat dan Monas seperti di buku pelajaran.
“Ini bukan Jakarta, bodoh! Ini Patokbeusi, negeri seribu impian….” sergah Yu Silam memotong tanya ini dan ituku.
“Patokbeusi ini kota, Yu Silam?”
“Ssssttt… jangan pernah panggil aku dengan nama itu di sini!!” bentaknya. “Aku Ningce.”
Ia melangkah pongah dengan dagu terangkat. Aku mengikuti langkah-langkah lebarnya dengan senyum dikulum. Nama yang aneh, apa nama kota memang aneh-aneh begitu?
“Ini daerah pantura, pantai utara Jawa,” jelasnya tak sabar.
“Kenapa belum terlihat pantainya?”
Yu Silam mendengus.
Ternyata yang dimaksud bantu-bantu itu mengurusi Yu Silam. Menyiapkan air mandi, masak, termasuk menyediakan minuman hangat sepulang kerja. Yu Silam pulang kerja menjelang pagi. Berangkatnya waktu Isya dijemput ojek langganan. Aku tak berani tanya-tanya lagi karena matanya melotot waktu kutanya kantornya di mana.
Lama-lama aku mulai menduga-duga Yu Silam kerja apa. Pantas saja ia harus bergincu begitu rupa dengan bahu terbuka. Aku tak mau ambil pusing selama ia rajin mengirimi uang kepada simbok sebagai bayaran tenagaku. Untuk diriku, cukuplah uang jajan ala kadarnya. Toh aku selalu makan kenyang di rumahnya.
Kadang-kadang Yu Silam pulang membawa fuyunghai. Nama yang aneh untuk masakan telor dadar dengan isi macam-macam. Enaknya luar biasa, simbok pasti belum pernah ketemu makanan seperti ini seumur hidupnya.
Dua tahun berlalu, Yu Silam mengeluh tak sekuat dulu lagi. Ia mulai sering masuk angin. Aku sudah hafal saat ia mulai sibuk mencari duit benggol untuk kerokan. Kudengar ia berkata kepada temannya kalau pelanggannya tak sebanyak dulu.
“Ganti namamu, tak ada Limbuk yang sekurus tubuhmu.” Gurau Yu Silam.
Aku terkekeh. Mungkin waktu aku lahir, bapak berharap aku semontok Limbuk, tokoh punakawan. Ternyata tak ada yang berubah. Yu Silam terus saja memanggil nama asliku.
“Apa kamu ndak mau jadi seperti aku tho, Mbuk?”
“Coba kamu ingat-ingat siapa yang rumahnya paling mentereng di desa kita selain Pak Lurah?”
Aku cuma termangu dan membisu. “Jangan takut, kalau kau rajin suntik tidak akan apa-apa.” Yu Silam tersenyum manis sekali.
Aku masih diam saja. Tak tahu harus bicara apa.
“Toh kamu sudah pernah disentuh laki-laki.” Tak ada nada cemooh dalam suara Yu Silam, tapi hatiku serasa disilet-silet. Pedih dan perih.
Demikianlah akhirnya aku terbawa masuk lingkungan warung remang-remang itu. Jadi ini memang kantornya Yu Silam. Untung saja Mami di situ masih punya nurani, ataukah memang usiaku yang masih belum cukup?
Mungkin saja memang seperti itu jenjang yang harus ditempuh untuk menjadi dongdot [1]. Jadi aku cuma bantu-bantu cuci piring dan bersih-bersih. Kadang-kadang juga bantu keperluan perempuan-perempuan di situ.
Di siang hari aku bisa bernapas lebih lega, sebab malam hari telingaku tersiksa mendengar tawa mereka yang berubah seperti ringkik kuda. Makin malam makin ramai pesanan makanan dan minuman. Musik dangdut berdentum keras. Truk besar banyak diparkir di luar. Sopir-sopir dengan wajah berkilat oleh keringat sejenak melepas lelah, dikelilingi gelak dan bisik undangan syahwat. Beberapa dari mereka kemudian menghilang ke kamar-kamar di belakang. Tak tahu pasti aku, mereka sekadar melepas lelah ataukah sejenak melupakan beban hidup?
Kupikir jadi dongdot di sini bukan hanya karena terimpit kemiskinan, tapi sudah jadi gengsi. Ada yang menganggap sebutan jablay sebagai kebanggaan. Kebanyakan mereka berasal dari daerah tak jauh dari sini.
Kakak beradik bisa bekerja di satu warung bahkan kabarnya ada yang seizin orangtua. Kelihatannya hanya Yu Silam yang satu-satunya pendatang. Pasti ada seseorang yang membawanya ke sini dulu.
“Jangan melamun saja, nanti piringnya pecah.” Mami menepuk bahuku perlahan.
Aku tersenyum malu, ketahuan bekerja tak sepenuh hati.
“Kamu mesti sabar dan tekun sampai tiba nanti saatnya senang-senang.”
Senyumku terhenti di tenggorokan.
Ia melangkah keluar dapur sambil berbisik di telingaku, “Jangan mau digoda tamu, bilang Mami kalau ada apa-apa.…”
Duh Gusti, perempuan setengah baya ini dari luar tampak perhatian dan penuh kasih. Sesungguhnya ia hanya mengincar keperawananku yang punya harga tinggi di sini. Seandainya ia tahu kisah sedihku.
Mami memang perhatian kepada anak-anak asuhnya. Tak bosan-bosan mengingatkan mereka kapan waktunya suntik. Kadang-kadang juga menegur cara berdandan dan berpakaian. Ada yang bilang Mami juga ‘dosen’ alias dongdot senior yang masih menerima tamu sewaktu-waktu jika dibutuhkan. Aku tak yakin, apa benar masih ada tamu dengan selera seperti itu. Sebab jadi primadona di sini tak bisa lama-lama, selalu saja ada yang baru datang, dan lebih segar.
***
Empat bulan aku di sini, Yu Silam jarang kerja lagi karena sakit-sakitan sampai suatu hari berhenti sama sekali. Aku tak tahu ia sakit apa sebab banyak sekali keluhannya. Ia rutin pergi berobat entah ke mana. Tempatnya pasti jauh karena pergi pagi dan pulang malam hari, malah kadang-kadang tak pulang dua hari. Pulangnya selalu dengan obat satu tas keresek.
Suatu hari Mami memberiku baju baru dan mengajari dandan. “Besok malam, mulailah belajar menemani tamu di meja.” Ia diam sejenak sambil menggerak-gerakkan kuas kecil di pipiku. “Jangan mau diajak ke kamar dulu ya!” suaranya tetap rendah tapi tegas.
Malam berikutnya, seperti kerbau dicocok hidung aku didorong Mami bergabung dengan kelompok kecil di sudut ruangan. Ada dua orang lelaki di sana yang menyambut dengan senyum penuh arti. Beberapa perempuan di sana ikut juga tersenyum, ada yang tulus ada juga yang dengan bibir setengah terangkat. Biasa itu, anak baru diterima sebagai teman juga sebagai pesaing.
Jarum jam seperti lambat bergerak menunggu malam usai. Satu tamu pergi datang tamu lainnya. Tubuhku sudah lelah dan betisku pegal-pegal karena sepatu berhak tinggi. Mulutku juga pegal tersenyum dari tadi, meski aku lebih banyak berdiam diri.
“Kamu baru ya?” lelaki di samping menyenggolku dengan sikutnya.
Aku mengangguk sambil tersenyum.
“Ngapain kamu di sini? Mending jadi istriku saja.” Senyumnya lebar seperti senyum keledai.
Untung Mami keburu menyelamatkanku. Ia pura-pura menarikku ke meja lain. Mungkin lelaki itu sudah terkenal buaya di sini. Paling buaya di dunia buaya.
Selama seminggu itu aku cuma menemani tamu minum-minum. Minggu depan tak mungkin tugasku masih sama. Kudengar beberapa tamu berbisik keras di telinga Mami sambil memandangiku, “Berapa?” Jantungku berdetak sekeras musik di situ. Mami menggeleng dengan senyum menggoda, kelihatannya ia punya rencana tersembunyi.
***
Dua orang tamu datang ke rumah. Katanya mereka dari tempat Yu Silam biasa berobat. Tanpa basa-basi ajarkan bagaimana mencegah penularan penyakitnya.
“Lho, memangnya Yu sakit apa?”
“Pokoknya aku tinggal menunggu mati,” sergah Yu Silam kasar, memotong maksud tamu itu untuk menjelaskan. Percumalah aku bertanya jenis penyakitnya, paling-paling pakai bahasa asing yang tak kupahami.
Kemudian semua anjuran dua orang tamu tempo hari kujalani sungguh-sungguh. Kalaupun aku harus tertular, itu pasti kersaning Gusti Allah [2]. Yu Silam kelihatan lega aku tak tanya-tanya soal penyakitnya. Sama leganya waktu ia tahu aku mulai menemani tamu minum di warung Mami.
Tanpa kesepakatan, pelan-pelan kuambil alih biaya pengeluaran di rumah Yu Silam. Biaya berobat masih ditanggungnya sendiri dari sisa uang tabungannya. Sisa bayaran dari Mami masih ada sedikit untuk pegangan dan dikirim ke simbok. Namun, aku harus bicara jujur pada Yu Silam.
“Yu, aku mau jadi buruh cuci saja.”
Yu Silam terbelalak. Pisang goreng yang sedang dimakannya seperti menyangkut di tenggorokan.
Takut-takut aku melanjutkan, “Aku ndak bisa Yu, kerja macam itu.”
“Kamu mau tinggalkan aku kan?? Kamu mau balik ke desa ya??” Yu Silam meradang.
Aku tak berani menatap matanya. Bagaimana menjelaskannya? “Sudah kucoba. Sudah kucoba, Yu, tapi aku ndak bisa.” Jeritku dalam hati.
“Pergilah sejauh yang kau suka. Biarkan aku membusuk di sini!!!” teriaknya parau.
Kupeluk ia dengan air mata, “Tidak, Yu… tidak… kalaupun Yu harus mati akan kurawat dirimu baik-baik.”
Tak bisa kujelaskan dengan kalimat bahwa ia adalah malaikat penyelamatku. Aku tak bisa kembali ke desa lagi. Biarlah simbok hidup dengan adik lelakiku. Suatu hari akan kutinggalkan tempat ini untuk memulai hidup baru bersama Yu Silam. Di tempat yang benar-benar baru, bukan di desa. Aku tak bisa kembali ke sana.
Pandangan perempuan-perempuan penumbuk padi itu tak pernah pergi dari benakku. Juga pandangan mata penuh birahi pemuda-pemuda desa.
Mereka tak pernah menganggapku manusia lagi sejak musibah itu. Sesuatu yang terpaksa kulakukan karena ancaman Lik Sol. Tak sanggup kuhadapi mereka nanti bila kulakukan perbuatan atas nama kelamin yang berkesadaran. Aku tak mau jadi dongdot.
***
Mami terbelalak waktu kuutarakan keinginan untuk tetap kerja di bagian dapur.
“Memangnya kau tak ingin uang banyak? Atau ada anak sini yang menjahatimu?” tanyanya beruntun.
Aku menggeleng cepat-cepat, “Saya hanya ingin bantu bersih-bersih saja di sini. Jadi tukang cuci juga saya mau.”
Mami ikut menggeleng-geleng. Tubuhnya yang tak lagi langsing bergoyang-goyang. “Tapi kenapa? Kenapaaa??” kedua tangannya terbuka lebar.
Aku menggeleng juga sambil tersenyum. Mami kelihatan tak puas, mungkin tak rela harga perawanku melayang terbang.
“Saya… saya… saya sudah tak perawan lagi, Mi….” bisikku pelan.
Perempuan setengah baya itu terbelalak, seperti ingin bertanya sesuatu tapi tak jadi.
“Saya korban perkosaan,” lanjutku lirih. Rasanya malu mengakui itu tapi di hati terasa lega luar biasa.
Mulut Mami terbuka dan bergerak-gerak tapi tak ada suara yang keluar. Ia mengangguk lemah. Dengan latar belakang segelap itu, mungkin dipikirnya aku tak cukup sehat mental untuk melayani tamu-tamu di sini.
Aku melangkah dengan pasti menuju dapur. Aku siap kembali ke tugas lama, bersih-bersih, cuci piring, dan membuang sampah-sampah. Tapi setidaknya aku bukan sampah dan aku tak mau jadi sampah.
Panggilan lembut Mami menghentikan langkahku. Bibir Mami bergetar, suaranya mirip seperti erangan hewan yang terluka, “Nasibmu sama seperti diriku dulu, Mbuk….” (*)
.
.
Pamulang, Agustus 2011
.
Catatan :[1] Dongdot: PSK
[2] Kersaning Gusti Allah: kehendak Allah SWT
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar